Like Wind on A Dry Branch - Chapter 221
Semua orang membeku, dari para pendeta yang menyerang Santa Tania dan Mordes hingga mereka yang menyasar Kardinal Racionel. Semua orang bisa merasakan gejolak dari kekuatan suci yang dikotori.
Mereka semua juga merasakan, energi iblis yang meledak sebagai tanggapannya.
Semua pendeta yang ada di pihak sang Kardinal berhenti, tercengang. Mereka menyadari kalau jenazah sang Paus telah ditumbalkan untuk iblis. “Anda sudah tidak waras!” salah satu dari mereka berseru. “Apa yang telah Anda lakukan?”
Kekuatan kepausan telah ditekan selama generasi demi generasi. Kekuatan ini luar biasa besar, disimpan untuk sedikit orang terpilih, satu-satunya sihir suci yang tersisa di dunia. Ini bukan sekedar kekuatan, melainkan juga sejarah yang hidup.
Seorang pendeta tinggi yang lebih tua mengarahkan kekuatan sucinya pada sang Kardinal. “Kau bersekutu dengan iblis!” Tombak-tombak cahaya menghujani dari dirinya, terbang ke arah sang Kardinal.
Semuanya sia-sia. Kadinal Racionel pecah menjadi uap air, terkekeh seperti orang sinting. “Para pengiman tersayang, bersukacitalah. Kurban terakhir telah dipersembahkan di depan buaian Dewa.”
Iblis yang baru lahir itu memekik seperti elang. Tangisannya menggema ke seantero Ibu Kota ketika si iblis merintih, berusaha melepaskan diri dari lingkaran sihirnya.
Si iblis api mengambil bentuk sesosok phoenix, mengepak dan melontarkan api. Namun lingkaran itu terus menyeret turun kekuatannya, ke dalam belati kecil.
“Saksikanlah, waktunya telah tiba,” Kardinal Racionel berseru. “Kalian harus meneteskan air mata kesukacitaan karena menyaksikan saat bersejarah ini. Saksikanlah kelahiran Dewa!”
****
“Rietta. Anak yang malang.” Bagian dari kesadaran Racionel meninggalkan tubuhnya untuk memasuki mimpi Rietta. Dia menatap iba pada Rietta di masa lalu. Kau tidak memilihku, seorang bangsawan biasa. Alih-alih, kau malah jatuh cinta pada Jade. Aku tahu kau tidak benar-benar tertarik kepada Killian. Kau mencintai pria baik hati dan penuh perhatian yang mendedikasikan hidupnya untukmu.”
Racionel memandangi si gadis kecil sedang membuat mahkota bunga di halaman depan biara. Simpati dan kasih berperang di dalam dadanya.
Dia memejamkan matanya. Racionel selalu mampu mengakses ingatan orang, namun berhasil menghindarinya berkat suatu kekuatan tak diketahui dan Rietta juga tak bisa dimasuki berkat kekuatan sucinya.
Ini terasa seperti kilasan khusus akhir hanya untuk dirinya. Bukan dari pikiran Rietta, melainkan Ferdian.
Kini dia sudah memahami sifat Rietta. Tentunya Rietta tidak benar-benar mencintai seorang pria seperti Killian. Dalam ingatan-ingatan itu, dia iri kepada Jade, dan melihat Rietta menderita di tangan Cassarius sungguh mengoyak hatinya. Dia merasakan kebencian Ferdian kepada dirinya sendiri ketika Ferdian kehilangan Rietta di tangan sang duke agung.
Aku seharusnya melindungi Rietta, seperti yang telah Jade minta padaku. Alih-alih, Ferdian malah menghindari Rietta karena rasa bersalah dan penyesalan. Kalau saja dia turun tangan, akankah semuanya berubah? Mungkinkah dia bisa saja menjadi penyelamat Rietta?
Racionel mengingat kembali ingatan terakhir tentang Rietta yang telah Ferdian berikan kepadanya. Di dalamnya, Killian menarik Rietta ke belakang punggungnya dan menampar Ferdian dengan pedang. Setelahnya dia mendengar, Rietta lari dari Killian dan bersembunyi, namun dia tak menemukan ingatan tentang hal itu. Si iblis pasti telah mengotorinya.
Tak menjadi masalah. Ini saja sudah cukup; manusia memang tak berubah.
“Kau mencintai Jade dan bukannya aku, jadi aku menyerah. Tapi seharusnya akulah orang yang menggantikan dia setelah dia meninggal.”
Racionel tersenyum. Ferdian adalah kawan lama Rietta. Dirinya telah menyatu dengan roh Ferdian yang telah dimasuki roh iblis air. Ingatan-ingatan ini adalah miliknya, dan Ferdian juga merupakan bagian dari dirinya. Tidakkah kau melihatnya?
Ferdian dan Racionel bertautan.
Racionel muncul di dalam ruang gelap, di samping lingkaran ritual. Dia mempelajari belati itu sementara si iblis api meronta untuk melawannya. Bahkan dari kejauhan, dia bisa merasakan hawa panas dan kekuatan si iblis memancar, namun kekuatan dari si iblis air melindungi dirinya.
Si iblis api membangkitkan badai ganas, namun Racionel menggerakkan iblis air. Di hadapan hawa dinginnya, si iblis api memekik dan melepaskan energinya.
Racionel menyelimuti dirinya sendiri dengan es dan mengulurkan tangan ke arah belati yang berkilau merah.
****
Ketika mereka bertarung di dalam sub ruang iblis mimpi, Killian merasakan kesadaran sang Permaisuri dalam kilasan-kilasan cepat. Dia familier dengan sihir spiritual, cukup untuk mempertahankan kewarasannya. Sementara itu, sang Permaisuri, membiarkan pikiran-pikirannya beterbangan ke segala arah.
Seorang manusia normal pasti akan sudah menjadi gila, namun obsesi Permaisuri Aversati dengan pembalasan dendam membuatnya tetap sadar. Dia tak punya apa-apa yang bisa dihilangkannya.
Killian mempelajari lebih banyak tentang sang Permaisuri dibandingkan sebelumnya. “Kau tahu kalau Kardinal Racionel adalah Rutenfeld?” dia bertanya.
Sang Permaisuri tersenyum. “Kardinal Racionel bukan Pendeta Tinggi Rutenfeld.” Rutenfeld sudah mati, Permaisuri berpikir. Bagaimana mungkin sang Kardinal adalah dia.
Killian terkekeh. “Begitu ya. Biarkan aku menyusun ulang pertanyaannya.” Dia menangkis pedang Permaisuri dan melangkah mundur cukup jauh untuk bicara. “Apa kau juga berencana untuk membalas dendam kepada Kardinal Racionel?”
Sang Permaisuri menyelimuti dirinya dalam api dan menerjang. “Fokuslah padaku, Duke Agung Axias.” Namun pikiran-pikiran sang Permaisuri mengkhianatinya.
Aku akan membawa semua orang yang ada di Liefheim ke neraka. Tapi jika aku cuma bisa memilih satu korban, maka orang itu adalah kamu.
****
“Morbidus, kau menyukai ibuku?” Rietta di masa lalu bertanya.
Masa depan apa yang akan membuatnya mengajukan pertanyaan semacam itu? Morbidus tersenyum. “Semua iblis menyukaimu dan ibumu.”
“Kau tahu apa yang kubicarakan,” Rietta berkata. “Apa kau mencintai dia?”
“Aku tidak yakin. Kurasa, mau ya atau tidak akan jadi masalah.”
“Apa kau mencintai dia?” Rietta mengulang.
“Aku akan menerapkan hakku untuk diam,” Morbidus menjawab.
“Apa kau pernah berbohong kepadaku, Morbidus?”
Morbidus menundukkan kepalanya.
“Kau tak pernah punya kontrak denganku.”
Si iblis menatap Rietta.
“Morbidus, apa kau membunuh ayahku? Kenapa aku tak pernah terjangkit wabah?”
“Sudah cukup, Rietta.” Morbidus mengernyit. “Kurasa aku tahu apa yang sebenarnya kau tanyakan. Jangan tanyakan. Kau akan menyesalinya. Merupakan ketidakadilan bagi Beatrice kalau kau bertanya.”
“Akan -”
“Kenapa manusia harus….” Morbidus menyeringai. “Kenapa kau harus membuat urusannya jadi begitu ruwet? Ada sebuah jawaban yang jauh lebih sederhana persis di depanmu. Kau adalah pengguna kekuatan suci.” Morbidus menepuk-nepuk kepala Rietta. “Aku peduli padamu, Rietta, walaupun hal itu tidak masuk akal. Aku tak keberatan kalau kau membuat asumsi, jadi aku membiarkanmu salah paham.”
Morbidus membungkuk untuk mencium dahi Rietta. “Aku tidak akan minta maaf. Terima kasih, Rietta.”
“Undangannya palsu,” bisik Killian kepada Rietta beberapa jam yang lalu.
Di suatu tempat di masa depan, Rietta gemetar, mata basahnya melebar. Aku tahu.
****
“Pergilah ke utara untukku. Suatu hari kelak anakku akan menemuimu.”
Suara yang sedih nan pilu berkata, “Aku tidak berada di bawah kontrak. Aku tak punya alasan untuk memenuhi perintahmu.” Suara ini terdengar familier – ini suara Lana.
“Ini bukan perintah. Aku sedang meminta tolong kepadamu,” Beatrice berkata. “Orang-orang sering melakukannya.” Dia menyerahkan tongkat itu kepada Lana. “Di dalamnya aku telah memasukkan pesan untuk putriku. Tolong berikan kepadanya ketika waktunya tiba. Dia akan membutuhkannya.”
Tongkat itu menyimpan sihir Beatrice. Kontrak terakhir Morbidus, juga kata-kata terakhirnya untuk putrinya. Beatrice menyegel sebagian dari pikirannya ke dalam tongkat, sekeping jiwanya. Kepingan itu akan bertindak untuk Beatrice setelah dia mati.
Sementara putri-putri Aeulatio akan berakhir dengan Beatrice, dia perlu memastikan kalau janjinya akan tetap bekerja. Sihir yang telah dia kaitkan ke dalam tongkat ini akan memastikan pekerjaannya terselesaikan. Sihir ini akan memberitahu Rietta apa yang belum bisa dia katakan.
Beatrice telah menyegel semua kekuatannya sehingga Rietta bisa menjalani kehidupan sebagai orang biasa. Namun ini adalah keinginan Beatrice; Rietta mungkin tidak menginginkan kehidupan semacam itu.
Pada hari dia menemukan hantu-hantu Lamenta, Beatrice telah mengubah sihirnya. Dia ingin Rietta mampu melepaskan segelnya kalau dia mau. Begitu Rietta sudah cukup dewasa, seharusnya Rietta akan bisa memutuskan untuk dirinya sendiri.
Beatrice percaya bahwa, tak peduli apa pun yang terjadi, Morbidus akan menjaga Rietta tetap aman.
“Ibu, seberapa banyak yang Ibu tahu tentang apa yang akan terjadi?” Rietta di masa kini bertanya. “Apa Ibu tahu kalau aku akan jatuh cinta kepadanya?”
“Tidak, ibu tak tahu apa-apa,” jawab ingatan lampau Beatrice. “Semua yang ibu ketahui adalah bahwa ibu ingin kau bahagia.”
Rietta dari masa lalu dan Rietta dari masa depan bertumpang tindih pada Rietta dari saat ini. Sekarang ketika dia mengetahui semuanya, dia menatap Beatrice, tertegun.
Wanita muda nan jelita, yang tampak hanya sedikit lebih tua darinya, telah meninggalkan pesan sepenuh hati. Wanita itu menghampiri Rietta, jubah putih terseret di belakang tubuhnya, lalu menangkupkan kedua tangannya ke pipi Rietta. Wajah mereka kian dekat dan dahi mereka bersentuhan.
Sentuhan ibunya terasa hangat di kulitnya. Padahal seharusnya tidak.
“Rietta, bayiku sayang.”
Rietta menggigit bibirnya untuk menahan air matanya. Ibunya sudah lama tiada. Yang ada di hadapannya ini hanyalah jejak dari pikirannya. Tetap saja, Rietta tak mau ibunya melihat dirinya menangis.
Beatrice memejamkan matanya dan tersenyum seakan telah membaca pikiran putrinya. “Maafkan ibu…. Ibu telah meninggalkanmu seorang diri dan menderita,” bisiknya.
Rietta menggelengkan kepalanya. Tidak.. jangan minta maaf. Kumohon. Dia berharap bisa tetap berada di dalam ingatan ini selamanya. Dia membuka paksa matanya dan menatap ibunya, mematri gambaran Beatrice dalam benaknya.
“Ibu kesulitan dengan berbagai kejadian yang berada di luar kendali ibu, tapi ibu menjalani kehidupan yang penuh. Ibu bahagia dengan kehidupan ini. Sekarang kau sedang melihat konsekuensi dari keputusanku, tapi ketahuilah, ibu melakukan ini untuk memberimu kehidupan yang lebih baik. Putriku, tolong jangan berpikir kalau kehidupan ibu dikendalikan oleh orang lain.”
Rietta mengangguk. Air mata mengaliri pipinya.
“Ibu akan menyegel semuanya sehingga kau tak usah menghadapi pilihan-pilihan ini hingga kau sudah cukup dewasa untuk membuat pilihanmu sendiri. Takkan ada iblis yang menemukanmu, juga takkan ada penderitaan ataupun ingatan yang menghantuimu.”
Rietta menggenggam tangan ibunya dan mengangguk. Air matanya menetes-netes di antara jemari Beatrice.
“Pilihan ada di tanganmu. Kau bisa mengambil kembali kekuatan kita jika kau menginginkannya, tapi ibu harap kau tidak akan melakukannya. Jalanilah hidup yang tak ada hubungannya dengan hantu-hantu dari masa lalu.” Beatrice menurunkan tangannya ke bahu Rietta. “Putriku, pilihlah jalanmu sendiri. Kehidupan yang sepenuhnya adalah milikmu.”
Air matanya tak berhenti. Rietta melahap kata-kata ini, diucapkan sembilan belas tahun yang lalu, baru mencapai dirinya sekarang. Bibirnya bergetar. Seketika dia merasakan seluruh cinta Beatrice untuknya, tepat di pusat dadanya.
Dia mencintai Killian, dan dia mengasihani sang Kaisar. Dia berharap untuk melepaskan kutukan itu, namun dia tak bisa memaafkan Kaisar. Masa lalu adalah dasar yang di atasnya masa kini telah dibangun.
“Bu… kurasa aku tak bisa memaafkan Kaisar. Ibu menyuruhku agar hidup bebas dari masa lalu, tapi aku… aku tak bisa memaafkan dia dari dasar hatiku.”
“Ibu tahu kau tak bisa melakukannya.” Beatrice dari masa lalu memeluk putrinya. “Kau tak perlu memaafkannya. Ibu baru saja melakukannya.”
Anak perempuan terakhir dari Aeulatio telah memaafkan Astenfeld. Ketika Beatrice selesai bicara, kutukan itu pun terurai.
Rietta terbangun dari tidur nyenyak.