Like Wind on A Dry Branch - Chapter 224
Ketika sang naga membubung naik ke dalam pandangan, Rietta pun mencengkeram leher naga itu dengan satu tangan dan mengulurkan tangan satunya lagi untuk diraih oleh Killian. Killian berlari untuk mengejarnya, menyambar tangannya persis ketika sang naga membentangkan sayap dan lepas landas.
Rietta menggertakkan giginya dan menahan napasnya, berjuang memegangi Killian hingga Killian bisa meraih sang naga dan mengayunkan diri ke punggungnya di belakang Rietta.
“Naga undead?” Killian bertanya. “Apakah anak dari sang Putri Suci diperbolehkan melakukan ini?”
“Entahlah,” Riettta berseru. Dia memegangi sisik-sisik sang naga dan menatap ke depan. “Bantu aku kalau sampai terjadi masalah.”
Tawa Killian meledak, meski dalam situasi macam itu. Hembusan angin melecutkan rambut mereka ke wajah. Killian memeluk erat punggung Rietta dengan satu tangan dan mengangkat pedangnya dengan tangan satunya lagi.
****
Telah menjadi perdebatan apakah Kedatangan sang Naga untuk yang Kedua Kalinya, karya seorang pelukis tanpa nama, berdasarkan pada kejadian sungguhan atau imajinasi. Mau yang mana pun, penggambarannya yang begitu jelas telah menjadikannya sebuah lukisan klasik yang tak lekang oleh waktu.
****
Kekuatan-kekuatan dari dewa, manusia, dan hewan-hewan magis semuanya terpusat pada sebilah pedang. Aura pedang kebiruan berkilau di sekitarnya, kemudian mulai menghujani laksana petir dari langit. Aura pedang itu menhujani para iblis yang berkumpul di bawah.
Para pendeta petarung dan prajurit melangkah mundur, sementara para prajurit bayaran bergegas membantu siapa pun yang belum evakuasi untuk lari.
Sang naga membuka mulutnya dan meraung. Dunia berubah menjadi putih ketika api sihir sang naga turun pada gerbang neraka.
Lebih banyak lagi iblis yang berlarian keluar lewat gerbang itu, hanya untuk disambut dengan api naga. Sihir memenuhi angkasa ketika sang naga membubung melewati para pendeta, memberi mereka suatu energi misterius.
Untuk sementara sihir pun kembali ke dunia, meningkatkan kekuatan suci para pendeta. Para pendeta mengeluarkan kekuatan penyucian mereka dan mengusir iblis-iblis yang menyerang.
****
Banyak yang menyaksikan ‘sang naga terakhir’. akan tetapi, kredibilitas mereka telah dipertanyakan karena kurangnya bukti penting. Bisa saja seseorang sekedar memproyeksikan ilusi dari hewan mistis ini untuk memperkuat legenda naiknya kekaisaran.
Beberapa orang pada hari itu telah mengalami halusinasi, akibat efek tak disangka-sangka dari beberapa sub ruang iblis mimpi yang saling bertumpang tindih. Mustahil untuk menentukan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Beberapa membuat pernyataan bahwa ada sebanyak dua puluh lima iblis mimpi tingkat tinggi yang hadir pada saat itu. Namun pernyataan paling kredibel sepertinya sekitar tiga atau empat iblis mimpi.
****
Sang naga terbang di antara sub ruang. Rietta melepaskan indera-inderanya hingga batas tertinggi, beresonansi dengan sang naga. Berkat hal itu, dia bisa mengindentifikasi sumber dari beberapa sub ruang itu: Besania, iblis mimpi yang mengendalikan sang Kaisar; Mordes, iblis milik Tania;, Oblivious, mantan iblis mimpi milik ibunya, yang kini mengikat kontrak dengan Racionel; dan satu sumber keempat.
Hantu-hantu Lamenta.
Setelah membebaskan dirinya dari kendali pikiran mereka, Rietta akhirnya bisa melihat kalau mereka adalah para iblis mimpi dari masa kuno. Sama sekali bukan hantu.
Sang naga meluncur di langit. Superposisi dari kegelapan sub ruang merekah lebar di depan sana. Menarik napas dalam-dalam, mereka pun melompat ke dalamnya.
Ini adalah pertempuran yang panjang.
****
Kejadian-kejadian pada hari itu tetap menjadi kejadian misterius pada catatan. Jenazah Paus Ivarsson IV, paus terakhir, lenyap dalam api besar di istana, bersama dengan banyak nyawa lainnya.
Yang jelas adalah bahwa sihir terakhir dan keajaiban terakhir sama-sama terjadi di sana. Dan meski kejadian-kejadian itu tidak secara meyakinkan membuktikan keberadaan dari dewa, beberapa menyatakan bahwa kejadian-kejadian itu memang membuktikan kekuatan dari iblis.
Namun hanya ada saksi mata manusia yang bisa kita andalkan.
****
Kaisar Astenfeld memejamkan matanya dan memikirkan tentang Ariadne. Seumur hidup Beliau telah merindukan permaisurinya itu. Namun, bisakah hal itu disebut sebagai cinta? Beliau telah memberi berkat pada jenazah Ariadne untuk melawan waktu dan memahkotai Ariadne sebagai permaisuri dalam kematiannya. Ariadne tidak akan menginginkan hal itu jika saja dia masih hidup.
Ketika Beliau berkabung, Killian tumbuh dari anak berusia sembilan tahun menjadi pemuda berusia delapan belas tahun.
Namun meski mengetahui bahwa hal itu salah, Kaisar tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Beliau tahu kalau Besania telah memanfaatkan keterikatannya dengan Ariadne. Begitulah bagaimana sang iblis bisa menancapkan cakar pada dirinya. Begitu Besania pergi, akankah Beliau akhirnya bisa melepaskan Ariadne?
Kemudian Astenfeld memikirkan tentang Aversati. Apa yang telah dimulai sebagai hubungan transaksional telah berkembang menjadi rekanan sesungguhnya. Namun hubungan mereka sejak awal sudah salah. Beliau telah menerima Aversati sebagai pasangannya bukan berdasarkan cinta, melainkan untuk melindungi anak-anak Aversati.
Sebagai gilirannya, Aversati telah berjanji untuk tidak akan pernah mendudukkan anak-anaknya di atas tahta. Namun hal itu tidak masuk akal. Anak-anak Aversati juga adalah anak-anak Beliau.
Beliau tahu kalau Aversati telah berusaha melakukan yang terbaik dengan Killian. Wanita itu telah berusaha menyesuaikan diri dengan semua permintaan Kaisar supaya bisa melindungi putranya, dan Aversati juga telah berusaha merawat anaknya.
Tidaklah benar jika sampai akhir terus memanfaatkan Aversati sebagai alat. Tak ada seorang pun yang pantas mendapat perlakuan seperti itu. Walaupun Beliau amat sangat mencintai Ariadne, Ariadne sudah mati. Beliau menyesal karena tidak menerima kenyataan itu lebih cepat dan menjadi suami yang lebih baik bagi istri yang masih hidup.
Dahulu Aversati pernah memiliki hati manusia. Beliau tak bisa menyalahkan siapa pun atas apa yang telah terjadi – bagaimanapun juga Beliau adalah sang Kaisar. Semua ini adalah salahku.
Aversati, istriku. Aku mungkin merasakan hal yang berbeda tentangmu dibandingkan bagaimana perasaanku terhadap Ariadne. Mungkin memang butuh waktu lebih lama, tapi aku sungguh peduli padamu. Astenfeld memejamkan matanya. Andai saja aku bisa menghentikanmu lebih cepat. Ketika berhubungan denganmu, aku selalu terlambat.
****
Iblis api sang Permaisuri membenamkan giginya ke tubuh Racionel. Racionel memekik, bahkan meski tubuhnya langsung sembuh. “Permaisuri, kau gila!”
Sang Permaisuri sudah lepas kendali. Dia dan Ferdian tampaknya sama-sama suda menyerah dalam membedakan kawan dan lawan. Namun Racionel terus bertarung – menembus api, hawa dingin, dan wabah mematikan.
“Lawan aku sebanyak yang kau mau, dasar manusia rendahan!” Dia terengah. “Aku takkan pernah mati. Aku abadi!”
Tetap saja, dia membenci rasa sakitnya. Lidah api si iblis api sungguh menyiksa. Racionel kabur, menghindari serangan-serangan iblis itu. Lebih banyak lagi iblis yang berkerumun di sekelilingnya dan dia mengibas mereka menjauh.
Namun tiap kali dia menjangkau ke arah si iblis air, Ferdian kembali meraih kendali atas dirinya.
“Keparat, kalian para iblis!” Racionel murka bukan kepalang. Pertama-tama dia mengoyak si iblis air lepas dari dirinya. Iblis itu adalah beban terbesarnya. Kemudian dia memaksa keluar si iblis wabah, dan berikutnya iblis mimpi. Iblis mimpi keparat itu telah berhenti mematuhinya setelah bertemu dengan Rietta.
“Aku tak butuh lagi kekuatan-kekuatan iblis menyedihkan ini,” gumamnya. Kini mereka hanyalah gangguan ketika tubuhnya telah menjadi dewa. Dia tak punya alasan untuk mempertahankan lintah-lintah itu.
Racionel menahan rasa sakit yang mengoyak tubuh untuk memisahkan diri dari iblis-iblis yang telah menyatu dengannya. Meski demikian, dia puas dalam kemenangannya. Kini dia abadi. Rasa syok karena kehilangan Rietta sungguh tak tertahankan, namun dia akan baik-baik saja. Dia punya waktu.
Begitu dia sudah membakar habis semuanya, dia bisa bicara lagi dengan wanita itu.
Dia sedang sibuk bertarung dengan iblis-iblisnya ketika dia menyadari bahwa baik iblis api maupun Mordes sudah berhenti mengejarnya. Mereka mungkin kabur dari iblis air Ferdian.
Racionel mengangkat kepalanya untuk mendapati dirinya sendiri berada di dalam ruang yang berpencahayaan benderang. Suatu arus mengalir di sekitarnya. Dia melihat gunung es yang retak, laksana kristal raksasa, melayang melewati serangkaian cahaya aurora nan indah.
Aku ada di mana? Apa Ferdian mengenali tempat ini? Dia tidak mengenalinya. Racionel mengernyit, merasa gelisah. Cahaya sewarna pelangi menari-nari di hadapannya.
Tiba-tiba, dia mulai tertawa. Mengapa dia cemas? Tak ada apa pun yang bisa mengancam seorang abadi. Mungkin ini adalah penyambutannya untuk berada di sisi makhluk-makhluk abadi.
Tempat itu terasa nyaman, hampir menyenangkan. Haruskah aku menjadikan ini sebagai rumah baruku? Mungkin Rietta juga akan menyukainya.
Dengan suara desir lembut, sang naga pun pergi. Ketika sang naga pergi, sub ruangnya pun mulai menghilang.
Racionel kebingungan. Setelah memisahkan dirinya dari iblis mimpi maupun Ferdian, dia tak menyadari kalau dirinya berada di dalam makam di sisi tubuh sang naga. Ketika jalan menuju dunia luar menutup, dia pun terperangkap di dalamnya, selamanya.
****
Jauh di dalam sub ruang, akhirnya Rietta teringat kembali pada apa yang telah hilang darinya. Dia menyadari kenapa Killian mempertaruhkan segalanya untuk membawa dirinya kemari. Rietta memejamkan matanya.
Keadilanmu adalah keadilanku. Aku akan ada untukmu. Aku akan menyembuhkanmu.
Kesatriaku, pikir Rietta. Kau menepati janji itu. Kau sudah menyembuhkanku. Kini semua yang ingin dia lakukan adalah meraih tangan Killian satu kali lagi.
Rietta membuka matanya. Semua ingatannya telah kembali.
Beberapa hal telah berakhir. Selalu demikian. Kini, akhirnya orang-orang akan bisa melanjutkan hidup.
****
Sang Permaisuri telah kehilangan semua akal sehat. Dia telah mengamuk terhadap Killian, Rietta, Morbidus, Ferdian, Racionel, para iblis mimpi, para pendeta, para prajurit, istana kekaisaran, Ibu Kota – semuanya. Dia telah bergabung dengan iblis air dan iblis wabah dalam penghancuran diri.
“Sudah cukup, Ibu!” sang Putra Mahkota berseru. Pemuda itu berputar untuk menghadap ke arah Permaisuri.
Permaisuri menatapnya, linglung. Rambut berombak Halstead berputar-putar dihembus angin musim dingin. Matanya mengabur, namun dia terus memancangkannya pada pemuda itu. “Kau mirip dengan Killian.”
Mungkin hal itu seharusnya tidak mengejutkan. Mereka berdua mirip dengan sang Kaisar. Di dalam diri putranya, Aversati melihat Astenfeld muda.
Satu-satunya putraku yang tersisa mirip dengan Killian. Astenfeld, betapa lucu hal itu?
Dari masa lalu, sebuah suara yang familier berbisik, “Tidak apa-apa, Baginda Permaisuri. Saya senang karena Andalah istri dari ayahanda saya. Tetapi Anda tak perlu menjadi ibu saya. Tak usah paksakan diri Anda. Saya tidak apa-apa.”
Merasakan raungan dari iblis air, perlahan sang Permaisuri mendorong Putra Mahkota menjauh. Waktu seakan merayap di dalam benaknya. Namun sang Putra Mahkota tidak terbelit dengan iblis. Halstead merasakan waktu selayaknya seorang manusia, dalam kecepatan normal.
Halstead merasakan di mana Permaisuri mendorong dirinya, persis sebelum ledakan iblis air mencapai tempat mereka.
Sang Permaisuri mengerjap perlahan. Kemudian dia membentangkan lengannya lebar-lebar kepada si iblis air seakan hendak memeluknya.
“Ibu!” Halstead memekik.
Permaisuri yang sedang terbakar merasakan kelegaan menyejukkan membasuh dirinya. Kesejukan itu memadamkan hawa panasnya, merendamnya dalam hawa dingin. “Racionel? Rutenfeld?” dia bertanya.
Apakah ini air, atau waktu?
Dia mundur selangkah, dan kemudian selangkah lagi. Permukaan keras di bawah kakinya menghilang.
“Aversati!”
Siapa itu? Killian? Atau… Astenfeld? Semuanya terasa tak ada gunanya. Dia merasa seakan dirinya bisa terbang, seolah dia bisa pergi ke mana saja.
“Ibu!” Seseorang mendorong kerumunan dan berlari ke arahnya.
Halstead, apa yang hendak kau lakukan…? Aversati tersenyum. Ditelan dalam lidah api, Aversati roboh ke belakang, jatuh dari menara, dengan iblis air membungkus dirinya.
Killian mengulurkan tangan. “Tak usah memanggil mereka. Aku tak apa-apa. Aku cuma tak mau Gillius membaweliku.”
****
Rietta mengerahkan energi sucinya ke dalam tubuh pemuda itu. “Jangan mati! Kumohon, jangan mati. Kau masih harus menjelaskan banyak hal. Kau harus membayar hutang padaku.”
Namun tubuh Ferdian sudah mendingin, dan bukan cuma karena iblis air. Pemuda itu menaikkan pandangannya pada Rietta.
Killian berdiri di belakang Rietta. Berlumuran darah, dia menekan luka pada dada Ferdian untuk menjaganya tetap hidup. Mereka sama sekali tidak mirip, jadi kenapa aku merasa kalau mereka serupa?
Mengapa kau begitu menyukai Jade dan Rietta, Ferdian?
Entahlah. Mereka tampak indah… bersama.
Gambaran-gambaran tentang kawan-kawan lama kesayangannya bertumpang tindih dengan sosok Killian dan Rietta. Kalian berdua tampak sangat serasi. Dia tersenyum dan menjangkau.
Matanya tetap terbuka. Air mata dari teman yang dahulu amat disayanginya menyakiti pipinya. Dia tidak pantas menerima kematian ini.
“Ferdian.” Seorang pria tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya.
“Jade.” Ferdian balas tersenyum. Dengan pemandangan indah itu di dalam benaknya, pandangannya pun memutih.
****
Beberapa saat kemudian, wanita itu berdiri dari tanah yang dingin dan terhuyung melangkah maju. Sang Permaisuri menaikkan pandangannya ketika dia berjalan ke arah tujuannya. Lidah-lidah api mengikuti langkah kakinya laksana percikan darah, berkobar sejenak lalu kembali padam.
Akhirnya, dia mencapai apa yang dia inginkan. Dia bersimpuh untuk memeluk batu nisan itu.
Dia terbatuk. Darah memerciki batu nisan. Meringkuk di atasnya, dia memiringkan kepala untuk mendongak menatap angkasa. Di antara ranting pepohonan, warna biru terlihat.
Angin berhembus. Terasa nyaman dan sejuk. Hawa panas di dalam tubuhnya mulai memudar.
Memeluk batu nisan mendiang putranya, Aversati memikirkan tentang putranya yang masih hidup. Di penghujung kematian, akhirnya dia memerhatikan kehidupan.
Sejenak kemudian, Permaisuri menghembuskan napas terakhirnya ketika mentari mengecup wajah pucatnya.
****
“Yang Mulia. Rietta!” Para kesatria dan pendeta berlarian ke arah Killian ketika dia berjalan keluar dari hawa panas dan asap yang luar biasa. Dia menggendong Rietta dalam pelukannya.
Rietta mendongakkan kepala dari dada Killian untuk melihat.
“Tidurlah sebentar,” Killian berbisik. Rietta menggumamkan sesuatu. Walaupun di sekelilingnya penuh keramaian dan kepanikan, Killian selalu bisa memahami Rietta. “Tak apa-apa. Semua sudah berakhir.”
Merasa aman dalam dekapan Killian, Rietta pun memejamkan matanya sekali lagi.