Mimizuku And The King of Night - Chapter 5
Suara sorakan merayap jauh ke seluruh ruangan.
Seluruh mentri kabinet serta para prajurit membungkuk untuk bersulang.
Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan adalah sang Raja berambut kelabu.
Orang-orang menyelamati Brigadir Penyihir atas keberhasilan mereka, juga sang Ksatria Suci atas kepahlawanannya. Para penyanyi yang bersemangat tinggi mulai menyanyikan puji-pujian di sudut balairung.
Duke Ann menyandarkan punggungnya di pojok balairung dan menatap semua pemandangan itu dari kejauhan.
“Lord Ksatria Suci! Mereka mengadakan lomba minum di sana! Aku yakin kau akan meminum habis semuanya di bawah meja!” ujar seorang prajurit yang bersahabat, menghampiri Duke Ann.
“Nah, kalau aku kebanyakan minum lagi, istriku akan mengamuk,” Duke Ann menjawab dengan senyum memelas.
“Apa kau bisa menyampaikan salamku padanya?”
“Ya, tentu. Lagipula di sini ada banyak orang dari kuil hari ini. Dia tak mau datang karena gugup dan bilang kalau dia membenci hal-hal semacam ini.”
“Haha! Sayang sekali!” si prajurit berkata, menghilang kembali ke dalam kerumunan.
Mereka berhasil dalam menakhlukkan sang Raja Iblis, dan gadis yang disekap itu berhasil diselamatkan.
Kabar tersebut dalam menyebar di antara rakyat dalam sekejap. Bahkan pada saat ini, warga sedang mengangkat gelas mereka atas keberhasilan kerajaan mereka.
Duke Ann juga tak segan-segan mengikuti acara minum-minum.
Bagaimanapun, penakhlukan sang Raja Iblis itu terjadi kemarin. Dia ingin kembali ke kediaman dan beristirahat. Istrinya pasti menunggu kepulangannya, dan dan wanita itu tak suka datang ke perayaan semacam ini di mana semua orang berkeliling menyampaikan selamat di sini dan di sana.
Telah terpikirkan olehnya untuk absen dengan alasan beristirahat, bagaimanapun juga dari sudut pandang kerajaan, dia adalah muka dari kehormatan mereka, dan lagipula di sana juga ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Dia menunggui acara bersulang itu demi laporan tersebut.
Pada akhirnya, seorang pelayan berlari menghampiri Duke Ann. Dia membisikkan sesuatu ke telinga sang Ksatria Suci tersebut. Setelah mendengarkannya, Duke Ann mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada si pelayan.
Dia lalu meninggalkan balairung secara diam-diam.
Bila sang Raja tahu kenapa dia pergi, tak mungkin juga beliau bisa menghentikan Duke Ann.
Duke Ann sudah menunggu laporan bahwa gadis yang ditangkap oleh sang Raja Iblis mendapatkan kembali kesadarannya.
Melewati lorong yang panjang, mengetuk sebuah pintu dengan pegangan emas, perlahan dia pun masuk ke dalam kamar.
Ada sebuah ranjang di bawah kandil yang benderang. Di sana, seorang gadis kecil berbaring menyamping.
Duke Ann berjalan menghampiri gadis itu. Pada ranjang yang diisi dengan bulu-bulu unggas air, gadis itu tidur seakan terbenam ke dalamnya. Pipi gadis itu kurus dengan menyedihkannya, dan Duke Ann teringat betapa terkejut dirinya atas betapa ringan tubuh gadis itu saat dia mengangkatnya. Lidah-lidah api sihir telah dibuat sedemikian rupa sehingga tak membakar gadis itu, namun gadis itu masih saja berantakan penuh jelaga.
Ditelusurkannya tangan pada rambut tipis gadis kecil itu, yang memberikan kesan seperti jerami. Dia menyibakkan poni gadis itu ke samping hingga dahinya terlihat. Ada sebuah pola aneh pada dahi itu, dan tak satupun dari para penyihir yang tahu apa yang disimbolkannya. Bagaimanapun, tanda itu pasti adalah pekerjaan sang Raja Iblis, dan tak diragukan lagi tampaknya gadis itu terpengaruh oleh suatu mantra.
“Apa kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?”
“….”
Gadis itu lalu mengintip dari matanya yang sedikit terbuka, menatap lekat-lekat pada Duke Ann.
“Ah… a…,” gadis itu mengerang tidak jelas.
“Ya? Ada apa?” Duke Ann bertanya lembut.
Bagaimanapun, gadis itu tak bisa membentuk lebih banyak lagi kata-kata, dan enah bagaimana dia berusaha mengangkat tubuhnya keluar dari ranjang. Berjuang dengan tenaganya yang kurang, dia pun meraih tangan Duke Ann.
“Apa kau baik-baik saja? Apa ada bagian yang sakit?”
“T-…tidak.”
Suara gadis itu lirih, bagai kepakan sayap-sayap serangga. Pergelangan tangan yang digenggam oleh Duke Ann telah berubah menjadi coklat. Mereka berhasil melelehkan rantai itu hingga lepas dengan sihir, namun mereka tak bisa menghilangkan bekasnya, karena tampaknya gadis kecil itu telah memakai belenggunya dalam waktu yang sangat lama. Melihat hal tersebut membuat hati Duke Ann sakit. Bagaimanapun, Duke Ann bersyukur karena kesehatan gadis itu baik.
“Baiklah, bagus.”
Duke Ann menghela napas lega.
Gadis itu belum terlalu banyak memakai otaknya, dan semua yang berhasil dia katakan adalah, “Di mana… aku?”
“Ini adalah Kastel Bahtera Merah. Kau tak perlu khawatir lagi. Tak ada yang perlu ditakutkan.”
“Tak ada… yang perlu… ditakutkan,” gadis itu mengulang seperti seekor nuri.
“Ya, itu benar. Aku adalah Duke Ann. Duke Ann MacValen. SIapa namamu?”
“Nama… ku?”
Gadis itu perlahan memejamkan matanya.
Bulu matanya bergetar seakan dia kedinginan.
Kemudian dia membuka matanya.
“Aku sudah lupa namaku,” dia berbisik.
Pada kata-kata tersebut, Duke Ann menatap takjub. Gadis itu menatap wajah Duke Ann dengan sorot mata yang murni tanpa dosa.
Duke Ann menggigiti bibirnya, mengarahkan tatapannya ke bawah, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Dia lalu memeluk lembut kepala gadis itu.
“Kau anak yang malang…,” ujarnya lirih, dengan suaranya yang dalam.
Gadis itu tampak sedikit menelengkan kepalanya saat dirinya didekap pada dada Duke Ann.
Dia tak bisa mengerti kenapa semua hal ini diucapkan kepadanya.
***
Rumor bahwa sang Raja Malam telah ditakhlukkan dan bahwa gadis yang ditangkap telah diselamatkan menyebar ke seluruh wilayah dalam sekejap mata.
Orang-orang mengucapkan puji-pujian untuk Brigade Penyihir dan sang Ksatria Suci, juga mengekspresikan simpati serta rasa kasihan mereka untuk si gadis kecil.
Para penyair menyanyikan pujian mereka diiringi oleh nada-nada dari harpa mereka. Mereka menyanyi tentang sang gadis dengan pola aneh di dahinya, tentang kemalangannya, juga tentang takdirnya yang kejam. Mereka menyanyi dalam ritme melankolis yang indah. Mereka juga menyanyikan pujian setinggi langit tentang tindak kepahlawanan sang Ksatria Suci.
Bagaimanapun juga, ada satu hal yang tak pernah mereka nyanyikan.
Mereka tak pernah bicara tentang sang Raja Malam yang kejam, dan tak seorang pun tahu tentang keberadaannya.
***
“Namamu adalah Mimizuku.”
Suatu hari, seorang wanita cantik berambut hitam memasuki kamar Mimizuku di dalam kastel dan mengatakan hal ini kepadanya dengan suara yang ramah. Rambut wanita itu telah dijalin ke dalam dua atau tiga kepangan, dan matanya, yang sewarna dengan rambutnya, memancarkan cahaya lembut yang cemerlang.
“Namamu adalah Mimizuku. Aku mendengarnya dari pemburu yang telah diselamatkan olehmu sebelumnya saat dia tersesat di dalam hutan.”
“Mimizu… ku?”
Mimizuku, duduk di atas ranjang besarnya dengan sikap seenaknya, mengulang nama tersebut. Dia mengenakan sehelai gaun yang ringan serta tipis, dan sedikit rona telah kembali ke pipinya yang tirus.
“Ya. Apa kau ingat?”
“Aku… aku tak mengerti. Tapi, saat kamu mengatakannya… aku merasa sepertinya kamu memang benar. Ya, namaku Mimizuku,” ujar Mimizuku dengan suara rendah, menurunkan kelopak matanya. Seakan sedang menyegel sesuatu yang penting ke dalam hatinya, ditebahkannya tangan ke dadanya.
“Aku Orietta. Orietta Macvalen. Aku adalah istri dari Ksatria Suci yang pemalas itu. Kau tahu Duke Ann, kan?”
“Ya, aku tahu Andy.”
Semenjak Mimizuku terbangun beberapa hari yang lalu, Duke Ann telah datang mengunjunginya setiap hari. Mimizuku sering tertidur, dan pria itu akan bicara dengan para pendamping yang mengurus segala keperluan Mimizuku sambil membelai kepalanya.
“Ya, aku adalah istri dari ksatria rumahan itu. Senang bertemu denganmu, Nona Mimizuku.”
Mimizuku menjabat tangan Orietta yang terjulur. Dia tersenyum. Tangan wanita itu seperti ikan putih yang cemerlang, berlawanan dengan tangan Mimizuku, yang bagaikan sehelai daun layu.
Orietta sedikit mengernyit setelah menjabat tangan gadis itu.
“Senang bertemu denganmu, uh….”
“Orietta.”
“Ya, senang bertemu denganmu, Orietta, istri… Andy?”
“Ya, sayangnya, itulah aku.”
Tak seperti kata-katanya, wajah Orietta penuh dengan kebahagiaan.
“Mimizuku… apa tidak apa-apa bila aku memanggilmu Mimizuku?”
“He-eh!”
Mata Mimizuku berbinar-binar pada pertanyaan Orietta. Meski mereka bilang bahwa itu adalah namanya sendiri, dia merasa luar biasa berharga bisa dipanggil dengan nama itu.
“Mimizuku, bagaimana, kau suka tinggal di sini?”
Ditanyai ‘bagaimana’, Mimizuku menelengkan lehernya. Meski demikian, dia hanya mengucapkan apa yang ada dalam benaknya.
“Yah, um…. Ada banyak makanan lezat. Aku mendapat banyak benda-benda cantik untuk dikenakan, dan semua orang sungguh baik!”
“Apa ada sesuatu yang kurang?”
“Andy akan selalu menanyakan itu! Tidak, tak ada yang kurang.”
Mimizuku menggelengkan kepalanya untuk menanggapi. Sungguh, gaya hidupnya sudah lebih dari cukup. Dia selalu bertanya-tanya kenapa mereka melakukan begitu banyak untuknya.
Mungkin karena mereka mampu melakukan begitu banyak untuk dirinya, jadi mereka melakukannya saja.
Orietta tersenyum kepadanya.
“Apa kau sudah ingat sesuatu?” dia bertanya dengan suara lirih.
Yang dimaksudkan Orietta adalah hari-hari yang telah dilalui Mimizuku sebelum dia terbangun, yaitu saat dia di dalam hutan.
Mimizuku tak punya jawaban. Dia kembali menggelengkan kepalanya, namun perlahan, dan dengan perasaan yang sangat berbeda.
Orietta berlutut di atas karpet di sebelah ranjang dan menatap langsung ke mata Mimizuku.
“Kau tahu, Mimizuku. Hingga sebelum sekarang, kau berada di dalam hutan. Kau disekap oleh para monster, dan matamu tampak ketakutan…. Pasti itulah sebabnya kau kehilangan ingatanmu… untuk melindungi dirimu sendiri. Jangan paksa dirimu untuk berusaha mengingat. Mimizuku, mungkin yang paling baik adalah melupakan. Sejak saat ini, kau memiliki sebuah kehidupan baru di hadapanmu!”
Hutan Malam.
Monster.
Mata ketakutan.
Kata-kata itu berputar-putar di belakang kepala Mimizuku.
Sungguhkah?
Mungkin yang paling baik adalah melupakan.
Su-sungguhkah?
“Aku memiliki… sebuah kehidupan baru di hadapanku?”
“Itu benar,” datanglah penegasan.
Itu benar, memang seperti itu.
Sungguhkah?
Kenapa?
Jauh di dalam hatinya, seseorang bertanya.
Dia mendengar suara-suara berdenting d suatu tempat yang jauh.
***
Di sepanjang jalan batu yang sudah lawas, bau lumut menggelantung di udara. langit-langitnya tinggi, namun tak ada jendela. Dengan kekuatan sihir, Cahaya berpendar terang, berganti-ganti dari merah menjadi biru. Sang Raja melangkah maju, langkah kakinya menggema di seluruh ruangan. Para penyihir yang mengekorinya tak mengatakan sepatah kata pun. Satu-satunya hal yang terdengar adalah bunyi sepatu mengenai lantai dan sesuatu yang terdengar seperti erangan yang dalam.
Pada ujung terjauh aula itu, sebuah bayangan hitam tersalib pada dinding. Saat sang Raja berhenti, langkah terakhirnya terdengar paling mencolok.
“Raja para monster.”
Suara parau namun bermartabat itu terdengar dari arah sang Raja.
Ditahan di tempatnya oleh benang tembus pandang, Fukurou disalibkan ke dinding dengan tubuh terentang. Matanya terpejam rapat, dan sayap-sayapnya tak membuat gerakan sedikit pun.
“Apa dia sadar?” seorang penyihir di sisi sang Raja bertanya.
“Mari kita lihat apakah dia bisa mendengar kita,” Riveil menjawab dari bawah tudungnya yang suram.
“Raja Iblis.”
Sang Raja berkata lantang. Merespon suaranya, Atau mungkin untuk alasan lain, Fukurou pun membuka kelopak matanya yang berat.
Cahaya samar keperakan memancar dari sepasang mata itu. Cahaya tersebut diredupkan oleh pengaruh kekuatan sihir, namun kekuatan dari cahaya tersebut membuat jelas bahwa dia adalah penguasa para monster.
Sang Raja menarik napas dalam-dalam, dan berbalik untuk menghadapinya, tak berjengit.
“Raja Iblis. Bagaimana perasaanmu karena ditangkap oleh manusia?” Dia bicara memprovokasi. Namun, sang Raja Iblis mengabaikan pertanyaannya.
“… Raja manusia?”
Suara Fukurou cukup dalam untuk bisa dirasakan di tanah.
“Benar. Aku adalah Raja dari negara ini, Bahtera Merah.”
Selama sesaat, getaran emosi sepertinya muncul di mata Fukurou. Sesuatu yang dekat dengan rasa muak atau rasa jijik.
Sang Raja berpikir bahwa dia terlihat cukup seperti manusia.
Dia tak menyangka bahwa sesuatu yang kejam, dengan niat jahat yang murni, bisa merasakan hal-hal seperti penghinaan ataupun kebencian.
“… Apa kau membenci manusia? Kau terlihat seperti seorang manusia, Raja Para Monster. Tampaknya kau telah memperbudak seorang gadis manusia, bukankah begitu? Tanpa membunuh ataupun menggunakan kemampuanmu… apa kau merencanakan pembalasan?”
Fukurou menanggapi pertanyaan itu dengan penolakan diam, tak berkedut sedikit pun. Sang Raja menggertakkan gerahamnya. Bahkan bila dirinya sendiri ditangkap, dia tak berpikir bahwa dirinya akan mampu mempertahankan keangkuhannya selama Fukurou.
Mau bagaimana lagi. Bagaimanapun juga musuhnya adalah monster.
“… Terserah. Gadis itu mendapatkan perawatan yang seksama di kastel. Gadis itu telah kehilangan ingatannya, tetapi hal itu bagus untuknya, dengan menimbang bahwa gaya hidupnya akan jadi beruntung dan diperbaharui sejak saat ini. Raja Iblis. Keinginanmu sama sekali luput dari sasaran.”
Fukurou tak menjawab. Dia hanya memejamkan kembali matanya, seolah dia telah kehilangan minat. Rang Raja bertukar pandang dengan para penyihir, dan dengan takzim mengeluarkan sebuah bola kristal besar.
Kristal itu benderang oleh kekuatan sihir, dan sebuah lidah api merah menari-nari di dalamnya. Dengan kerajinan tangan yang indah serta kekuatan sihirnya, mereka yang melihat bola kristal itu akan terserap oleh pesonanya.
“Lidah api ini mewakili kekuatan sihirmu. Saat lidah apinya berubah dari merah menjadi biru, kekuatan sihirmu akan terkuras, tubuhmu akan mengering, dan kau akan menjadi mumi yang melambangkan kekuatan sihir dari negara ini.”
Sang Raja menjelaskan semua ini dengan santai, dan meski dia sedang memberi Fukurou vonis kematian, Fukurou tak merespon dan tetap berdiam diri.
Kehabisan hal-hal untuk dikatakan, sang Raja berbalik dengan tumitnya, dan berjalan kembali ke arah dia datang. Pada suara langkah kakinya yang menghilang di kejauhan, sebuah suara tiba-tiba terdengar.
“Raja Manusia.”
Sang Raja berhenti. Mempertahankan keagungannya sebaik mungkin, perlahan dia berbalik. Sekali lagi matanya bertemu dengan mata perak Fukurou.
“Raja manusia. Mana yang lebih kamu utamakan: dirimu, atau negaramu?”
Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan oleh Raja Para Monster kepada Raja Para Manusia. Raja Para Manusia mendengus dan menanggapi tanpa keraguan.
“Pertanyaan itu tak ada artinya, Raja Iblis. Kedua hal itu tak bisa diperbandingkan. Aku akan, kapan saja, memilih negaraku. Selama aku masih menjadi diriku sendiri, aku akan memilih negaraku.”
Selama dia memiliki keinginan itu, dia bahkan takkan menempatkan kedua hal itu pada jajaran yang sama.
Fukurou memejamkan matanya atas respon sang Raja, dan menjadi diam, seakan tertidur.
***
Langit biru, ditandai hanya oleh beberapa awan tipis, melingkupi pasar kota kastel yang ramai.
“W-wah…!”
Berdiri di gerbang menuju pasar, mata ‘tiga putih’ Mimizuku membelalak lebar.
“Orangnya banyak sekali!”
“Apa ini adalah kali pertama kau melihat orang sebanyak ini di satu tempat?” Duke Ann bertanya, tersenyum. Pria itu berdiri di sisi Mimizuku.
“Ini pasti adalah pertama kalinya!” Mimizuku menjawab.
“Baiklah kalau begitu, berpegangan pada tanganku supaya kau tak tersesat, ya?” Orietta berkata. Dia berdiri di seberang Duke Ann. Diraihnya tangan mungil Mimizuku. Mimizuku mengerjap beberapa kali, namun kemudian tersenyum riang.
Hari ini adalah kali pertama Mimizuku meninggalkan kastel.
Dia mengenakan pakaian yang tak mencolok, namun jelas dibuat dengan baik, beserta topi yang serasi. Duke Ann dan Orietta mengawalnya.
“Hei, Orietta! Semua orang membawa banyak benda!”
“Ya, bagaimanapun juga ini adalah tempat berbelanja,” Orietta berkata, bertanya-tanya apakah Mimizuku mengerti.
Mimizuku, mendapati dirinya kesulitan untuk memahami, menelengkan lehernya.
“Kau membeli barang-barang yang kau inginkan dan membayarnya dengan uang. Ini, Mimizuku, bukalah tanganmu.”
Orietta meletakkan tiga keping koin ke dalam tangan kosong Mimizuku.
Koin-koin itu berukirkan burung merpati, dan bagi Mimizuku, koin-kin itu tampak seperti harta karun.
“Pakailah ini.”
“Bayar? Dengan uang? Untuk sesuatu yang kuinginkan?”
“Itu benar, sesuatu yang kau inginkan.”
“Sesuatu yang kuinginkan….”
Mimizuku berpikir selama sesaat.
Duke Ann tertawa.
“Pergilah melihat-lihat lebih dulu!” ujar Duke Ann, mendorong punggung Mimizuku. Di kios-kios pasar terdapat buah-buahan segar dan sayuran, kain-kain yang indah, juga benda-benda bagus yang tak pernah Mimizuku lihat sebelumnya.
Mimizuku menatap sekeliling; sebagian besar dari yang dia lihat sama sekali baru untuknya.
“Wah wah, halo, Lady Orietta!”
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari sebuah kios di samping. Seorang wanita yang menjual tepung gandum muncul di hadapan Orietta.
“Kau juga bersama dengan Lord Ksatria Suci? Aku iri sekali dengan betapa rukunnya kalian….”
Mengucapkan hal ini, si wanita tertawa sepenuh hati.
“Kami rukun atau tidak, dia tetap ikut bersamaku hari ini. Apapun yang kubeli, aku tak perlu mencemaskan soal membawa belanjaanku pulang, selama dia ada si sini!” Orietta berujar, memasang senyum terbaiknya.
“Ahaha, itu tepat sekali! Nah, Orietta, siapa anak ini?”
Si wanita menunduk menatap Mimizuku. Mimizuku mendongak pada Orietta, bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan.
“Lady Orietta, kau sudah punya anak sebesar ini?”
“Dia imut kan?” Orietta menjawab sambil tersenyum, mengabaikan komentar wanita itu yang kedua.
Sebelum dia menyadarinya, Orietta telah melepaskan tangannya, dan menyentuh ringan punggungnya. Mimizuku merasa sepertinya wanita itu memaksudkan supaya dirinya pergi, jadi dengan jantung berdetak kencang, dia pun bercampur ke dalam kerumunan di antara kios-kios jalanan. Sambil menyapa orang di sini dan di sana, Duke Ann mengawasi sosok kecil gadis itu untuk memastikan dirinya tak melepaskan pandangan dari Mimizuku.
Setelah bertumbukan dengan beberapa orang, Mimizuku mendapati dirinya berdiri di depan sebuah kios tunggal. Dia berhenti untuk beristirahat, dan mendapati dirinya sendiri mengendus aroma manis yang menguar dari kios itu.
“Hei, nona kecil! Ingin makan sesuatu?” si pedagang berkata sopan kepada Mimizuku. Mimizuku jadi sedikit panik.
“Apa rasanya akan enak?”
“Coba dan buktikan sendiri! Nah, makanlah.”
Terbungkus dalam kertas berwarna gelap adalah buah yang dimasak dan dicelup dalam gula. Saat Mimizuku menggigit, rasa manis yang hangat dan jus buah barcampur di dalam mulutnya.
Mata Mimizuku berbinar-binar.
“Enak!”
“Iya kan, iya kan!”
Atas respon Mimizuku, pria itu jadi semakin bersemangat.
Tanpa menarik napas, Mimizuku menggigit buah itu. Setelah mengumumkan kelezatannya dengan liar, sekerumunan orang dewasa segera berkumpul di sekitarnya.
“Ini bahkan lebih baik daripada makanan di kastel!” Mimizuku berkata jujur. Kerumunan itu mendadak dibuat jadi bersemangat.
“Pujian semacam itu melampaui apapun yang bisa kuharapkan!”
“Gadis kecil, tidakkah kau sedikit berlebihan dalam pujianmu?”
“Tapi itu benar! Ini luar biasa lezat!”
Mimizuku merespon jujur meski dia tak mengenal orang yang telah bicara dengannya.
“Ya ampun, sekarang aku harus mencicipinya juga!”
Ketidaktahumaluan Mimizuku telah membawa banyak pelanggan. Ketika Mimizuku melihat jari-jari mereka menyerahkan koin, mendadak dia panik.
“Oh, itu benar! Apakah aku harus memberimu uang?”
Tangan si pemilik kios sudah penuh, dan dia pun melintarkan tawa.
“Aku tak membutuhkannya, Non! Sudah cukup bagiku hanya dengan kau mengatakan bahwa makananku lezat!”
Orang-orang pun memuji kemurahan hatinya, dan mereka menunjukkannya dengan cara bersedia membeli lebih banyak lagi.
“Tidak, itu tidak baik. Orietta bilang aku harus menukarkan uang…!”
Kerumunan dibuat terperanjat saat Mimizuku menyebutkan nama itu.
“Apa? Apa kau adalah kenalan Lady Orietta? Sang kandidat untuk Gadis Kuil, benarkah…?”
Seorang wanita tua lalu berjalan menghampiri Mimizuku.
“Lihat, mulutmu belepotan. Tunggu sebentar, aku akan membersihkannya untukmu.”
Mengulurkan tangan lembut nan keriputnya, wanita itu pun menyeka area di sekeliling mulut Mimizuku. Gadis itu telah makan begitu cepat sehingga remah makanan bertebaran di wajahnya. Semua orang memberinya senyuman ramah.
“Nah, sekarang kau sudah bersih. Astaga, apa ini? Di dahimu….”
Si wanita tua menyibakkan poni Mimizuku ke samping. Yang tampak adalah pola yang aneh.
“Kau… tak mungkin….”
Si wanita tua menelan napasnya, dan kerumunan pun menjadi sunyi selama sesaat. Mimizuku berdiri di sana, menatap mereka semua dengan wajah kebingungan.
“Nona muda… apakah kau adalah seorang tuan putri…?” wanita tua itu bertanya, jarinya gemetar.
“Hm? Aku memang tinggal di kastel, tetapi aku bukan tuan putri.”
Kerumunan tergerak.
“Bukan, bukan itu maksudku. Kau, yang telah diselamatkan saat penakhlukan Raja Iblis, adalah tuan putri dari Hutan Malam…?”
“Huh? Um, mungkin? Aku….”
Pada kata-kata itu, kerumunan pun jadi mulai saling bergumam.
Meski dia tak terlalu mengerti, dan meski dirinya bukan seorang tuan putri, Mimizuku mendapat perasaan bahwa dia memang persis seperti yang telah dikatakan kepadanya. Mimizuku teringat dengan apa yang telah Orietta jelaskan kepadanya sebelumnya.
“Aah…!”
Si wanita tua tiba-tiba menjerit, dan kemudian memeluk Mimizuku erat-erat.
“A-ap…!”
“Kau sudah kembali hidup-hidup. Aku takut sekali, ini menakjubkan…!”
“Uh, um…!”
Memeluk Mimizuku, air mata mulai berjatuhan dari mata si wanita tua. Mimizuku merasa kebingungan ketika tetes-tetes air mulai berguguran ke bahunya.
“Sang Tuan Putri! Tuan Putri yang telah diselamatkan dari Hutan Malam ada di sini…!”
Suara-suara bahagia bisa terdengar. Mimizuku didorong ke mana-mana, disentuh dan dipeluk oleh berbagai orang. Sambil bergetar gugup, dia berjabat tangan dengan beberapa orang.
Apa yang terjadi?
Jantung Mimizuku mulai berdebar lebih keras dan lebih cepat.
Rasanya hangat.
Apa yang terjadi di sini?
Sesaat kemudian, Duke Ann muncul dari balik kerumunan dan membawa Mimizuku bersamanya.
Tangan-tangan yang Mimizuku rasakan begitu hangat.
“Hei, Duke Ann.”
“Hm? Ada apa?”
“Wanita tua itu sangat khawatir. Karena aku.”
“Ya, dia menangis.”
“Menangis….”
“Air matanya mengalir demi dirimu,” Duke Ann berkata dengan senyum baik hati.
Apa itu air mata?
Namun rasanya hangat. Penuh kasih. Saat dia memikirkan hal ini, sinus Mimizuku terasa lega dan hidungnya terasa segar.
***
Secara umum, Mimizuku bersikap penurut sebagai seseorang yang tinggal di dalam kastil tanpa perlu melakukan apa-apa sebagai gantinya. Dia tak pernah punya waktu luang ataupun rasa bosan karena dia tahu apa yang harus dia lakukan dengannya. Dia suka tidur di ranjangnya, dan dia suka menatap pemandangan dari jendelanya, dan dia juga suka bicara kepada para pelayan yang terkadang mampir. Semua orang baik kepadanya, dan Duke Ann serta Orietta sudah seperti keluarga.
Bahkan ada sekali waktu saat dia bicara dengan sang Raja.
“Ini adalah kali pertama kita berjumpa seperti ini, Mimizuku.”
sang Raja berambut kelabu muncul di kamar Mimizuku beserta beberapa orang pengiring. Duke Ann berada di sisi Mimizuku, dan pria itu berbisik kepadanya bahwa orang itu adalah ‘pria berkedudukan tertinggi di negara ini.”
“Ah, uh, senang bertemu denganmu!”
“Hmph… kulihat kau telah menjadi cukup bersemangat.”
“Aku, uh, kamu telah berbuat begitu banyak untuk menolongku!”
“Aku tak terlalu peduli tentang hal itu. Aku akan memberimu semua perawatan yang kau butuhkan.”
Percakapan mereka berakhir di sini, dan setelah selesai bicara dengannya, sang Raja memasang sebuah ekspresi kaku. Mimizuku bertanya kepada Duke Ann apakah sang Raja marah, dan Duke Ann pun tertawa.
“Dengan wajah itu, dia hanya sedang kesusahan akan sesuatu, itu saja.”
“Ya, sepertinya memang jenis wajah seperti itu,” Mimizuku sepakat.
Dan kemudian, beberapa hari kemudian, seorang pelayan mengunjungi Mimizuku.
“Lady Mimizuku, saya telah membawakan ini untuk Anda.”
Si pelayan menyerahkan segebung anak kunci.
“Apa ini?”
“… Semua ini adalah anak kunci untuk memasuki menara di sebelah barat.”
“Hm? Menara di sebelah barat?”
“Orang yang tinggal di menara itu ingin bertemu dengan Lady Mimizuku, saya diminta untuk melaporkan.”
“Aku? Kenapa?”
Si pelayan tua hanya tersenyum.
“Harap ambillah ini dan pergilah.”
Pelayan itu menyerahkan kepada Mimizuku serangkaian anak kunci yang berkilau pudar. Mimizuku mengambilnya tanpa merasa apa-apa.
“Mengerti! Aku akan pergi!” pungkasnya, menyeringai lebar.
DIa mendengarkan saat si pelayan memberitahunya jalan yang harus diambil. Pelayan itu kemudian menghilang kembali ke dalam lorong. Saat dia menatap punggung si pelayan menjadi semakin jauh dan semakin jauh, Mimizuku pun mendesah.
Pintu masuk menuju menara barat membutuhkan beberapa buah anak kunci. Menguji anak-anak kunci pada kunci yang berbeda satu demi satu, akhirnya dia pun berhasil membuka pintunya. Ada seorang prajurit yang berdiri telat di sebelahnya saat dia masuk, namun dengan sekali lirik dan melihat anak-anak kunci Mimizuku, prajurit itu pun hanya memberi salam tanpa berkomentar lain dan tanpa menoleh untuk menatap Mimizuku, membiarkan dia pergi lebih jauh sendirian.
Saat dia membuka pintunya, terdapat sebuah tangga yang panjang dan memutar.
Mimizuku berlari menaiki tangga tanpa keraguan sedikitpun. Dia ingat untuk menggulung naik tepi gaun polosnya ketika dia memanjat undakan.
Saat Mimizuku mengatur napasnya di puncak tangga, dia pun tiba di depan sebuah pintu ek yang buatannya bagus.
Yah….
Mimizuku mengetuk pintunya tiga kali, meniru apa yang dilakukan oleh para penghuni kastel kapanpun mereka memasuki kamarnya.
“Siapa di situ?”
Mimizuku terperanjat oleh suara yang dia dengar dari dalam.
“Aku Mimizuku.”
Tak ada cara lain untuk mengatakannya.
“… Masuklah.”
Menerima izin, Mimizuku pun masuk ke dalam. Saat dia membuka pintu, sebuah kamar yang luas terhampar di hadapannya. Bisa dibilang kalau ukurannya dua kali kamar Mimizuku.
Ada sebuah jendela berkisi-kisi, sebuah rak buku, sebuah ranjang besar, dan mainan-mainan bulu serta figur prajurit.
Di pusat ruangan, duduk pada sebuah kursi yang berbentuk aneh, terdapat sebuah bayangan.
“Ada apa? Kenapa kau tak masuk?”
Dia mendengar sebuah suara dari arah kursi itu. Suaranya tinggi, seperti suara anak perempuan. Duduk pada kursi yang ditempeli roda besar, adalah sebuah bayangan kecil.
Sosok itu memiliki tangan dan kaki pucat serta kurus.
Sosok itu memiliki rambut dan warna berwarna terang, juga tubuh mungil. Warna rambutnya seakan mengingatkan Mimizuku keapda seseorang.
“Aku senang bertemu denganmu, Mimizuku.”
Duduk dengan punggung tegak di atas kursi adalah seorang anak laki-laki yang tampaknya berusia kurang lebih sepuluh tahun. Dia tersenyum samar.
“Aku adalah Claudius. Claudius Vain Yordelta Bantera Merah.”
Mimizuku mengerjap.
“Aku adalah… pangeran negara ini.”
Dengan rambut terangnya berkilau oleh cahaya yang berasal dari kandil yang elegan, Mimizuku berpikir kalau anak laki-laki ini tampak cukup mirip dengan sang Raja.