Mimizuku And The King of Night - Chapter 6
Claudius meminta Mimizuku untuk duduk pada karpet di sebelahnya. Mimizuku merespon permintaannya tanpa ragu. Sejak dirinya tinggal di dalam kastel, duduk di atas karpet adalah salah satu kesukaannya, meski dia sering ditegur oleh para pelayan karena melakukannya.
Di sini, bagaimanapun, tak ada seorang pun yang melarangnya.
Duduk tepat di atas karpet, Mimizuku mendongak menatap pangeran bocah itu, yang kelihatan bahkan lebih kecil dari dirinya. Claudius duduk di sebuah kursi yang jauh lebih besar daripada dirinya, tampak tenggelam dalam lapisan luarnya yang empuk.
Tunjukkan padaku tandamu,” Claudius berkata, hanya menggerakkan sudut mulutnya.
Mimizuku dengan patuh melepaskan topinya dan menampakkan dahinya.
“Itu sungguh sebuah pola yang aneh….”
“Eheheh!” Mimizuku tertawa.
“Tunjukkan padaku pergelangan tangan dan kakimu.”
Tepat seperti yang diperintahkan kepadanya, Mimizuku mengulurkan lengannya untuk menunjukkan pergelangan tangannya, lalu menjulurkan lututnya untuk menunjukkan pergelangan kakinya.
“Warnanya benar-benar berubah.”
“Orietta bilang mereka tak bisa menghilangkannya.”
“Jadi kau dibelenggu?”
“Ya, itu benar. Belenggunya sudah berkarat, atau mereka bilang sesuatu semacam itu.”
“Apa kau kesulitan bergerak?”
“Kesulitan? Hm… tidak sakit sih, jadi kurasa belenggu itu tak memberiku kesulitan?”
“… Begitu ya.”
Dengan itu, Claudius tersenyum tipis. Senyuman itu adalah jenis yang tertentu yang belum banyak dilihat oleh Mimizuku. Mimizuku bahkan tak tahu apakah dia memang tersenyum di tempat pertama.
“Kalau begitu, maka aku bahkan lebih parah lagi.”
“Ya?”
“Tidakkah lengan dan kakiku pucat dengan jeleknya?”
“Yah.”
Mimizuku mengangguk jujur. Dia tak tahu apa artinya ‘jelek’, tetapi tentunya itu adalah warna yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Beginilah keadaanku sejak aku dilahirkan. Aku tak pernah bisa menggerakkan lengan dan kakiku, sama sekali.”
“Kamu tak bisa menggerakkannya?”
“Itu benar. Meski aku sampai mengambil nyawa ibundaku untuk dilahirkan… seperti ini, tentunya aku akan menimbulkan kesedihan bagi kerajaan.”
Mengucapkan kata-kata itu, Claudius menghindari tatapan Mimizuku dan mengarahkan matanya ke bawah.
“Tampaknya tubuhku ini dikutuk. Dengan seperti ini, aku tak bisa dilihat oleh penduduk kerajaan ini. Kalau mereka bilang aku cacat, semua orang akan jadi ketakutan. Karenanya, sejak aku dilahirkan, aku telah dikurung di dalam kamar ini, hampir tak pernah pergi.”
Mimizuku membuka lebar mulutnya dengan takjub, membuat Claudius tersenyum, dengan cara yang sama dengan yang Mimizuku tak tahu apakah sang pangeran tersenyum atau tidak.
“Jadi, kau akan bilang aku malang, kan?” Claudius bertanya.
Mimizuku memiringkan kepalanya ke samping.
“Malang?”
“Itu benar.”
Malang adalah saat kau tidak bahagia. Karena sang pangeran menyebut dirinya sendiri malang, mungkin dia memang begitu? Mimizuku berpikir.
Tapi kenapa dia bertanya padaku?
“Jadi bagaimana? Kau, karena ditangkap oleh sang Raja Malam, maksudku. Apa kau pikir dirimu lebih malang daripada aku?” Claudius berkata, memelototi Mimizuku dengan ekspresi dengki di wajahnya.
“Um….”
Mimizuku tercengang oleh penampilan Claudius.
“Aku senang? Di kastel ini, aku senang, kurasa?” dia berkata tanpa berpikir.
Kata-kata Mimizuku seakan menusuk Claudius hingga berlubang. Dia membuka mata zamrud buramnya lebar-lebar.
“Aku diberitahu bahwa hal ini adalah berkat Yang Mulia, tetapi kurasa kamu punya bagian di dalamnya juga,” ujar Mimizuku sambil tersenyum. Claudius membuang muka.
“… Aku tak punya kekuasaan sama sekali.”
Mimizuku, yang tak tahu apa arti dari ‘kekuasaan’, tiba-tiba berdiri. Dia tak mendapatkan izin dari Claudius, namun pemandangan matahari terbenam dari jendela besar tampak begitu cantik baginya.
“Wah! Hebat!” Mimizuku memekik riang.
“Hebat! Hebat! Ada pemandangan sebegini hebat dari tempat ini! Hei, kamu bahkan bisa melihat pasarnya!”
“Mimizuku, aku belum selesai bi –!“
Kata-katanya lenyap tanpa sempat selesai akibat teriakan Mimizuku.
“Hei, hei! Buah-buahan panggang pada kios di sebelah sana itu lezat sekali! Apa kamu pernah memakannya?” Mimizuku bertanya seenaknya. Wajah Claudius merengut.
“Aku sudah bilang…! Aku tak pernah bisa pergi dari sini!!”
“Jadi kau belum pernah ya? Baiklah kalau begitu, aku akan membelikan beberapa untukmu! Aku berteman baik dengan orang yang di sana!” Mimizuku berseru, berbinar-binar.
Claudius membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu pada gadis itu, namun dia kemudian menutupnya, ragu-ragu.
“… Kau akan… membelikannya untukku?” dia bertanya lemah.
“Ya! Aku akan membelikanmu! Rasanya sungguh enak. Di sana juga ada banyak barang-barang yang cantik dan menyenangkan.” Mimizuku mengangguk beberapa kali. Dia merasa sangat puas. Dia teringat betapa bahagianya si pria di kios itu saat dia berkata kalau buahnya lezat.
Claudius mendongak pada Mimizuku. Tatapaannya tampak kesepian, seakan dia bergantung pada Mimizuku.
“Kau….”
“Ya?”
“Apakah kau bersimpati padaku?”
“Si… simpati?”
Mimizuku mengangguk-anggukkan lehernya seperti seekor burung.
“Tidakkah menurutmu aku ini patut dikasihani?”
“Um… kamu patut dikasihani?”
Claudius langsung merona dan membuang muka. Tampaknya karena pertanyaannya dikembalikan kepada dirinya telah membuat dia malu.
“Aku juga sudah disebut sebagai patut dikasihani, meski aku tak mengerti apanya yang patut dikasihani dariku,” Mimizuku berkata, tersenyum lebar. Claudius menatap wajah gadis itu dengan malu-malu.
“… Hei, Mimizuku.”
“Ya?”
“Ceritakan padaku tentang apa yang terjadi di sekitar kastel. Tentang apa yang ada di luar, ceritakan padaku apa yang cantik, apa yang menarik, dan apa yang menakjubkan,” Claudius berkata, suaranya seperti bisikan.
Mimizuku menganggukkan kepalanya perlahan atas permintaan tersebut.
“Ya, baiklah! Aku akan menceritakan padamu tentang semuanya. Dan aku akan membawakanmu sesuatu yang lezat! Ada banyak hal yang mengejutkan di kota. Dan ada banyak benda-benda cantik juga!”
“….”
Claudius terdiam, dan dia pun menundukkan kepalanya.
“Uh… Mimizuku?”
“Ya?”
“… Apa kau mau, um….”
Telinga yang mencuat di antara helai-helai rambut Claudius memerah.
“Apa kau bersedia… menjadi temanku?”
Mimizuku meringis pada pertanyaan Claudius.
“Teman itu apa?” dia merespon dengan polosnya, dengan menyegarkannya.
Claudius mendongak dan tertawa jengah. Ini adalah kali pertama Mimizuku melihat dia tertawa.
***
Hari itu, saat sang Raja telah menyelesaikan urusan pemerintahannya, dia pun menuju ruang penerima tamu untuk mendapati Duke Ann sedang duduk berleha-leha di sofanya. Inilah yang menyambutnya setelah seharian melakukan pekerjaan yang melelahkan. Sang Raja berpikir untuk menyalakan api dan menusukkannya ke hidung di wajah tidur Duke Ann, namun dia mempertimbangkan bahwa dirinya tak mungkin melawan seseorang yang hidup dengan pedang dan berpikir lebih baik daripada itu. Dia tak boleh menjadi ceroboh.
“Kau, yang di sana, orang rumahan. Kalau kau tak mau kehilangan pekerjaanmu, keluar dari sini sekarang juga,” ujar sang Raja dengan suara rendah.
“Baiklah, baiklah…,” si tamu berkata dengan suara mengantuk, mengangkat tubuhnya dari sofa. Ksatria Suci yang bertata-krama buruk itu selalu mendapati bahwa sofa ini amat nyaman.
“Untuk apa kau berada di sini?”
“Hanya tidur siang.”
“Keluar.”
“Ya, tentu. Aku toh sudah akan pulang. Kalau aku pulang terlambat, istriku akan marah, kau tahu?” Duke Ann berkata dengan gaya santai sambil berdiri. Mendadak dia teringat sesuatu.
“Omong-omong, apa kau sudah dengar pembicaraan bahwa Dia dan Mimizuku sudah saling berteman?”
“… sudah.”
“Hmm? Jadi itu adalah saranmu?”
“Claudius lah yang bilang ingin bertemu dengan ‘tuan putri yang tersekap’.”
“Heh… dia tak mengerti apa yang telah dia pertukarkan, seperti biasa. Sebenarnya, nah, ini boleh juga. Aku sedikit terkejut saat mendengar bahwa mereka telah bertemu, tetapi kupikir ini juga adalah ide yang bagus.”
Sang Raja mengarahkan sorot mata dinginnya pada Duke Ann, yang sedang meregangkan tubuh seperti kucing.
“Jadi, apa yang hendak kau katakan?”
Duke Ann memasang wajah galau seakan dia sedang mencari kata-kata yang tepat, dan kemudian perlahan membuka bibirnya.
“… Tidakkah kau seharusnya memerhatikan Dia sedikit lebih banyak lagi? Berhenti menguncinya di tempat itu. Kalau kau berhenti ragu-ragu mengungkapkan dirinya pada khalayak umum secara tiba-tiba, sekarang dia pasti sudah akan berada di sebuah sekolah luar negeri yang menyenangkan entah di mana. Apa kau tahu Pulau Remit? Itu adalah pulau yang terletak jauh dari perbatasan, tetapi sekolah di sana seharusnya sangat bagus.”
Entah apakah sang Raja mendengarkan Duke Ann atau tidak, dia tak menatap sang pria itu.
Duke Ann mengesah, dan kemudian meneruskan.
“… Hei, meski Dia memiliki tubuh seperti itu… dia itu sangat cerdas, lho.”
“….” Sang Raja merespon dengan sikap diam.
Duke Ann mengesah kembali, dan mengubah arah percakapannya.
“Bagaimana dengan kelangsungan Rencana Memumikan Raja Iblis?”
“Ah, ya. Sejauh ini tak ada penundaan.”
“Begitu…. Yah, itu bagus, sepertinya.”
Sang Raja telah mengangkat kebekuan canggung dari percakapan sebelumnya, dan mengubah nada suaranya.
“Apa yang ingin kau katakan?”
“Yah, hanya… kupikir seluruh hal ini berjalan dengan sedikit terlalu mulus. Maksudku, bagaimanapun juga kita kan berurusan dengan Raja Iblis.”
Dia adalah sang Raja yang telah memerintah hutan monster dalam jangka waktu beberapa ratus tahun. Sungguh aneh dia bisa jatuh ke tangan manusia dengan begitu mudahnya.
Bahkan saat mereka sedang menakhlukkan sang Raja Malam, mereka telah merasakan hal itu.
“Tentu saja itu karena Brigadir Penyihir negara ini memiliki kekuatan yang sangat besar.” Respon sang Raja begitu mantap.
“Kalau begitu tidak masalah, kan? Omong-omong, sebenarnya apa yang akan kau lakukan dengan kekuatan sihir yang telah kau peras keluar dari sang Raja Iblis?” Duke Ann bertanya dengan suara bernada santai.
“… Akan dimanfaatkan untuk kepentingan negara.”
“Begitu ya.”
Duke Ann mengangguk pada respon tidak antusias sang Raja, dan setelah sekali berpamitan, dia pun meninggalkan ruang penerimaan tamu seperti yang selalu dia lakukan.
Ketika sang Raja mendengar langkah kaki Duke Ann semakin menjauh, dia pun memejamkan katanya erat-erat dan mendesah pelan.
“Aileidia….”
Sungguh sebuah nama yang indah. Ketika sang Raja mengucapkannya, si pemilik nama, seorang wanita yang memesona, terlahir kembali dalam benaknya. Lukisan-lukisan dari wanita itu hanya ada di ruang penerimaan tamu dan ruang tidur. Di sana, kini tersenyum kepadanya, adalah almarhumah Ratu. Wanita itu adalah seorang wanita lembut yang, meski tubuhnya lemah, dicintai baik oleh sang Raja maupun negara. Alih-alih hidup bahkan sedetik lebih lama lagi, wanita itu memilih untuk memunculkan kehidupan yang baru. Wanita itu hanya memiliki satu jawaban untuk mereka yang telah mengganggunya saat melahirkan.
“Aku ingin menjadi hanya satu-satunya ratu di negara ini.”
Wanita itu kini telah tiada, dan dia adalah satu-satunya ratu sejak saat itu.
Sang Pangeran juga harus menanggung beban seluruh negara sendirian.
***
“Pangeran! Lihatlah ini, aku mengambilnya di perbatasan negara.”
“Apa ini?”
Claudius menatap gumpalan kuning tembus pandang yang diangsurkan Mimizuku kepadanya.
“Ini adalah cairan yang keluar dari sebatang pohon, dan kemudian memadat. Lihat, ada serangga di dalamnya, iya kan?”
“Memang benar….”
Claudius memicing menatap gumpalan itu.
“Kelihatannya seperti madu. Kukira rasanya manis, jadi aku menjilatnya, tapi ternyata tidak begitu enak….”
“Aku takkan melakukan sesuatu seperti itu.”
“Begitu ya, kurasa itu cuma kamu saja,” Mimizuku berkata, cekikikan. Setiap tiga hari sekali, Mimizuku mengunjungi Claudius di kamarnya. Ada waktu-waktu ketika ada orang lain, seperti para guru, sudah berada di dalam kamar Claudius, namun begitu mereka melihat wajah Mimizuku, Claudius langsung menyuruh mereka pergi.
“… Mimizuku, aku akan memberimu kehormatan untuk memanggilku dengan namaku sendiri.”
“Huh?”
“Sebagai ucapan terima kasih… untuk semuanya. Kau tak harus memanggilku pangeran, Claudius juga boleh….”
Diberitahu bahwa dia bisa memanggil sang Pangeran dengan nama, Mimizuku mengerjap kaget. Bagaimanapun, dia emrpikir bahwa nama Claudius terlalu panjang dan sulit untuk diucapkan.
Seperti dia memanggil Andy karena Duke Ann terlalu sulit untuk diucapkan.
“Baiklah, karena namamu Claudius, aku akan memanggilmu Kuro –“
(T/N: Saat ditulis dengan katakana, nama Claudius adalah クロディアス (Kurodiasu). Dua huruf pertama adalah ‘ku’ dan ‘ro’; yang menjelaskan nama panggilan yang dipilih oleh Mimizuku.)
Tiba-tiba Mimizuku berhenti bicara, dan menjadi diam sepenuhnya.
Huh?
Sesuatu tampaknya berdering di dalam kepalanya.
Ku… ro….
Itu salah, seseorang di dalam kepalanya berkata.
Dia tak bisa memanggil Claudius dengan sebutan itu. Jangan nama itu.
Jangan nama itu.
“Kuro? jangan singkat namaku menjadi sesuatu yang rendah seperti itu. Kalau kau mau… kau bisa memanggilku ‘Dia’ seperti yang dilakukan Andy dan lainnya,” Claudius berkata, wajahnya menjadi muram.
“Dia?”
“Ya, itu benar. Dia. Ini adalah… nama yang kudapatkan dari ibundaku.”
“Ibundamu?”
Claudius mengarahkan tatapannya ke bawah.
“… Setelah melahirkanku, dia meninggal. Aku telah membunuhnya.”
“Kau… membunuhnya?”
Mimizuku menelengkan lehernya ke samping.
“Ya, itu benar. Aku telah membunuhnya. Tubuh ibundaku sangat lemah. Dia tak memiliki ketahanan apapun atas kekuatan sihir. Tubuhnya terbebani oleh kekuatan sihir yang semakin bertumbuh di negara ini. Sebenarnya, tubuhnya tak pernah cocok untuk memiliki anak sama sekali.”
Hmph, Mimizuku berpikir. Bagaimana bisa itu diartikan bahwa Claudius telah membunuhnya?
“Tapi tidakkah dia ingin memilikimu, Dia?”
“… Kalau begitu, maka hal itu bukanlah masalah, menurutku.”
Wajah Claudius jadi berkerut-kerut saat dia bicara, “Bagaimanapun, aku punya tubuh semacam ini. Sang Raja juga, dia mengabaikanku….”
“Mengabaikan?”
Mimizuku memiringkan kepalanya ke samping. Dia tak mengenal kata ini.
“… Itu berarti dia membenciku, Mimizuku.”
“Eh? Aku benar-benar tak mengerti, sih….” Mimizuku melontarkan seulas senyum tulus. “Meski kamu dibenci, kupikir tetap lebih baik bila hidup. Dan juga, aku tak membencimu, Dia!”
Claudius memicingkan matanya dengan pedih atas kata-kata Mimizuku.
“… Mimizuku, apa kau pernah dibenci juga?” dia mendesah.
“Umm….”
Mimizuku menunduk, perlahan, dengan pasrah.
“Aku tidak ingat.”
Claudius berpikir bahwa wajah gadis itu tampak seperti sedang menangis.
***
Suatu ketika, Duke Ann datang ke kamar Mimizuku untuk mendapati gadis itu menyandarkan sikunya pada bingkai jendela, terlarut menengadah menatap angkasa.
“Mimizuku? Apakah ada sesuatu yang menarik di luar?”
“Aku hanya sedang berpikir, tidak ada rembulan,” ujar gadis itu lirih, tanpa berbalik.
“Rembulan? Sekarang masih siang, lho.”
“Ya. Putih. Aku ingin melihatnya. Emas juga boleh.”
“Hm. Kau sungguh ingin melihat rembulan, huh Mimizuku?”
Untuk suatu alasan, saat Duke Ann mengucapkan hal ini, wajah Mimizuku menjadi muram.
“Ya, semacam itu. Entah bagaimana… seperti kenangan,” Mimizuku berbisik seakan menghembuskan napas panjang.
***
“Hei Orietta, aku sudah berpikir….”
Kembali ke kediamannya sendiri, Duke Ann, sambil mengayunkan kakinya, duduk di sofa dan mulai bicara.
“Ya?” Orietta menjawab, melanjutkan pekerjaannya pada buku catatannya.
“Aku bertanya-tanya apakah Mimizuku bahagia, dengan tak memiliki ingatannya.”
“….”
Tangan Orietta berhenti.
Duke Ann memejamkan matanya dan meneruskan.
“Aku penasaran apakah bagus bagi seseorang untuk melupakan masa lalu yang sulit dengan sesukanya. Contohnya saja, bukankah kebahagiaan datang dari melihat kemilau itu tumbuh setelah air mata dan kesusahan? Bukankah dari sanalah kekuatan manusia datang?”
“… Hei, Andy,” Orietta berkata dengan suara lirih.
“Hm?”
Saat Duke Ann mendongak, Orietta telah berdiri dan menarik sebuah dokumen dari rak buku. dokumen itu tampak seperti sebuah naskah yang sangat kuno.
“Aku sudah lama diam saja tentang itu, tetapi aku tak tahan lagi. Aku coba-coba membaca-baca beberapa buku kuno yang ada di kuil.”
Di perpustakaan bawah tanah kuil, tersimpan aman dokumen-dokumen yang bisa dibilang telah berusia ratusan tahun. Dokumen-dokumen itu tak dimaksudkan untuk dibaca oleh masyarakat umum, namun Orietta, sebagai Gadis Pedang Suci, memiliki pengaruh kuat atas urusan kuil, dan bisa masuk ke dalam perpustakaan bawah tanah.
“Apa maksudmu, ‘membaca-baca’…?”
“Simbol yang ada di kepala Mimizuku… aku telah berusaha mencari tahu mantra sihir macam apa yang diterakan terhadapnya.”
“Apa kau telah menemukannya?”
Orietta bergerak pelan ke sisi Duke Ann, bersimpuh dan menundukkan bulu matanya yang panjang.
“Itu adalah tanda akhir menyegel dan melemahkan rembulan.”
Perlahan wanita itu membuka naskah tua tersebut. Di sana, di atas perkamen yang telah menguning, tergambar dengan tinta yang sudah putus-putus, tak diragukan lagi adalah simbol yang ada pada dahi Mimizuku.
“Itu adalah, segel pemenjaraan ingatan.”
Duke Ann membelalakkan matanya lebar-lebar. Dia menutupi mulutnya, tidak percaya, dan kemudian wajahnya berubah menjadi marah.
“Betapa busuknya!! Monster-monster itu menangkap Mimizuku, dan kemudian menghaopus ingatannya?!” Duke Ann berseru.
“Bukan.”
Orietta menyangkal spekulasi pria itu dengan tegas.
“Bukan, tidak seperti itu. Keterjadiannya aneh. Mimizuku juga melupakan apa yang telah terjadi di dalam hutan. Mantra sihir itu dibangkitkan begitu dia meninggalkan hutan….”
Duke Ann tiba-tiba teringat.
Hutannya terbakar. Di sana, ada seorang gadis yang gemetaran di tengah-tengah semua itu.
Ada pekik kepedihan yang lantang.
Gadis itu memanggil seseorang.
Tangan Duke Ann menutupi mulutnya, matanya beralih ke bawah seakan sedang mengesah pada dirinya sendiri.
“Bagi para monster… akankah ada manfaatnya dengan menyegel ingatan-ingatan itu?”
“Aku penasaran…. Kita tak tahu niat sebenarnya dari Raja Iblis. Kita hanya tahu kalau Mimizuku kehilangan ingatannya itu bukan atas kemauannya sendiri….” Orietta berkata, memejamkan matanya.
“Apakah ada cara untuk mendapatkan ingatannya kembali?” Duke Ann bertanya.
“Kupikir ada gunanya berusaha melakukan hal itu. Bagaimanapun, aku tak tahu apakah itu adalah yang terbaik. Tubuh gadis itu kekurangan gizi, dan dia memiliki bekas-bekas belenggu itu di pergelangan tangan dan kakinya…. Mungkin itu bukan kehidupan yang paling menyenangkan baginya. Di atas semua itu, kita berurusan dengan raja para monster… hal itu bukan sesuatu yang bisa kita lawan sesukanya. Tetapi bila dia menginginkannya… maka mungkin, akan terserah pada keinginan Mimizuku apakah semuanya berhasil atau tidak.”
***
“Apa yang ingin kau lakukan?” Duke Ann bertanya apa adanya.
Mimizuku memasang ekspresi wajah kebingungan.
Duke Ann tersenyum kepadanya untuk meredakan keraguannya.
“Tidak apa-apa kalau kau tak ingin melakukannya. Bagaimanapun juga ini adalah hidupmu. Bahkan bila kau telah kehilangan ingatanmu, kau masih bisa hidup dengan bahagia, kan?”
Namun, Mimizuku mencemaskan tentang sesuatu yang sama sekali berbeda.
“Kalau mereka menghilangkan sihirnya, apakah pola di dahiku akan menghilang?” Mimizuku bertanya gugup. Duke Ann mengangkat sebelah alis kepadanya.
“Tidak, hanya efeknya yang dihapus…. Sayangnya, kurasa segelnya takkan bisa dihilangkan….”
“Baiklah kalau begitu! Aku akan melakukannya!” Mimizuku menjawab cepat. Dia tersenyum, matanya berbinar-binar.
“Mimizuku… apa kau menyukai simbol itu?”
Dengan senyum setulus hati, Mimizuku tertawa.
“Ya! Ini kan cantik.”
***
Duke Ann mengetuk pintu. Dia menerima tanggapan “Siapa itu?” dan menjawabnya dengan “Ini aku.” Seperti biasa, dia langsung mendapatkan izin untuk masuk.
“Hei, sudah cukup lama ya.”
Duke Ann mengangkat tangannya dan tersenyum, membuat Claudius juga ikut mengulas senyum. Sulit dikatakan apakah senyum itu cocok untuk orang seusianya atau tidak, namu itu adalah sebuah senyum kecil yang bernilai.
“Kau tak ada guru yang kemari pada saat ini?”
“Ya, tidak ada.”
“Begitu ya.”
“Hei, Andy.”
Claudius, yang biasanya hanya mendengarkan saja perkataan Duke Ann, memulai percakapan pada saat yang langka.
“Bagaimana keadaan Mii?”
“Mii?”
Duke Ann menelengkan kepalanya selama sesaat, namun dengan cepat menyadari siapa yang dibicarakan anak itu dan tersenyum.
“Ah, maksudmu Mimizuku?”
“Y-ya….”
Claudius mengangguk, pipinya jadi agak kemerahan.
Bahkan anak ini bisa membuat ekspresi wajah yang sedemikian kaya, Duke Ann diam-diam berpikir takjub, mulai agak bersemangat.
“Tampaknya kalian telah menjadi tean baik. Apakah Mimizuku mengunjungimu hari ini?”
“Ya. DIa bilang kalau mereka berusaha menghilangkan mantra sihir yang diterakan terhadapnya. Apakah ingatan Mimizuku akan kembali?”
“… Aku tidak begitu yakin. Pada titik ini, Riveil dan yang lainnya telah mengusahakan itu padanya sepanjang hari. Istriku juga menemani mereka.”
“Begitu ya….”
“Jadi kau sudah benar-benar berteman dengan dia, huh?” Duke Ann berkata, tak mampu menahan sebuah cengiran lebar.
Claudius menunduk menghindari tatapannya.
“Gadis itu aneh sekali. Dia sama sekali tak punya rasa malu, juga tak punya belas kasihan. Dia selalu tersenyum.”
“… Dia. Apa kau ingin dikasihani?”
Claudius serta merta mengangkat kepalanya untuk merespon Duke Ann, namun seakan tenggorokannya telah tersumbat oleh kata-kata, jadi dia pun menutup mulutnya.
Lalu, kata-kata mulai keluar perlahan, sepatah demi sepatah.
“Aku tak mengerti. Mii bilang dia tak mungkin tidak bahagia. Saat aku melihat hal itu, aku… aku….”
Tampaknya Claudius tak bisa berkata-kata lagi.
Duke Ann mendekat tanpa bersuara, lalu memberi Claudius beberapa tepukan lembut di kepala.
Duke Ann, Orietta, dan sang Raja berambut kelabu, hanya mereka bertiga lah yang bisa meletakkan tangan pada sang Pangeran dengan cara seperti itu. Saat Duke Ann pertama kali bertemu dengan Claudius, anak itu masih seorang bayi dengan tangan-tangan merah. Pria itu telah mengamati sang Pangeran saat dia tumbuh. Claudius memiliki signifikansi khusus bagi pasangan seperti Duke Ann dan Orietta, yang tak memiliki anak mereka sendiri.
“Kalau ingatan Mimizuku kembali…,” Duke Ann berkata lembut, “dia mungkin takkan menjadi Mimizuku yang sama dengan yang sudah kita kenal sekarang.”
“Huh…?”
Claudius mendongak, sedikit tercengang.
“Ingatan seseorang adalah sebuah bagian yang menentukan inti dari karekter mereka. Mimizuku yang ingatannya telah kembali mungkin akan menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan Mimizuku yang kita kenal sekarang….”
“Aku tak mau yang seperti itu!!” Claudius memekik tanpa berpikir.
Duke Ann tersenyum seakan hendak menenangkannya.
“Tapi tetap saja, kupikir akan bagus bagimu untuk membuat Mimizuku yang baru sebagai temanmu juga. Bukankah begitu?”
“Itu… ya….”
Menggigit bibirnya, Claudius mengangguk. Duke Ann, mengangguk berat, lanjut berbicara.
“Kalau ingatan Mimizuku kembali, dan dia masih ingin tinggal di negara ini bersama kita… kupikir aku akan mengangkatnya sebagai putriku.”
Mata Claudius melebar pada perkataan Duke Ann.
Duke Ann tersenyum agak malu-malu.
“Tentu saja, hanya kalau Mimizuku tak keberatan dengan itu,” dia menambahkan.
“… Aku juga menginginkannya….” Claudius menunduk dan bergumam.
“Hm?”
“Kuharap aku bisa terlahir sebagai anakmu dan Orietta…,” rintihnya dengan suara lirih, seperti dengungan nyamuk. Duke Ann memberinya tatapan aneh.
“Apa kau membenci ayahmu?”
“Aku tak membenci dia!” Claudius berseru. “Bukannya aku membenci dia! Tetapi untuk seorang pangeran sepertiku terlahir seperti ini, aku hanya akan membawa ketidakbahagiaan bagi negara! Untuk orang sepertiku, yang datang ke dunia ini dengan membunuh ibunya sendiri….”
Duke Ann tersenyum dan perlahan menggelengkan kepalanya.
“Jangan taruh orangtuamu pada tumpuan seperti itu.”
“Tapi….”
“Hei, Claudius.”
Duke Ann maju selangkah menujuambang jendela, mengalihkan punggungnya pada Claudius.
“Apa kau pikir segalanya akan jadi lebih baik bila kau bisa menggerakkan lengan dan kakimu?”
“… Ya. Itulah yang kuinginkan. Tetapi tak peduli apapun yang telah dilakukan oleh para penyihir negara ini, tak mungkin mereka bisa membuat lengan dan kakiku bergerak.”
“Apa kau yakin dengan itu?”
“Apa ada cara?!” Claudius bertanya, berpegangan pada kata-kata Duke Ann.
“… Kalau kita memiliki kekuatan sihir yang besar… bisa jadi…,” Duke Ann berkata lirih tanpa berbalik.
“Kapan seseorang bisa mendapatkan kekuatan sihir seperti itu?!” Claudius berteriak, menggigit bibirnya.
Duke Ann berbalik dan sekali lagi menepuk-nepuk kepala Claudius.
“Aku akan kembali lagi,” ujarnya lembut.
Bahkan setelah Duke Ann menyingkirkan tangannya, Claudius terus menatap ke bawah.
“… Kalau aku bisa bertemu dengan Mii… aku akan menunggu dia datang…. Katakan padanya….” Claudius bicara dengan kalimat yang terputus-putus. Sepertinya dia akan menangis, tetapi dia adalah anak laki-laki yang menahan dorongan untuk meneteskan air mata.
Meski demikian, dia tak bisa menyingkirkannya.
“Aku janji akan mengatakan hal itu kepadanya,” Duke Ann mengangguk, keluar dari kamar Claudius.
***
Mimizuku, bagaimana perasaanmu?” Orietta bertanya kepada Mimizuku, yang baru saja menyelesaikan perawatan sehari penuh demi untuk menghilangkan kutukannya.
Duke Ann menatap dari sebelahnya.
Seperti yang telah diduga, segel sang Raja Malam tak bisa dihilangkan sepenuhnya.
“Sejujurnya saja, kami tak mampu menembus dinding terakhir,” Riveil, kepala Brigadir Penyihir, telah berkata.
“Bagaimanapun juga, segel itu berada pada kekuatan terakhirnya…. Dengan bersusah payah kami telah berhasil sampai ke sana, ada kemungkinan bahwa ingatannya akan terlahir kembali.”
Terbenam dalam ranjangnya, Mimizuku dengan lamban memejamkan mata.
“Kepalaku sakit….”
“Apa kau tak apa-apa?”
Dengan tubuh mungilnya, tak diragukan lagi hal itu adalah beban berat bagi Mimizuku.
“Ya. Aku bermimpi.”
“Mimpi macam apa?” Orietta bertanya.
Mimizuku membuka bibir keringnya.
“Seseorang berkata padaku. Lupakan. Lupakan. Aku tak mau. Jangan mengacau denganku, bodoh. Kenapa aku harus lupa?”
Melihat Mimizuku mengucapkan kata-kata kasar semacam itu dengan nada monotn telah membuat Orietta tersenyum.
“Kau tak terlihat seperti Mimizuku yang biasanya.”
“Ini jelas adalah aku,” Mimizuku menjawab jelas. “Itu suaraku.”
“Jangan mengacau denganku, bodoh…,” ujarnya sekali lagi, seakan untuk memastikan bahwa itu benar adalah dirinya.
***
Keesokan harinya, seorang tamu yang langka diundang ke kamar Mimizuku di dalam kastel.
“Ah, sudah lama ya. Yap, itu jelas adalah dirimu.”
Dengan amat sopan, dia melangkah ragu-ragu di atas karpet kastel, tak tahan untuk mengulas senyum saat melihat Mimizuku. Dengan tubuh gemuk dan pakaian sederhananya, penampilan orang itu tampak cukup tidak biasa dengan dilatarbelakangi tembok-tembok putih kastel.
“Aku penasaran apakah kau mengingatku. Kau dan aku bertemu di hutan.”
“Huh?”
Duduk di atas ranjangnya, Mimizuku menelengkan lehernya.
Orietta, yang membawa pria itu bersamanya, melangkah lebih dekat pada Mimizuku.
“Tuan Shiira,harap katakan kepadanya secara mendetil apa yang telah terjadi saat itu.”
“Baik, Lady Orietta.”
Pria yang dipanggil Shiira itu menempatkan topinya di depan dada dan menundukkan kepalanya dalam-dalam kepada Orietta, lalu berpaling pada Mimizuku.
“Aku sedang dalam kesulitan, tersesat di hutan, namun tiba-tiba kau muncul dan bicara padaku. Kukira kau adalah monster, dan aku menjadi sangat gugup. Tapi kemudian… kau memanggilku ‘Kakek’.”
“Kakek,” Mimizuku membeo.
Shiira tersenyum dan mengangguk beberapa kali.
“Itu benar. Kemudian kau menunjukkan arah padaku. “Teruslah menyusuri sungai ini’, katamu. Berkat kata-kata itu, aku berhasil keluar dari hutan.”
“Terus menyusuri sungai….”
“Aku bertanya, ‘Bagaimana denganmu?’ Tetapi kemudian kau jadi salah paham dan menjawab dengan namamu. Aku bertanya dengan maksud ‘Apa yang akan kau lakukan’, tetapi kau berkata, ‘Aku Mimizuku’.”
“Aku… Mimizuku….”
Sesuatu di dalam kepalanya bergema.
Hm? Aku Mimizuku!
Suara itu. Suara siapa itu?
“Lalu aku bertanya, ‘Apa kamu tak akan ikut denganku?’ Tetapi kau sedang mengantarkan sebuah bunga, jadi kau bilang kalau kau tak bisa. Kau sedang menggenggam sebuah bunga yang sangat merah. Kau memberikan benang sari bunga itu, berkata kalau benang sari itu akan mengusir para monster.”
Saat Shiira mengikuti kenangannya, dengan hati-hati dia menggambarkan pemandangan waktu itu.
“Sangat merah….”
“Tanganmu berlumuran darah. Bunga merah itu sangat luar biasa, tak seperti yang pernah kulihat sebelumnya.”
“Bunga… merah….”
Keringat mulai menggelincir di punggung Mimizuku. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang.
“Kau mengatakan sesuatu seperti… ya, ya, sekarang aku ingat. Kau bilang kau harus membawa bunga itu kepada Fukurou. Mimizuku dan Fukurou sangat berhubungan, jadi aku bisa mengingat ucapanmu dengan baik.”
“Fukurou.”
Baiklah! Fukurou! Aku akan memanggilmu Fukurou!
Malamnya begitu gelap.
Kegelapannya begitu pekat.
Rembulannya, cantik.
“Fukurou… Fukurou….”
“Mimizuku? Ada apa? Apa kau baik-baik saja, mimizuku?” Orietta bertanya dari belakangnya. Mimizuku tak merespon, gadis itu hanya menggumamkan nama itu pada dirinya sendiri, lagi dan lagi.
“Oh? Maafkan aku, namun sepertinya pola di kepalamu telah berubah, bukankah begitu?” Shiira berkata, mengamati Mimizuku lebih dekat.
“Apa yang ada di sana sebelumnya?” Orietta bertanya, terkejut.
“Um… saat aku melihatnya, itu bukan pola, melainkan nomor. Tiga… 333? Bukan, nomornya beda. Tiga tiga dua, sepertinya….”
“Aku nomor tiga ratus tiga puluh dua!”
Itu milikku.
Nomorku.
“Tidak… tidak….”
Mata Mimizuku terbuka, dan diletakkannya tangan menutupi telinganya.
Orietta memanggil namanya. Bagaimanapun, kata-kata wanita itu tak pernah mencapai telinga Mimizuku.
“Tidaaaaaaak!!!”
Mimizuku memekik pilu, seakan dirinya sekarat.
Sama seperti yang dia lakukan pada hari dirinya terpisah dari Fukurou.
***
Mimizuku muntah-muntah. Saat dia menangis, dia muntah sampai tak mengeluarkan apa-apa selain cairan asam lambung. Orietta memegangi punggungnya, namun gadis itu terus muntah.
Saat air keruh ingatan menyelimuti dirinya, mimizuku terus muntah.
Sekali lagi dia mendapatkan kembali ingatannya. Dia ingat di mana dan kapan, apa yang dia rasakan, dan apa yang telah dia bunuh.
Dia tak bisa mengingkari ingatan-ingatannya. Rasa sakit, penderitaan. Kini, dia mengerti. DIa mengerti betapa nyarisnya dia telah menghindari kematian saat tinggal di desa itu. Semua itu telah kembali kepada dirinya lagi.
Dia tak bisa berpaling darinya lagi. Dia tak bisa mengabaikan ingatannya lebih lama lagi.
Saat dia mengingat, dia mencari dengan putus asa.
Pasti ada suatu ketika saat seseorang baik kepadaku.
Kapan itu? Tentunya, di suatu tempat.
Aku… diperlakukan dengan baik.
Dua rembulan…
Perak. Dan kemudian, emas. Sepasang rembulan.
Suara dentingan dari belenggunya. Suara dunia Mimizuku.
Fukurou.
Dia meneriakkannya hingga ke dalam relung hati.
“Bagaimana bisa aku lupa….”
Mimizuku mengepalkan tangannya membentuk tinju dan memekik.
“Jangan secara egois menghapus ingatan orang seperti itu, Fukurou! Kamu bodooooooh!!”
Dan kemudian, di sebelah Orietta dan matanya yang penuh selidik, Mimizuku pun kehilangan kesadaran dan roboh.
***
Sementara itu, di bawah bangunan kastel, Fukurou, yang vitalitas dan kekuatan sihirnya dikuras keluar darinya sedikit demi sedikit, mengesah lirih.
“Yang bodoh itu kamu. Gadis bodoh….”
Itu adalah gumamam pelan, dan tak seorang pun yang berada di sana untuk mendengarnya.