Like Wind on A Dry Branch - Special 4
- Home
- Like Wind on A Dry Branch
- Special 4 - Satu-satunya Permintaan yang Tidak Dikabulkannya (1)
Matahari terbenam di atas kebun bunga. Adel dan Killian menempelkan kepala mereka, duduk di tengah ladang.
“Ayah, di sini. Masukkan tangkainya ke dalam lubang ini.”
Killian berkutat dengan bunga kecil mungil itu.
“Bukan, di sini.”
Killian menyerah. Dia mengerang dan melepas tangkai yang kusut itu. “Tanganku terlalu besar.”
“Biar kucoba.” Adel mengambil tangkai itu dan menjalin bunganya dengan rapi. Dia lalu menyerahkannya kepada Killian. “Ini dia!”
Killian mengambil cincin bunga itu.
Adel melihat sekeliling dan berbisik, “Berikan ini pada Ibu. Jangan bilang padanya kalau aku membantu.” Dia menepuk punggung ayahnya.
Killian menyeringai. “Baiklah, tapi aku akan membayar jasamu.” Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling seperti Adel, kemudian berbisik, “Aku akan mengajarimu cara berpedang. Jangan bilang Ibu kalau aku membantumu.” Dia mengedip.
Adel mengangguk tegas. “Ini antara kita berdua saja!” Kemudian dia mengedip dengan kedua mata.
“Kalian berdua bisik-bisik apa?” Rietta bertanya, mendadak muncul.
Adel tersentak dan bersembunyi di belakang Killian.
“Apa ini rahasia lain lagi?” Rietta tersenyum, lengannya disilangkan.
“Nggak, bukan rahasia.” Adel bersitatap dengan Killian dan memberinya satu kedipan lagi.
Rietta melontarkan tatapan tajam pada putrinya. Killian terkekeh dan meraih Rietta. “Kemarikan tanganmu.”
Rietta meletakkan tangannya ke dalam tangan Killian. Killian menyelipkan cincin bunga itu pada hari Rietta. Rietta memandanginya dengan takjub.
Killian tersenyum. “Untukmu. Aku yang membuatnya.”
Ini cincin yang dibuat dengan cukup baik. Rietta menatapnya dengan kaget. Walaupun Killian memang cekatan dalam membuat kerajinan, pasti sulit membuat cincin ini menilik ukuran tangannya yang besar. Rietta bisa menerka siapa yang pasti sudah membantunya, tapi dia menyimpannya dalam hati. “Wah, kamu yang membuatnya? Halus sekali.”
“Tentu saja aku yang membuatnya.”
“Indah sekali. Kerja bagus.”
Adel mengangkat bahu dengan bangga. Killian melontarkan kedipan cepat ke arahnya dan gadis kecil itu pun memejamkan kedua matanya.
Rietta tak keberatan berpura-pura tak tahu. Dia mendapati kalau rahasia-rahasia mereka menggemaskan. Dia hanya merasa bersyukur karena pria ini suka bermain dengan bunga di kebun bersama putri mereka.
Killian mengayun Adel ke atas bahunya dan berdiri. “Ayo kita pergi, tuan putriku.” Dia mengulurkan tangannya yang lain kepada Rietta. “Dan ratuku.”
Rietta tersenyum dan meraih tangan Killian, masih mengenakan cincin bunga itu. Killian adalah ayah yang sangat baik.
****
“Killian apa kau sudah punya jawabannya?”
“Jawaban apa?” Killian bertanya. Tapi keraguannya yang sepersekian detik itu menampakkan kalau dia sudah tahu apa yang sedang Rietta bicarakan.
Rietta menghadap ke arahnya, berbaring. Killian terus memejamkan matanya seraya bersandar ke bahu Rietta. “Aku sudah bilang, semua yang kubutuhkan adalah dirimu. Apa aku tidak cukup untukmu, Rietta?” Diciumnya bahu Rietta.
Dia telah memberi tanggapan yang sama setiap kali Rietta bertanya. Tetap saja, Rietta ingin merasa yakin. Dia tersenyum dan memainkan rambut Killian. “Seorang suami dan seorang anak itu tidak sama.”
Killian menghela napas dan menarik Rietta ke dadanya. “Kita punya Adel.”
Rietta tersenyum. “Adel sudah cukup besar untuk menjadi kakak.”
“Tapi Killian tidak cukup besar,” Killian menggumam, kini mencium dahi Rietta. “Killian tak mau berbagi dirimu.”
Tawa Rietta meledak, menguburkan wajahnya ke dada Killian. Desah main-main pria itu menggoyangkan rambutnya. “Kau tak mau anak lagi?” Rietta mendorong dirinya menjauh, sekedar cukup untuk mengintip raut wajah Killian. “Anak laki-laki, mungkin, karena kita sudah punya anak perempuan?”
Killian mengamati Rietta lekat-lekat. “Apa ada orang yang menekanmu untuk menghasilkan penerus?”
Rietta menaikkan alisnya. “Apa? Tidak. Mana ada orang yang berani mengatakan hal itu kepada duchess agung Axias sekaligus Kepala Kuil Agung?”
Killian terkekeh.
“Adel bilang dia ingin kakak laki-laki. Hal itu sepertinya tidak mungkin, tapi kupikir kita bisa mencoba adik laki-laki,” Rietta berkata. Rietta menunduk dan menautkan jemari mereka. “Aku ingin melahirkan anakmu. Kau yakin tak menginginkannya?”
Killian menatap ke dalam mata Rietta dan tersenyum hangat. “Aku akan memikirkannya kalau memang itu yang kau inginkan.” Tetapi Rietta tahu apa yang Killian maksudkan.
Senyum Rietta memudar. Killian sudah menolak lagi. Pria itu benar-benar tak menginginkan anak.
Rietta pasti akan menyudahinya saja andai Killian mau mengatakan alasan sebenarnya. Dia bisa menerka kemungkinan kenapa Killian tak mau bilang. Pria itu memiliki masa kanak-kanak yang berat yang berakhir dalam konflik mengerikan. Konflik itu bukan hanya telah memengaruhi kehidupannya tetapi juga kelangsungan seluruh kekaisaran. Killian telah menjadi korban sekaligus pelakunya.
Tetapi jika memang itulah alasannya, mengapa Killian tak mengatakannya saja?
Kemungkinan lainnya adalah Adel. Killian mencintai putrinya itu dari dasar hatinya. Mungkin Killian takut bahwa sebagai putri tirinya, seorang anak kandung bisa saja mengancam status legal Adel. Tetapi cinta Killian lebih kuat dibandingkan dokumen-dokumen legal apa pun.
Kehidupan mereka akan berubah jika dia punya anak lagi, tetapi Adel sudah tahu sebesar apa ayahnya mencintai dirinya.
Rietta meletakkan penanya, mengernyit pada dokumen sensus yang sedang dia kerjakan. Para pendeta telah memberinya daftar semua bayi yang telah diberkati di Kuil Agung hingga sejauh ini. Dia memakai mereka untuk merencanakan berapa banyak makanan yang akan mereka butuhkan selama sepuluh tahun ke depan.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak gelombang imigran pertama menetap di Axias. Semua bayi dari para penduduk baru Axias itu sudah tumbuh besar menjadi anak laki-laki dan perempuan.
Rietta menghela napas. Dia mengira Killian juga akan menginginkan anaknya sendiri. Dia merasa gundah. Apakah cuma dia yang menginginkan anak lagi? Apa Killian memang cuma terlalu mencintai Adel sampai-sampai menyerah untuk memiliki darah dagingnya sendiri?
Mungkin Rietta tidak mempertimbangkan sudut pandang Killian. Tetapi dia takut menanyakan alasan sesungguhnya pada pria itu. Dia takut kalau memang Adel-lah alasannya.
****
“Hmm….” Giselle memuntir-muntir rambutnya setelah mendengarkan masalah Rietta. “Jadi, Tuan terus menghindari pertanyaan soal anak kedua ini, dan kau pikir itu karena Putri Adel? Karena Tuan sangat mencintainya sampai-sampai merasa cemas kalau-kalau anak kandung Beliau mungkin akan mengancamnya?”
Rietta mengangguk dengan was-was. “Benar. Atau… itu tebakanku. Mungkin saja dia tak mau memberitahuku kalau-kalau hal itu membuatku merasa tidak enak.”
Rachel menjulurkan kepalanya ke dalam jendela. “Kurasa bukan begitu. Duke Agung takkan pernah membiarkan siapa pun memperlakukan putri pertamanya dengan buruk hanya karena ada anak lain yang bergabung dalam keluarga. Takkan ada yang berani juga. Mungkin perhatian kepada Putri Adel akan berkurang, tapi ya cuma itu saja.”
Giselle mengangguk. “Aku setuju. Beliau akan mengatakan kepada seluruh dunia bahwa Beliau mencintai setiap anak sama besarnya dan Beliau takkan pernah menoleransi gosip tentang satu pun dari mereka. Kecil kemungkinan kalau Beliau akan menghindari punya anak kedua gara-gara hal itu.”
Rietta menatap mereka. Kata-kata mereka ada benarnya. Tapi kemudian, kenapa Killian sampai menghindari pertanyaannya? Dia pun memutuskan untuk bicara lagi dengan Killian.
****
“Selamat datang, Yang Mulia.” Para pendeta junior di kuil membungkuk kepada sang duke agung.
Killian melompat turun dari punggung Leah dan menyerahkan kekangnya pada pelayan. “Di mana Rietta?” dia bertanya.
“Beliau sedang memimpin pemberkatan di Aula Beatrice. Pelayanannya sebentar lagi selesai.”
Killian mengangguk dan berjalan lurus menuju ruangan itu. Rietta sangat suka melakukan pemberkatan di Aula Beatrice, yang dinamai dengan nama ibunya. Dia bersandar pada langkan di lantai dua sehingga tidak mengganggu pelayanannya, menonton istrinya memberkati orang-orang.
Rietta mengenakan jubah pendeta putih bersih. Cahaya mentari menyorot lewat jendela, membuat busana bersulam emas dan rambut pirang platinanya bersinar. Killian hanya terus memandanginya.
Persis pada saat itulah, wajah Rietta berbinar dengan kegembiraan. Dia membentangkan lengannya dan berjalan menghampiri satu pasangan muda, yang menyerahkan seorang bayi baru lahir di dalam bedongan kepadanya.
Dia menerima bayi itu dalam pelukannya. Setelah menanyakan nama bayi itu, Rietta membuai si bayi dan bersenandung lembut kepadanya, lalu memberi pemberkatan resmi kepada anak itu.
Killian menatap istrinya, sementara Rietta fokus pada anak yang baru lahir itu.
Setelah upacara pemberkatannya berakhir, Rietta menyadari Killian sedang berdiam di posisi belakang. “Killian!” Rietta berlari ke arahnya. “Apa hari ini kau sedang inspeksi? Kukira kau sedang sibuk. Apa yang membuatmu datang kemari? Kau tak bilang kalau kau akan datang.”
Killian tersenyum, bersandar pada bingkai jendela. “Aku cuma merindukanmu.”