Like Wind on A Dry Branch - Chapter 219
SIhir meledak ke segala arah. Ruang terdistorsi setiap kali kedua kekuatan itu bertabrakan. Kekuatan iblis Mordes bercokol dalam tubuh Ferdian dan menampakkan lokasi Racionel.
Racionel menyerah menggunakan kekuatan iblis wabah untuk bersembunyi dan sebagai gantinya memakai kekuatan iblis mimpi. Namun Mordes sudah menunggu hal ini di dalam sub ruang. Dia menyerang, dan sihir mereka pun berbenturan.
Racionel berusaha memuntir ruang dan melompat keluar, amun Mordes terus memegangi targetnya. Mereka muncul dan menghilang secara acak pada ruang dalam kilasan-kilasan cepat.
Bibir atas Racionel melengkung naik. “Kau telah mengotori murid terbaikku.”
“Oh? Kupikir kami melatih dia. Tapi siapa yang peduli.” Mordes menyapukan kuku-kukunya pada Racionel, yang menangkisnya dengan tangan kosong. “Saat ini kau nyaris menjadi chimera. Luar biasa,” ujar si iblis.
Racionel hanya menyunggingkan senyum miring. Dia benci merasa tak berdaya. Tib-tiba, kekuatan iblis di dalam dirinya terasa seperti suatu kecacatan, alih-alih karya Dewa.
Mordes telah memojokkannya.
“Sebelah sini!” Para pendeta petarung akhirnya muncul, setelah bersusah-payah menembus kerumunan yang kabur dari upacara pemberkatan besar.
Namun mereka membeku ketika melihat siapa yang bertarung – Kardinal Racionel dan sesosok iblis mimpi. Tak satu pun dari keduanya yang tampak seperti sekutu mereka. Sementara lebih dari beberapa orang pendeta curiga kalau sang Kardinal telah melakukan perbuatan tidak etis, hanya sedikit yang akan menyerang sesosok iblis tingkat tinggi untuknya.
Tiba-tiba, sebatang tombak suci terbang dari kerumunan. Senjata itu memotong di antara Mordes dan Racionel. Si iblis hampir tak bisa menghindarinya.
“Menurutmu apa yang sedang kau lakukan?” pekik salah seorang pendeta, mengerahkan kekuatan sucinya. “Apa kau akan berpihak pada iblis ini hanya karena sang Kardinal dituduh melakukan tindakan bidah?”
Yang lainnya ragu-ragu.
“Sekarang bantu Kardinal,” si pendeta berseru. “Kalau sang Kardinal memang bersalah, baru kita sidangkan dia nanti!”
Kata-katanya memang benar. Hal itu kedengaran lebih masuk akal. Beberapa orang pendeta mengangguk dan menghimpun kekuatan suci mereka. Yang lainnya terus ragu-ragu, menggalau.
“Berhenti!” Pendeta TInggi Emilai berseru. “Apa kalian tidak mengerti siapa yang perlu kita hentikan? Perhatikanlah kekuatan apa yang sang Kardinal pakai. Itu kekuatan iblis!”
Dengan gugup para pendeta melangkah mundur ketika tongkat Racionel berbenturan dengan senjata Mordes.
“Tentu saja, si iblis memang bertarung dengan kekuatan iblis. Tapi mengapa sang Kardinal memiliki kekuatan yang sama?”
Senjata Racionel menyerang senjata Mordes. “Aku sudah tahu kalau aku akan menghadapi banyak ujian untuk mencapai peringkat Dewa, tapi ini memang penting.”
“Dasar psikopat,” Mordes menghardik. Di sekeliling mereka, dunia mimpi dan kenyataan bercampur. Tiba-tiba orang-orang bisa melihat isi pikiran satu sama lain dan menyaksikan gambaran-gambaran dari ingatan.
Kaki salah seorang pendeta melemas. “Ta-tangkap sang Kardinal! Apa yang sedang direncanakan oleh Racionel?”
Kedua iblis mimpi itu bertabrakan. Semburan sihir nan ganas menerjang para pendeta, yang menutupi wajah mereka dengan lengan baju ketika mereka bertumbangan.
Persis pada saat itulah, energi suci memancar entah dari mana untuk melindungi mereka.
Sebuah suara dari tengah kerumunan berkata, “Saluran air bawah tanah sekarang sudah aman. Tak ada seorang pun yang tersisa di altar, jadi mereka takkan bisa mengorbankan orang-orang itu. Tetapi kita semua yang ada di atas permukaan tanah masih berada dalam bahaya.”
Beberapa orang pendeta mengenali suaranya. “Santa Tania?”
Sang Santa berlumuran tanah dan darah. Beliau tak menutupi mata hitamnya ketika mengangkat tongkatnya. Matanya memantulkan purnama.
Puluhan pemeriksa dan pendeta mengarahkan kekuatan suci pada Racionel atas perintah sang Santa, sementara para kesatria dan prajurit juga mulai mengepung mereka.
Sang Santa menyeka setetes darah dari dagunya dengan punggung tangan.
“Dia itu pelaku bidah!” teriak para pendukung Racionel yang mengamuk. “Santa Tania telah membuat perjanjian dengan iblis. Dia berbohong soal membunuh iblis itu dan berpura-pura menjadi seorang santa. Mereka semua ada di pihak yang sama!”
Namun hanya sedikit orang yang tergoyahkan. Mengendalikan Mordes hanyalah salah satu dari sekian banyak pencapaian sang Santa.
“Kita akan mengadakan sidangnya nanti,” Tania berkata, dan mata kardinal yang memprotes pun berputar ke belakang ketika dirinya roboh.
Pembunuh di belakangnya mengangkat bahu. “Maaf karena sudah mengganggu. Saya rasa dia tak pantas untuk didengarkan.” Serikat Pencuri telah bergabung dalam pertempuran.
Belati-belati yang telah diberkati beterbangan ke arah sang Kardinal. Dengan suara berdebum, sebagian dari istana utama pun roboh dalam kobaran api. Api iblis mengamuk di situ.
Para pendeta ternganga. “Istananya! Baginda Kaisar masih ada di dalam. Juga sang duke agung dan Nona Tristi!”
****
Bobot sang Kaisar hampir tak terasa. Halstead nyaris tak bisa percaya kalau yang digendongnya adalah seorang pria dewasa. Dia merasakan tulang belulang di balik kulit Beliau, nyaris tak ada otot ataupun lemak di antaranya.
Apa Beliau masih hidup? Dia tak yakin.
Apa yang harus kukatakan kepadanya? Dia tak tahu.
Kalau dia memaafkan Beliau, lantas apa yang terjadi? Dia juga tidak yakin soal itu.
Api menjilat-jilat ketika pertempuran antara Killian dan Permaisuri berlanjut. Halstead tak bisa lagi melihat sosok mereka, tapi mereka berdua pasti masih hidup, menilik dari suara dentang dan dentum di kejauhan.
Orang-orang berlari mengelilinginya, menyerukan berbagai hal. “Serang iblisnya – bukan, sang Santa!”
“Serang sang Kardinal!”
“Ini perbuatan bidah.”
“Di mana para tumbalnya?”
“Maling! Kebakaran. Tolong!”
Orang-orang berteriak dan bertemperasan ke segala penjuru, sementara para pendeta dan prajurit meneriakkan perintah. Sebagian besar dari mereka sepertinya tak tahu harus menyerang yang mana.
Beginikah pemandangan dari kiamat? Sang Putra Mahkota berlari secepat yang dia mampu sambil menggendong sang Kaisar.
Di mana dia? Rietta seperti telah menghilang dari muka bumi. Apa dia masih ada di istana? Bagaimana aku akan bisa menemukan dia?
Kemudian dia teringat pada Mahkota Lamenta. Rietta datang untuk mengambilnya kembali. Halstead pun berlari menjauh dari istana yang runtuh, jauh dari pertempuran antara iblis dan pendeta, dan jauh dari pertempuran antara Permaisuri dan mantan Putra Mahkota yang sudah diturunkan dari posisinya.
****
Racionel menggeram. Dia bahkan tak mau repot-repot untuk menatap istana yang terbakar. Sang Permaisuri tidak menyebarkan api, seperti yang dijanjikannya. Aversati. Apa kau sudah kehilangan kendali atau apa kau memang selalu berencana untuk mengkhianati aku?
Permaisuri Aversati seharusnya membantu dia sekarang. Jika semuanya berjalan sesuai dengan rencana, sekarang saluran air bawah tanah semestinya sudah terbakar. Racionel seharusnya berperan dalam menangkap iblis api yang baru saja lahir dan memulai babak akhir dari kisah keagungannya.
“Sejak awal Permaisuri memiliki motif yang berbeda. Salahkulah karena memercayai wanita yang tidak stabil itu.”
Santa Tania. Sang Permaisuri telah jadi cukup malas sampai-sampai membiarkan wanita ini mengacaukan segalanya.
“Kau telah melepaskan semua tumbal Mogila?” Racionel mencengkeram leher Tania dan mendorongnya ke dinding. “Kau tak tahu apa arti dari tumbal-tumbal itu bagiku!”
Urat-urat bertonjolan pada tangan Racionel. Sang Santa tersedak.
“Punya hak apa kau untuk mengganggu?” raungnya.
Belenggu-belenggu suci para pemeriksa membelit pergelangan tangan Racionel. Namun rantai-rantai itu tak bisa bertahan dalam waktu lama. “Apa mereka memintamu untuk melepaskan mereka? Apa mereka memintamu untuk menyelamatkan mereka? Mustahil.”
Sang Santa mencengkeram tangan Racionel dan meminjamkan kekuatan kepada iblisnya. Lidah api menyala di dalam mata Mordes dan cakar-cakar iblis mimpi itu menghujam tubuh Racionel dari belakang.
Sosok Racionel menghilang dalam pencaran titik-titik air, kemudian muncul kembali beberapa kaki dari situ. “Sungguh santa yang sombong. Kau pasti merasa hebat tentang dirimu sendiri. Tapi semua orang itu berjalan memasuki Mogila dengan sukarela. Semua yang telah kau lakukan adalah menghancurkan harapan putus asa mereka.”
Harapan putus asa – ya, benar. Tetapi ‘para sukarelawan’ itu telah melawan mati-matian ketika mereka mengetahui bahwa dirinya ingin mengacaukan upacaranya….
“Tutup mulutmu. Kau itu pembohong yang mengambil keuntungan dari orang-orang yang lemah.” Sang Santa merenggangkan dan memijit lehernya. Dia belum menyembuhkan kepalanya yang berdarah.
Sebaliknya, Racionel tampak tak terluka sedikit pun. Dia memiliki kendali penuh atas energi suci dan iblisnya. Sang Kardinal membentangkan lengannya dan tersenyum. “Tak peduli aku penipu atau bukan, kita akan segera mengetahuinya. Semua dewa dulunya pernah diperlakukan seperti ini, hingga mereka naik ke langit.”
Sang Santa memicingkan matanya. Rencana Racionel semestinya sudah gagal total karena dia telah melepaskan semua tumbal manusianya. Jadi kenapa orang ini tampak begitu santai?
****
Morbidus membuka matanya. Hawa panas si iblis api menggerogoti dinding pelindung si iblis wabah. “Exitius.”
Exitius muncul dengan scimitar raksasa di atas bahunya. “Hei, Pak Tua.” Si iblis api tersenyum, memiringkan kepalanya. Kedua tanduknya telah memanjang, tubuhnya menyala-nyala laksana api neraka.
Morbidus tersenyum miring. “Kau tampak sehat.”
Exitius mengangkat bahu. “Aku bertemu dengan pendonor baru.”
“Senang bersama dia?”
“Sangat. Aku sudah hampir tak ingat lagi pada keluarga kerajaan Lamenta. Inikah sebabnya kenapa kau membuat kontrak dengan manusia?”
Bibir Morbidus melengkung. “Katanya yang manis-manis tidak baik untukmu, tapi kau tak pernah mendengarkan.”
“Kau tahu kan anak muda itu seperti apa.”
“Kau telah melewatkan terlalu banyak waktu di sekitar manusia. Balas dendam tak ada artinya bagi iblis.”
Exitius menancapkan scimitarnya ke tanah dan bersandar pada senjata itu. “Dulu kau terdengar keren ketika mengucapkan hal semacam itu, tapi sekarang tidak lagi. Kekerenan datan dari kekuatan.” Dia mengangguk ke arah luar. “Sudahi saja ceramah membosankan itu dan mari kita bermain, Pak. Aku bisa menjatuhkanmu secara paksa, tapi karena menghormati orang tua, aku akan menunggu. Itulah yang dilakukan oleh pria sejati yang kuat.”
Mata emas Morbidus melengkung dengan senyumnya.
Exitius menatap Rietta. “Kalau kau setuju bergabung denganku di atas panggung, aku janji aku takkan menyentuh pendeta wanitamu yang berharga. Bagaimana menurutmu? Ini bukan kesepakatan yang buruk.”
Morbidus melipat jubahnya dan meletakkannya di bawah kepala Rietta seperti bantal. Dia menempatkan tongkat Beatrice di tangan Rietta. Dia meninggalkan separuh kekuatannya untuk menutupi Rietta. Sisanya, dia akan memakainya untuk menjalankan misi terakhirnya.
Tiruan samar dari dirinya sendiri muncul, duduk di samping Rietta. Seekor kupu-kupu coklat mengepak dari ujung-ujung jemari si tiruan untuk menyorotkan cahaya biru kehijauan di sekeliling Rietta.
Kalau aku gugur, paruh yang ini akan tetap tinggal dan menyelesaikan pekerjaanku. Persis seperti yang telah dilakukan Beatrice. Dia sudah belajar banyak dari Beatrice. Dirinya, juga, telah terpengaruh oleh manusia.
Morbidus menepuk-nepuk kepala Rietta untuk yang terakhir kalinya, tersenyum kepadanya, dan berdiri.
Energi suci bervarna violet memancar dari Rietta. Morbidus menatap, menyadari bahwa Rietta telah mencapai pesan apa pun yang telah ditinggalkan Beatricee untuknya.
Sudah tiba saatnya untuk menjalankan misi terakhir dari Beatrice. Sebilah sabit muncul di tangannya yang terentang. Hantu-hantu dari Lamenta tak bisa lagi dihindari. Kini mereka membebani dirinya, berbisik di telinganya. Kembalikan raja kami….
Aku sudah sangat muak dan lelah pada mereka. Morbidus tersenyum dan berkata, “Beatrice adalah putri terakhir dari Lamenta.”
Hantu-hantu Lamenta itu mendesis.
Esahilde telah berusaha sekuat tenaga untuk tidak mewariskan semua ini kepada Beatrice. Beatrice telah berusaha untuk menghindar dari mewariskannya kepada Rietta. Kini, hantu-hantu itu memelototi Morbidus.
“Esahilde dan Beatrice telah membayar penuh harga yang telah mereka janjikan kepada para iblis,” dia berkata. “Karenanya, tak ada lagi anak perempuan dari Aeulatio.” Dia mengangkat sabitnya dan mengayun.
Dengan suara berdentang, dia menghantam Mahkota Lamenta dengan semua kekuatan yang dipusatkan dalam sabitnya.
****
Di dalam kegelapan, Beatrice berputar menghadap Rietta. “Rietta. Putriku yang manis. Maafkan ibu karena tak bisa tetap tinggal untuk menyaksikanmu tumbuh besar… dan maafkan ibu karena kau akan sendirian dan terluka dalam waktu lama.”