Like Wind on A Dry Branch - Chapter 218
“Kalau kau tak memakai iblis airnya, apa kau bisa membuatnya dari kanal bawah tanah? Lokasinya sempurna. Kau bisa menutup beberapa saluran dan membuka satu jalur air….”
Racionel tersenyum. “Tak apa-apa. Kita tetap pakai rencana semula. Aku akan mengurus iblis airnya.”
“Lebih cepat, lebih baik. Kita sudah menunggu cukup lama. Akan lebih baik kalau menyelesaikan semua tujuan kita pada hari yang sama, daripada terus mengulur ini lebih lama lagi.”
****
Kedua iblis mimpi itu saling berhadapan, sementara ruang fisik terdistorsi menjadi kekacauan tak beraturan. Sub ruang mereka meluas hingga ke hutan di luar Ibu Kota, menyelimuti istana.
Orang-orang berteriak, ketakutan, ketika lidah-lidah api muncul di sekeliling kedua iblis itu. Api menyapu jalanan dengan kecepatan mengerikan.
Sementara itu, pedang Killian dan tongkat Racionel terus berbenturan. Aura pedang dan sihir memercik dari kedua bilah senjata itu.
Melebarkan celah di antara mereka, Racionel melontarkan sihir iblis mimpi dan wabah ke arah Killian. Namun semuanya memantul dari diri Killian tanpa melukainya sedikit pun.
Mata Racionel memicing. “Aku terkesan. Kau berhasil menangkal semua sihir itu berkat bergaul dengan makhluk-makhluk magis di Lembah Naga, mungkin?”
Killian tak merespon.
“Kau tampaknya sepenuhnya kebal dari iblis wabah. Bisakah kau berbaik hati memberitahuku sihir apa yang kau punya?”
Killian mengayunkan pedangngya. Senjata itu bertabrakan dengan tongkat Racionel. Racionel mendistorsikan ruang, menghilang lalu muncul kembali di tempat yang lebih jauh.
“Kau memakai tubuh manusia untuk menyaring keluar racun-racun iblis,” Killian berkata. “Kau jarang memakai kekuatan iblis air, karena kekuatan Ferdian berbelitan dengan kekuatan iblis wabah.”
Racionel tersenyum. “Kau punya insting yang bagus.”
“Kau berusaha menyelaraskan dirimu sendiri dengan Ferdian ketika menakhlukkan iblis wabah,” Killian menambahkan. “Kurasa itu bukan ide yang bagus.”
Racionel terbahak. “Aku akan menangani urusanku sendiri.”
“Tak seharusnya kau berurusan dengan orang itu.”
Racionel mencibir. “Aku mengenal dia lebih baik daripadamu. Aku dan dia punya banyak kesamaan. Kami menginginkan kekuatan yang sama, gelar yang sama, dan wanita yang sama.”
Wajah Killian menggelap.
Racionel memiringkan kepalanya. “Kau telah melakukan kerja bagus dalam mengulur waktu.” Dengan satu balasan akhir terhadap serangan Killian, Racionel – atau lebih tepatnya, Rutenfeld – mengulas senyum pongah dan lalu memencarkan tubuhnya menjadi titik-titik air.
Killian menggertakkan rahangnya. Bajingan jahat.
“Aku merindukan dia,” Mordes berkata, menampakkan dirinya sendiri. “Racionel ingin menciptakan iblis api yang baru. Kita harus menemukan Permaisuri.”
Killian berbalik.
“Permaisuri akan memicu apinya,” Mordes meneruskan. “Sudah dimulai.”
Exitius adalah iblis yang sulit untuk ditampung di dalam tubuh manusia, dan kontraknya dengan Permaisuri akan menjadikannya lebih sulit lagi. Sebagai gantinya, Racionel bisa menciptakan sesosok iblis api yang baru dengan membakar habis seluruh Ibu Kota.
Lingkaran berkatnya memiliki ukuran terbesar dalam sejarah. Jika dia mengotorinya dan menawarkan orang-orang yang tinggal di dalamnya sebagai tumbal hidup kepada api….
Killian menutup matanya rapat-rapat. “Aku akan mencari Permaisuri,” ujarnya pada Mordes. “Pergi dan lihat ada berapa banyak manusia yang telah lolos dari jalur air bawah tanah.”
****
Pemandangan bagai kiamat lainnya terungkap pada medan perang lainnya – saluran air bawah tanah. Santa Tania, para pencuri, dan kesatria semuanya berjuang untuk mengulur waktu, ketika lingkaran sihir di bawah mereka mulai bersinar.
****
Rambut Rietta berkibaran dihembus angin magis. Morbidus memusatkan kekuatannya, menopang Rietta di bagian belakang lehernya.
Morbidus membuka matanya ketika merasakan Killian berjalan menembus dinding pelindungnya. Killian berlutut di sisi Rietta. “Bagaimana keadaannya?”
Morbidus menunduk, “Dia tak sadarkan diri. Dia bicara pada sesuatu di dalam mimpi yang dibuat oleh iblis mimpi. Aku tak bisa membangunkan dia.”
“Apa menurutmu segel ingatannya telah terpicu?” Killian terpikirkan tentang putri Rietta.
“Tidak.” Morbidus menatap tongkat Beatrice. “Kurasa segel pada tongkat itu telah terbuka.”
Killian mengamati cahaya yang menyelimuti tubuh Rietta. Cahayanya bersinar cukup terang untuk membuat matanya sakit, menciptakan suatu aura pekat di sekeliling Rietta. Apakah Rietta sedang mendengarkan kata-kata terakhir Putri Beatrice?
“Apa akan lama?” Killian bertanya.
“Kami tak tahu.”
Api memercik di dekat situ. Ranting-ranting pohon terbakar dan jatuh, lidah-lidah api semakin banyak memberi makan iblis api. Pemandangan itu membuat Killian teringat pada mimpi buruk ketika Axias diserang.
Morbidus mengabaikan lidah-lidah api itu dan menangkup wajah Rietta. Seseorang harus menjaga Rietta, dan seseorang lainnya harus menghentikan Permaisuri.
Killian menatap Morbidus, iblis pelindung Rietta – dan juga keluarganya. Istana kekaisaran penuh dengan berkat. Morbidus tak mampu menarik kekuatan dari Rietta. Iblis itu tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Orang-orang berlarian lewat, dibuat panik oleh api dan iblis. Exitius memperoleh lebih banyak kekuatan dengan setiap gelombang kengerian, ditambah lagi dengan amarah sang Permaisuri. Mampukah iblis wabah ini bertahan menghadapi iblis api sekuat itu?
Killian menunduk menatap Rietta. Dia tak punya pilihan lain. “Apa kau sungguh bisa melindungi dia? Bersumpahlah padaku atas nyawamu.”
Morbidus menyeringai. “Tentu saja bisa. Rietta takkan pernah berada dalam bahaya. Aku sudah bersumpah atas itu sejak bertahun-tahun yang lalu.”
Killian menyukai apa yang dia dengar.
****
Sang Permaisuri melangkah dengan bertelanjang kaki, bersenandung dan menggenggam pedang. Bara api menyala pada setiap langkahnya.
Kau harus memberikan hadiah kepada iblis sang Permaisuri juga.
Ketika waktunya tiba, bersenang-senanglah dengan siapa pun yang kau inginkan. Aku akan menangani sisanya.
****
Sebelum dia berdiri, Killian membelaikan jemarinya pada rambut Rietta. Dia membungkuk untuk menyentuh dahi wanita itu. Alih-alih ciuman, dia berbisik, “Undangannya palsu.”
Rietta tak bisa menanggapi, namun Killian membayangkan apa yang mungkin wanita itu katakan. Aku tahu.
****
Racionel tersesat dalam realitasnya sendiri. Pada seluruh hidupnya, dia memiliki satu tujuan: untuk menjadi makhluk abadi. Dia menilai semua orang dengan ukuran yang sama itu dan mendapati kalau mereka semua menginginkannya.
Tak pernah dia meragukan kalau tak ada orang yang akan menolak kesempatan ini. Terutama tidak bagi orang seperti dirinya. Tentu saja, wanita itu akan menerima tawarannya. Siapa yang akan menolak kekuatan atas hidup dan mati – kekuatan sang Dewa? Tak seorang pun.
Dia teringat pada kesalahannya yang terakhir: Putri Beatrice. Pemikiran tentang sang Putri membuatnya tersenyum. Dahulu sang Putri ternyata bukan orang yang tepat, namun anak perempuannya akan demikian. Wanita itu telah membuat kesalahan manusiawi, menjadi tumbal yang malang. Namun kematiannya akan berguna demi kebaikan yang lebih besar.
Kini, dia telah memiliki kekuatan untuk menghidupkan wanita itu kembali.
Racionel berpuas diri dalam pencapaiannya. Dia pasti akan bisa meyakinkan wanita itu. Dia percaya diri. Semuanya telah direncanakan dengan sempurna.
****
Putra Mahkota menghadang jalannya.
“Yang Mulia,” Suara Permaisuri berubah-ubah antara suara manusia dan iblis sementara api menyelimuti tubuhnya. “Putraku, tak usah mencemaskan apa-apa. Ibumu akan mengurus semuanya.”
Sang Putra Mahkota ternganga menatap ibunya, yang kini tak bisa dikenali.
Sang Permaisuri menghunuskan pedangnya pada pintu yang tertutup. Putra Mahkota bergerak karena kebiasaan. Hal ini sungguh mudah, setelah seumur hidup dilewatkan sebagai seorang squire. Dia menghadang pedang Permaisuri dengan pedangnya sendiri.
“Apa yang kau lakukan?” Mata biru Permaisuri memelototinya dari balik rambut yang acak-acakan. Ketika sang Pangeran tak bergerak, dia tertawa. “Halstead. Berani-beraninya kau.”
“Ibunda, tolong hentikankanlah.”
Amarah Permaisuri mendidih, kemudian mendingin menjadi hawa dingin yang mengerikan. “Kau bukan lagi putraku.”
Halstead tetap tenang dan serius. “Baiklah,” dia berkata. Kalau Ibunda berkata demikian. Tetapi ibunda tetaplah ibuku, dan akan selalu begitu. Kemudian dia mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan membara lainnya.
Baginda Permaisuri, walaupun aku mungkin bukan anak kesayanganmu seperti halnya Pembalasan, aku tetaplah anakmu. Bahkan meski bagimu aku tidak seberarti William ataupun Duke Agung Axias. Bahkan meski aku jarang memanggilmu ibunda.
Permaisuri kembali mengayunkan pedangnya. Lagi, Putra Mahkota menangkis. Percikan api beterbangan.
Aku mengasihanimu. Setulus hati aku berharap bisa menghentikanmu supaya tak ada orang lain yang perlu melawanmu. Sang pangeran memaksa keluar semua gangguan dari benaknya ketika dia menangkis serangan Permaisuri yang berikutnya.
Aversati dan si iblis api membara bersama.
Pedang Halstead bergetar dengan aura pedangnya. Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di telinganya. “Ini terlalu cepat untukmu.” Sebuah tangan mencengkeram sikunya dan memutar tubuhnya menjauh.
Killian melangkah masuk menggantikan tempat adik tirinya, menangkis serangan Permaisuri yang berikutnya.
“Yang Mulia,” Halstead memanggil.
“Mundur, Halstead,” Killian berkata dengan suara rendah.
“Tolong izinkan aku menangani ini.”
Killian mendorong Halstead ke belakangnya dan menyesuaikan genggamannya pada pedang. “Menghentikan Permaisuri adalah takdirku.”
Halstead gemetar. “Yang Mulia.”
Aku tak bisa membiarkanmu menghentikan dia, Killian membatin. Tidak dengan warna rambutmu itu. Dia nyaris menertawai dirinya sendiri.
“Killian!”
Sang Duke Agung berputar dan mengayunkan pedangnya. Senjata itu membelah lantai di antara dirinya dan Putra Mahkota. Sang pangeran menutupi wajahnya, melangkah mundur dengan syok, ketika lantainya bergemuruh dan merekah.
Sementara itu, Killian mengayunkan pedang ke arah yang berlawanan, menuju Permaisuri.
Pedang scimitar permaisuri menghantam pedang Killian dengan suara berdentang. Gelombang kejut menyebar. Lantai di bawah kaki Putra Mahkota pun runtuh, menariknya jatuh, jauh dari pertempuran.
Mata Aversati dipenuhi oleh amarah. Api yang berkobar di sekitar tubuhnya menguat. “Killian.” Dia terdengar gembira.
“Ya, Baginda Permaisuri,” Killian menjawab seraya tersenyum. Kemudian dia membungkuk. “Ini kepala saya. Saya tahu Anda telah mencari-carinya.” Akulah yang ingin kau cari penyelesaiannya.
Lidah api bergoyang-goyang di sekitar mereka seperti para penari. Sang Permaisuri menerjang menembusnya menuju Killian, terbungkus dalam api yang bagaikan jubah. Kecepatan dan kekuatannya semua berasal dari sihir, bukan kemampuan berpedang. Namun benda suci di tubuh Killian meningkatkan refleksnya, jadi dia cukup cepat untuk menangkisnya.
Gelombang kejut lain beriak menembus udara.
“Ugh!” Putra Mahkota kembali terbenam ke dinding. Serangan Killian telah membuka rekahan di tanah. Kini dia terengah, bersandar pada dinding yang berada jauh dari pertempuran di atas.
Dia menyentuh lengan kanannya. Rasa sakit menyengat mengalirinya, di bagian yang tergores ketika dia jatuh. Menggigit bibir bawahnya, Halstead menekan lukanya itu.
Persis pada saat itulah, dia merasakan kehadiran orang lain. Dia menunduk dan melihat seseorang sedang terbaring di ranjang di sebelahnya.
Darah dari luka Halstead menetes-netes pada wajah pria itu yang sedang tak sadarkan diri. Aku ada di mana? Dia tak bisa ingat ruang mana yang terletak di bawah tempat mereka bertempur di dalam istana.
Tiba-tiba, kesadaran itu menerpanya. “Baginda Kaisar?” Dia ternganga melihat sosok kurus si pria beserta cincin rubinya.
Darah merah kental dari luka gores Halstead mengaliri rambut kelabu sang Kaisar, menuju dahinya, dan melewati matanya yang terpejam. Darah itu meninggalkan galur-galur bagai air mata di sepanjang pipinya, seakan sang Kaisar sedang mengalirkan air mata darah.
Napas Halstead tercekat. Kutukannya….
Kemudian sang Putra Mahkota tertawa. Tak mungkin jadi seperti ini; kutukannya tak mungkin jadi sesederhana ini.
Tetapi bagaimana jika hal ini menunjukkan akhir dari kutukannya, secara simbolis? Setelah mempelajari kutukan selama bertahun-tahun, dia tahu bahwa ada banyak cara untuk menafsirkannya. Seringkali hasilnya begitu aneh dan tak disangka-sangka, sulit untuk dipahami.
Dia memikirkan tentang bagian berikutnya dari kutukan itu. Dia harus bertobat dan dimaafkan sepenuh hati oleh anak perempuan Aeulatio. Kalau tidak, dia akan tenggelam dalam air matanya sendiri.
Halstead mendongak. Dia masih bisa mendengar suara pertempuran. Yang lebih dekat lagi, dia mendengar para kesatria dan pendeta berteriak, “Baginda Kaisar!” Dia melihat seseorang memanjat melewati reruntuhan.
Kutukan itu sudah datang. Bahkan jika sekarang dia melepaskannya, ayahandanya telah pergi terlalu jauh, kalah pada iblis mimpi.
Ayahanda harus… harus mati untuk mengakhiri kutukan itu.
Dia tak pernah mengakuinya secara terang-terangan, namun dia hanya merasakan sedikit keterikatan pada ayahandanya. Dia jauh lebih peduli pada Rus – saudaranya, temannya, dan pelayannya. Namun kini, dia melemparkan pedangnya ke samping dan berdiri. Dia mengangkat sang Kaisar ke punggungnya dan berlari.
Anak perempuan Aeulatio, satu-satunya keluarga kerajaan Lamenta yang selamat, ada di sini, saat ini, ketika air mata darah mengaliri wajah Kaisar. Takdir itu sendiri membuatnya tampak sepadan untuk membuat pertaruhan.