Mimizuku And The King of Night - Chapter 1
- Home
- Mimizuku And The King of Night
- Chapter 1 - Mimizuku yang Ingin Mati dan Raja Malam Pembenci Manusia
Mimizuku terbangun karena suara burung-burung yang berkicau di kejauhan. Cahaya memasuki matanya tanpa dikehendaki, dan dia pun mengerjap beberapa kali.
“Apa kamu sudah bangun? Apa kamu sudah bangun? Anak manusia. Gadis manusia.”
Sedikit demi sedikit, sebuah suara mengisi telinganya. Ucapannya terputus-putus, dan sangat sulit untuk dipahami.
Gadis manusia.
Seperti refleks, Mimizuku melonggarkan otot di sekitar mulutnya dan membiarkan sebuah tawa terlolos keluar.
“Aku bukan manusia. Aku Mimizuku,” jawabnya lirih, seakan menanggapi suara dari mimpi.
“Oh.”
Dia lalu mendengar sebuah suara bergemerisik, seperti sayap-sayap kelelawar.
“Apa kamu tidak akan berteriak? Mencengangkan. Aku tahu tingkah laku manusia dengan baik.”
“Berteriak?” Menekankan kedua telapak tangannya ke mata, Mimizuku mengulang kata itu, seperti seekor nuri.
“Karena tidak memekik hanya dari melihatku. Aku memujimu,” suara itu berkata saat Mimizuku mengangkat kepalanya dan menangkap wujud dari si pemilik suara.
Bagaimanapun, jarak di antara si pemilik suara dan mata tiga putih Mimizuku begitu kecil sehingga tubuh makhluk itu tampak lebih besar daripada batang-batang raksasa pepohonan di sekelilingnya. Dia mendapati rona biru kehitaman pada tubuh si makhluk, yang menghalangi seluruh bidang penglihatannya. Makhluk itu memiliki dua buah sayap lurus seperti kelelawar, dan tubuhnya tampak agak mirip dengan manusia. Bagaimanapun batang tubuhnya luar biasa berotot, dan dari kedua sisi tubuh itu mencuat dua buah lengan kurus yang menonjol. Dua tanduk seputih susu mencuat dari dahinya, dan mulutnya terbelah lurus seperti pemecah kacang. Di dalam mulut makhluk itu terdapat satu set gigi yang menguning, yang di antaranya mencuat sebuah lidah merah. Mulutnya yang kemerahan tampak mencolok dengan cukup famboyan. Makhluk itu memiliki surai bagai daun-daun jagung, dan matanya tampak sedemikian rupa sehingga mustahil untuk menentukan arah yang makhluk itu lihat hanya dari memandangnya.
Tentu saja makhluk itu adalah sosok yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Bagaimanapun, Mimizuku tak berpikir kalau makhluk itu begitu menakutkan. Dia tak pernah takut pada apapun sebelumnya.
“… Apa kamu monster?” Mimizuku bertanya, sedikit menelengkan lehernya ke samping.
“Memang,” sosok aneh itu mengangguk, suaranya menggetarkan udara.
Mimizuku, tanpa mengubah sikapnya, bertanya, “Apa kau akan memakanku?”
“Aku takkan memakanmu.” Sebuah jawaban langsung.
“Awww… mengecewakan sekali…,” Mimizuku merengut.
Makhluk cantik yang dia lihat tadi malam takkan memakan dirinya, dan kini monster ini, yang terlihat akan lebih bersedia memakannya, ternyata tak mau melakukannya juga.
“Gadis manusia. Apa kamu ingin dimakan?”
“Ya! Ya, aku mau. Tapi hei! Aku bukan gadis manusia, aku adalah Mimizuku, MI-MI-Zu-Ku.” Dia mengayunkan tangan dan kakinya ke udara seperti seorang anak yang sedang mengamuk, membuat borgol di tangan dan dakinya berguncang dan berdentang. “Kenapa? Kenapa? Kenapa kamu tak mau memakanku?” Mimizuku meninju kulit keras monster itu beberapa kali untuk memprotes. Bagaimanapun, Mimizuku itu lemah, dan si monster tak bergerak sedikit pun. Lalu, makhuk itu melengkungkan punggungnya, dan mendadak mengepak pergi.
“Huh?”
Mimizuku memandangi saat sosok monster itu menjadi kurang lebih seukuran seekor ayam, dan tinggi badan aslinya yang tak seberapa menjadi jelas bagi gadis itu. Si monster mengguncangkan tubuhnya dan, mengepakkan sayapnya, terbang ke angkasa. Dia menunduk menatap Mimizuku sehingga mata mereka bertemu. Percakapan mereka pun berlanjut.
“Ieri di hutan ini tidak pernah memakan manusia. Bahkan saat ini, ketika kamu memintaku untuk memakanmu, aku menolak.” Mimizuku mendadak terdiam. Ieri. Dia pernah mendengar kata itu di suatu tempat sebelumnya. Di suatu tempat jauh di dalam ingatannya, ada manusia-manusia yang juga memanggil para monster sebagai Ieri. Dengan cara bicaranya yang terpatah-patah, si monster tak bisa membuat Mimizuku memahami penjelasannya. Meski Mimizuku tahu kata-katanya, aksen si monster membuat kata-kata itu terdengar oleh Mimizuku seperti kata-kata dari bahasa pada suatu negara yang jauh.
Seperti perkataan yang tak pernah gadis itu dengar sebelumnya.
“Kenapa?”
Karena si monster jauh lebih kecil daripada Mimizuku, tentu saja. Gadis itu mungkin terlalu berlebihan untuk dimakan olehnya. Namun Mimizuku teringat pada monster yang jauh lebih besar yang telah dilihatnya, yang punya ukuran sungguh tepat untuk memangsa seseorang seperti dirinya. Dia pun bertanya kepada monster ini tentang makhluk itu.
“Karena, karena karena. Kamu telah bertemu dengan Raja Malam,” si monster menanggapi, “aku tak bisa berurusan dengan manusia manapun yang telah dilepaskan oleh Raja Malam.”
“Raja Malam?”
“Ya, Raja Malam. Dia yang memiliki mata rembulan, dia adalah penguasa mutlak dari hutan ini.”
Cara bicara monster itu menampakkan penghormatan mendalam terhadap sosok yang dia bicarakan. Mimizuku menengadahkan kepalanya saat mendengar perkataan ini.
“Oh, dia, yang punya mata rembulan yang cantik!” Mimizuku menyeringai sembari bicara. Mata bagaikan rembulan. Tidak salah lagi. Sepasang mata itu berkelip seperti rembualn aslinya. Mimizuku masih bisa mengingatnya.
“Ada apa dengan dia?”
“Dia tak memakanmu?”
“Nggak.”
Tak peduli berapa kali pun Mimizuku telah berkata kepadanya, makhluk itu tak mau memakan dirinya, jadi pada akhirnya dia tertidur pada akar dari sebuah pohon terdekat. Mimizuku bisa tidur dengan baik di antara aroma kotoran dan air yang menguar dari tanah.
“Kalau itu masalahnya, maka di hutan ini, di hutan malam ini, tak ada satu monster pun yang akan membiarkanmu dimakan oleh mereka,” si monster mengumumkan.
“Begitu ya…,” Mimizuku mengangguk. Dia tak terlalu mengerti sebabnya. Bagaimanapun, kalau makhluk besar itu tak mau memakan dirinya, maka tampaknya takkan ada monster lain yang mau melakukannya juga. Tetapi itu buruk. Dia telah melalui begitu banyak kesusahan di sepanjang jalan kemari.
“Baiklah kalau begitu, aku hanya harus dimakan olehnya, entah bagaimana.” Masih tidak stabil dari berjalan, Mimizuku terhuyung maju mundur saat dia berdiri. Namun tampaknya dia telah berbagi wilayah tidurnya dengan beberapa makhluk lain, saat darah di kedua kakinya menggumpal, dan menjadi biru serta mati rasa. Dia terjatuh kembali ke atas akar-akar itu seperti buah yang jatuh dari dahan.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Eh, kupikir aku akan tidur sedikit lebih lama lagi. Kamu tidak keberatan, kan?”
“Itu pilihanmu, tapi….”
Si monster mengepak turun dan berhenti tepat di depan mata Mimizuku.
“Nona muda, kamu itu aneh.”
“Aneh? Mungkin aku memang aneh, tapi jangan panggil aku ‘nona muda’. Namaku Mimizuku….”
“Mimizuku. Itu adalah nama burung malam.”
“Ya, itu benar.”
“Nama yang bagus.”
Mimizuku, jelas tersipu, terkikik pelan. Apa aku pernah merasa segembira ini? Dia berpikir pada dirinya sendiri.
“Tuan Monster, siapa namamu?”
“__*___”
“Huh? Maaf, bisakah kamu mengatakannya lagi?”
“Tidak ada gunanya. Telinga manusia tak bisa menangkap nama Ieri.”
“Nah kalau begitu… bagaimana aku harus memanggilmu?”
“Panggil aku sesukamu. Apakah semua manusia menamai diri mereka sendiri sesuai dengan binatang yang mereka suka?” Si monster menyilangkan tangannya.
“Um….”
Dia bukan manusia, sih, Mimizuku membatin. Gadis itu menimbang-nimbang sebentar, namun tak terlalu mendalam, sebelum memberikan seulas senyum ceria dan berkata, “Baiklah, aku sudah dapat. Bagaimana kalau ‘Kuro’?”
(T/N: Kuro = hitam)
“’Kuro’? Warna malam…,” Kuro mengangguk. Penerimaannya atas nama itu membuat Mimizuku gembira. tersenyum, gadis itu pun menegakkan paruh atas tubuhnya.
“Mimizuku. Rumput menggoresmu dan membuat darahmu mengalir keluar.” Kuro menjangkau dengan tangan kiri bawahnya dan meraba pipi Mimizuku. Mimizuku, tertutup lumpur serta luka, hanya menjawab dengan “Oh, begitukah?” Bila dia menyentuh luka-lukanya, kuman akan masuk dan pasti akan menyebabkan infeksi. Dia tahu sebanyak itu. Tetapi itu tidak apa-apa.
Berpegangan pada cabang terdekat, Kuro berayun ke atas kepala Mimizuku. Aneh; gadis itu tak bisa merasakan bobot Kuro di atas kepalanya sama sekali.
“Mimizuku.”
“Hm?”
“Angka-angka di dahimu, apa itu mantra sihir?”
“Oh, yang itu?” Mimizuku menepuk riang dahinya beberapa kali. Mengintip dari balik poni rambutnya yang kuning kecoklatan, terdapat tiga buah angka.
“Aku nomor tiga ratus tiga puluh dua,” jawab Mimizuku sejujurnya.
“Apa artinya itu?”
“Nomorku.”
“Baiklah. Tapi aku tak mengerti.” Tanggapan Kuro juga jujur.
“Apa kamu marah?”
“Aku tak begitu marah, tidak,” jawab Kuro pelan. Seperti biasa, jantung Mimizuku mulai berdebar lebih kencang.
Apa aku sedang bermimpi? dia berpikir selama sesaat. Sejak awal mula rasanya sungguh aneh. Kata-kata Kuro adalah kata-kata yang tak pernah dia dengar sebelumnya.
Hanya sedikit aneh.
“Hei, Kuro, entah bagaimana ini aneh.”
“Apa yang aneh?”
“Kenapa, kamu begitu baik padaku?” Mimizuku bertanya saat dia melangkah bertelanjang kaki di atas rerumputan dan semak. Kulit pada telapak kakinya telah menjadi lebih keras, bahkan sebuah batu yang runcing takkan bisa menggoresnya.
“Aku baik?” tanggap Kuro sebaliknya.
“Ya! Kamu sangat baik,” ujar Mimizuku, memasang senyum sepenuh hati. Rantai di sekitar pergelangan kakinya terjerat oleh akar-akar pohon, dan pijakannya menjadi goyah.
“Gah!”
Bagaimanapun, wajahnya tak menghantam tanah. Tepat sebelum bertumbukan, sebuah suara ganjil terdengar. Mimizuku, yang menghadap ke depan, memantul seperti pegas, dan membalik ke belakang sedemikian rupa sehingga tampaknya dia akan terjatuh ke arah berlawanan.
“W-w-waah!”
Dia buru-buru mendapatkan keseimbangannya kembali.
Entah bagaimana, dirinya telah diselamatkan. Dia tak terlalu mengerti apa yang telah terjadi, tetapi ada sebuah suara yang terdengar seperti gerungan di telinganya.
“Aku yakin kalau perbuatan semacam itu bisa dianggap sebagai ‘baik’.” Kuro tertawa.
“Barusan tadi, apa itu kamu, Kuro?”
“Aye. Memang benar!”
“Kenapa?” Menghentikan kakinya, mata mengarah ke atas, Mimizuku menatap Kuro. Dia hanya bisa melihat setitik sayap Kuro dalam jangkauan penglihatannya.
“Apa aku butuh alasan? Aku mengerti, manusia ternyata adalah makhluk semacam itu.” Atas kata-kata tersebut, Mimizuku perlahan menggelengkan kepalanya, berhati-hati supaya tidak mengacaukan keseimbangan Kuro.
“Kurasa Mimizuku tak memahami tentang manusia. Aku juga ingin tahu kenapa. Kalau ada suatu cara tertentu di mana seseorang harus menjadi baik, aku ingin mendengarnya.” Mimizuku mendengar suara gerungan itu lagi. Tampaknya itu adalah suara tawa Kuro. Suara itu menyakiti telinganya.
Tiba-tiba mengepak turun dari kepala Mimizuku, Kuro muncul di depan mata gadis itu dan berkata, “Aku ingin pengetahuan.”
“Pengetahuan?”
“Aku ingin tahu segala hal. Tak peduli seberapa banyak pun buku yang kubaca, aku hanya tak bisa memecahkan tentang manusia. Kamu adalah manusia. Karenanya, akan menyenangkanku untuk mengamatimu.” Mimizuku mengerjap tanpa emosi sebanyak beberapa kali dan memikirkan perkataan Kuro.
Bagaimana dia membaca dengan mata seperti itu?
Terserahlah.
Kuro ingin tahu tentang manusia. Mimizuku adalah manusia. Karena aku adalah manusia makanya Kuro bersikap baik padaku.
Mimizuku mengerang saat dia menimbang-nimbang.
Kupikir aku akan berhenti berkata kepada Kuro bahwa aku bukan manusia.
“Kuro! Aku tahu! Aku mengerti! Itu mengejutkan….”
“Hoho. Apa yang telah Mimizuku mengerti?” Kuro bertanya dengan penuh minat, kembali ke kepala Mimizuku.
“Bahkan bila aku adalah manusia, masih ada orang-orang yang akan menerimaku. Sepertinya agak aneh.” Mimizuku berjalan maju. Diangkatnya kaki dalam setiap langkah sehingga belenggu di bawah kakinya takkan tersangkut pada apapun. Dari atas kepalanya terdengarlah suara kepakan bulu-bulu.
“Aku bukan manusia, tetapi… kau sungguh seseorang yang aneh.” Kuro berkata dengan nada merenung dan menimbang-nimbang.
“Ehehe…,” Mimizuku tertawa.
Dia merasa sangat senang.
***
Hutan yang bernama ‘Hutan Malam’ dipenuhi oleh tetumbuhan, dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin membuat hutan itu seakan sedang terisak. terkadang, sebuah suara seperti burung yang mengepakkan sayapnya bisa terdengar, namun ketika Mimizuku menengadah, tak ada keberadaan binatang satu pun yang bisa terlihat. dari kejauhan, Mimizuku berpikir dirinya bisa mendengar suara seseorang sedang bernapas, tetapi dia tak pernah bisa melihat monster lain satu pun di mana pun.
Kuro lah yang dengan sukarela menunjukkan jalan pada Mimizuku, yang bila tidak pasti akan berjalan sendirian. Mimizuku merasakan keterkejutan hebat pada hal ini, tetapi dia tak punya cara untuk mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata.
Dengan kuro bertengger di atas kepalanya, Mimizuku berjalan menyusuri hutan. Rantai di kakinya membuat suara berdenting keras saat dia berjalan.
“Tak ada banyak monster lain di sini, huh….”
Untuk sebuah hutan yang seharusnya sarat dengan monster, ternyata sangat berbeda dengan apa yang telah dia bayangkan. Mimizuku mengesah.
“Itu karena jalan yang kamu ambil,” Kuro berkata dari puncak kepalanya. “Pada siang hari, Ieri biasanya tidak datang ke tepi sungai.”
“Begitu ya….”
Saat Mimizuku berjalan di sepanjang tepian sungai, dirinya berayun ke kanan dan ke kiri. Mendadak, dia berlutut dan mencelupkan tangannya ke dalam air. Merasakan dinginnya air yang mengalir, dia menggosokkan kedua tangannya di dalam air beberapa kali untuk mencucinya. Jalur air di hutan ini mengalir tenang, dan airnya teramat jernih.
Lalu, tanpa menggerakkan kepalanya ke depan, Mimizuku memercikkan air sungai ke kepalanya.
Kuro mengepak mundur dengan panik.
“Mi, Mimizuku!”
“Ahh…”
Mimizuku menaikkan wajah dan poninya yang basah.
“Oh, maaf Kuro,” kata Mimizuku datar sembari menyeka mulutnya dengan sapuan kasar. “Uugh, mukaku sakit!” Mimizuku memberengut.
“Apa? Tapi apa kau tak meminum airnya?”
“Ya, aku meminumnya.”
“Kalau airnya mengenai luka-lukamu, mungkin akan lebih baik bila mengeluarkannya.”
Mimizuku lalu menatap tajam pada tangannya sendiri. Tangan itu menggantung karena otot-otot yang telah lemah, dan masih berkilau basah karena dicuci.
“Hm?”
Dia memijit dan melepasnya beberapa kali.
“Ya….”
Sedikit memiringkan lehernya ke samping, Mimizuku mendadak berdiri.
“Baiklah! Kuro! Ayo pergi!”
Muro menggumamkan persetujuan dan terbang kembali ke puncak kepala Mimizuku. Tampaknya telah melupakan apa yang baru saja mereka bicarakan, Mimizuku mulai bicara tentang sesuatu yang lain.
“Jadi, di mana sang ‘Raja Malam’?”
“Lurus ke arah sini….”
Kuro mendesirkan sayapnya dan menatap Mimizuku.
“Apa kamu benar-benar ingin pergi kepadanya, Mimizuku?”
“Apa aku benar-benar apa?” sahut Mimizuku, tak memahami Kuro sama sekali.
“Kamu pernah bilang kalau dia telah menyuruhmu untuk pergi. Kalau kamu menampakkan dirimu di hadapannya lagi, kamu tak bisa lagi menganggap dirimu masih hidup. Saat kamu memantik amarahnya, kamu mungkin akan diubahnya menjadi abu dalam sekejap, atau dilarutkan ke dalam air.”
“Dapatkah aku dimakan?”
Cahaya memenuhi mata tiga putih Mimizuku yang keruh, dia sungguh berharap dirinya akan dimakan.
Kuro menatap gadis itu tanpa bergerak selama sesaat, dan kemudian menaikkan tangan kanan atasnya.
“Itu pilihanmu. Kalau memang itu yang kamu inginkan, maka kamu boleh pergi, Mimizuku. Bila kesempatannya tiba. Bila takdir mengizinkannya, bila dunia mengizinkannya, mungkin juga kita bisa bertemu lagi.”
“Apa kamu tidak ikut pergi, Kuro?”
Kuro tertawa atas pertanyaan Mimizuku.
“Aku tidak dipanggil.”
Jadi begitukah cara kerjanya? Mimizuku membatin. Mungkin begitu.
Jadi Kuro tak bisa pergi bila dirinya tak dipanggil. Kurasa aku tahu apa maksudnya. Mimizuku tersenyum.
“Nah kalau begitu, aku akan pergi.”
Hutan pun membuka mulut hijaunya yang menganga. Bagaimanapun, Mimizuku tak menganggap hal itu menakutkan. Seorang diri, dia Melangkah maju ke dalam hutan.
***
Meninggalkan Kuro di belakang, Mimizuku melaju ke dalam hutan tanpa ragu-ragu, belenggunya berdenting saat dia bergerak. Dia tak merasa ciut meski Kuro tak menemaninya lagi. Lagipula, dia telah menempuh perjalanan panjang menuju hutan sendirian. Sepanjang waktu itu, Mimizuku berharap dirinya sendirian.
Dia berjalan maju, mendentingkan belenggunya. saat dia tiba di sebuah tembok dari sulur-sulur yang terjalin di sekitar pepohonan, dia pun memaksakan jalannya menembus sulur-sulur itu dan mendadak tiba di sebuah tempat terbuka yang luas.
“Waah…,” Mimizuku menyeru tanpa sadar.
Di tengah-tengah hutan, terdapat sebuah bangunan besar yang sudah runtuh. Bagaimanapun, bukan itu yang mencuri perhatian Mimizuku. di depan pintunya terdapat sebuah sayap hitam pekat, lebih halus dan lebih indah daripada sayap gagak. Dengan gerakan santai, sayap itu berayun ke depan.
Di sana, Mimizuku berhadapan dengan Raja Malam untuk pertama kalinya.
Berkas-berkas cahaya mentari menembus celah-celah dedaunan hijau untuk menampakkan bentuk dari monster yang disebut ‘Raja’.
Mimizuku mendengking tanpa sadar. Giginya bergemeletuk pelan dan tubuhnya merinding seakan telah membatu. Itu bukan rasa takut. Itu bukan keraguan. Dia tak mengenal hal-hal itu. Jalur syaraf di otaknya telah lama disusun ulang atas perasaan-perasaan itu.
“Ah….” Membuka mulutnya separuh jalan, tak mampu mengutarakan sepatah kata pun, dia hanya mengeluarkan sebuah suara kecil.
“Ah….”
Apa yang kukatakan? Apa yang harus kukatakan?
Itu benar. Aku harus meminta dia memakanku.
DIa haris mengucapkannya.
“Kenapa kau datang?”
Bibir tipis sang Raja Malam nyaris tak bergerak saat dia mengutarakan kata-kata dinginnya. Suaranya tegas dan tajam, bagaikan belati yang terhunus.
Ditatap oleh sepasang mata itu, dengan sorotan yang pasti akan membekukan manusia normal manapun dengan terror, Mimizuku hanya menerima sedikit sentakan rasa kaget.
Ohhh?
Mata itu berkilauan.
Warnanya perak.
Sama seperti rembulan-rembulan dari malam sebelumnya, sepasang mata sang Raja Malam kini berkilau dengan warna putih keperakan.
Warna rembulan, Mimizuku membatin. Warna rembulan, di siang hari.
Mata itu berbeda dengan yang dia ingat, tetapi bedanya tak terlalu banyak sampai dia bisa salah menyangkanya sebagai sesuatu yang lain. Di hadapannya jelas-jelas terdapat dua buah rembulan kecil, berkilau dengan cahaya yang sama dengan sebelumnya.
“Cantik sekali….”
Mimizuku mendesah pelan. Mendengarnya, sang Raja Malam merengut tidak senang. Pola-pola rumit seperti tato memanjang dari matanya ke pipinya.
Cantiknya, pikir Mimizuku.
“Pergi. Kembalilah ke tempatmu sendiri. Gadis manusia.” Kata-kata sang Raja Malam menampakkan niatan membunuh.
Meski demikian, Mimizuku tak ragu-ragu dalam jawabannya.
“Aku tak punya tempat untukku kembali,” ujarnya lantang. Tak ada yang pernah meninggikan suara saat berhadapan dengan Raja Malam sebelumnya.
“Aku tak punya tempat untukku kembali. Dari awal mula, aku tak pernah punya tempat yang bisa kusebut sebagai rumah…!”
Karena mereka akan memukul dirinya. Karena mereka takkan melakukan apa-apa terhadapnya selain membuatnya kesakitan. Mimizuku sungguh tak ingin memikirkan tempat itu sebagai rumah.
Mimizuku ingin berpikir bahwa akan lebih baik kembali ke tempat manapun kecuali ke sana.
“Hei! Jangan sebut aku manusia! Aku adalah Mimizuku! Namaku Mimizuku!” Dia meneriakkannya sampai-sampai dirinya menjadi pusing. Sekarang dia sudah terbiasa atas hal itu, tetapi dirinya merasa goyah.
Lututnya menyerah, dan dia pun jatuh berlutut di tanah.
“Hei, makanlah aku.”
Penglihatannya mulai menjadi kelabu. Apa aku harus tidur? dia berpikir. Dia ingin terus memohon kepada sang Raja untuk memakan dirinya, namun tubuhnya tak mau berlaku seperti yang telah dia perintahkan. Aku harus tidur.
Tubuhmu telah banyak menderita, dan kau harus tidur. Ada seseorang yang bicara kepadanya.
Ooooh…. Ini aneh….Kuharap aku bisa minum air….
“Kumohon… makanlah aku…. Raja… Malam….”
Mimizuku jatuh terlentang di atas rumput, tangan terjulur ke depan. Kedua rembulan tengah hari menatap ke arahnya.
“Kumohon padamu… tolong makanlah aku….”
Belenggu di lengannya menjadi semakin berat, dan lengannya pun terjatuh ke tanah.
Oh, rembulan-rembulan putih itu, mata sang Raja Malam sangat indah, itulah semua yang bisa dipikirkan oleh Mimizuku saat rasa kantuk yang membuat dia merasa seakan terbenam ke dalam rawa menerpanya. Dia pun menutup kelopak matanya.
Tidak… aku ingin membuka mataku kembali, pikir Mimizuku, kesadarannya memudar. sungguh ganjil. Kapanpun dia tidur, biasanya dia akan berharap bahwa dirinya takkan pernah terbangun kembali.
Kalau saja aku bisa melihat kedua rembulan itu sekali lagi, aku tak peduli apakah aku akan bisa membuka mataku lagi.
***
merasa seakan seseorang sedang memanggil namanya, Mimizuku perlahan mengangkat kelopak matanya.
Langit telah memerah oleh matahari terbenam. Begitu dia berhasil menyusun benaknya, seseuatu datang mengepak turun dari atas.
“Gyah!”
Tanpa berpikir Mimizuku berkuak seperti katak.
Mengangkat tubuh bagian atasnya, dia menatap benda yang datang dari angkasa. Saat melihatnya, matanya nyaris melompat keluar secara harafiah.
Ada sulur-sulur cokelat dan sulur-sulur bunga morning glory di antara buah-buahan segar lain yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Kesemuanya jatuh bagai gunung yang runtuh dari langit di hadapan Mimizuku.
Mimizuku menganga dan menatap ke atas. Mengepak di hadapannya berlatarbelakangkan langit merah adalah Kuro. Makhluk berada pada jarak di mana dia kelihatan cukup besar sehingga bisa dipeluk Mimizuku dengan mudah.
“Kuro!” Mimizuku bersorak. Gadis itu lalu berusaha menggerakkan lengannya, namun dilanda oleh perasaan membingungkan.
“Eh, ah, apa ini?” Mimizuku bertanya kepada Kuro, menunjuk pada buah-buahan yang mengubur dirinya.
“Kenapa, ya itu tepat seperti yang terlihat.”
Kuro melemparkan seekor ikan hidup dengan kedua lengan atasnya, memotong ekor ikan itu sehingga seukuran dengan dirinya, lalu memasukkan ikan itu ke dalam mulutnya yang seperti delima. Dia menelan ikan itu bulat-bulat, dan kemudian dia bicara.
“Mungkin kamu lapar? Mimizuku.”
“Eh, eh, eh?”
Mimizuku luar biasa bingung.
“Hm? Apa ini… punyaku?” Dia menunjuk buah-buahannya.
“Ya. Aku ingin tahu apakah manusia bisa memakan ikan?” Kuro melayang turun ke sisi Mimizuku, meraih sebuah ranting pohon, dan memakainya untuk menombak seekor ikan.
Kuro menggambar beberapa buah lingkaran di udara dengan ranting itu dalam gaya menakjubkan, dan mendadak ikan itu pun diselimuti api. Mimizuku terperanjat dan tercengang, namun tak lama kemudian apinya menjadi lebih tenang, dan aroma lezat pun mulai menguar di udara. Anehnya, ranting pohon itu tak terlihat hangus sedikit pun. Melihat hasilnya, Kuro mengangguk, puas.
“Nih.” Dia menyerahkan ikannya kepada Mimizuku.
“H-huh?”
Mimizuku menerimanya dengan penuh syukur. bagaimanapun, Mimizuku tak mampu mencerna apa yang terjadi secara keseluruhan, dan tampaknya dia masih berada dalam kondisi seperti sedang bermimpi. Meski tak mengerti, dia tetap mendekatkan ikannya ke mulut. instingnya mengambil alih, dan dengan rakus dia pun memakannya. Bagian dalam ikannya masih agak mentah, tetapi rasanya tak menjadi masalah bagi Mimizuku. Apapun yang bisa dia makan sudah cukup bagus untuknya.
Apa aku pernah memakan sesuatu seperti ini sebelumnya? Pemikiran itu tampaknya melanda di bagian belakang kepalanya.
“Katakan satu hal, Mimizuku. Apakah seekor ikan mati tak berusaha untuk kabur?” Kuro bertanya, sayapnya bergemirisik. Mimizuku mendengarkan saat dia memakan seluruh ikannya, sampai ke mata ikan itu juga, menggiling dagingnya menjadi serpihan di dalam mulutnya.
“Hei, Kuro. Kenapa kamu ada di sini?” Mimizuku menatap sekeliling wilayah itu. DIa masih berada di depan kediaman Raja Malam. Sang Raja sendiri, bagaimanapun juga, sudah pergi entah ke mana, karena Mimizuku tak bisa melihat dia di mana pun.
“Hmph,” Kuro menanggapi. Dia menyilangkan kedua lengan atasnya. “Aku juga sukar mengatakannya.”
DIa lalu terbang kembali ke udara dan mengetuk kepala Mimizuku.
“Takdir telah memberimu jalan pergi. Apakah pendaran malam lah yang telah membuatmu berhasil? Memang, itu sulit untuk dikatakan. Itulah sebabnya aku harus bertanya kepadamu, Mimizuku.”
Mimizuku mengerjap beberapa kali.
“Tanpa memotong kematian, apakah kamu ingin tetap di sini? Mimizuku.”
“Eh, Apa sungguh tidak apa-apa kalau aku tinggal?” Mimizuku berkata dengan suara keras dan girang. “Hei, Kuro! Apa benar tidak apa-apa bila aku tinggal?”
“Aku takkan menjanjikan sesuatu yang bagus dari itu. Kau mungkin akan terbunuh besok. Apa kau tak keberatan dengan itu?”
Mimizuku tersenyum pada perkataan Kuro dan kembali terduduk ke tanah.
Setelah memakan begitu banyak makanan dengan sangat cepat, perutnya mulai terasa sakit.
“Kamu tahu, Kuro….” Mimizuku tersenyum dan mengulurkan tangannya. Belenggunya berdentang seakan menyanyi.
“Satu-satunya kebahagiaanku akan datang dari dimakan oleh sang Raja Malam,” ujar Mimizuku, terkekeh senang.
Dan kemudian, Mimizuku yang ingin mati pun mendesah pelan.
“Ah, aku bisa mati dengan gembira seperti itu.”
Mimizuku tersenyum.
“Hmph.” Kuro mengangguk samar. “Kamu itu cukup menyedihkan,” dia mendesah.
Mimizuku tak memahami kata-katanya, jadi gadis itu hanya tertawa sambil lalu. “Hei, Kuro.”
“Apa? Mimizuku.”
“Sang Raja Malam itu cantik, ya?” ujar Mimizuku riang.
Kuro tak yakin bagaimana harus menanggapinya.
“Tentu saja. bagaimanapun dia itu kan raja.”
Mimizuku terkekeh lagi atas kata-kata Kuro.
TIrai malam menyebar di atas hutan para monster.
Oh, mata sang Raja Malam telah berubah menjadi emas, pikir Mimizuku sekonyong-konyong, mengarahkan matanya ke langit.
Jadi seperti ini rasanya kebahagiaan.