Like Wind on A Dry Branch - Chapter 216
”Saya punya satu pertanyaan lagi, Yang Mulia,” Rietta berkata. ”Apakah Baginda Kaisar tahu tentang percobaan sihir yang terjadi di berbagai biara, termasuk di Sevitas? Kardinal Racionel-lah yang memimpinnya, menyatakan bahwa dia ingin melepaskan manusia dari perasukan iblis. Apakah Baginda Kaisar tahu bahwa sang Kardinal telah membunuh banyak sekali orang?”
”Mereka menyatakan bahwa pengujian itu akan menyelamatkan nyawa Baginda Kaisar, sehingga mereka bisa menerima pendanaan dari kekaisaran,” sang Putra Mahkota berkata. ”Namun pembelajaran itu lebih condong pada menahan dan memindahkan makhluk spiritual lewat logam dan kristal. Hal itu tidak bisa diterapkan pada Kaisar. Teknologi yang tersedia tak ada yang bisa menyelamatkan Beliau.”
”Apakah Baginda Kaisar menyetujui pengujian itu?” Rietta menekan.
”Tidak,” sang pangeran menjawab setelah terdiam sejenak. ”Ibundakulah yang menyetujuinya.”
****
Hujan memperlambat penyebaran api, namun lidah-lidah api terus menjilati hutan di dekat pinggiran Ibu Kota, di mana rakyat jelata dan pada budak tinggal. Beberapa lari untuk mencari bantuan. Yang lainnya meninggalkan rumah mereka untuk kabur.
Orang-orang memohon kepada para kesatria istana agar membantu, namun para kesatria hanya menasihati mereka agar jangan memasuki hutan. Mereka semakin marah karena istana kekaisaran sama sekali tak peduli tentang rakyat jelata. Desas-desus mulai menyebar bahwa langit marah atau bahwa Kardinal Racionel-lah yang mengirimkan hujannya.
Perkelahian terjadi. Semua orang kian murka. Ibu Kota menjadi kacau balau, ketika tuduhan-tuduhan bidah dan kontroversi tentang Putra Mahkota kian meluas.
Semua yang diumumkan oleh Permaisuri sebagai tanggapannya adalah bahwa Beliau tidak akan bisa menghadiri sendiri upacara pemberkatan besar, akibat luka-luka bakarnya.
Di tengah-tengah kekacauan, istana kekaisaran sama sunyinya dengan mata badai. Upacara pemberkatan besar sang Kardinal akan dimulai.
****
Jalanan lebar yang menghubungkan istana kekaisaran dengan alun-alun pusat sudah dibersihkan untuk iring-iringan pemberkatan. Putra Mahkota duduk di bangku kehormatan mewakili Kaisar dan Permaisuri yang tidak bisa hadir.
Kardinal Racionel akhirnya menampakkan dirinya sendiri di depan kerumunan yang kasak-kusuk. Dia tampak sama agungnya dengan seorang martir. Dia telah bersikeras untuk menghampiri sendiri sang Putra Mahkota. Semua mata mengikuti dirinya ketika dia membungkuk kepada Putra Mahkota, kemudian bergerak untuk berdiri di hadapan Killian dan Rietta
Jadi inilah Kardinal Racionel. Rietta menatap pria itu dengan mata dewanya.
Racionel membentangkan lengannya. Cincin pada jari tangannya yang menggenggam tongkatnya berkilauan.
Ketika dia bicara lagi, suara sang Kardinal bergema dengan energi suci. ”Terima kasih karena telah melakukan perjalanan jauh untuk mengunjungi kami, Yang Mulia Duke Agung Axias. Anda terlahir dan tumbuh besar di sini, namun kini Anda menguasai wilayah utara.”
Tatapan Racionel beralih. ”Dan terima kasih atas kedatangan Anda, Santa Aeulatio, pewaris Lamenta dan anak dari sang Putri Suci. Walaupun terdapat cukup banyak kesalahpahaman di antara kita, saya berdoa semoga hari ini kita akan bisa memperbaiki semua kesalahan dan membimbing diri kita sendiri menuju jalan yang benar.”
Dia bicara kepada Rietta namun yang dia maksudkan adalah semua orang – Rietta, Killian, Putra Mahkota, dan bahkan Racionel sendiri. ”Saya harap semua orang yang terbebani dan lelah menemukan penyelesaian di sini. Lucielli.”
”Leciel,” kerumunan membalas.
Sang Kardinal menurunkan lengannya dan tersenyum pada Killian. Dia mendekat beberapa langkah lagi lalu kembali bicara dengan suara yang lebih lembut. ”Merupakan kehormatan bagi saya untuk menyambut Anda, Yang Mulia. Saya sudah mendengar banyak hal menakjubkan tentang Anda.”
”Demikian juga dengan saya,” Killian berkata dengan senyum dingin.
Racionel mengamatinya sejenak. ”Saya mengerti bahwa Anda tidak percaya pada dewa, namun bersediakah Anda mengizinkan saya memberkati Anda sebelum kita memulai upacara bersejarah ini?”
Ekspresi Killian mengeras. ”Tidak, terima kasih. Aku memiliki berkatku sendiri.”
Sang Kardinal mengulurkan tangan. ”Kalau begitu bagaimana dengan jabat tangan? Orang-orang melihat.”
Killian menggenggam tangan Racionel dengan kokoh. Kedua pria itu pun berjabat tangan. Ekspresi Racionel berubah.
Dia tahu kenapa dia tak bisa membaca Rietta. Wanita itu adalah seorang pengguna kekuatan suci yang kuat. Namun dia semestinya bisa membaca sang duke agung. Entah kenapa, semua yang dia dapat adalah sebuah dinding.
Tangan mereka berpisah. Racionel ganti berpaling pada Rietta. ”Merupakan kehormatan bagi saya untuk menyambut Anda, Santa Aeulatio. Saya sungguh telah menantikannya.”
Rietta menekuk lutut untuk memberi hormat, sambil mengamati Racionel. Si pendeta senior tak bisa lebih suci lagi. Sulit untuk membayangkan pria ini melakukan pengujian-pengujian yang kejam. Terutama karena Rietta sudah terbiasa memandang tinggi para pendeta.
”Jangan takut,” sang Kardinal tiba-tiba berkata. ”Pertobatan sudah dekat. Kami akan membimbing jalan Anda; Anda tak perlu cemas sedikit pun.”
Rietta memejamkan matanya. Sesuatu berdesir di dalam dadanya. Setiap kata yang diucapkan Racionel terdengar seperti hinaan. Dia kembali mendongak, tatapannya keras. ”Saya ada di sini untuk menerima mahkota saya, bukan pertobatan. Jadi lebih baik Anda menahan diri dari mengucapkan komentar yang tidak pantas.”
Alis orang-orang terangkat. Namun Killian tersenyum kepadanya. Pria itu adalah semua jangkar yang Rietta butuhkan.
”Saya tidak merasa cemas,” Rietta berkata penuh percaya diri. ”Saya tidak membutuhkan bantuan apa pun, karena saya memiliki dukungan dari sang duke agung. Anda telah salah paham terhadap saya, namun hal itu seharusnya bukan masalah. Ini adalah upacara pemberkatan; ini bukan tentang saya. Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih karena telah memimpinnya.”
Rietta tidak meninggikan suaranya, namun tetap saja membawa tekanan. ”Dan jika Anda tidak keberatan, berhentilah menyebut saya sebagai Santa. Saya bukan Santa. Saya tak pernah menerima wahyu, juga tidak memiliki satu pun pencapaian dari seseorang yang pantas menerima gelar itu.”
Kini orang-orang menatap dirinya.
Dia mengabaikan mereka. ”Saya mengerti kalau Anda dan Baginda Permaisuri ingin menunjukkan rasa hormat kepada saya dengan menganugerahkan gelar ini. Namun saya tidak bisa menerimanya, karena saya khawatir jika melakukannya akan mendatangkan amarah dewa kepada kita.” Rietta menurunkan tatapannya. ”Terima kasih atas pengertian Anda.”
****
Morbidus memucat. ”Aku tak bisa lagi merasakan Tania. Sihir kita sudah terputus. Kurasa dia tak sadarkan diri.”
Ini adalah saat yang buruk. Mereka membutuhkan Tania sekarang juga. Ditambah lagi, sebagai seorang pengikat kontrak, Tania bisa mempertahankan tubuh Mordes dalam dunia fisik setelah sihir suci yang kuat membanjiri Ibu Kota.
Begitu upacara pemberkatan besar dimulai, jika Santa Tania tidak memanggilnya, Mordes akan diusir – atau lebih buruk lagi, dia akan binasa.
Morbidus berdebat untuk mengirim Mordes pergi ketika sub ruang si iblis wabah tiba-tiba terbuka.
”Aku akan pergi mencari Tania,” Mordes berkata.
****
”Tunggu. Hentikan upacaranya!” Salah seorang pendeta sang Kaisar berlari menuju tahta.
Kepala semua orang berputar. Si pendeta berhenti, membenahi jubahnya, terengah-engah. ”Baginda Kaisar… bangun.”
Sang Putra Mahkota berdiri, tampak sadar sepenuhnya. ”Kurasa kita harus mengawal Nona Tristi ke sana. Harap persiapkan untuk bertemu dengan Baginda Kaisar.”
****
Morbidus mengikuti Mordes ke dalam sub ruang. Dia mencengkeram lengan iblis lain itu dan menarik, menghentikannya dengan pelototan. ”Kau pikir apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sedang berusaha membuat dirimu sendiri terbunuh?”
”Tentu tidak,” ujar Mordes.
”Kembalilah. Pengikat kontrakmu akan selamat.”
”Tentu saja dia akan selamat,” Mordes menghardik, menepis tangan si iblis wabah. ”Urus urusanmu sendiri, Morbidus. Ada apa dengan tubuh spiritualmu? Tubuh fisikmu seharusnya cukup kuat untuk menahan berkat ini. Untuk apa kau menahan diri?”
Morbidus terdiam.
Mordes memicingkan matanya. ”Apa kau menarik kekuatan dari si pendeta Lamenta? Ada sesuatu yang mencurigakan tentang kontrakmu.”
Morbidus menatap Mordes. Iblis satunya berputar. ”Akan lucu kalau melihatmu mati dalam pertarungan melawan manusia biasa.” Dengan kata-kata itu, Mordes menghilang lagi, tidak memberi kesempatan pada Morbidus untuk menjawab.
****
Mereka tak bisa menghentikan upacaranya. Namun semua orang tahu bahwa Kaisar hanya terbangun dalam periode waktu yang singkat. Di samping itu, hanya mahkota Lamenta yang dibutuhkan di upacara pemberkatan besar, bukan Rietta sendiri.
Killian dan Rietta saling berpandangan. Mereka bertukar tatapan lalu meraih tangan satu sama lain.
****
Di dalam kanal bawah tanah, Mordes menemukan seseorang sedang memegang sebuah senjata suci dengan kedua tangan.
Seulas senyum membekukan muncul di wajah si iblis. Pria itu menggenggam tongkat milik Tania. Mordes melepaskan kerah baju manusia lain yang telah diancamnya lalu menghambur ke arah orang yang ini.
Si pria melangkah mundur. ”Ack! Ja-jangan mendekat lagi, kau I-iblis!”
Mordes menunjuk pada tongkat itu. ”Kau, manusia. Benda di tanganmu itu.”
”Mu-mundur!” Si manusia mengacungkan tongkat itu.
”Jatuhkan tongkat itu sekarang juga dan katakan padaku apa yang telah terjadi pada pemiliknya,” Mordes membentak. ”Kecuali kau ingin seorang iblis mimpi membuka kepalamu dan mencari tahu sendiri soal itu.”
Sebelum pria itu bisa menanggapi, dia roboh. Tania berdiri di belakangnya, lengan sang Santa masih terangkat karena melemparkan senjata tumpulnya. Darah mengalir dari kepalanya dan mengaburkan pandangannya.
Alis Mordes terangkat. ”Tania?”
Sang Santa menyeka darah dari alisnya dengan satu lengan baju. ”Apa yang barusan tadi kau katakan?”
”Apa?”
Tania mengernyitkan alisnya. Apakah iblis itu baru saja mengancam untuk membuka kepala seseorang? Apa yang telah dia lewatkan?
Dia memiliki wawasan yang mengerikan. Dia bisa melihat hasrat-hasrat orang seakan dia berada di dalam benak mereka.
Racionel tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa depan, namun dia mengetahui hal-hal yang semestinya tak mungkin bisa dia temukan. Orang-orang bilang dia bisa melihat ke dalam hati mereka. Bagaimana itu mungkin terjadi? Tania menggigit bibirnya.
Oblivious memiliki kekuatan iblis atas ingatan…. Jika Racionel telah memperoleh kekuatannya, dan jika dialah orang yang membunuh sang Paus, dia mungkin sudah memperoleh akses pada ingatan-ingatan paus. Kemudian upacara pemberkatan besar akan menjadi satu-satunya hal yang dia butuhkan untuk mengamankan tempatnya.
Mungkin sejak awal, Sidang memang tidak diperlukan.
Energi suci membengkak dan mengelilinginya. Mata Tania membelalak pada firasat buruk yang membebani hatinya. Dia menatap Mordes. ”Apa malam ini adalah purnama?”
”Ya,” Mordes menjawab ”Tapi kepalamu itu. Apa kau bisa melakukan sesuatu soal itu?”
Tania mengabaikannya dan memiringkan kepala untuk melihat ke arah bulan. Tentu saja, semua yang dilihatnya adalah langit-langit gorong-gorong. ”Apa bulannya sudah naik? Apa upacaranya sudah dimulai?”
”Sepertinya begitu, menilik dari seburuk apa udaranya terasa.”
Wajah Tania menggelap. ”Pergi dan hentikanlah upacaranya, sekarang! Aku tak peduli kalau kau perlu meledakkan tempat itu bersama para iblis atau memohon bantuan kepada sang duke agung dan Rietta. Kita harus menghentikan upacaranya.”
”Pergi? Aku sendiri?” Mordes ternganga. ”Mempertaruhkan nyawaku berada di luar kewajiban kontrakku. Kontrak kita menyatakan bahwa aku tetap hidup. Saat ini, aku -”
Dengan kilasan cahaya, sihir membanjiri tubuh spiritual Mordes. Energi suci mengalirinya dari Tania, berubah jadi kegelapan dan memasukkan energi kepadanya.
Mordes membeku sejenak sebelum senyum gelapnya merekah. ”Kurasa sihirku bukanlah masalahnya, Tania. Bagaimana kau akan bisa keluar dari sini kalau kau melepaskanku? Tumbal-tumbal manusia bodoh yang berusaha kau selamatkan itu bertarung melawanmu hanya karena menolong mereka.”
Sang Santa melirihkan suaranya menjadi perintah. ”Mordes, iblis mimpi.”
Mordes membeku ketika kekuatan memaksa dari pembuat kontraknya melingkupi dirinya. Para iblis pribadi tak bisa melawan perintah majikan mereka. Akan tetapi, walaupun mengetahui aturannya, dia tak mau dipaksa bekerja seperti anjing. Menghela napas, Mordes membungkuk dan mengambil tongkat sang Santa. Tangannya mendesis dan terbakar ketika dia berusaha menyerang dirinya sendiri.
Wajah Tania menggelap. Perintahnya lebih cepat ketimbang upaya Mordes untuk melukai dirinya sendiri. ”Naiklah dan hentikan upacara pemberkatan besarnya.”
Mordes menggertakkan giginya. ”Tania, di belakangmu!” Dia melemparkan senjata itu persis sebelum dirinya menghilang.
Tania menangkap tongkat itu di tengah udara dan berputar untuk menangkis serangan dari pria bersenjata di belakangnya.