Like Wind on A Dry Branch - Chapter 217
Rietta tak ingat bagaimana dia memberi salam kepada sang Kaisar atau apa yang Beliau katakan setelahnya. Mungkin dia tak menyangka kalau Beliau bisa tampak begitu sakit.
Bahkan sejak Kaisar memanggilnya kemari dan dia memutuskan untuk menerima – semenjak perjalanan panjang mereka menuju Ibu Kota dari Axias, Rietta telah mengingatkan dirinya sendiri agar jangan takut, membawa dirinya sendiri dengan keanggunan dan martabat. Dia telah merencanakan apa yang ingin dia katakan dan mengulangnya berkali-kali.
Kini, tak satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya ketika Kaisar selesai mengucapkan isi pikirannya. Akhirnya, Kaisar memberinya seulas senyum rapuh. “Pasti ada banyak yang kau pikirkan. Silakan katakanlah.”
Pria tua ringkih di hadapan Rietta tidak tampak seperti seorang Kaisar atau bahkan bangsawan. Sungguh keajaiban pria ini bisa duduk tegak tanpa bantuan. Rietta telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mundur, namun ketika waktunya tiba, dia tak sanggup melakukannya.
Rietta mengambil gulungan papirus yang diulurkan Kaisar, mengambil tongkatnya, lalu pergi.
Pintu tertutup tanpa suara di belakangnya. Killian sedang menunggunya di luar. Pria itu menegakkan diri, menunggu tanpa menghampirinya. Bahkan dalam kegelapan, Rietta bisa melihat kepiluan dalam fiturnya.
Seketika itu juga, Rietta tercekat. Air mata mengalir menuruni pipinya. Cemas Killian akan salah menafsirkan air matanya, Rietta pun menyekanya. “Pergilah ke sana, Killian. Kurasa Beliau akan masih mampu bicara sedikit lagi.” Setidaknya, itulah yang Rietta kira telah dia katakan.
Killian meraih lengannya, tetap tak bicara sepatah kata pun.
“Pergi… aku tak mau kau merasakan penyesalan.” Rietta mendapat firasat kalau musim dingin ini akan menjadi musim terakhir sang Kaisar. Dia perlu membiarkan Killian pergi. “Aku akan menunggumu di sini.”
****
Perintah pengontraknya untuk menghentikan upacara pemberkatan besar membuat kekuatan iblis Mordes meningkat.
Bulan purnama menyinari alun-alun pusat ketika kekuatannya berkumpul. Di bawah, cincin-cincin logam berdentingan pada tongkat yang sarat dengan kekuatan suci.
Tiba-tiba, kekuatan suci itu menyembur kuat, menerjang Mordes dengan telak. Dia terjatuh dari langit menuju alun-alun yang disinari cahaya rembulan.
Para pendeta, yang melakukan upacara, semuanya terperangah dan belari menyingkir, dibuat tercengang oleh kemunculan tiba-tiba sesosok iblis ungu yang diselimuti energi hitam. Kerumunan berteriak ketika dia mendarat di tengah-tengah alun-alun.
Bagi Mordes, urusannya tidak berjalan dengan baik. Namun di antara kendali sihir dan perintah langsung Tania, sekarang Mordes tak bisa mundur. Meski dia merasa lega karena pengontraknya selamat, mau tak mau dia merasa kesal karena hal ini.
Upacara pemberkatan besar bukanlah masalahnya. Tania, kau yakin kau menginginkan ini?
Kardinal Racionel melangkah perlahan menuju si iblis sementara kerumunan oran berlarian ketakutan. Bersandar pada tongkatnya, Racionel berkata, “Apa kau Mordes, si iblis mimpi?”
Sial. Racionel kedengaran seperti telah memperkirakan kedatangan Mordes.
Di sekeliling mereka, para pendeta petarung kasak-kusuk tak percaya. Santa Tania seharusnya sudah membunuh iblis itu bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa dia masih hidup? Sebagian besar pendeta itu tak bisa memercayai mata mereka. Bagaimana bisa sang Kardinal mengendalikan kekuatan si iblis?
Mordes tersenyum, tampak menyerah untuk meraih kendali. “Hei, manusia,” dia berkata pada kerumunan. “Berhentilah mengamati aku. Aku mengerti kalau kecantikanku membuat kalian terpesona,tapi kalau menatap lebih keras lagi, maka aku akan mulai menghantui mimpi-mimpi kalian.”
Berbagai pendeta yang ada di sekitar alun-alun mulai meraih senjata-senjata suci mereka.
“Yah, ini sangat buruk sekali,” Mordes menggumam. “Apa ada di antara kalian yang akan percaya padaku kalau kuberitahu bahwa sebenarnya aku ada di pihak kalian? Aku datang untuk menyelamatkan manusia dari seorang pendeta jahat.”
Semburan sihir kuat yang baru menerjang ke arah Mordes. Terserahlah. Mordes mematuhi pengontraknya. Ketika para pendeta melontarkan serangan-serangan suci ke arahnya, dia membuka sub ruang spiritual raksasanya dan melahap seluruh jalanan.
Hujan berhenti. Angin mulai berhembus di arah lain. Kemudian sang Kardinal melepaskan kekuatan iblis mimpinya sendiri.
Mordes dan iblis mimpi milik sang Kardinal berbenturan. Ketika dua sub ruang bertemu, batas-batas waktu dan jarak fisik pun meluas dan menyempit, melontarkan dunia fisik ke dalam kekacauan.
Hentakan gelombang sihir terbang melewati alun-alun, mengalir jauh hingga ke tempat Morbidus dan Killian berdiri. Mereka berbalik pada saat bersamaan, persis ketika dunia berubah menjadi hitam legam.
Morbidus mendirikan dinding pelindung, menangkap Rietta ketika wanita itu roboh. Killian mencabut pedangnya, merasakan realitas mulai runtuh. Sebuah sub ruang iblis mimpi pun terbuka di sekeliling mereka.
****
Aku tak mengasihanimu. Ada beberapa hal yang perlu kukatakan padamu. Dia seharusnya bertanya mengapa Kaisar mengundangnya kemari. Dia seharusnya memberitahu Kaisar kalau dia tak bisa menyembuhkan ataupun membantu Beliau. Apa Beliau membawanya kemari untuk mencoba memperbaiki Beliau?
Dia tak ingat apa persisnya yang telah dia katakan, tetapi dia ingat tanggapan Beliau: “Anak perempuan dari sang Putri, dulunya aku berharap bisa hidup lebih lama. Ada begitu banyak yang ingin kucapai. Tapi sekarang, ada lebih banyak pekerjaan saat mati ketimbang saat hidup.”
Beliau bicara seakan sudah berdamai dengan ide ini sejak lama. Beliau tampaknya tahu bahwa dirinya sudah tak bisa diselamatkan, dan beliau tak punya keinginan untuk memperpanjang hidupnya. “Aku yakin kau datang menemuiku bukan demi aku, tapi demi dirimu sendiri,” Beliau berkata.
Rietta telah mengamati mata merah Kaisar, mata yang sama dengan yang telah Killian warisi.
“Dalam suratku aku sudah menjelaskan kenapa aku mengundangmu. Itukah sebabnya kenapa kau datang?” Beliau bertanya.
Sebenarnya memang demikian, namun Rietta tak menyangka kalau sang Kaisar akan menyebutkannya.
“Ambillah mahkota itu. Kau adalah pemilik yang sebenarnya, dan aku merasa kalau bahkan dengan energi iblis di dalamnya, kau akan mampu menyentuhnya. Aku minta maaf karena tak bisa menyambutmu dengan benar, tapi… kesehatanku lebih buruk daripada yang terlihat.”
Sang Kaisar menunjuk pada satu sudut di belakang Beliau. Seorang pelayan mengambil sesuatu di sana dan membawakannya pada sang Kaisar. Benda itu adalah sebuah wadah dokumen untuk gulungan papirus. Sang Kaisar mencari-cari di dalamnya lalu memilih beberapa gulungan.
Membelai kertas-kertas yang telah dipilihnya, Kaisar berkata, “Kudengar putraku sangat peduli padamu. Kalian berdua telah melalui banyak kesulitan karena aku.”
Anda melewatkan intinya, Rietta membatin, walaupun dia tak menanggapi.
Sang Kaisar meraih gulungan papirus lain yang dibawakan oleh pelayan lainnya. Beliau membaca isinya, tangan yang rapuh gemetaran. Kemudian Beliau mengangguk dan memberikan tumpukan itu pada Rietta.
Rietta menatap tumpukan gulungan itu.
“Aku telah mendaftarkanmu sebagai pemilik sah dari mahkota itu. Kau boleh melakukan apa pun yang kau inginkan terhadapnya. Dan mengenai hubunganmu dengan Killian, kau bebas membuat keputusanmu sendiri. Kalian berdua tidak membutuhkan persetujuan dari keluarga kekaisaran, dan aku sudah menyatakan hal itu di dalam wasiatku. Jika sampai muncul masalah, berkonsultasilah pada Hakim Justin untuk urusan-urusan legal dan Pendeta Tinggi Gilius untuk urusan-urusan doktrin.”
Tangan kurus Kaisar tampak kosong setelah Beliau menyerahkan semua dokumen itu kepada Rietta. Beliau tersenyum kepadanya. “Berbahagialah.”
Rietta tetap membisu.
Sang Kaisar menautkan jemarinya. Cincin rubi merah tampak longgar pada jarinya yang kering dan keriput. “Kuharap kesalahan-kesalahanku tidak akan menghantui siapa pun lebih lama lagi.”
****
Rietta kehilangan kesadaran ketika kegelapan menyelimuti. Seberkas cahaya perak nan benderang bersinar dari tongkatnya.
****
Burung-burung bersiul damai di dekatnya. Cahaya mentari yang menyilaukan menyinari dinding batu putih di dekatnya. Dalam bayang-bayang di bawah dinding itu, seorang pendeta berbaju putih mengangkat lengannya.
Rietta menatap pendeta itu. Dia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
“Maafkan aku atas semua hal yang telah kau alami,” si pendeta berkata. “Maafkan aku karena tidak mengenali dan menyelamatkanmu lebih cepat.”
Rietta menatap kedua tangan pendeta itu, yang terlipat rapi di pangkuan. Suara ramah nan lembutnya entah bagaimana terdengar tidak menyenangkan. Rietta mundur, menjauh dari orang itu.
Si pendeta tampak terluka, namun dia menyinggingkan senyum menenangkan para Rietta. “Jangan takut. Kau tak lagi perlu berada di bawah kedali musuhmu. Aku bisa membantumu.”
Rietta mengernyit. Membantuku? Dia tak ingat bagaimana persisnya dia bisa sampai ke tempat ini, tapi ini sepertinya tidak benar. “Anda tak perlu membantu saya.”
“Sayang sekali.” Pria itu tak mendengarkannya, akan tetapi, tampak seakan mengenal dirinya.
“Siapa Anda?” Rietta bertanya. “Apa Anda mengenal saya?”
“Tentu saja. Aku akan naik ke tempat tertinggi bersamamu.”
“Tapi… saya tak suka ketinggian.”
Si pendeta terkekeh. “Yang kumaksudkan bukan ketinggian secara fisik. Yang kumaksudkan adalah tempat tinggi untuk orang-orang pilihan Dewa. Kaulah satu-satunya orang yang pantas untuk diangkat.”
Rietta menggelengkan kepalanya. “Anda bicara pada orang yang salah.”
“Kau adalah orang yang tepat.”
“Tapi saya tak pernah ingin naik ke tempat tinggi mana pun. Dan saya juga belum pernah dipilih oleh Dewa. Saya senang berada di tempat saya sekarang.”
Pendeta itu tersenyum. “Kurasa tidak. Saat ini di sini hanya ada kau dan aku. Kau bisa jujur. Aku akan membantumu lepas dari cengkeramannya.”
Rietta mengernyit. “Saya tidak mengikuti perintah orang asing.”
Tawa si pendeta meledak. “Kau tidak mengenaliku?”
Rietta merona, malu. “Tidak. Maafkan saya. Saya tidak ingat. Bisakah Anda mengingatkan saya?”
Suara si pria berubah menjadi suara yang familier. “Aku akan menyelamatkanmu.”
Bibir Rietta membuka karena syok. “Tuan Ferdian?”
****
Mordes muncul di samping Killian. “Dia telah memperoleh kekuatan dari iblis mimpi, iblis wabah, dan iblis air,” dia berkata. “Berikutnya dia akan berusaha merebut kekuatan iblis api. Dan Kaisar akan -”
Benar, iblis api. Killian menarik Mordes ke samping dan mengangkat pedangnya untuk menangkis tongkat sang Kardinal. Senjata mereka bersilangan dengan suara berdentang, dan Killian memelototi sang Kardinal. “Apa yang telah kau lakukan pada Ferdian?”
Sang Kardinal menyeringai. “Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.” Dia memutar tongkat khakkharanya. “Yang Mulia, harap lepaskan iblisnya.”
Tongkat dan pedang berbenturan lagi dan lagi dengan kecepatan yang mengerikan.
Yang Mulia, Anda bilang Anda akan menyelamatkan saya. Jika Anda sampai menemukan kalau jiwa saya bermasalah, harap lakukan apa yang Anda anggap benar. Tebus saya….
Sang Kardinal memberi tatapan penasaran pada Killian. “Yang Mulia, kekuatan apa yang Anda gunakan? Anda bukan pengguna sihir, tetapi Anda memiliki energi yang tidak biasa. Apa ada benda suci pada diri Anda?”
“Aku mendapat hadiah karena sudah menjadi orang baik,” Killian menjawab. “Dari mana kau mendapatkan kekuatan iblis itu? Aku ragu kau mendapatkannya dengan melakukan perbuatan baik.”
Sang Kardinal kembali tersenyum. Kardinal Racionel, pendeta pengelana dari suatu tempat terpencil, kini terhubung dengan Permaisuri, selalu terobesesi dengan kedewaan. Kini dia telah mengikat Abiditas si iblis air dan Oblivious si iblis mimpi – kedua iblis itu dulu pernah menjadi bawahan dari Lamenta.
Belati yang menanamkan iblis? Bukan, belati merupakan medium yang memerangkap makhluk spiritual, belum tentu iblis. Benda itu bisa menyimpan apa saja yang memiliki kemampuan sihir.
Kini Killian sudah memahami apa yang telah terjadi. Jiwa manusia juga adalah makhluk spiritual; bukan cuma iblis.
Dengan suara berdentang, tongkat dan pedang kembali berbenturan. Racionel bukan ahli pedang, walaupun kekuatan iblisnya telah menggantikan kekuatan tubuhnya yang lemah serta kurangnya kecepatan. Namun gerakannya tidak seperti pemula biasa.
Dia adalah seorang cendekia, bukan pendeta petarung. Dari mana dia mendapatkan pelatihan berpedang?
Killian merasakan sesuatu yang familier dengan cara tongkat Racionel menanggapi pedangnya. Dia terus menyerang, mempelajari cara sang Kardinal menangkis. Sang Kardinal bergerak bukan dengan kekuatan sihir, melainkan dengan ingatan dan refleks.
Dengan sengaja Killian menyasar ke bagian tubuh yang lebih rendah. Dia mengamati tongkat itu bereaksi pada sasarannya yang sudah bisa diperkirakan – cara bereaksi ketika pedang telah mengikuti rutinitas pelatihan kekaisaran.
Kepingan-kepingan itu akhirnya menyatu. “Rutenfeld,” Killian menggumam.
Racionel menyeringai. “Maksudmu Paman Rutenfeld, Killian?”