Like Wind on A Dry Branch - Chapter 225
Dunia mengetahui tentang semua kejahatan Racionel lewat bukti-bukti yang ditinggalkan oleh Ferdian. Dia meninggalkan bukti bahwa Racionel telah menyebabkan wabah, melakukan percobaan pada anak-anak yatim piatu, dan memiliki hubungan dengan Pendeta Tinggi Rutenfeld.
Semua orang terkejut ketika mengetahui kebenarannya.
Killian melangkah keluar dari ruang rapat, membiarkan pintu berderit menutup di belakangnya.
Rietta menunggu di luar, tampak persis seperti biasanya. Killian menghampirinya tanpa bicara, tersenyum.
Rietta membentangkan lengannya. Killian melingkarkan lengannya pada Rietta dan memberikan kecupan di dahi wanita itu.
Akhirnya Killian juga telah memberi kesaksian tentang kondisi Permaisuri Ariadne yang menjadi mayat hidup dan kejadian lengkap yang telah dia saksikan dua puluh tahun yang lalu. Belakangan, Rietta mendengar bahwa Gilius juga telah memberikan pernyataan, walaupun yang bersangkutan bicara tanpa emosi, tidak memberi alasan.
Walaupun Killian tak pernah menyebut-nyebut nama William atau Salerion, semua orang menyadari kalau cerita tentang Ariadne berhubungan dengan pembunuhan terhadap mereka. Karena tak ada seorang pun yang mau menanyakannya lebih jauh lagi, mereka menyimpan semuanya rapat-rapat.
Setelah pemakaman, Killian mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak pernah berani dia tanyakan kepada Gilius. “Setelah aku pergi, bagaimana kau mengurus pemakaman ibuku?”
Gilius bilang mereka menggelar pemakaman biasa yang spektakuler. Hal itu membuat Killian merasa bodoh karena menunggu selama ini untuk menanyakannya.
Yang mengejutkan, ketika mendengarnya, hal itu tidak memengaruhi dirinya. “Begitu ya,” Killian berkata seraya memalingkan kepalanya.
****
Sang Kaisar secara resmi dinyatakan bebas dari iblis mimpi. Setiap kutukan yang ada pada diri Beliau juga sudah dilepaskan. Beliau mengalami cidera berat namun kini cukup pulih untuk berjalan-jalan berkat sihir penyembuh para pendeta. Yang lebih penting lagi, kini Beliau bisa tetap sadar jauh lebih lama.
Beliau duduk di ranjang pada tempat tinggal sementara yang telah Beliau tinggali semenjak istana dihancurkan. Beliau mendengarkan laporan-laporan dari para pendeta tentang Permaisuri, Putra Mahkota, Racionel, serta kesaksian Killian.
Beliau mendengarkan tanpa bersuara, ekspresinya menampakkan sedikit keterkejutan.
Begitu sudah menyelesaikan laporannya, Pendeta Tinggi Gilius menunggu tanggapan sang Kaisar. Walaupun Beliau tak mengatakan apa-apa, tampak jelas bahwa sang Kaisar kini mendengarkan dengan lebih baik ketimbang yang mampu Beliau dengarkan selama dua puluh tahun.
Akhirnya, sang Kaisar menundukkan kepalanya dengan penuh perenungan. Beliau memijit dahinya, membuka mulutnya, dan kemudian menutupnya kembali. “Gilius,” akhirnya Beliau berkata.
“Ya, Baginda Kaisar?”
Sang Kaisar terkekeh. “Beginikah yang selalu kau rasakan ketika kau terbangun?”
Gilius mengerutkan bibirnya dan menundukkan kepalanya. Sang pendeta tinggi bersyukur pada kemampuannya untuk diam. Dahulu, mereka selalu bekerja dengan kalang kabut setiap kali sang Kaisar terbangun, berusaha menyelesaikan sebanyak mungkin pekerjaan dalam jeda waktu yang singkat itu.
Setelah diam sejenak, sang Kaisar menggumam, “Kepalaku terasa jernih. Sungguh aneh.” Benar – inilah rasanya terbangun. Beliau menghela napas dan memejamkan matanya. Kemudian Beliau mengeluarkan perintah terakhir. “Aku akan mengosongkan tahta untuk Putra Mahkota. Tolong persiapkan semua yang diperlukan.”
Bisakah aku membenci ketika diriku dipenuhi kebencian, berkabung ketika aku merasa sedih, dan merindukan berbagai hal ketika aku merasa terkenang? Bisakah aku memaafkan dan mencintai dan melupakan dan membiarkan semuanya terjadi seperti yang seharusnya?
****
Killian dan Rietta tak lagi ada di tempat ketika Kaisar terbangun pada saat berikutnya. Belum ada hal resmi yang terselesaikan. Mereka masih perlu mengumpulkan kesaksian, terutama tentang yang disebut sebagai kemunculan naga di Ibu Kota.
Para bangsawan mengamuk, menuntut penjelasan. Bagaimana Rietta bisa memanggil makhluk yang sudah punah? Bagaimana dia bisa keluar hidup-hidup dan ada di mana naga itu sekarang? Begitu banyak pertanyaan yang tetap tak ada jawabannya.
Namun Duke Agung Axias tidak akan membiarkan siapa pun menanyai Rietta Tristi. Dia juga melarang para pendeta dan cendekia bicara pada para bangsawan. Sang Kaisar dan Putra Mahkota bisa memanggil sang Duke Agung, namun tidak ada surat, tak peduli sebanyak apa pun jumlahnya, yang akan mendapat tanggapan dari istana.
Sang Kaisar tidak menerima tamu. Sang Putra Mahkota, yang baru belakangan ini mengungkapkan identitas aslinya, juga tidak mengenal banyak bangsawan.
Orang-orang kian gelisah.
“Bisa-bisanya sang duke agung melakukan ini?” seorang bangsawan berkata. “Dia cuma datang dan pergi tanpa menunggu ayahandanya bangun/ setelah apa yang terjadi di Ibu Kota! Lupakan saja tugas sebagai bawahan, dia bahkan tidak memenuhi tugasnya sebagai anak.”
Sang Putra Mahkota tersenyum. “Mereka ada di sini sebagai tamu kita. Mungkin mereka merasa tidak sopan kalau tinggal bersama keluarga yang sedang melalui kesukaran besar.”
“Mereka itu bukan tamu!” bangsawan lainnya memprotes. “Mereka itu -”
Putra Mahkota Halstead memotong dengan seulas senyum kaku. “Beberapa orang telah mengancam akan menuntut dia dengan tuduhan makar. Sang duke agung perlu menyatakan posisinya dengan jelas – dia tak punya minat pada tahta.”
Para bangsawan terdiam. Mereka merasakan suasana hati masam sang Putra Mahkota, walaupun mereka tak bisa memahaminya. Namun ada terlalu banyak orang yang telah dihukum atas tuduhan makar bagi mereka untuk merasa keberatan lebih jauh lagi.
Dengan cepat sang Putra Mahkota naik dan mendapat kekuasaan, memenjarakan semua orang yang bermuslihat melawan dirinya. Taring-taringnya masih terlihat jelas ketika berhubungan dengan Dewan Bangsawan.
****
Santa Tania menyediakan sebuah alasan – kalau hal itu memang bisa disebut sebagai alasan. “Naga undead? Apa yang kau bicarakan? Naga sudah punah ratusan tahun yang lalu.”
“Tapi ada banyak orang yang melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri,” seorang pendeta berkata. “Lantas bisa jadi apa lagi?”
Sang Santa mengangkat bahu. “Halusinasi atau mimpi?” Beliau tidak berkedip sedikit pun bakan ketika para pendeta menyebutkan desas-desus tentang iblis mimpi yang menjaga Beliau. “Bidah lagi?” Beliau bertanya. “Aku ini santa.”
“Iya, tapi… kami cukup yakin kalau kami melihat Mordes sang iblis mimpi, yang semestinya sudah Anda binasakan.”
“Sang Kardinal yang bilang dia Mordes, bukan? Kardinal yang sama dengan yang kita ketahui sebagai pelaku bidah. Lalu mengenai para iblis yah… apa kalian lebih memercayai kata-kata mereka dibanding kata-kataku?”
Para pendeta kewalahan untuk menanggapi. Tak ada seorang pun yang berani menuduh sang Santa telah berbohong secara terang-terangan. Tidak terutama setelah begitu banyak di antara mereka yang mendukung Kardinal Racionel.
Para pendeta itu telah dituduh lalai, gagal mengawasi percobaan Racionel, mengejar tuduhan bidah palsu terhadap orang tak bersalah, dan menghilangkan jenazah sang Paus. Apalagi, Ordo telah berbohong tentang kutukan sang Kaisar.
“Jadi, bagaimana kalian akan membereskan semua kekacauan ini?” tanya sang Santa. Para pendeta menutup rapat mulut mereka. Tania bersandar pada meja. “Aku tanya bagaimana kalian akan membereskan semua kekacauan ini, Bruder sekalian.”
****
Nocturne menyerahkan sepucuk surat kepada Killian. Killian menyeringai dan memanggil Rietta. Rietta selesai memberi air pada Tigris dan menghampiri.
Killian menunjukkan surat itu kepada Rietta. Bersama-sama, mereka membaca tulisan tangan Putra Mahkota, penuh kabar baru tentang sang Santa. Keduanya tersenyum.
Ada begitu banyak hal yang terjadi. Beberapa janji telah ditepati; lainnya dilanggar selamanya.
Dengan suara berdesir, Rietta memungut tumpukan surat tambahan di dekat pintu.
Rietta sayang, aku merindukanmu – Dengan cinta, Nella. Rietta memeriksa nama si pengirim dan kemudian beralih ke amplop berikutnya. Ada begitu banyak surat yang menumpuk.
Namun kedua tangannya membeku ketika melihat nama berikutnya. Anais.
Rietta mengambil surat itu dan membukanya. Meski air mata memenuhi matanya, dia nyaris tertawa membaca komentar jahil kawannya itu. Dia bisa mendengar suara Anais, nyaris seakan temannya itu sedang berbicara di sampingnya.
Aku mendoakan kebahagiaanmu, selalu.
Rietta menarik napas bercampur ingus. Dia mencium surat itu dan berdoa. Aku menyayangimu, Anais. Sebentar lagi aku akan menemuimu.
Tidak semua orang yang menghadapi musim dingin bisa melihat musim semi. Ada banyak kehidupan yang bisa saja lenyap di musim dingin. Namun musim semi selalu datang, dengan satu atau lain cara. Yang selamat perlu saling bersandar dan saling membantu lainnya sembuh.
Kehidupan terus berlanjut.
Rietta berhenti di sebuah ladang pada perjalanan pulangnya ke Kastel Axias. Dia memetik bunga-bunga putih.
Tahun ini ada terlalu banyak orang yang meninggal. Dia berhenti memetiki bunga dan berdiri, menghirup udara yang dingin. Dia memejamkan matanya. Musim semi sedang dalam perjalanan pulangnya. Baru satu tahun berlalu, namun rasanya seakan dia sudah selamanya tinggal di Axias.
Rietta mendongakkan kepalanya ketika hembusan angin menggelitik ranting-ranting pohon di atas kepala. Udara telah menghangat ketika dirinya pergi.
Menariknya, tanah ini terasa seperti rumah. Pria yang ada di sini juga demikian. Rietta tersenyum, teringat bagaimana pada mulanya dia merasa takut pada pria ini. Ini adalah hari yang menyenangkan untuk berkata, “Aku mencintaimu, Yang Mulia.”
Langkah Killian terhenti. Rietta memberinya seulas senyum kecil, kemudian berbalik untuk menatap bunga-bunga liar di dekat situ. Dia terus berjalan seakan tak pernah mengucapkan kata-kata tadi. Cahaya mentari membuat rambutnya berkilauan.
“Killian,” Killian meralat, kemudian memutar Rietta dan menciumnya.
Nocturne kembali dengan membawa surat lain. Killian membaca yang ini sementara Rietta menjajarkan bunga di atas makam Anna dan Anais.
Ingatkah kau, kau pernah berjanji untuk memaafkanku kalau aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah?
“Rietta!” Seorang wanita berambut coklat yang dikuncir ekor kuda melambai dari kejauhan.
“Giselle!” Rietta balas melambai, kegirangan bisa bertemu lagi dengan Giselle.
Ada orang lain yang berdiri di sebelah Giselle. Orang ini pastilah alasan kenapa Giselle tidak berlari untuk menyapa Rietta. Wanita bertubuh pendek itu berbalik untuk menghadap ke arah mereka. Rambut merah keritingnya yang dikuncir ekor kuda mencuat dari bawah bonnet, dan sehelai pita putih panjang menjuntai di bahunya.
Mata Rietta melebar. Kemudian dia melihat sosok lain di antara mereka. Seorang anak kecil yang mengenakan gaun. Gadis itu menatap dirinya, menggenggam tangan Giselle dan Irene.
Mereka masih berada amat jauh. Rietta mencengkeram tangan Killian, menatap anak itu. Ekspresinya membeku. Dia berhenti, demikian halnya juga dengan Killian. Bibirnya membuka, mata biru langitnya melebar.
Aku pasti sedang bermimpi.
Angin berhembus, membuat rambutnya berkibaran. Mulutnya bergerak, namun tak satu pun kata yang keluar. Bibir bawahnya bergetar sementara tangannya terjatuh dari lengan Killian.
Rietta maju setengah langkah dan kemudian setengah langkah lagi. Dia terhuyung seakan sudah lupa cara untuk berjalan. Kemudian setengah langkah menjadi satu langkah penuh, dan kemudian dia mulai berlari.
Tudungnya terlepas. Benaknya serasa kosong, namun instingnya berteriak kepadanya. Anakku. Bayiku. Apa ini mimpi? Ini pasti mimpi. Tapi kuharap aku takkan pernah terbangun.
Rietta berlari cepat menyusuri jalanan. Air mata mengaliri pipinya.
Killian tak menghentikannya. Pria itu menatap rambut pirang platina Rietta yang indah beterbangan dihembus angin. Wajah penuh air mata wanita itu tampak sama memukaunya dengan senyuman yang telah membuatnya jatuh cinta.
Menangis, Rietta melemparkan kedua lengannya untuk memeluk anaknya.
Akhirnya musim semi datang lagi. Matahari menyinari ranting-ranting yang mulai ditumbuhi dedaunan hijau nan lembut serta bunga-bunga putih yang menghiasi ladang. Laksana angin menghembus ranting kering.
TAMAT.