Mimizuku And The King of Night - Chapter 4
Aku akan mengumpulkan benda-benda cantik, pikir Mimizuku.
Bunga-bunga, dedaunan, juga bebatuan halus berkilau yang cantik. Ranting-ranting yang bertautan serta bola-bola getah yang mirip batu berharga.
Selagi masih terang, Mimizuku masuk ke hutan untuk mengumpulkan benda-benda semacam itu, dan saat mentari mulai terbenam, dia pun kembali ke kediaman Fukurou.
Perlahan dia membuka gerbang bangunan itu. Kali kedua dia membuka pintu, dia memegang sebuah bunga kuning yang cantik di tangannya. Fukurou tak mau repot-repot mengusir Mimizuku, jadi sebagai semacam pembayaran untuk masuk, Mimizuku selalu membawa sesuatu yang cantik untuk Fukurou.
Hutan ini dipenuhi oleh benda-benda cantik.
Cahaya meruah dari balik pintu menuju kamar Fukurou. Saat Mimizuku membukanya, dia mendapati punggung Fukurou. Dia berjalan sedemikian rupa supaya tidak membuat terlalu banyak suara, namun belenggunya masih bendentang keras. Dia pun duduk di sebelah Fukurou.
Memegang sekuntum bunga ungu mungil di tangan, Mimizuku menengadah menatap Fukurou.
Fukurou berdiri di depan sebuah kanvas raksasa. Dia melukis dengan warna biru, hijaum dan merah pekat dari Renka. Fukurou menyapukan warna-warna itu pada kanvas dengan cakar-cakarnya yang berkilauan. Terlihat seakan dia sedang melapiskan membran-membran tipis warna pada kanvas, namun pada akhirnya mereka bergabung ke dalam gambar.
Mimizuku mendesah pada pemandangan yang fantastis itu.
Mendadak dia lalu menyadari bahwa dirinya tak cocok dengan tempat ini.
Fukurou cantik. Lukisannya cantik. Ruangannya cantik.
Ruangan itu dihias dengan benda-benda cantik yang telah dikumpulkan oleh Mimizuku, dan mereka memiliki suatu rasa kebebasan di dalamnya, karena benda-benda itu seakan menari di sekitar ruangan.
Tapi….
Kenapa aku ada di sini? Mimizuku menundukkan kepalanya.
“Kenapa kamu tak mau memakanku?”
Perkataan itu keluar tanpa adanya ketidakberhubungan dengan batinnya. Fukurou tak menatapnya, bagaimanapun setelah terdiam lama, ketika Mimizuku sudah lupa dengan apa yang dia katakan, mendadak Fukurou membuka mulutnya.
“Gadis yang menamai para monster.”
“Ya?” Mimizuku menjawab ragu-ragu.
Fukurou mendongak, namun tidak kepada Mimizuku.
Dia hanya berkata, “Kenapa kamu ingin dimakan olehku? Kenapa kamu berharap untuk dimakan oleh monster?”
Mimizuku mengerjap, kebingungan.
Dia tak pernah memikirkan alasan tepatnya. Bagaimanapun, Mimizuku bisa menjawabnya. Dia selalu tahu jawabannya jauh di alam bawah sadarnya.
“Karena aku tak mau mati.”
Fukurou tak mengatakan apa-apa. Rasanya seakan sebuah lubang telah dihujamkan ke dalam dirinya. Karena Fukurou tak mau bicara, Mimizuku, merisikokan nyawanya, mulai menyambungkan kata-katanya menjadi satu.
“Kamu tahu. Aku benci memakai pisau….”
“…. Bicara dengan cara yang bisa kumengerti,” Fukurou menggerutu dongkol.
Mimizuku tersenyum.
“Baiklah, jadi akan kukatakan sebabnya kepadamu. Dulu aku terbiasa melakukan berbagai macam pekerjaan, namun pekerjaan yang paing buruk, paling kotor, dan paling menyakitkan, oh bahkan sekarang ini aku tak suka memikirkannya, yang paling kubenci adalah menilai orang.”
“Menilai?”
“Ya.” Mimizuku tertawa masam dan mengangguk. Sepasang mata cantik Fukurou beralik ke arahnya, jadi tentu saja gadis itu tersenyum. Dia terus tertawa.
“Orang-orang mati, meski mereka dibunuh oleh warga desa, aku harus membuka perut mereka sedikit demi sedikit, lalu memasukkan tanganku ke dalam semua bagian lembek di dalamnya dan mengeluarkan jantungnya. Mereka bilang jantung-jantung itu bisa dijual dengan harga tinggi. Itu adalah pekerjaan yang dilakukan hanya olehku. Aku diberi tahu kalau bagus dalam hal itu oleh seorang wanita di ‘desa’, tapi aku tak berpikir seperti itu sama sekali. Tetap saja, aku akan dipukul bila aku mengatakan apapun. Saat aku memegang pisau, aku teringat dengan pekerjaan itu, jadi itulah sebabnya aku tak memegang pisau. Meski kamu mencucinya di sungai, bau darah dan organ dalam tetap tak mau hilang. Bagian yang paling buruk adalah menunjukkannya kepada seorang manusia hidup, karena mereka tahu kalau mereka akan ditusuk. Aku akan selalu membayangkan bagaimana rasanya. Aku akan ingat kapanpun aku dipukul. Aku tak mau mati. Aku juga harus mengubur orang-orang mati, tapi karena menggali lubang butuh waktu lama, mayatnya akan membusuk dan dipenuhi serangga, juga menghasilkan bau yang sangat tidak enak. Aku sudah terbiasa dengan itu, sih, tapi aku tak pernah mau menjadi seperti orang-orang itu. Kalau kamu dimakan, kamu akan selalu menjadi cantik, kan?”
“Dan kemudian,” Mimizuku meneruskan, namun Fukurou tiba-tiba membungkam mulutnya.
“Fgyah….” Dia membuat dengkingan kaget yang aneh.
Dengan kasar Fukurou menahan supaya mulut Mimizuku tetap menutup, dan wajahnya telah menampakkan ekspresi tak tergambarkan yang mendekati kebencian yang sarat dengan kemuakan.
“Sudah cukup. Jangan bicara.”
Mimizuku tertawa.
Dia tertawa cekikikan, dan pada akhirnya menjadi rentetan tawa terbahak. Fukurou melepaskan dirinya, dan berpaling kembali menatap kanvasnya.
Kesunyian yang panjang pun mengikuti.
“Kenapa?” Pertanyaan Fukurou begitu mendadak.
Mimizuku menelengkan lehernya dan menatap Fukurou dari bawah.
Mata Fukurou menatap lurus pada Mimizuku.
“Kenapa? Kenapa kamu tidak melarikan diri dari perlakuan semacam itu?”
Mimizuku mengerjap beberapa kali. Bulu matanya bergetar pelan.
“Um….”
Dia membuka mulutnya untuk bicara, namun tetap diam seakan telah lupa dengan apa yang seharusnya dia katakan. Apa yang harus dikatakannya? Bahwa dia dipukul, dan dihantam, dan ditekan. Semua itu adalah alasan kenapa dia tak pernah bisa meninggalkan ‘desa’.
“Aku tak tahu. Aku tak tahu kenapa. Aku membenci semuanya itu, dan rasanya menyakitkan dan sulit. Beberapa orang bahkan pernah menawarkan untuk membantuku keluar. meski begitu, aku tak tahu.”
Kalau dia memikirkan tentang hal itu, rasanya memang sungguh yang aneh. Dia menelengkan lehernya. “Kenapa? Tak ada satu kali pun saat aku berusaha melarikan diri….”
Karena itulah kehidupan. Kehidupan sehari-hari yang seperti itu lumrah baginya. Bila yang seperti itu merupakan hal lumrah, dia merasa kalau takkan ada jalan lain untuk keluar darinya.
Meski Mimizuku menerima perlakuan semacam itu, dia tak pernah benar-benar percaya bahwa hari-hari seperti itu akan berakhir.
“Lalu kenapa kamu ada di sini sekarang?” Fukurou bertanya. Dia telah mengembalikan perhatiannya pada lukisannya, dan sedang menyusurkan cakarnya di permukaan lukisan.
“Um, yah, kurasa….”
Mimizuku sudah tahu kalau dia bisa menjawab yang ini. Dia sudah tahu alasan kenapa dia telah meninggalkan ‘desa’.
“Kusadari kalau aku sudah muak,” Mimizuku berkata, menyeringai lebar.
Dia mendudukkan diri ke atas lantai yang dingin, dan menurunkan kelopak matanya seakan hendak tidur. Bagaimanapun, dia mulai bicara seperti sedang bernyanyi.
“Mimizuku tidur di istal kuda. Dia bergulung di dalam jerami. Dan Tuan Kuda selalu sibuk, selalu membuat suara-suara keras, karena orang-orang membuat dia kesal. Semua orang itu berubah sama sekali, aku dengar!”
Perkelahian picik di antara para perampok selalu tentang perselisihan wilayah.
Parit di antara mereka semakin lama semakin dalam, hingga bisa dibandingkan dengan lautan, dan pada akhirnya para perampok itu menyerang desa mereka sendiri.
Mimizuku tak mengerti apa yang telah terjadi.
Teriakan dan seruan menusuk-nusuk telinganya, dan suara api yang meretih di sini dan di sana bisa terdengar.
Dan kemudian terciumlah bau darah yang pekat.
Tak lama kemudian, pria-pria yang membawa katana mendobrak masuk ke dalam istal. Dengan tangan besar, salah satu dari pria itu menyeret Mimizuku, yang telah meringkuk di dalam jerami dan menutupi telinganya, keluar.
“Aku dapat Mimizu. Ey kau, yang rambut merah, tak ‘da luka di pipinya, bawa dia.”
Untuk suatu alasan, hanya itulah kata-kata yang bisa Mimizuku ingat.
Pada saat itu, benaknya telah berhenti bekerja, dan dia tak merasakan sakit ataupun kesusahan apapun.
Pemandangan itu tampak begitu jauh, seakan telah terbakar habis.
“’Gadis budak’, eh? Itu yang dia bilang.”
Lalu, pria itu tersenyum. Rambut-rambut halus di tubuhnya berdiri tegak.
Dia menampakkan semacam kemuakan dan kejijikan.
“’Menarik’, dia berkata. Aku tak mengerti apa yang dia maksudkan dengan itu, tapi itulah yang dia maksudkan, jadi apapun itu, dia mengatakannya.”
Kepala Mimizuku berayun ke bawah.
“’Menarik’.”
Pria berambut merah tersenyum, dan membawa Mimizuku bersamanya.
Benak Mimizuku diam sepenuhnya. Pikirannya telah benar-benar berhenti, dia tak memikirkan apapun sama sekali.
Bagaimanapun, Mimizuku telah membawa sebilah pisau dari tumpukan jerami bersamanya.
Pisau itu adalah pisau yang selalu dia pakai untuk memotong mayat.
Dia merasa sepertinya telah berteriak, seakan sesuatu telah menggetarkan tenggorokannya. Bagaimanapun, dia tak bisa mengingat apa-apa. Dia tak bisa mengingat suaranya, atau bahkan bila hal-hal yang dia teriakkan adalah kata-kata utuh.
“Aku menusuk dia. Ya.”
Sama seperti yang dia lakukan dengan mayat-mayat itu, dia menggali ke dalam perut si pria dengan segenap kekuatannya. Memakai bagian tengah sebagai pengungkit, dia memotong ke sepanjang tubuh itu. Sebuah teriakan bagai kain yang terobek membahana. Itu adalah suara si pria. Darah dari tubuhnya jauh lebih hidup dan segar daripada darah dari mayat tua yang membusuk. Darah itu memercik ke wajahnya, dan memasuki matanya.
Penglihatannya menjadi buram.
“Itu adalah kali pertama aku menusuk seorang manusia hidup. Orang itu roboh setelahnya. Dia jelas sudah mati, yap.”
Mimizuku terkikik.
“Dia pasti sudah mati, Mimizuku membunuh dia.”
Saat Mimizuku mengingat kembali cerita itu, keringat mulai menetes dari dahinya. Keringat itu tidaklah hangat, namun justru terasa ganjil. Dia merasa dingin di sekujur tubuhnya, dan jemarinya mulai gemetar.
Dia selalu diperintahkan untuk melakukan hal-hal serupa. Dia telah beberapa kali memotong mayat.
Bagaimanapun, apa yang telah dia lakukan secara mendasar berbeda, dan Mimizuku tak bisa mencerna makna dari perbuatannya sendiri.
“Jadi saat itulah aku berpikir, ‘aku sudah muak’. Aku benar-benar sudah muak, aku sungguh lelah…,” dia mengenang dengan santai. Dia sudah lelah. Dia tak pernah selelah ini sebelumnya.
Dia menyerah terhadap segalanya.
Dan kemudian, dia teringat pada kisah yang pernah dia dengar lama berselang. Jauh di timur, ada sebuah tempat yang disebut sebagai Hutan Malam, di mana ada banyak monster yang tinggal.
Disebutkan bahwa tak ada jejak yang tersisa dari siapapun yang dimakan oleh monster.
“Jadi aku menempuh perjalanan jauh kemari.”
Dia merasa seakan telah menerima guncangan di kepala. Dia mulai pusing.
Mimizuku perlahan berdiri, dan bergerak lebih dekat pada Fukurou, memandangi wajahnya.
Saat dia menatap mata rembulan sang Raja Malam, dirinya merasa tenang.
Fukurou tak mendorongnya menjauh, namun hanya mendengus tidak senang padanya. Dia lalu sedikit membuka mulutnya.
“Apa kamu masih ingin dimakan olehku? Gadis yang menamai para monster.”
Mimizuku penasaran kenapa Fukurou menanyakan kepadanya sesuatu yang sudah begitu jelas. Dia telah mengatakannya beberapa kali, bahwa dia ingin dimakan oleh Fukurou, dan menghilang tanpa jejak. Itulah yang selalu dia harapkan.
Tentu saja aku ingin!
Dia membuka mulut untuk mengucapkannya.
Dia tak ragu-ragu, dan kata-kata itu sudah siap untuk keluar.
Bagaimanapun, Bibir tipis keringnya tak bisa membentuk ucapan lagi.
Dia membuka dan menutup mulutnya seperti salah satu ikan di dalam danau. Mimizuku tak mengerti kenapa dia tak bisa mengucapkannya.
“Uh, uh.”
Mimizuku menyapukan jari pada bibirnya dengan cara yang aneh. Dia ingin berkata, “Makanlah aku.” Tampaknya Fukurou benar-benar akan memakan dirinya saat ini juga bila dia meminta.
Kalau dia sungguh menginginkan hal itu, sekaranglah kesempatannya.
Keinginanku?
Keinginannya. Harapannya. Bisa dibilang, apa yang dia kehendaki.
“Aku, uh, Fukurou….”
Dia jadi tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Bila dia tak bisa mengucapkan apa yang ingin dia ucapkan, maka apa boleh buat.
Mimizuku lanjut berkata, “Hei… bolehkah aku tidur di sini hari ini?”
Di dalam ruangan yang cantik ini. Dikelilingi oleh lukisan Fukurou, Mimizuku berpikir bahwa akan luar biasa bila dia bisa tidur di situ.
Fukurou tampaknya tak memedulikan permintaannya sedikit pun, dan hanya berbalik pada lukisannya.
Bagaimanapun, Fukurou tak menolak, dan Mimizuku menjadi luar biasa senang. Seakan Fukurou telah berkata padanya untuk melakukan apapun yang dia suka.
Mimizuku bergulung di kaki Fukurou, dan tanpa suara dia pun tertidur.
Fukurou melirik ke bawah padanya dalam waktu amat singkat, dan kemudian kembali menyusurkan cakarnya pada kanvas, melukis.
***
Pintu menuju kantor sang Raja menjeblak terbuka, dan sesosok manusia berjalan masuk lalu menenggelamkan diri ke sofa. sang Raja emnengadah dari dokumen-dokumennya dan mengangkat sebelah alisnya.
“Ke mana perginya sifat kepahlawanan para ksatria tua itu?”
“Ke sisi lain bintang itu, mungkin,” Duke Ann berkata cuek, seolah dia berkata dari dalam sofa.
“Astaga. Itu cara seadanya untuk melakukan sesuatu.”
“Apa maksudmu?”
Tak tergerak sedikit pun oleh pertanyaan sang Raja, Duke Ann melompat bangkit dari sofa dan berpaling untuk menatap sang Raja.
“Jadi, apakah persiapan untuk menakhlukkan raja iblis berjalan lancar?”
“….”
Sang Raja merespon dengan sikap diam. Duke Ann mulai bicara dengan ekspresi serius sepenuhnya.
“Masyarakat lebih condong pada memusnahkan raja iblis. Dia belum mencelakai siapa-siapa secara nyata hingga saat ini, dan dia hanya dipakai untuk menakut-nakuti anak-anak nakal. Mereka hanya bersimpati kepada gadis yang dia sekap itu. Dan kini mereka bilang bahwa Brigadir Penyihir kerajaan juga telah membuat persiapan?”
Sang Ksatria belum tahu tentang semua itu. Dia berada di kelompok Ksatria, namun dirinya tak duduk di puncak kelompok. Dia tak punya kekuasaan politis, dan kemampuannya hanya dipakai untuk tujuan bertarung. Dia sendiri lah yang telah memilih gaya hidup ini, bekerja lambat untuk memulai dan tinggal di rumah.
“Itu benar. Kau, sang Ksatria Suci, bertugas untuk membobol penjagaan yang lebih kuat,” sang Raja berkata kepada Duke Ann dengan nada santai.
Sang Raja lalu menaikkan suaranya.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Menatap mata sang Raja lurus-lurus, Duke Ann tetap diam selama beberapa saat.
“… Kepada masyarakat umum, tampaknya seolah kita akan menyelamatkan gadis itu, namun alasan yang sebenarnya adalah kita hendak menakhlukkan sang raja iblis?” Duke Ann bertanya dengan suara rendah.
“Demi kepentingan masyarakat negara ini,” sang Raja menjawab, sorot matanya sedikit beralih ke samping.
Duke Ann tahu aya yang sebenarnya sang Raja inginkan. Raja yang sekarang ini adalah seorang raja yang hebat. Negaranya telah diserang berkali-kali, dan dia telah membangunnya kembali dalam satu generasi. Memakai tradisi-tradisi sihir yang kuat dalam wilayahnya, dia membentuk Brigadir Penyihir, dan mereka menjadi militer sang Raja. Dia membuat pertanian dan perdagangan menjadi makmur, dan memberi kekuatan pada negara.
Setelah seratus tahun, Pedang Suci legendaris yang diwariskan sejak dahulu memilih seorang majikan, dan ‘Ksatria Suci’ ini menjadi simbol kemandirian Kerajaan Bahtera Merah.
Bagaimanapun juga, ada sesuatu yang kurang. Dengan membuat sang raja iblis menyerah, mereka akan mendapatkan beberapa hal.
Duke Ann memahami prediksi sang Raja. Waktu sudah berlalu sepuluh tahun sejak dirinya dipilih menjadi Ksatria Suci. Bagi Duke Ann, yang telah kehilangan ayahnya sejak kecil, kerajaan ini bagaikan ayah, rekan, juga sahabat untuknya. Dia tak pernah menghunus pedangnya demi kepentingannya sendiri. Tak peduli apakah musuhnya adalah manusia atau bukan, Duke Ann tak menyukai pembunuhan yang sia-sia. Dia tak memperlakukan pedangnya sebagai dekorasi, karena dia mengerti bahwa begitu dia mengeluarkannya, satu nyawa akan menghilang.
“Jadi sudah menjadi seperti ini… aku akan pergi.”
Mengesampingkan semua itu, dengan ringan dia mengangkat bahu dan, dengan raut bimbang di wajah, dia pun tersenyum.
“Istriku takkan senang. Dia akan mengatakan sesuatu seperti, ‘Kalau kau tak bisa menyelamatkan satu orang gadis kecil, maka tidakkah kau seharusnya berhenti menjadi Ksatria Suci?”
Dia telah mengerti bahwa hal ini juga merupakan kemenangan bagi sang Raja, dalam satu segi. Bahkan sang Ksatria Suci pelindung rumah juga tak bisa mengangkat satu jari pun melawan istrinya. Sang Raja sudah mengetahui hal itu dengan baik.
“Mungkin Orietta seharusnya juga bergabung dalam pasukan.”
Wajah sang Raja bersinar atas idenya ini.
“Gadis Pedang Suci akan meningkatkan moral Brigadir Penyihir lebih dari apapun! Dengan sihir yang dipelihara di dalam kuil….”
“Hei, Yang Mulia,” Duke Ann menyela sang Raja sembari tersenyum.
“Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda,” ujarnya seakan itu bukan masalah besar.
Meski dia bicara seakan itu bukan masalah besar, suaranya terdengar lebih rendah daripada biasanya.
Sang Raja menarik napas dalam-dalam tanpa ada alasan tertentu.
“Bagaimana cara Anda memanfaatkan Ksatria Suci itu terserah pada Anda. Anda bisa memamerkan saya seperti sebuah jimat, atau Anda bisa mengirim saya ke medan perang, selama pertempurannya dilakukan demi alasan yang baik.”
Dari situ, senyum di mata biru Duke Ann menghilang.
“Bagaimanapun, bila Anda melakukan sesuatu seperti mengirim Orietta ke medan perang, saya akan membuang Pedang Suci, membawa dia bersama saya, dan meninggalkan negara ini.” Dia bicara dengan begitu jelas dan memasang tampang menyeramkan di wajahnya.
Sang Raja bukannya tidak siap untuk membelah semua penghalang bagi negaranya. Dia mampu mempertahankan penampilan tenang, namun dia tak bisa menghadapi pemberontakan dari Duke Ann. Bagaimanapun juga, sang Duke adalah ‘simbol’ dari negara ini.
“Apa kau mengancam rajamu?”
Atas kata-kata itu, Duke Ann tersenyum cerah.
“Saya hanya berkata jujur.”
***
Mimizuku dibangunkan saat fajar oleh suara burung-burung kecil yang mengepakkan sayap mereka. Cahaya masuk lewat jendela raksasa. Kuatnya cahaya itu menunjukkan langit yang cerah. Mimizuku perlahan memejamkan matanya lagi, dan kembali tidur. Lantai dinginnya terasa nyaman, dan dia sepertinya sudah mulai melayang kembali ke alam mimpi.
“Mimizuku.”
Mendengar namanya disebut, Mimizuku tersentak bangun.
Ketika dia mengangkat tubuh bagian atasnya, Mimizuku menatap sekeliling untuk mendapati bahwa si pemilik ruangan sudah menghilang, tetapi kemudian melihat Kuro berhenti di ambang jendela.
“Kuro!”
Mata Mimizuku berbinar saat melihat Kuro. Kuro memasuki ruangan tanpa bersuara.
Cahaya matahari pagi memang sangat cantik, Mimizuku berpikir.
“Kondisi yang hebat. Mimizuku, ada serpihan kayu dari lantai menempel di pipimu.”
Kata-kata Kuro terasa baik, jadi Mimizuku tertawa saat dia menggosokkan tangan pada pipinya.
“Bagaimana kabarmu, Kuro? Bukankah kamu jarang mengunjungi kediaman ini?”
“Memang.” Kuro mengangguk pelan.
“Mimizuku. Aku datang untuk mengatakan sesuatu padamu.”
“Mengatakan sesuatu padaku? Apa itu?”
Mimizuku menyeret dirinya sendiri ke ambang jendela. saat dia menengadah, Kuro sedang balas menatapnya, dan setelah ragu sesaat, Kuro berkata, “Untuk beberapa hari, mungkin hingga satu bulan, aku akan pergi dari hutan.”
“Pergi?”
Mimizuku memiringkan kepalanya. Kuro mengangguk.
“Dengan perintah dari Raja Malam, aku akan meninggalkan hutan selama beberapa saat, dan mengurus beberapa tugas di dunia manusia. Sepanjang waktu itu, bahkan bila kamu memanggil namaku, panggilanmu takkan mencapai telingaku. Itulah sebabnya kamu harus mengurus dirimu sendiri. Apa kamu bisa melakukannya?”
“Ya Pak!”
Mimizuku mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan memberikan jawaban penuh tenaga. Bagaimanapun, serta merta dia menunduk.
“Apa yang kamu maksudkan dengan ‘perintah dari Raja Malam’?”
“Itu….” Kuro mulai bicara, namun kemudian menutup mulutnya. “Aku tak bisa bilang.”
“Baiklah kalau begitu.” Mimizuku tersenyum. Dia tidak senang dengan hal itu. Pada kenyataannya, dia senang karena Kuro telah datang untuk mengatakan kepada dirinya bahwa akan meninggalkan hutan.
Kuro mengamati Mimizuku tertawa, dan pada akhirnya membuka mulut untuk bicara.
“Saat ini, Mimizuku. Sebelum aku pergi dari hutan, aku akan menceritakan padamu sebuah legenda.”
“Legenda?”
“Itu benar. Sebuah kisah dari masa lalu yang lama, lama sekali.”
Mimizuku tak bisa mengerti maksud dari kata-kata Kuro yang mendadak, namun dia tak punya alasan untuk tidak mendengarkannya.
“Baiklah kalau begitu….”
Kembali menduduki serpihan kayu, Mimizuku menunggu Kuro bicara.
Setelah ragu-ragu sesaat, Kuro membuat gerakan seperti menggaruk pipinya, dan kemudian mulai bicara.
“Ini adalah cerita yang terjadi sudah sangat lama sekali. Ini adalah cerita yang berada cukup jauh dari ketidakberperasaannya aliran sang waktu.”
Kuro bicara lantang dan cepat dengan suaranya yang pecah. Dia bisa dianggap mirip dengan seorang pencerita yang mengulang kembali sebuah kisah epos seorang pahlawan.
“Ini adalah kisah tentang seorang pangeran yang tinggal di sebuah kerajaan yang telah hancur bermasa-masa yang lampau.”
Mimizuku memiringkan kepalanya. Kedengarannya seperti sebuah cerita dari dunia lain.
Kuro tak menghentikan ucapannya.
“Kerajaan itu berada jauh, jauh di sana. Kalau kamu menyeberangi beberapa pegunungan dan pergi sangat jauh ke utara sehingga kulit manusia akan berubah warna, kamu akan menemukan kerajaan kecil ini. Mereka tidak menulis, dan mereka tidak bisa berburu. Bagaimanapun, negara ini tak pernah menjadi miskin, karena di dalam sebuah gunung tertentu di negara itu terdapat sebuah mineral yang menakjubkan. Orang-orang menambang mineral itu, memproduksi dengan mineral itu, dan menjualnya, memperoleh begitu banyak kekayaan dalam prosesnya. Gaya hidup sang Raja juga ditandai dengan keberlebihan. Dia mampu menyewa pasukan bayaran, dan karenanya meningkatkan kekuatan militernya. Meski tanahnya tertutup salju yang dalam selama musim dingin, hal ini hanya membuat musim semi yang datang menjadi lebih indah.”
“Salju….”
Mimizuku tak bisa membayangkan hal semacam itu. Dia mencari di dalam benak dan ingatannya, dan dia pun memikirkan tentang bubuk putih yang indah.
“Rakyatnya kaya. Keluarga kerajaannya kaya. Orang-orang bodoh menambang semua sisa terakhir mineral di dalam gunung….”
Pada titik itu, nada suara Kuro pun merosot.
“Semua hal yang berbentuk pada akhirnya akan menghilang. Itu adalah sebuah kebenaran mutlak di dunia. Bagaimanapun, seiring waktu, orang-orang melupakan hal ini. Mineralnya habis. Orang-orang mulai berkelahi di antara mereka sendiri, berusaha mendapatkan sebanyak mungkin sedikit mineral yang masih tersisa. Saat sang Raja memikirkan tentang apa yang harus dia lakukan, dia memutuskan bahwa sisa mineral yang ada akan disita dengan paksa. Dengan potensi industri mereka memudar, sang Raja tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu rakyat mengatasi ketergantungan mereka atas mineral itu.”
Kisah itu sulit dipahami oleh Mimizuku, dan Mimizuku menyusahkan dirinya sendiri untuk memikirkannya. Bagaimanapun, dia memutuskan untuk mengikutinya saja, dan, tetap diam, dia mendengarkan kisah Kuro.
“Sekarang, keluarga kerajaan memiliki seorang pangeran. Dia terlahir ketika mineral yang terakhir mulai menghilang. Karenanya, dia dikepung oleh tatapan dingin dari masyarakat. Meski hilangnya mineral itu terjadi secara alamiah, bagaimanapun juga, selayaknya sifat alami manusia, mereka perlu menyalahkan orang lain atas kesukaran hidup mereka. Sang pangeran terlahir dengan kesukaran karena persekusi. DIa diperlakukan sebagai seorang pangeran. Dia diberi baju untuk dikenakan dan makanan untuk dimakan. Namun, sang Raja dan Ratu tempat dirinya terlahir tidak mencintainya.”
Mimizuku berpikir dalam diam.
Apa artinya itu, dicintai?
“Hak lahir sang pangeran adalah kesendirian. Bagaimanapun, dia tak pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tak seorang pun yang baik padanya, namun dia berpikir bahwa pemandangan negaranya terlalu indah untuk digambarkan dengan kata-kata. Dia berpikir untuk memberi bentuk bagi pemandangan indah yang terpantul di matanya itu. Demi untuk melakukannya, sang pangeran mengambil kuas, dan – dia mulai melukis sebuah gambar.
“Ah….”
Di sini, Mimizuku menyadari tentang apa, atau lebih tepatnya siapa, kisah Kuro itu.
Kuro tak meresponnya, dan lanjut mengulang kisah itu.
“Tak lama kemudian, sebuah revolusi terjadi di negara itu. Rakyat yang berada pada batas kesabaran mereka karena kelaparan akibat kesalahan sang Raja dalam memerintah membuat istananya membara. Sang Pangeran, yang tinggal di dalam bangunan terpisah, juga ditarik keluar ke hadapan publik. Sebagai inkarnasi dari masa lalu mereka, mereka pun membakar lukisan yang telah dibuat oleh sang Pangeran di alun-alun kota. Hal itu menghancurkan hati sang Pangeran, yang tak memiliki apa-apa yang tersisa dalam hidupnya selain lukisan.”
Mimizuku menatap Kuro dengan ketakjuban nanar, seolah dia telah melihat semua adegan itu dimainkan tepat di hadapannya.
“Sang Pangeran dikurung di dalam sebuah menara tinggi hingga hari eksekusinya tiba. Di dalam kamar itu, tanpa ada apa-apa selain sebuah jendela yang terhalang jeruji besi, sang Pangeran, terikat oleh rantai, sedikit demi sedikit, terus melukis bahkan hingga hari dirinya dipenggal.”
“Apa yang dia pakai untuk melukis?” Mimizuku bertanya, berpikir bahwa situasinya aneh.
“Dia tak memakai apa-apa. Dia tak punya kuas. Sang Pangeran menggigit jarinya sendiri dan menggambar di dinding dengan darahnya sendiri, seakan sedang kerasukan. Dia mungkin sudah menjadi gila sebelumnya, sang Pangeran yang hanya melihat sisi buruk dari manusia.”
Mimizuku terengah, seakan kehabisan napas atau terlarut dalam kekaguman terhadap sang Pangeran. Perasaan ini semacam suatu pemahaman yang mendalam.
“Lukisan itu paling merah dari yang merah. Keindahannya begitu agung. Lukisan itu dibuat dengan menguras habis keberadaannya.”
Sebelumnya, Kuro pernah berkata, “Lukisan yang memakai warna merah adalah yang paling indah.” Mimizuku bisa melihat tak adanya ketidakkonsistenan dalam kata-katanya. Dia telah memahami semua hal yang telah menjadi penyebab hingga titik ini.
“Lukisan itu bahkan bisa memanggil monster. Aku telah mengunjunginya sendiri. Dan aku juga sudah melihat sang Pangeran yang terluka dan babak belur. Dia adalah manusia, namun semangat itu, kekuatan sihir itu. Aku bertanya kepadanya apakah dia masih ingin hidup. Aku bertanya kepadanya apakah dia akan tidak suka bila berhenti menjadi manusia. Dia menjawab dengan sepantasnya.”
Begitulah kan, Mimizuku berpikir. Jadi itulah yang terjadi.
“Waktu itu tepat ketika dia datang ke hutan ini dan mengambil posisi sebagai Raja Malam. Dia masih hidup saat ini. Ketika dia menghilang, semua kekuatan sihirnya akan kembali ke bumi, dan menciptakan seorang raja baru. Bagaimanapun, ada cara lain untuk menggantikan dia. Bila raja yang sekarang memilih seorang penerus, maka dengan cara ini, siapapun bisa menjadi raja. Mereka akan menerima mata rembulan. Akulah yang telah menyuruh sang Pangeran untuk pergi ke hutan. Dia pergi dan bertemu dengan sang raja. Dia bukan manusia, melainkan seorang raja, dan dengan cara ini, raja bertemu raja, seperti yang dibilang. Dan maka datanglah saatnya sang Raja dipilih.”
Setelahnya, Kuro berkata sekali lagi.
“Sang Raja dipilih oleh dunia.”
Kuro seringkali menyebut-nyebut dunia. Pemilihan raja, kelonggaran. Semuanya itu pilihan dari dunia. Beginilah caranya dunia monster berjalan.
“Kisahku berakhir sampai di sini.”
Kuro menutup ceritanya dengan lembut. Kenapa? Mimizuku membatin. Kenapa Kuro menceritakan padaku kisah seperti ini…?
“Yah, sekarang sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan hutan ini.”
Kuro langsung terbang pergi.
“Kuharap kuta bisa berjumpa kembali. Mimizuku.’
“Kalau takdir mengizinkannya?” Mimizuku bertanya.
“Gyagyagyagya!” Kuro tertawa. “Ya, kalau takdir mengizinkannya. Biarlah kita berjumpa kembali. Mimizuku!”
Kuro pun lalu menghilang bagai kepulan asap. Mimizuku berdiri dan menyandar pada jendela. Diikutinya Kuro dengan mata benaknya.
Lalu tiba-tiba, Mimizuku menyadari bahwa pipinya basah.
“… Huh?”
Saat Mimizuku mengerjap, dia melihat butir-butir air bening menetes.
“Apa ini? Apa ini artinya aku sakit?”
Merasa panik, Mimizuku menyepa butiran-butiran itu. ini bukan kali pertama hal tersebut terjadi, namun dia tak punya ingatan tentang saat yang lainnya. Mimizuku berpikir bahwa butiran-butiran itu agak seperti keringat. Lalu, menyeka butir-butir yang berjatuhan dari matanya, dia pun berpaling menatap hutan di mana matahari terbit dan bergegas keluar dari kediaman untuk menemukan lebih banyak benda-benada cantik sehingga dia bisa melihat Fukurou kembali.
***
Lampu yang dibuat dengan kekuatan sihir memancarkan kilauan merah, bagai jeruk pahit yang matang. Para penyihir, menekan suara napas mereka, berkumpul di depan Hutan Malam. Masing-masing dari mereka mengenakan tudung di atas mata mereka dan menggenggam sebatang tongkat ek tua.
“Tak ada rembulan malam ini,” ujar Duke Ann seakan kata-kata itu merembes keluar dari bibirnya. Dia mengenakan zirah. “Sungguh disayangkan. Kabarnya rembulan yang naik di atas Hutan Malam luar biasa indah.”
Sebuah suara berseloroh tepat dari belakangnya.
“Apa boleh buat, Tuan Ksatria Suci.”
Si pemilik suara juga mengenakan tudung seperti para penyihir lainnya, dan juga menggenggam sebatang tongkat ek di tangan keriputnya. Ada beberapa cincin di jemarinya untuk membatu kekuatan sihirnya.
“Kita telah menanti hingga bulan baru. kekuatan sihir Raja Malam cukup merosot pada malam bulan baru. Bila kita berniat untuk membuat dia menyerah, kita tak bisa membiarkan dia kabur.”
“Bersediakah Anda bergabung pada upaya menegakkan kebanggaan negara kita, Brigade Penyihir? Bisakah Anda melakukannya, Tuan Riveil?” Duke Ann bertanya, tersenyum santai seperti biasa.
“Tentu saja.”
Ada jeda di antara pertanyaan Duke Ann dan jawaban Riveil, namun itu bukan karena dia kesusahan menjawabnya. Yang mengganggu kata-katanya adalah kesombongan dan kecongkakan dangkalnya.
“Tentu saja. Selama Anda, Tuan Ksatria Suci, menggenggam Pedang Suci, kita takkan tertandingi, kurasa.”
Duke Ann mengerang tanpa emosi atas kata-kata Riveil. Dia menatap ke sekeliling Hutan Malam yang mengeluarkan ketenangan menakutkan. Setelah kesunyian yang berat, Riveil angkat bicara seakan dirinya adalah seorang prajurit cadangan yang tidak punya keahlian.
“Bagaimanapun, bila Brigadir Penyihir berada di sini ketika Raja Malam mendapatkan kembali kekuatannya saat fajar, maka kita akan –“
“Aku tak mau mendengarnya,” Duke Ann berkata, memotong Riveil dengan suara lembutnya. “Kalau kau harus merebus dan memakan dia, aku tak peduli. Aku berada di sini hanya untuk menyelamatkan gadis kecil yang dia sekap. Kalian ada di sini untuk menangkap sang Raja Iblis, kan? Mari kita menganggapnya seperti itu saja untuk saat ini.”
Duke Ann tak pernah bicara dengan nada kasar. Bagaimanapun, Riveil menyimpan protesnya sendiri dan berhenti bicara.
“… Persiapan untuk pembatasnya sepertinya sudah lengkap,” RIvveil melaporkan dalam nada datar.
“Aku tahu.” Duke Ann mengangguk pelan. Dia menutup kelopak matanya seakan sedang ketiduran.
“Tuan Ksatria Suci!”
Hal itu terjadi saat kegelapan mulai menjadi lebih pekat.
Sebuah bayangan raksasa muncul dari dalam kegelapan, dan para penyihir memekik, mulai memasang pose bertarung dengan dengan tongkat mereka. Bagamanapun, Duke Ann mencabut pedangnya lebih cepat dan menyabet monster yang menyerang dalam satu hentakan.
Makhluk besar itu memekikkan jeritan yang seperti tidak berasal dari dunia ini dan roboh.
Para penyihir dibuat tercengang. Dari Duke Ann yang selalu baik hati, mereka tak bisa membayangkan keahlian berpedang yang sedemikian tajam dan tanpa ampun.
Dalam kegelapan, sebuah cahaya samar memancar dari Pedang Suci.
“Ada berapa banyak dari kalian yang bisa membangkitkan sihir?” sang Ksatria Suci bertanya, amsih memunggungi para penyihir. Suara rendahnya terbentuk di kegelapan dan menggetarkan udara.
“Aku… Aku dan kedua pria muda ini, Pak….”
Hanya tiga penyihir yang mampu membangkitkan sihir secara langsung untuk menangkap sang Raja Malam. Sisanya berada di sana untuk memperkuat dan membantu kekuatan sihir ini.
Duke Ann merasa seakan gagang pedangnya menempel di telapak tangannya. Bila dia memejamkan mata, dia berpikir kalau dia bisa mendengarkan suara-suara. Suara-suara itu memanggil-manggil pedang yang tertidur, seperti yang telah terjadi ketika dirinya masih seorang bocah kecil.
Begitu dia mencabut pedangnya dari sarung, indera-inderanya menjadi lebih tajam, dan dunia pun berubah ke dalam warna-warna dingin. Di suatu tempat di dalam hatinya, dia merasa senang karena dirinya sedang membasmi sang Raja Iblis.
Seandainya saja dia bisa memakai pedang yang tak tahu apa-apa selain mencabut nyawa ini untuk menyelamatkan seseorang. Duke Ann telah berpikir seperti ini, namun hanya untuk sesaat.
“Aku akan memotong semua monster yang menhalangi jalan kami. Jangan masuk ke dalam jangkauan pedang ini. Aku tak perlu berkata kalau kalian pasti akan terluka.”
Dia menatap ke belakang selama sepersekian detik. Bahkan dalam kegelapan, matanya berkilau dalam warna biru gelap yang cemerlang.
“Karena aku takkan menjamin keberlangsungan hidupmu.”
Riveil adalah satu-satunya yang bisa mengangguk.
Permulaan perang telah dideklarasikan. Sang Ksatria Suci menghunuskan pedangnya.
Tak ada jalan mundur lagi sekarang.
***
Mimizuku, tidur di akar sebuah pohon raksasa, merasa sepertinya dia bisa mendengar seseorang berteriak putus asa, dan terbangun dengan panik.
“Huh? Apa yang terjadi?”
Ada sesuatu yang aneh. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi, dia menatap sekeliling dengan gelisah.
Kegelapannya memekik. Pepohonan dan dedaunan semuanya seperti menjerit seolah sedang dicabik-cabik.
“Apa? Apa itu?”
Dia menengadah menatap langit. Dia tak bisa melihat rembulan di manapun. Sebuah getaran dingin merayap di punggungnya.
Aku harus pergi!
Mimizuku menendang tanah, mendentingkan belenggu-belenggunya.
Dia berlari ke kediaman Fulurou. Fukurou harus berada di sana. Mimizuku tak punya sesauatu yang cantik untuk Fukurou hari ini, tetapi bahkan bila dirinya diusir, dia hanya tahu kalau dia harus pergi.
“A-Apa?”
Ketika Mimizuku semakin mendekati kediaman, dia pun menyadari sesuatu yang mengerikan.
“Ah… Aaaaaaah!!”
Dia memekik dengan tidak manusiawi.
Kediaman itu terbakar. Lidah-lidah api merah membara tampak menelan kediaman seperti sedang berkerumun di sekelilingnya.
Kenapa? Mimizuku membatin. Kenapa?!
Berlari lebih dekat, dia membuka paksa pintu yang setengah terbuka dan bergegas ke dalam. Lidah-lidah api semakin mendekat pusar kediaman itu sedikit demi sedikir. Mimizuku memanjat menaiki tangga, merasa seakan dirinya dibakar oleh api neraka.
Dia berlari ke kamar Fukurou.
Sang Raja Malam berdiri di sana, di pusat ruangan.
“Fukurou… Fukurou! Fukurou!!” Mimizuku berteriak. Fukurou perlahan berbalik. Matanya dingin keemasan, dan tempak bergetar ketika memantulkan merahnya api.
Tak ada emosi yang tampak.
“Fukurou! Tak ada gunanya! Hentikan!” Mimizuku berseru. Dia menghantamkan tinjunya pada tembok beberapa kali, yang terkelupas karena api. Mimizuku lupa pada fakta bahwa dirinya bisa terbakar.
“Hentikan! Hentikan! Akan terbakar! Lukisanmu akan terbakar!!”
Asap memasuki paru-parunya dan Mimizuku pun mulai terbatuk hebat. Meski demikian, Mimizuku berusaha mengelupas lukisan dari dinding untuk melindunginya.
Lukisan mentari terbenam merah, yang segera akan selesai, menghilang ditelan api.
“Tidaaaaak!!”
Mimizuku melolong seperti seekor binatang. Dia bergerak untuk melemparkan dirinya sendiri ke dalam api, namun Fukurou menangkapnya.
“Cukup.”
Suara dingin Fukurou mencapai telinganya. Mimizuku berbalik.
“Ini tidak baik! Aku tak bisa menyelamatkannya!” Mimizuku berteriak.
Meski lukisan itu begitu indah.
Meski itu adalah lukisan yang telah kamu buat!
Jeritan Mimizuku menghilang ke dalam gemuruh keras yang berasal dari kediaman. Suara rendah seperti sebuah ledakan.
Lantai pun runtuh di bawah kaki mereka.
“Gyaah!”
Seluruh paruh atas bagunan itu rubuh. Atapnya telah terlontar jauh, sehingga Mimizuku dan Fukurou tak tergencet sampai mati. Mimizuku kebingungan, tak tahu siapa atau apa yang telah menyebabkan ledakan itu.
“Ah… a….”
Belenggunya telah menjadi merah membara.
Dia merasa seakan seluruh dunia sedang runtuh.
Namun di tengah-tengah semua ini, dia mengira kalau dirinya mendengar sesuatu.
Di suatu tempat, seseorang sedang menagtakan sesuatu.
Dia mendengar sebuah suara.
“Di sini!”
Dalam penglihatannya tentang dunia yang terbakar habis, suara itu begitu kuat.
“Di sini! Ukurkan tanganmu padaku!”
Di sisi lain reruntuhan bangunan, seseorang sedang berdiri. Dia adalah seorang pria dengan rambut pirang dan mata biru, dan dia sedang mengulurkan tangannya kepada Mimizuku. Dia menggenggam sebilah pedang di satu tangan, dengan tangan yang lain terjulur ke arah Mimizuku.
“Huuuh?!”
Mimizuku membuat suara aneh.
“Aku?!”
Suara itu tak cocok dengan pemandangan lemah tersebut; suara itu begitu liar.
“Ya, kamu! Aku datang untuk menolongmu!!”
Suara yang meresponnya kuat tanpa batas.
“Tolong?”
Tak seorang pun yang pernah mengulurkan tangannya kepada Mimizuku seperti ini sebelumnya.
“Datang untuk menolong…?”
Dia merasa sepertinya pernah mengharapkan hal ini sebelumnya, dahulu, dahulu sekali, saat dirinya masih kecil.
Dia berharap seseorang akan membawanya pergi. Membawanya pergi menuju kebahagiaan.
Menuju… kebahagiaan…?
“Aku… aku….”
Kata-katanya bergetar. Bagi takdir secara mendadak mengulurkan tangan kepadanya, tubuh Mimizuku gemetar ketakutan.
“Pegang tanganku! Jangan takut!”
“Tapi….”
“Tidak apa-apa!”
Sesuatu seperti ini. Kuat. Meski ini adalah kebohongan, bagi seseorang mengatakan kepadanya ‘Tidak apa-apa!’….
Tak seorang pun yang pernah mengatakan sesuatu seperti itu kepadanya sebelumnya.
Seakan tertarik olehnya, Mimizuku berjalan dengan beberapa langkah kecil menuju suara itu. Namun kemudian dia berbalik. Ditatapnya Fukurou. Tampaknya tubuh Fukurou sedang ditarik oleh sebuah benang tipis yang tak terlihat.
Fukurou menatap tajam pada Mimizuku dengan matanya yang bagai rembulan. Dia berkata,
“Pergilah. Gadis yang menamai para monster. Tak ada lagi alasan bagimu untuk tetap berada di sini.”
Dan kemudian, Fukurou bergerak secara tidak wajar, dan tampak secara tidak sadar mengulurkan tangannya, dia menyusurkan jari panjangnya pada dahi Mimizuku.
Sesaat kemudian, tubuh Mimizuku mulai bergerak dengan sendirinya. Sendirian, namun tanpa keraguan, Mimizuku dengan sukarela meraih tangan itu.
Bukan tangan raja para monster, melainkan tangan sang Ksatria Suci.
Tangan yang telah terjulur untuknya. Kulit manusia yang hangat. Kehangatan itu menyelimutinya. Dirinya diangkat.
Dia telah diselamatkan, seolah dirinya dicintai.
Meski demikian, untuk suatu alasan tertentu, Mimizuku ingin menangis.
Entah bagaimana, dan teramat sangat, dia ingin menangis.
Sakit kepala yang berat menerpanya. Dahinya terasa panas. Dia ingin menjerit.
Meski tak pernah mengenal air mata sebelumnya, dia ingin menangis.
… Persis seperti itu. Kuharap aku bisa dimakan olehmu, persis seperti itu.