Mimizuku And The King of Night - Chapter 3
Bila seseorang mendorong pelan pintu kediaman yang sudah lapuk itu, pintu pun akan berderit terbuka dan mendorong siapapun yang dipanggil untuk masuk.
Kediaman itu luar biasa besar. Cahaya di langit-langitnya tertutup, membuat sisa areanya berselimut dalam kegelapan. Ruangannya berbau pepohonan tua yang kering.
Mimizuku berputar ke sekeliling, menatap sekitarnya, dan kemudian mulai memanjat naik anak-anak tangga yang berderak.
Dia menyusurkan ujung jemarinya pada susuran tangga dalam kegelapan namun tak merasakan sedikit pun sensasi kasar dari debu, meski susuran itu sepertinya sudah cukup tua untuk membusuk sepenuhnya.
Tibalah dia di puncak tangga. Di ujung lorong yang memanjang terdapat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Cahaya benderang menerobos keluar dari bukaan itu. Seakan ditarik, Mimizuku menghampiri pintu itu dan mengayunkannya hingga terbuka.
“Waaah….”
Napas Mimizuku tercuri darinya karena apa yang dia lihat.
Sebuah jendela besar terpampang di hadapannya.
Cahaya di dalam ruangan ini sama sekali tidak seimbang dengan keseluruhan Hutan Malam di luarnya.
Cahaya bersinar pada dinding, yang menampakkan sebuah lukisan raksasa. Dengan latar belakang sebagian besarnya terdiri dari warna hijau dan biru, lukisan itu adalah gambaran Hutan Malam. Lukisan itu teramat tidak realistis, namun hanya dengan sekali lihat sudah akan membuat orang mengenalinya sebagai mahakarya. Entah bagaimana, entah bagaimana, lukisan raksasa ini indah.
Ini dia.
seakan telah menerima pencerahan, Mimizuku mendadak mengerti.
Semua ini adalah sejauh yang bisa dilihat Fukurou.
Betapa indahnya. Betapa tenangnya, sebuah kesunyian yang mutlak. Tak peduli ke arah mana pun menatap, dunia yang bisa dilihat oleh Fukurou begitu indah. Ini bukan kali pertama Mimizuku pernah melihat mahakarya semacam ini. Dahulu saat Mimizuku masih berada di ‘desa’, ada sebuah mahakarya di antara benda-benda yang dijarah oleh warga desa. ‘Desa’ itu adalah desa para perampok.
Bagaimanapun, lukisan itu berbeda dengan yang lainnya, karena lukisan itu mutlak lebih indah. Apapun bahan yang dipakai untuk melukis, ada kilauan aneh di dalamnya. bahan-bahan itu membuat lukisannya seakan hidup.
Mimizuku mengulurkan tangannya tanpa berpikir.
Tepat sebelum jemarinya menyentuh dengan permukaan lukisan,
“Jangan disentuh.”
Kata-kata itu seakan menusuk tubuh Mimizuku seperti belati. Bahunya merinding, dan dia pun berbalik. Fukurou berdiri di hadapannya.
“Ah….”
“Apa yang kamu lakukan?”
Fukurou tak berusaha menutupi amarahnya.
Tulang belakang Mimizuku gemetar di luar keinginannya. Ini adalah rasa takut yang dihasilkan oleh insting, sesuatu yang sudah dia ketahui sebelum dirinya dilahirkan.
Bagaimanapun, Mimizuku menganggapnya tidak penting. Dia tak lagi takut pada apapun.
“Lukisan itu, cantik,” ujarnya ringkas. Meski Fukurou marah, tidak masalah.
Lagipula, bila Fukurou membunuh dan memangsa dirinya, itu tidak apa-apa.
Fukurou maju selangkah ke arah Mimizuku, tak bersuara saat dia menggerakkan kakinya. lalu, dia mengulurkan tangannya seolah hendak mencengkeram kepala Mimizuku.
Kalau aku mati, kuharap tak ada sisa dari diriku yang tertinggal.
Mimizuku memejamkan matanya. Seakan ada banyak lentera putar yang mendadak berhenti bergerak, Mimizuku terjatuh dalam kegelapan mutlak, dan kesadarannya pun menyelinap pergi tanpa bersuara.
***
Tubuh terasa berat dan tidak nyaman, Mimizuku mengangkat kelopak matanya. Apakah dia terbangun karena merasa begitu berat, ataukan dia merasa berat karena dirinya baru saja terbangun. Ketika dia membuka matanya, Kuro sedang menatap balik ke arahnya, sosok makhluk itu tampak besar karena jaraknya. Matanya bersirobok dengan Kuro, yang tampak nyaris memeluknya. Di belakang Kuro terdapat bentangan warna hijau dari hutan yang sama. Kediaman Fukurou tak lagi ada di sana.
“Apa kamu sudha bangun, mimizuku?”
“Kuro?”
Mimizuku mengulurkan tangannya, membelai sisi kulit halus Kuro.
“Mimizuku… masih hidup?”
“Itu benar, iya kan?”
“Dia masih tak mau memakanmu?”
“… Kelihatannya begitu.”
Mimizuku menggigit bibirnya. Tak ada gunanya lagi. Dirinya dipenuhi oleh pikiran menyesal dan ketidakberdayaan. Bagaimanapun, bukan hanya itu yang dia rasakan.
Dia mengangkat tubuhnya dan duduk.
“Kuro, aku melihat lukisan Fukurou.”
“Begitukah?”
“Lukisannya indah.”
“Begitukah?”
Itu benar, lukisannya indah. Indahnya tak terbayangkan.
“Tentang lukisan sang Raja…. Hal yang paling indah adalah saat dia melukis dengan dengan warna merah,” ujar Kuro, menampakkan momen keraguan yang langka.
“Merah? Tetapi dia tak punya itu. Tak ada warna merah pada lukisannya.”
Mimizuku bisa mengingat lukisannya dengan jelas. Lukisan itu sarat dengan warna-warna hijau dan biru yang indah. Lukisan itu tampak seperti hutan yang tak pernah berubah. Tetapi bagaimana dengan mentari terbenam? Mimizuku membatin.
Kuro mengangguk.
“Ya…. Warna merah tak bisa didapatkan di hutan ini. Cat yang digunakan oleh Raja Malam adalah jenis khusus, sarat dengan kekuatan sihir. Itulah sebabnya lukisan itu begitu indah, karena kekuatan tersebut.”
Kuro berkata seperti sedang bernyanyi.
“bagaimanapun, sulit bagi Ieri mendapatkan bahan untuk warna merah.”
“Sulit? Kenapa?” Mimizuku bertanya, minatnya terpancing.
“Mimizuku. Apa kamu tahu tentang bunga yang bernama ‘Renka’?”
“Renka?”
“Renka disebut-sebut sebagai bunga penyucian, sebuah jenis yang tumbuh jauh, jauh di dalam hutan ini. Warnanya merah seperti darah. Akarnya istimewa, dan bisa dibuat menjadi cat merah.”
“Kalau bunga itu ada di dalam hutan, kenapa kamu tak mengambilnya saja?” Mimizuku bertanya, menelengkan kepalanya ke samping.
“Karena bagi Ieri, serbuk sari bunga itu merupakan racun yang kuat.”
“Racun?”
“Ya, racun. Karenanya, Ieri tak bisa mencapai habitat mereka. Manusia dari kota menjualnya kepada Ieri. Namun, ironisnya, manusia tak bisa memasuki hutan karena keberadaan Ieri.”
Mimizuku memikirkan tentang perkataannya, dan setelah menimbang-nimbang sesaat, dia pun berdiri dan melompat ke arah Kuro.
“Kuro! Aku akan pergi! Aku akan mengambilnya!”
Tampaknya meski Fukurou menginginkan bunga-bunga penyucian, sayangnya dia tak bisa mendapatkannya. Tetapi Mimizuku bukanlah monster, jadi dia bisa memetik bunga-bunga itu.
Dia bisa melakukan sesuatu. Mengetahui ini, hatinya melambung.
“Aku akan pergi memetik Renka!”
Mendengar hal ini, Kuro sedikit mengundurkan diri. Yang semacam ini adalah salah satu dari hal-hal yang diucapkan oleh manusia yang menambah kerutan lain di antara alisnya.
“Tapi Mimizuku. Habitat Renka itu adalah tempat yang sulit untuk dicapai oleh manusia.”
“Ya, tidak apa-apa. katakan saja kepadaku di mana tempatnya.”
Mimizuku kelihatan sudah bersiap-siap untuk berlari pergi. Dia memberi Kuro beberapa tinjuan dengan kepalan tangan mungilnya, seolah hendak memeras informasi dari monster itu.
Dia bisa melakukan sesuatu, sesuatu demi Raja Malam yang rupawan itu.
Dia tak pernah ingin melakukan sesuatu untuk orang lain sebelumnya. Meski demikian, dia merasa dirinya siap untuk melakukan apapun demi Fukurou.
***
Mimizuku menyeka keringat dengan punggung tangannya.
“Ngh….”
Menggapai dengan tangannya yang kurus dan gemetaran, Mimizuku mencengkeram sebuah batu di atas kepalanya. Menurut Kuro, hanya dengan melewati tebing kecil inilah tempat Renka tumbuh. Kuro sudah mengatakan padanya bahwa tangannya yang lemah takkan memadai untuk memanjat tebing, tetapi Mimizuku tak mendengarkan. Dia telah berlari jauh dari Kuro, dan tiba sendirian di gua tempat Renka berada.
Dia mengerahkan segenap tenaganya ke ujung jari. Kukunya tercongkel dari jarinya, dan darah pun mulai merembes keluar.
Meski demikian, tubuhnya yang kurus dan ringan bahagia. Melihat bentuk-bentuk seperti tanaman yang tepat berada di balik tebing, dia mencengkeram batu dan mengangkat dirinya sendiri ke dalam gua.
Mimizuku beristirahat sebentar untuk mengatur napasnya, dan kemudian meneruskan perjalanan ke dalam gua.
Di ujung gua terdapat sebuah area terbuka yang luas di mana bunga-bunga penyucian itu tumbuh.
Cahaya tersaring turun dari retakan-retakan di langit-langit gua. bagaimanapun, bahkan dalam kegelapan total, kecantikan bunga-bunga itu tak bisa dipungkiri.
Wajah Mimizuku berbinar-binar. Dia berlutut kemuju akar bunga-bunga itu.
“Tidak apa-apa, Mimizuku?” Kuro bertanya dengan nada tertahan, seakan dia menyimpan beberapa kata-katanya di dalam mulut.
“Tidak apa-apa, Mimizuku? Bunga-bunga penyucian adalah bunga darah. Mereka mudah layu, dan karenanya mudah kehilangan warna. Kamu harus mencengkeramnya di bagian akar terlebih dahulu, kalau tidak mereka akan langsung layu dan membusuk….”
Mimizuku mengambil cabang pohon terdekat dan mulai menggali di tanah.
“Satu tunggul saja sudah cukup,” Kuro berkata, “Itu saja sudah akan cukup untuk membuat warna merah yang pekat.”
Menggali ke dalam tanah yang kering, akar-akar Renka mulai terlihat. Mimizuku mengeluarkan daun keras dan tipis Renka yang sudah ada di dekatnya.
“Ini adalah bagian yang paling penting.”
Dia mencengkeram pangkal daun itu dengan satu tangan, dasar dari daun itu dengan tangan lainnya.
“… Ngh!”
Menarik napas, Mimizuku menggesekkan daun dari tangannya yang lain dalam satu tarikan.
Dia mendengar sesuatu menyayat kulit tangannya. Hanya sebuah suara garukan pelan, namun mungkin dia hanya membayangkan saja.
Daun itu telah menyayat tangan Mimizuku. Darah merah mulai mengalir keluar dan menetes ke tanah. Mimizuku menusukkan kukunya ke dalam luka itu, melebarkannya. dia mulai berkerinagat, dan mulai kelelahan. Pelipisnya semakin berkerut.
Dia lalu menyingkirkan tanah dari Renka dan mencengkeram akar putih tanaman itu dengan tanganya yang berlumuran darah.
“Ini adalah bagian yang paling penting. Demi mencegah supaya Renka tidak layu dalam perjalanan, kamu butuh darah merah yang segar. Mimizuku, kamu harus melukai dirimu sendiri dan membiarkan Renka menyerap darahmu. Apa kamu bisa melakukan ini?” Kuro bertanya.
“Tentu saja!” Mimizuku menanggapi.
“Ehehe!”
Mengisap darah dari tangan Mimizuku, bunga itu tampaknya semakin merah dan lebih sarat dengan kehidupan. Melihat hal ini, Mimizuku jadi gembira, dan memegangi Renka dengan ahti-hati. Kuro telah berkata bahwa akar-akarnya saja sudah cukup, namun bunga utuhnya itu sendiri tampak jauh lebih indah.
“Apa kamu tak mau membawa pisau?” Kuro bertanya sebelum Mimizuku berangkat. Hal itu mungkin akan menjadi cara terbaik untuk melakukan tugasnya. Bagaimanapun juga, Mimizuku menggelengkan kepalanya.
“Aku benci pisau.”
Sedikit mengesah kecil, Mimizuku berdiri. Dia agak terhuyung, namun mendapati bahwa dirinya baik-baik saja selama dia mendapatkan Renka. Benaknya menjadi jauh lebih tenang daripada saat dia berangkat.
Dengan hati-hati Mimizuku menuruni tebing. Kali ini terasa jauh lebih sulit, karena hanya satu tangannya yang bebas.
Perhatiannya sama sekali teralihkan oleh Renka, dan saat dia turun, sebuah batu di bawah kakinya terlepas.
“Hyaah!”
Dia terjatuh ke tanah. Atau begitulah yang dia kira, namun alih-alih, dia mendengar sebuah suara benturan dalam yang teredam.
“Gyah!”
Merasakan sakit yang tajam pada bahu dan pergelangan tangannya, Mimizuku pun memekik. Dia merasa kakinya mengambang di udara. Daripada terjatuh, dia sebenarnya tersangkut pada sebuah cabang pohon dan tergantung pada cabang itu oleh rantai di lengannya. Rasa sakit terasa begitu jauh bagi Mimizuku untuk menyadarinya.
Bagaimanapun, Mimizuku menggertakkan giginya dan mengeratkan kembali cengkeramannya pada barang pentingnya. Darah dari tangannya menitik turun melewati kulitnya yang sarat dengan luka.
Mimizuku terus mengabaikan rasa sakitnya. Diayunkannya kaki untuk mencari tempat menapak dan mendapatkan kembali kesadarannya akan sekeliling.
Dia menemukan sebuah tempat untuk mendarat dan melepaskan rantai dari cabang itu. saat dia menatap pergelangan tangannya, bagian itu sudah merah sepenuhnya karena darah yang menyebar.
“… Heheh.”
Da tertawa dengan hati ringan. Kurasa selama aku berhasil turun dari tebing itu….
Dia mulai menyusuri kembali jalan yang tadi telah dia tempuh saat datang, namun tiba-tiba dirinya diterpa oleh suatu sensasi misterius.
Aneh….
Mimizuku melangkahi ranting dan rerumputan.
Semuanya adalah demi memberikan bunga itu kepada Fukurou.
Rasanya seperti… aku ingin hidup….
Dia melewati semak belukar yang tak mampu ditembus oleh cahaya mentari, dan muncul di dekat sebuah sungai kecil. Namun, mendadak dia berhenti berjalan.
Huh…?
Bersembunyi di dalam naungan pepohonan di seberang sungai, dia melihat sebuah bayangan. Sosok itu tak terlihat seperti monster bagi Mimizuku.
Seorang manusia.
Tidak salah lagi. Meski seharusnya tak ada sosok mirip manusia lagi di hutan ini selain sang Raja Malam, yang ada di hadapan Mimizuku tak salah lagi adalah sosok seorang manusia.
Mimizuku mendekat. Dia adalah seorang pria pendek gemuk dengan rambut putih. Ada busur tersampir di punggungnya, dan orang itu sedang mengamati sebuah peta dengan raut ketakutan di wajahnya.
“Hei, Apa yang kami lakukan?” Mimizuku memanggil. Pria itu berhenti tepat di balik pohon.
“U-uwaaah! A-aku tersesat! Kumohon padamu, percayalah kepadaku! Kumohon tolong aku…!!” dia berkata, berjongkok dengan ketakutan.
Mimizuku menatap nanar pada pria itu. Dia memanggil lagi.
“Hei, apa kamu baik-baik saja?” katanya singkat. Orang itu dengan takut-takut mengangkat kepalanya.
“A-a-anak perempuan…?”
Pria itu mengerjap beberapa kali dan menatap Mimizuku. Mimizuku menampakkan dirinya sendiri.
“Apa kamu tersesat, Kakek? Kalau terus menyusuri sungai ini, Kakek tidak akan bertemu dengan monster apapun pada waktu-waktu ini. Tetapi kakek ingin keluar, kan? Hm… berikan aku waktu sebentar, ya?”
Dia berpikir sejenak, dan kemudian mencabut benang sari Renka. Dia telah memegangi bunga itu sampai nanti diberikan kepada Fukurou, namun meski dia memberikan bunga tersebut kepada sang Raja Malam, bunga itu tetap akan menyebarkan serbuk sarinya. Mimizuku tak mau membuat Fukurou sakit.
“Baiklah, ambil ini!”
Mimizuku meraih tangan pria itu. ada sedikit darah pada tangannya yang bebas, namun pria itu menggenggamnya dengan senang hati, meski jelas-jelas kelihatan bingung pada penampilan Mimizuku yang berdarah-darah dan berantakan.
“Ini akan menjauhkan monster-monsternya, jadi selama kakek memegangnya, kakek akan baik-baik saja. Pastikan saja kakek keluar sebelum ini mengering dan berubah warna! Baiklah kalau begitu, selamat berjuang!” Mimizuku berkata.
“Bagaimana dengan… kamu?” pria tua itu bertanya, terbengong-bengong.
“Hm? Aku Mimizuku!” dia menjawab, salah paham pada pertanyaan pria itu.
Pria itu menggelengkan kepalanya.
“I-itu bukan yang kumaksudkan. Apa kamu tak akan ikut denganku? Kamu tak mungkin tinggal di sini sendirian, kan?” Pria itu menatap Mimizuku dari atas ke bawah, tampak mengasihani dirinya. Mimizuku tak mengerti makna dari tatapan itu.
“Aku?” dia menanggapi. Mimizuku mengerjap beberapa kali, dan kemudian tertawa, “Aku tak bisa pergi! Aku harus mengantarkan bunga ini kepada Fukurou. Baiklah kalau begitu, sampai jumpa lagi!”
Mengucapkan kata-kata itu membuat Mimizuku ingat pada tujuannya, Mimizuku pun memutar tubuhnya, sama sekali tak memerhatikan pria itu sedikit pun.
Sarat dengan energi, Mimizuku kembali ke hutan.
Pada akhirnya dia mengerut menjadi sebuah titik kecil di kejauhan. Pria tua itu menatap ke bawah pada bunga berlumuran darah di tangannya. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengikuti Mimizuku, namun dia menyerah dan menyusuri jalan yang telah dijelaskan oleh Mimizuku kepadanya.
“Aku harus mengatakan kepada dia…. aku harus bilang kepada sang Ksatria Suci,” dia menggumam.
***
Ketika dia sedang berlari menuju kediaman, langkah Mimizuki tiba-tiba berhenti. Sebuah sosok berbayang dengan sayap hitam kelam berdiri tegak, menghadap danau. Mimizuku menggelengkan kepalanya beberapa kali, memastikan bahwa dirinya tak hanya sedang berkhayal.
“Fukurou!” dia memanggil keras-keras. Bayangan bersayap hitam itu perlahan berbalik.
Mimizuku berlari ke arahnya. Bagaimanapun, dia tak bisa menghampiri cukup dekat untuk menjulurkan tangan dan menyentuh Fukurou. Hawa di sekitar Fukurou mencegah Mimizuku dari melakukannya.
“Fukurou! Aku memberimu ini!”
Mimizuku mengulurkan tangannya yang berlumuran darah. Diacungkannya Renka kepada Fukurou.
Fukurou menunduk pada bunga merah itu dengan mata rembulannya.
Di tangan Mimizuku yang berlumuran lumpur dan darah, tak salah lagi terdapat bunga merah pekat.
Fukurou akhirnya membuka mulutnya untuk bicara.
“Apa yang kamu inginkan sebagai balasannya?” Fukurou betanya dalam suara berbisik rendah namun dalam.
Mata tiga putih Mimizuku menjadi lebar dan bulat, seperti piring. Dia terkejut. Tak terpikirkan olehnya apa yang harus diminta.
Balasan… sesuatu yang kuinginkan….
Apa yang harus kulakukan?
Dia bisa minta agar dimakan lagi. Dia telah diberitahu oleh Kuro bahwa hal itu tak ada gunanya, tetapi mungkin dia bisa mencoba kembali.
Untuk apa aku membawakan dia bunga itu? Mimizuku berpikir.
Dia tak keberatan menumpahkan darahnya sendiri dan menanggung rasa sakit. Dan dia telah berpikir bahwa dia tak ingin mati. Kalau dia ingin mengantarkan bunganya dengan selamat, dia tak boleh mati.
Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk melakukan apapun untuk siapapun selain dirinya sendiri.
Oh!
Akhirnya terpikirkan sesuatu yang bisa dia minta, Mimizuku pun tersenyum.
“Pujilah aku.”
Apa saja tidak masalah.
Nah makanya, pujilah aku, Raja Malam!
Dia tak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu demi siapapun sebelumnya. Tetapi dia telah berpikir untuk membawakan bunga untuk Fukurou atas keinginannya sendiri. Sepanjang hidupnya, Mimizuku tak pernah dipuji dalam melakukan apapun. Biasanya saat dia telah menyelesaikan sebuah pekerjaan, dirinya dipukul atau dimaki.
Dia tak pernah melakukan pekerjaan demi untuk dipuji, namun dia berpikir kalau rasanya pasti akan menyenangkan bila demikian. Tak seorang pun di ‘desa’ yang pernah memberinya pujian satupun. Dia tak pernah dianggap menginginkan pujian saat di ‘desa’, namun sekarang, Mimizuku ingin dipuji oleh Fukurou.
Fukurou tak merespon. Dia memicingkan matanya dan mengambil Renka dari Mimizuku.
Tanpa menatap mata gadis itu, Fukurou menggerakkan bibirnya.
Ketika dia melakukannya, sebuah getaran bisa dirasakan di udara. Di antara Mimizuku dan Fukurou, sebuah sosok kecil pun muncul. Dia adalah Kuro.
“Tuanku.”
Kuro berkepakan di atas kepala Mimizuku, lalu berlutut di hadapan Fukurou. Bahkan saat berada di atas kepala Mimizuku, mata Kuro dan Fukurou tak bertemu.
“Kuro ya!” Mimizuku berkata, mengacaukan suasana.
Mimizuku merasa bahwa Kuro menginjak-injak di atas kepalanya.
“Baguslah kamu kembali, Mimizuku,” ujar Fukurou dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Mimizuku. Pada perkataan ini, Mimizuku menjadi luar biasa senang, dan dia pun mulai tertawa dengan lepas.
Fukurou berpaling pada Kuro.
“Buatlah catnya. Siapkan api,” dia memerintahkan.
Kuro sudah akan mengatakan sesuatu ketika Mimizuku menggembungkan dadanya.
“Siap! Aku akan melakukannya! Aku bisa menyiapkan apinya!” dia berkata lantang, matanya berbinar-binar. Mimizuku beranjak untuk melangkah ke arah Fukurou, namun mendadak dia kehilangan kekuatan dan jatuh berlutut.
“Ah!”
Tanpa sempat menarik napas, Mimizuku terjatuh ke tanah. Dia tak mampu mengulurkan tangannya tepat waktu, dan roboh ke belakang di atas bahunya, berakhir telentang dan menghadap ke atas.
“Uuugh….”
Kepalanya mulai terasa pusing, dan penglihatannya mulai bergoyang. Kesadaran Mimizuku pun menyelinap ke dalam kegelapan.
Kuro, yang sepanjang waktu berada di atas kepala Mimizuku, mengepakkan sayapnya dan mendarat di sisi gadis itu.
“Dasar bodoh. Sudah tentu dia menderita karena kekurangan darah.”
Kuro mulai menarik tangan kiri Mimizuku dari bawha tubuhnya, namun mendadak berhenti dan melirik pada rajanya.
“Anda menginginkan apinya seperti apa, Yang Mulia?”
Fukurou memelototi bawahannya dan menghela napas berat.
“Lupakan saja,” dengusnya. Dia mulai berjalan pergi sendirian. Kuro terus berdalih.
“Raja! Saya berencana untuk membawa anak ini kembali kepada Anda begitu dia sadar. Atau bila Anda mau, saya bisa memotong napasnya dan membunuhnya saat ini juga!” Kuro berseru dengan suaranya yang pecah. Fukurou meliriknya.
“Lakukan sesukamu.” Dengan satu kepakan sayapnya, Fukurpu menghilang ke dalam kegelapan.
Kuro menatap kembali pada Mimizuku, dan menyusurkan tangannya pada tangan kiri gadi itu yang berlumur darah.
Disihirnya sebuah api putih.
“Kamu seharusnya lebih berhati-hati, Mimizuku,” Kuro mengesah dalam suaranya yang pecah kepada MImizuku, yang tak mendengarnya. “Kamu sudah dilepaskan sekali lagi.”
Sedikit berkas terakhir cahaya mentari akhirnya tersapu pergi, dan malam pun mulai kembali menyelimuti hutan.
***
Sebuah pintu dari kayu ek besar yang memberikan kesan kuno terbuka, lonceng yang tersambung pada kenop pun berdenting.
“Selamat datang!” si barista berseru, lebih kepada merespon suara lonceng itu ketimbang si pelanggan. Bagaimanapun, saat dia melihat siapa orang yang masuk itu, alisnya pun terangkat.
“Wah wah, Anda datang lagi hari ini, Tuan Ksatria!” barista gemuk itu menyeru, membuat semua orang di dalam bar menoleh ke arah pintu.
“Yo.” Pria muda di dekat pintu mengulurkan telunjuknya dan tersenyum, membuat seisi bar mendadak meledak oleh kegembiraan.
Suara percakapan para lelaki pun terdengar di sekeliling bar.
“Sudah lama sejak Anda berkunjung, Tuan Ksatria!”
“Hei Andy! Bagaimana dengan permainan poker yang kau janjikan padaku wkatu itu?!”
“Meninggalkan istrimu lagi untuk bermain pada malam hari, eh!”
“Aku terkuras oleh kehidupan rakyat jelata, kau tahu.”
“Hei, hei! Tinggalkan perkataan semacam itu di rumah!”
Dalam sekejap mata, bar itu pun sarat dengan suara-suara tawa. Suasananya telah berubah drastis hanya dengan masuknya si pria muda. dia menerima sambutan-sambutan tulus satu demi satu, dan berjalan ke arah konter seperti biasa lalu mendudukkan diri.
Memutar tubuh gemuknya,sang barista mengeluarkan sebuah gelas.
“Yang biasanya?”
Si pria muda tersenyum.
“Ya, terima kasih,” dia mengiyakan.
Seorang pelanggan duduk di sebelahnya dan mulai bicara, “Ada apa denganmu, Tuan Ksatria Suci? Teh herbal lagi? Ini bukan tempat bermain untuk anak-anak dan gadis muda, lho.”
“Iya, iya, aku tahu itu.”
Sang Ksatria Suci memberikan tawa terpaksa saat dia mengobrol dengan si pelanggan.
“Istri bilang kalau aku mengganggu saat dia menyiapkan makanan, jadi dia menyuruhku menghabiskan uang di sini!”
“Hahahaha! Kedengarannya memang seperti istrimu yang berisik itu kan!” Si pria mabuk tiba-tiba meledak tertawa terbahak-bahak.
“Dan omong-omong, bukannya aku benci alkohol. Hanya saja segalanya jauh lebih menarik saat kau tidak mabuk. Itulah sebabnya aku lebih suka yang tidak berlebihan dan teh herbal murah.”
“Oh, kau tahu kalau aku tak keberatan dengan itu,” si barista meletakkan gelas yang penuh dengan teh herbal ke atas konter di hadapan Duke Ann.
“Kami hanya harus memanggil sang Ksatria Suci, dan kami pasti akan berkembang! Ini, daun-daun teh ini adalah pesanan khusus yang baru saja tiba dari Gardalsia.”
Bar ini adalah tempat bagi rakyat jelata, dijalankan oleh orang-orang dari asal usul sederhana. Sementara itu Duke Ann adalah satu-satunya orang di negara ini yang telah mencapai gelar khusus ‘Ksatria Suci’. Alih-alih mengunjungi tempat-tempat yang lebih sesuai untuk statusnya, dia malah datang ke tempat-tempat di mana orang akan memanggil dirinya ‘Tuan Ksatria’, yang mana lebih dia sukai ketimbang gelar resminya sebagai ‘Ksatria Suci’. Beberapa tahun yang lalu dia hanyalah ‘anak terkecil dari Keluarga MacVallen’. Dia telah mencabut pedang suci dari sarungnya, dan meski dia dipilih oleh pedang itu untuk menjadi Ksatria Suci, dia selalu bergaul dengan kawan-kawan lamanya yang memanggil dirinya ‘Andy’.
Duke Ann akan selalu datang ke bar ini, memesan dua teh herbal, dan bergabung dalam percakapan.
Di sini, dia bisa mendengarkan ketidakpuasan yang tak ditambah-tambahi terhadap sang raja, atau meneriakkan puji-pujian. Atau, dia bisa mendengarkan tentang kegelisahan dan kabar-kabar yang terjadi di luar istana. Karena bar itu juga sekaligus menjadi penginapan, banyak pengelana yang melewatinya, dan hal itu menjadi jendela menuju dunia luar.
Di tempat seperti ini, Duke Ann bisa bergabung dalam percakapan umum dan berhubungan dengan perasaan-perasaan masyarakat yang sebenarnya. Dia tak pernah menghakimi siapapun yang kecewa dengan sang raja. Kata-kata orang di luar istana itu penting. Bagaimanapun juga, yang namanya sebuah negara adalah rakyat dari negara itu.
“Omong-omong, apa kau sudah mendengar cerita itu, Tuan Ksatria?”
Contohnya, si barista akan memberikannya cerita-cerita serta informasi seperti ini.
“Cerita apa?”
“Tentang yang terjadi di Hutan Malam yang gelap yang terletak di selatan tempat ini! Tentang seorang raja iblis yang tinggal di sana.”
Duke Ann menaikkan sebelah alisnya, menunggu si barista melanjutkan.
“Dari yang kudengar, sepertinya ada seorang pemburu bodoh yang tersesat di dalam Hutan Malam gara-gara berkeliaran terlalu jauh dari hutan di dekatnya.”
“Kau bilang dia tersesat? Dan dia kembali hidup-hidup?” Duke Ann bertanya. Tak terhitung jumlahnya monster yang berkeliaran di hutan, dan tak mungkin ada seorang pemburu pun yang bisa keluar dari sana hidup-hidup.
“Itu benar! Dia berhasil kembali dengan utuh, tapi si pemburu itu, mereka bilang dia dibantu oleh seorang gadis kecil di dalam hutan!”
“Seorang gadis?”
“Yeah! Katanya, gadis itu praktis tinggal tulang berbalut kulit. mungkin dia juga ditangkap oleh sang raja iblis, karena sepertinya ada rantai di pergelangan tangan dan kakinya, dan dia berada dalam kondisi yang mengenaskan.”
Minat Duke Ann pada cerita itu tergambar di seluruh wajahnya.
“Jadi apa yang terjadi padanya?”
“Dia hanya membantu sang pemburu, dan kemudian menghilang kembali ke dalam hutan! Begitulah ceritanya!”
“Dan seberapa terpercayanya kisah ini?” Duke Ann bertanya.
“Yah,” pria di sebelahnya menyela, “pemburu itu, mereka bilang begitu dia sampai di rumah, dia langsung berlari ke kuil untuk memberitahu semua orang.”
Duke Ann mengernyit. Dia menempelkan ujung jarinya ke bibir, menunjukkan bahwa dia sedang berpikir secara mendalam.
“Ini dunia yang berbahaya, bukankah begitu? Anak malang itu pasti begitu kesepian. Dan memasangkan belenggu padanya seperti itu…. Dahulu orang-orang akan menceritakan kepada anak-anak bahwa sang raja iblis akan memangsa mereka bila mereka nakal, tetapi hal semacam itu bagaimanapun bahkan lebih buruk daripada dimakan. Hal semacam ini rasanya begitu salah, kan?”
Duke Ann mudah dibuat bersimpati, dan air mata telah merebak di mata si barista.
“Aneh sekali…,” Duke Ann menggumam, menatap si barista.
Kalau dia benar-benar berlari ke kuil seperti yang mereka bilang, maka kemungkinan bahwa cerita ini benar memang cukup tinggi. Bagaimanapun, pria di sebelahnya tak punya hubungan dengan kuil. Di antara orang-orang seperti itu, rumor menyebar dengan mudahnya
Duke Ann mendapatkan kesan bahwa mungkin saja orang-orang itu membesar-besarkan kisahnya secara berlebihan.
“…. Itu tak mungkin, si musang putih itu….”
“Hm? Ada apa dengan musang, Tuan Ksatria?” si barista bertanya.
Duke Ann tersenyum.
“Jangan khawatirkan hal itu. Aku hanya sedang berpikir keras-keras pada diri sendiri.”
Dia lalu meletakkan sebuah koin yang bersih berkilauan di atas konter dan berdiri.
“Ada apa? Anda belum meminum gelas kedua Anda.”
“Ya, aku baru teringat sesuatu yang mendesak yang harus kulakukan.”
Dia pun berbalik dan menghadap pria di bar.
“Apakah ada di antara kalian yang tahu nama pemburu yang tersesat di dalam hutan?”
Semua pria itu terdiam selama sesaat dan menatap dirinya. Sesaat kemudian, sebuah suara dari meja di dekat pintu masuk terdengar.
“Dia adalah Pak Tua Shiira yang tinggal di pinggiran kota, kan?”
Duke Ann menanggapi dengan mengucapkan “terima kasih” kepada pria itu dan melangkah ke arah pintu masuk.
“Terima kasih atas minumannya!” dia berseru kepada si barista.
Si barista memasang raut tidak nyaman di wajahnya.
“Tuan Ksatria Suci, Anda akan berusaha sebisa Anda untuk menolong anak itu, eh?”
Duke Ann tak mengatakan apa-apa; dia hanya tersenyum dan mengangguk.
lalu, dia pun meninggalkan bar, menderitkan pintu dengan suara yang sama seperti ketika dia masuk.
***
Rembulannya begitu cantik. Mimizuku mendesah saat dia pergi menuju danau. Lokasi Fukurou tidak jelas, namun Mimizuku tahu di mana dia berada.
Fukurou tengah mengamati danau dari puncak pohon yang sama dengan malam sebelumnya. Dia mungkin sedang menatap pantulan rembulan lagi, Mimizuku berpikir.
Mulanya Mimizuku menatap Fukurou dengan santai selama sesaat, namun kemudian matanya berbinar seakan dia teringat sesuatu, dan dia pun mulai memanjat pohon di sebelah pohon Fukurou. Tugngul pohonnya tebal dan tidak rata, namun bentuk pohonnya bagus, jadi Mimizuku memanjatnya tanpa kesulitan.
Berkat Kuro, dia telah nyaris kehilangan semua perasaan pada telapak tangan kirinya. kulitnya terasa kaku, tetapi itu sama sekali bukan kecacatan yang serius. Mimizuku merasa bangga pada bekas luka di tangannya.
Dia mendaki hingga ke puncak pohon dan memanjat ke atas sebuah cabang di sebelah Fukurou.
Rantainya berdenting pada sepanjang perjalanan, suaranya yang tajam menusuk kesunyian malam.
“… Apa kamu tak terganggu oleh itu?”
Suara yang mendadak itu membuat Mimizuku hilang kewaspadaan, menyebabkan kakinya terpeleset. Dia pun memekik.
Mendapatkan kembali keseimbangannya setelah beberapa saat, Mimizuku pun duduk di atas cabang. Dia berharap dirinya bisa lebih dekat dengan Fukurou. Fukurou tak membuat sedikit pun gerakan ke arah Mimizuku. Sang Raja Malam itu duduk menatap permukaan air sepanjang waktu.
Bagaimanapun, sekarang Mimizuku telah mendengar suara Fukurou. Tak salah lagi. Fukurou telah memulai percakapan dengan dirinya.
“Eh, aku, uh….”
Mimizuku gelagapan saat mencari kata-kata yang tepat.
Fukurou mungkin bicara tentang belenggunya. bagaimanapun juga rantai-rantai itu begitu berisik.
“Yah, aku tak membencinya, kurasa.”
Mimizuku mengangkat rantainya. Mereka berdenting seperti biasa.
“Kupikir suara berdenting dan berdentang yang mereka buat itu indah. Kurasa aku sudah menyesuaikan diri dengannya, jadi aku tidak membencinya.”
Mimizuku telah dibelenggu dalam waktu sangat lama. Belenggu-belenggu itu telah terikat pada dirinya sejak dia masih kecil, dan tak ada lubang kunci di situ. Sejak saat itu, tulang di sekitar wilayah yang terkunci oleh belenggu telah tumbuh tebal, dan dia beruntung karena pergelangan tangan dan kakinya tak pernah tumbuh lebih besar lagi. Bila tumbuh lagi, maka tangan dan kakinya mungkin sudah lepas.
Fukurou bahkan tak melirik Mimizuku sedikit pun.
“Eheheh….”
Meski demikian, Mimizuku gembira, jadi dia pun tertawa. Bila dia melihat wajah Fukurou dari arah samping, dia pikir wajah itu cukup mirip dengan manusia. Dia sudah mendapati bahwa semua monater telihatan mirip dengan Kuro.
“Fukurou –“ ujarnya, suaranya begitu rendah sampai-sampai seolah tercampur dengan kesunyian malam itu sendiri. “Kenapa kamu membenci manusia?”
Kesunyian panjang mengikuti. Sambil menyusurkan tangannya pada rantai, Mimizuku menunggu Fukurou menjawab.
“Karena mereka buruk.”
Responnya megitu mendadak, dan dihias dengan nada pedas yang biasanya. Suaranya yang dalam menggetarkan gendang telinga Mimizuku.
Mimizuku menengadah. Dibukanya mulut setengah jalan tanpa mengucapkan apa-apa, lalu mulai bicara.
“Buruk? Kalau kamu pergi ke kota besar, tentunya kamu akan menemukan beberapa orang yang cantik.”
Sebenarnya, Mimizuku belum pernah melihatnya sendiri. Dia juga tak pernah bicara seperti ini tentang manusia sebelumnya. Dia penasaran apakah memang ada yang seperti itu. Akan menyenangkan kalau memang ada, kurasa. Orang-orang cantik. Orang-orang baik. Di suatu tempat di dunia yang menakjubkan ini.
“Aku tidak bicara tentang penampilan mereka. Jiwa mereka buruk.”
“Jiwa? Apa itu?”
“Itu adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh.”
“Tetapi bukankah semua yang ada di situ hanya darah, makananmu yang sudah terkunyah, dan beberapa benda lembek lainnya?” Komentar Mimizuku membuat dia menerima tatapan mencela dari Fukurou.
Tak ada yang bisa dia lakukan tentang itu, jadi dia berpikir selama sesaat. Karena sungguh langka bagi Fukurou untuk bicara kepadanya, dia ingin mengulurnya selama mungkin, karena bicara dengan Fukurou membuat dia bahagia.
“Apakah itu seperti hatimu? Sesuatu seperti itu?”
“Sesuatu seperti itu.”
“Oooh! Jadi kamu bilang hati mereka buruk? Ada banyak hal yang kubenci juga, kau tahu. Eheheh. Seperti orang-orang itu yang akan bilang padaku bahwa mereka merasa lebih kotor hanya dengan melihatku. Mereka sering memukulku! Mereka bilang kalau ternak tak diperbolehkan memakai kata-kata manusia. Aneh sekali! Meski aku adalah ternak, aku bisa bicara seperti semua manusia lainnya.”
Mimizuku tertawa. Fukurou menatapnya seakan dia benar-benar adalah sesuatu yang kotor. Bagaimanapun juga, Mimizuku tak menganggap kalau sorot mata Fukurou berisi kebencian. Meski orang-orang di ‘desa’ juga kotor, mereka menatap dirinya dengan sorot mata yang berkata bahwa dia jauh lebih kotor lagi. Namun Fukurou jauh lebih cantik daripada manusia, jadi Mimizuku berpikir kalau sudah barang tentu Fukurou menatap dirinya dan beranggapan kalau dia kotor.
Aku kotor, tetapi di sini aku duduk di sebelah Fukurou yang sangat rupawan.
“Eheheh. Hei, Fukurou.”
Dia terkikik.
“Aku sangat, sangat bahagia sekarang ini!”
Fukurou memicingkan matanya seakan dia tak bisa memahami apa yang dimaksudkan oleh Mimizuku.
“… Kamu, gadis yang memberi nama pada monster,” dia berujar.
“Ya?!” Mimizuku menanggapi, menggembungkan dadanya.
Fukurou mengabaikan tanggapannya.
“Angka apa itu yang ada di dahimu?”
Itu adalah sesuatu yang pernah Kuro tanyakan padanya sebelum ini. Mimizuku tersenyum dan menjawab, “Ini dihasilkan oleh besi!”
Dia tak bisa mengingat apa yang telah dia katakan kepada Kuro tentang angka-angka itu, jadi penjelasannya kali ini agak berbeda.
“Kamu tahu, seperti yang mereka berikan pada sapi dan domba. Aku bersama dengan mereka. Rasanya membakar dan membuatku bingung. Besinya merah dan panas. Aku tak ingat apa-apa setelahnya, karena aku jatuh pingsan…,” kenang Mimizuku, tertawa-tawa.
Fukurou tak bicara, namun mengulurkan tangan pada Mimizuku. Cakar-cakarnya berwarna biru gelap hingga bisa salah dilihat sebagai hitam.
Jantung Mimizuku mulai berdetak lebih kencang. Fukurou pernah mengulurkan tangan kepada dirinya sebelum ini, namun kali ini rasanya berbeda.
Jari Fukurou menyentuh dahinya.
Apakah Fukurou akan memakanku?
Mimizuku memejamkan matanya.
Kalau dia dimakan, dia berharap rasanya tidak sakit. Tidak seperti besi itu, yang panasnya tak menyenangkan.
Jari Fukurou begitu dingin. Bagaimanapun, Mimizuku bisa merasakan sisa kehangatan setelah Fukurou memindahkan jarinya.
Tak lama kemudian, Fukurou menarik kembali cakar panjangnya.
Dia tak memakan MImizuku.
Mimizuku membuka matanya. rembulan berkilauan, dan Mimizuku mulai merasa aneh, seolah ada lonceng yang bergema di dalam kepalanya. dia mulai merasa haus. Dia merasakan suatu rasa sakit yang membakar dan menusuk-nusuk entah di mana.
“Eheheh,” dia tertawa. Dia berharap segalanya bisa menjadi lebih baik dengan cara tertawa.
“Daripada angka-angka yang tidak enak dilihat itu, yang ini mungkin lebih baik,” Fukurou berkata, menyipitkan matanya.
“Huh?”
Kata-katanya memberikan suatu ide pada Mimizuku, dan perlahan dia pun mulai merayap turun dari pohon. Dia lalu berlari ke danau. Kakinya terbelit saat dia berlari, namun dia menatap kurus ke arah danau supaya tak kehilangan keseimbangannya.
“Uwah!”
Mimizuku terjatuh ke danau. Dengan deburan keras, riak-riak air mulai menyebar di selurh permukaan danau. Danau yang dangkal itu hanya mencapai punggungnya. Mimizuku pun menatap bayangannya pada permukaan air yang beriak.
“Nyeheheh.”
Angka di dahinya telah berubah menjadi sebuah pola misterius.
Cantiknya.
Pola ini tampak serupa dengan tato pada tubuh Fukurou, dan bersinar di bawah cahaya rembulan. Untuk pertama kalinya sejak dia dilahirkan, Mimizuku berpikir kalau dirinya cantik.