Like Wind on A Dry Branch - Chapter 220
“Yang Mulia, harap jangan masuk. Ini berbahaya!” seru beberapa orang. Para pendeta, mungkin?
Berbahaya? Omong kosong. Saat ini, di mana-mana berbahaya. Sang Putra Mahkota mendorong pintu hingga terbuka, sang Kaisar ada di punggungnya.
Mahkota Lamenta, yang kini merupakan benda suci magis yang berisi kekuatan suci dan juga iblis, retak ketika sang iblis wabah menghantamnya dengan sabit. Semburan energi luar biasa besar meledak dari dalamnya.
Morbidus mengencangkan genggamannya dan menghantam kembali. Gelombang kejut sihir kembali mengguncang seluruh kota.
Waktu, dan juga ruang, kehilangan maknanya.
****
Satu versi Rietta dari masa depan mencengkeram Morbidus yang sekarang. “Buatlah kontrak denganku,” wanita itu berkata. “Aku tak mau kehilangan dirimu dan kau tak bisa bertarung melawan Exitius seorang diri. Dia terlalu kuat.”
Rietta menahan Morbidus, bukan dengan tangannya, melainkan dengan benaknya. “Aku yang akan mengurus konsekuensinya. Aku akan pastikan kau tak bisa melukaiku. Buatlah kontraknya.”
Morbidus teringat pada malam itu, jauh di masa lalu, ketika dia memohon kepada Beatrice. Dia sudah berlutut. “Bawa aku bersamamu. Aku akan mematuhi perintahmu; kau tahu aku tak bisa melakukan apa pun yang bertentangan dengan kehendakmu. Tunggu, Beatrice. Kumohon.”
Dirinya di masa lalu menangis, namun akhirnya dia memahami Beatrice. Dia tahu mengapa Beatrice mendorongnya menjauh dan berjalan menyongsong masa depan yang sudah diramalkan.
“Akan.” Beatrice pernah ingin melindungi dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah lagi membuat kontrak denganmu.”
Morbidus tersenyum tenang. Dia berpikir dirinya telah melindungi Beatrice, namun Beatrice tidak menginginkannya. Beatrice ingin memenuhi misinya. Dia tak tahu berapa lama dan parahnya dia akan menyesal karena mematuhi perintah terakhir Beatrice.
“Hei, Nak.” Morbidus meraih tangan Rietta dan tersenyum. “Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”
Walaupun Morbidus ingin tetap bersama Beatrice, harapan terakhir Beatrice telah menjadi harapannya. Dia tak menginginkan adanya kontrak lagi. Kali ini, dia ingin melindungi, bukan mematuhi – bahkan jika Rietta membencinya karena melakukan hal itu.
****
Tenggelam dalam tidur, Rietta berkeliaran dekat dengan ingatan-ingatan yang hilang tentang anaknya. Menyadari kelemahannya, Oblivious menjangkau ke arahnya.
Sebagian dari kesadaran milik Racionel dan benak tersinkronisasi Ferdian juga masuk. Tongkat di tangannya mulai bersinar.
Semua makhluk itu mulai berkelindan di dalam mimpi Rietta. Si iblis mimpi bersukacita ketika menemukan tuannya yang lama di dalam benaknya. Oblivious mulai membuka ingatan-ingatan lama antara Rietta dan ibunya.
Kau, Morbidus si iblis wabah, harus menepati janjimu dengan Aeulatio, Rietta memerintahkan.
Hari itu, Morbidus sudah tahu kalau dia bisa memilih takdirnya sendiri. Dia bisa kembali pada kontrak yang pernah dibuatnya dengan Aeulatio, ataupun menunaikan harapan terakhir Beatrice.
Setelah kehilangan Beatrice, Morbidus mengalami efek samping sihir yang sangat menyakitkan. Dia telah kehilangan ingatannya dan berkelana selama bertahun-tahun, tak mampu kembali ke neraka. Namun kini semua yang dia lupakan telah kembali.
Akan, kontrak ini akan bekerja ketika aku mati, Beatrice dulu berkata. Aku akan pergi… untukmu. Tolong jagalah Rietta, supaya dia tidak mengikuti jejakku.
Morbidus mengerang. Beatrice, apakah aku tak ada artinya bagimu? Kau tahu bagaimana perasaanku. Bahkan jika kau tak pernah memaafkanku, kupikir kita sudah saling mengenal dengan lebih baik. Apa aku tak pantas mengingat kata-kata terakhirmu?
Morbidus membantu Rietta bukan karena kontrak Aeulatio. Dia bergabung dengan Rietta karena Beatrice.
****
Dalam kegelapan, Rietta menyentuh rambutnya. Kenapa rambutku masih pirang? Rambut kaum Aeulatio seharusnya berubah menjadi hitam begitu mereka memasuki kontrak iblis mereka. Selalu begitulah cara kontraknya bekerja.
Mengapa aku melupakan hal itu hingga saat ini?
Dia telah mengklaim kekuatan ibunya untuk melindungi Axias. Namun tidak semua ingatan ataupun pengetahuannya telah kembali, bahkan setelah dia menghancurkan segelnya. Mengapa?
Hantu-hantu Lamenta juga seharusnya mengganggu dirinya begitu dia menjadi pendeta wanita. Namun, tak satu pun yang muncul. Juga tak ada iblis pribadi Lamenta yang mengunjunginya. Hanya Morbidus.
****
Aku bisa saja mengakhiri semuanya: Lamenta, kontrak-kontraknya, para iblis. Semuanya. Namun masih ada satu hal yang berada di luar kendaliku… kutukan para pendeta wanita. Hantu-hantu Lamenta.
Ibuku telah berusaha untuk membebaskan diri. Kini aku mengerti sebabnya. Kami takkan pernah bebas dari hantu-hantu kami, karena demikianlah seorang pendeta wanita dibuat. Pikiran kami dan pikiran para leluhur kami adalah satu. Beginilah cara kami menjaga Lamenta tetap hidup. Inilah beban sang pendeta wanita.
Tetapi Rietta berbeda. Putriku akan terbebaskan. Aku telah membuat dia seperti itu. Ketika aku mati dan hantu-hantu Lamenta mulai mencekik Rietta….
Beatrice menguburkan wajahnya dalam bahu Morbidus. “Akan, kumohon lakukan kepada Rietta apa yang belum mampu kuselesaikan. Kau akan melihatku lagi, lewat dirinya.”
Morbidus merasakan perintah suci Beatrice mencengkeram benaknya. Kontrak yang tersegel pada tubuhnya berubah jadi merah cerah, memaksanya untuk patuh.
“Omong kosong. Apa kau mengharapkan aku melakukannya?” Morbidus berteriak. “Kau pikir aku akan meninggalkanmu sendiri ketika kontraknya berakhir? Aku akan mengakhiri umat manusia. Bukan cuma orang-orang yang kau cintai, tapi setiap manusia yang hidup!” Tubuhnya berdarah dan dia memekik ketika berusaha melawan perintah itu. Rasanya sungguh menyiksa.
Bahkan ketika dirinya roboh, Morbidus tetap meronta dan melawan. “Aku takkan pernah memaafkanmu!”
Beatrice mengulas senyum sedih kepadanya. Pandangannya mengabur. “Kau tak perlu memaafkan untuk mencintai. Sama sepertiku.”
Putri suci terakhir menyaksikan Morbidus melupakan dirinya, melupakan putrinya, dan pada akhirnya, melupakan takdirnya sendiri. Beatrice mengangkat sebelah tangan sebagai salam perpisahan, kemudian berhenti.
Morbidus pernah memberitahunya agar jangan memberikan permintaan maaf yang tidak akan diterima. Hal yang sama mungkin juga berlaku pada salam perpisahan. Beatrice menatap ke dalam mata Morbidus ketika iblis itu terengah. Sang Putri menatap lurus pada Morbidus hingga saat-saat terakhir.
Begitu Beatrice mati, Morbidus akan terbangun tanpa ingatan tentang dirinya. Ingatan-ingatan itu baru akan kembali ketika Morbidus bertemu lagi dengan Rietta.
Beatrice mengusir iblis pribadinya demi putrinya. Karena pada suatu hari, Rietta akan menghadapi ujian yang sama dengan dirinya. Jika dia tidak mengirim Morbidus pergi saat ini juga, iblis itu akan terbebas ketika dia mati, dan akan melakukan seperti yang telah dijanjikannya, menghancurleburkan dunia untuk membalas dendam.
Demi mencegah hal ini, Beatrice harus melepaskan Morbidus.
Morbidus hancur lebur. Tubuhnya bertebaran menjadi sayap-sayap kupu-kupu hitam kebiruan. Lalu sayap-sayap itu juga berpencaran ke udara yang berkilauan.
Mata emas iblisnya – musuh, cinta, pengkhianat, dan penyelamatnya – menghilang. Dia takkan pernah lagi melihat Morbidus dalam hidup ini. Beatrice telah kehilangan Morbidus selamanya.
Dia berdiri tak bergerak, menatap titik di mana Morbidus tadinya berada selama beberapa menit. Air mata menetes-netes ke dagunya namun tidak menyentuh tanah. Akhirnya, dia menarik napas bergetar dan berbalik untuk menghadapi takdirnya.
Setidaknya dia telah memilih sendiri akhir ini.
****
Racionel menghampiri Rietta, yang sedang duduk di kebun Biara Sevitas. Entah bagaimana kebun ini merupakan bagian dari biara dan juga Kastel Axias sekaligus istana kekaisaran.
“Aku turut berduka atas apa yang telah kau lalui,” dia berkata. “Aku datang untuk menolongmu.”
Ferdian juga menatap Rietta lewat mata Racionel.
Di suatu tempat di sisi jauh kota, Killian mengayunkan pedangnya pada Permaisuri, yang menangkisnya dengan suara berdentang.
Di pihak Exitius, dia menahan sabit Morbidus untuk yang ketiga kalinya, memelotot. “Hei, Pak Tua, bukankah kau ini agak gegabah?”
Mata emas si iblis wabah berkilat. Dia mengabaikan si iblis api dan menghantam Mahkota Lamenta untuk yang keempat kalinya.
****
Santa Tania adalah orang pertama yang menyadari adanya sesuatu yang tidak normal. Para iblis terlahir dari emosi-emosi manusia yang terpusat kuat – rasa sakit, kesedihan, keputuasaan… atau jatuhnya energi suci yang kuat.
Namun upacara pemberkatan besarnya telah dibuat tak berguna, sidangnya telah ditunda –
Tunggu, Sidangnya? Hawa dingin merayap menuruni punggung Santa Tania. Apa yang terjadi ketika seorang paus dipilih? Seberapa kuat pengalihan ingatan pengetahuan suci dari paus yang lama kepada yang baru?
Di mana jenazah Paus Ivasson IV?
Otoritas kepausan tetap berada di dalam jenazahnya hingga pengalihan ingatan itu terjadi. Itulah sebabnya kenapa pemakaman sang Paus yang sesungguhnya tak bisa dilaksanakan hingga setelah Sidang berakhir. Barulah kemudian jenazahnya akan terbebas dari energi suci. Jenazah sang Paus seharusnya ada di dalam istana untuk mempersiapkan….
“Bruder Gilius, di mana Sidang seharusnya berlangsung?” Tania bertanya.
“Ya?” Pendeta Tinggi Gilius tampak kebingungan.
“Di mana jenazah sang Paus?”
Rahang sang Pendeta Tinggi menganga lebar.
Sang Kardinal sudah tinggal selangkah lagi untuk menjadi dewa. Dia tak peduli dengan gelar paus, juga tak lagi membutuhkan pengetahuan sang Paus. Namun dia memang membutuhkan jenazah sang Paus, yang berisi kekuatan suci dalam jumlah luar biasa besar.
Racionel menyeringai dan membentangkan kedua lengannya. Di suatu tempat di dalam istana, bocah pelayan altarnya yang setia menyentuhkan sebatang lilin menyala pada jenazah sang Paus di dalam suatu kamar yang gelap.
Lingkaran sihir di bawah kota mulai bersinar. Semakin besar energi suci yang jatuh, semakin kuat juga iblis yang dipanggilnya. Jenazah suci sang Paus penuh berisi energi yang dikumpulkan dari masa ke masa.
Ketika lidah api iblis menyelimutinya, semburan energi sihir raksasa pun meledak dari dalamnya.
Teriakan mengerikan menggema di seluruh kota, seakan datang dari lubang neraka itu sendiri. Bersamaan dengan suara itu, sesosok iblis api melompat keluar dari jenazah sang Paus.
****
“Lari, Yang Mulia.” Lana telah kembali untuk mencengkeram kedua tangan Beatice. “Anda akan mati kalau tetap berada di sini. Anda bisa lolos asalkan Anda berhasil menerobos ini.”
“Lantas apa yang akan terjadi pada kutukan kita?” Beatrice mendebat. “Kalau aku kabur, siapa yang akan menggantikan tempatku dan menjadi Putri terakhir, yang ditakdirkan untuk mengakhiri Lamenta dalam kobaran api?”
Lana tak bisa menanggapi.
Amarah dan ketidakberdayaan silih berganti di dalam hati Beatrice karena dia selalu melihat hal ini terjadi. “Maka ini akan menjadi takdir putriku,” dia menggumam.
Beatrice menarik tangannya dan berdiri. Lana memucat, namun Beatrice tidak ragu. Lana melangkah ke hadapan Beatrice dan berlutut.
Beatrice berhenti.
“Tak ada alasan untuk tidak mewariskannya kepada putri Anda.” Lana menggelayuti gaunnya, penuh keputusaan. “Tradisinya telah berlanjut selama ribuan tahun. Semua orang lain telah mewariskannya kepada anak-anak mereka. Anda juga bisa melakukannya. Ini bukan takdir yang buruk. Dia akan hidup sebagai pendeta wanita.”
Beatrice menatap wanita berambut hitam yang menggelayuti kakinya. Lana mirip dengan anak bebek yang menempel pada induknya. “Aku akan memaafkan kesalahanmu karena kau adalah manusia. Tapi jangan pernah mengucapkan hal semacam itu pada yang lainnya.”
Bibir Lana bergetar ketika dia menahan air matanya. “Kenapa tidak? Semua orang lain juga melakukannya. Itulah sebabnya mengapa Anda mewarisi kedudukan sebagai pendeta wanita. Ibu Anda telah melakukan hal yang sama. Mengapa Anda tidak bisa?”
Dengan lembut Beatrice membelai punggung Lana. Kemudian dia berkata, dengan suara kaku, “Keluarlah, Lana.”
****
Iblis api yang baru lahir itu meraung. Lingkaran sihir merah terang diaktifkan di sekeliling tempat kelahirannya. Lingkaran itu memusatkan energi dalam jumlah luar biasa besar ke dalam sebilah pedang hitam di dalam pusat lingkaran lain di dekatnya.
Raungan si iblis api beralih menjadi ratapan kesakitan dan amarah yang memilukan.