Mimizuku And The King of Night - Chapter 7
Hal itu terjadi tak lama setelah Gadis Pedang Suci dilantik, pada akhir pemakaman sang Ratu.
Pada jalan setapak menembus lapangan berumput yang mengarah ke kastel. Langit jernih dan biru, tepat seperti yang akan digambarkan dalam lagu-lagu gembala kuno.
“Apa kau ingin bebas?”
Seorang anak laku-laki menggenggam tangan seorang gadis cantik di dalam sebuah kereta usang.
“Saat ini, kau terkurung di dalam sangkar. Apa kau ingin bebas?” anak laki-laki itu bertanya.
Si gadis tertawa. Dia mencebikkan bibirnya seakan mengolok-olok kenaifan dan kurangnya pengendalian diri anak lelaki itu. Itu adalah tawa yang tidak pantas bagi seorang Gadis Pedang Suci.
“Kalau aku bisa bebas, aku pasti akan melakukannya sejak lama.”
Mulanya Duke Ann tercengang oleh responnya. Namun kemudian dia tersenyum dan mengangguk.
Ini hanyalah sebuah perjumpaan yang kebetulan.
Pada saat itu, tatapan penuh kebaikan si anak lelaki terhadap masa depan, dan kekuatan si gadis, telah menariknya mendekat.
***
Pada lorong batu yang menghubungkan kastel dengan kuil, sebuah bayangan melintas lurus.
“Minggir!!”
Dengan satu seruan ini, para orajurit yang bertugas pun berdiri dan membuka pintu. Bayangan itu meneruskan berjalan ke dalam ruangan yang gelap, yang hanya diterangi oleh sebuah persegi sihir, tanpa ragu.
“Lady Orietta…!”
“Apa artinya ini?!” dia berteriak keras kepada para penyihir, membuat keributan. Rambutnya acak-acakan karena kurang tidur. Wajahnya gelap oleh warna kelelahan. Bagaimanapun, cahaya di matanya tampak kuat.
“Jelaskan ini! Siapa yang memulai perbuatan menjijikkan ini?!”
“Ini atas perintah dari sang Raja.”
Riveil-lah yang angkat bicara.
“Tuan Riveil! Apa kau mengatakan kepadaku bahwa bahkan kau mendukung hal ini?!”
“Kami hanya bertindak atas perintah dari sang Raja.”
“Lupakan soal dia, kalau begitu! Hentikan perbuatan mengerikan ini sekarang juga!”
Orietta memasuki pusat dari persegi sihir itu. Beberapa orang penyihir tampak gentar. Duke Ann sang Ksatria Suci dan Orietta sang Gadis Pedang Suci telah diberi keistimewaan khusus berkat status sosial mereka. Terkadang mereka diberi lebih banyak kekuasaan dalam beberapa urusan tertentu daripada para bawahan terdekat sang Raja.
Satu-satunya di antara para penyihir yang bisa bicara kepada Orietta dalam posisi setara adalah Riveil.
“Tolong hentikan, Lady Orietta! Teknik sihirnya masih dijalankan. Bila kami menghentikan prosedurnya, maka beberapa reaksi yang tidak diharapkan mungkin akan terjadi pada tubuh Lady Mimizuku akibat kasarnya pengetahuan kami mengenai masalah ini,” Riveil berkata dengan nada terkendali, meski masih cukup kasar untuk membuat orang merasakan martabatnya.
Jari telunjuk Orietta berhenti.
Wanita itu tampak sedang menyusurkan jarinya pada permukaan reflektif persegi sihir tersebut.
“Lady Orietta… mohon mengertilah! Kami, sebagai orang-orang yang menjalankan ini, akan harus bertanggungjawab atas….”
“Tidakkah kau akan memprotes bila seseorang menjajah ingatanmu?” Orietta bertanya. Ada air mata mengambang pada mata obsidiannya.
“… Harap mengertilah. Ini juga adalah demi kepentingan negara….”
Riveil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Keluar.”
Dengan jarinya yang panjang dan lentik, Orietta menunjuk pintu.
“Aku akan mengurusmu nanti. Kalau kau tak mau memantik kemarahan suamiku, keluar dari ruangan ini sekarang juga1”
Para penyihir tak mampu menentang kata-kata itu. Orietta menatap permukaan berkilau persegi sihir seakan bergantung padanya.
Orietta teringat pada alasannya datang kemari. Saat Mimizuku tiba-tiba mengamuk, ada suatu kekuatan sihir yang samar dalam dirinya. Orietta adalah murid tingkat atas seni sihir di kuil, dan kejeniusannya dalam sihir membuat dia bisa merasakan sedikit pergolakan sihir di sekitar Mimizuku.
Seseorang, di suatu tempat, sedang membaca ingatan Mimizuku.
Ingatan Mimizuku sendiri bagaikan sebuah kaleidoskop, mengubah-ubah pemandangan beberapa kali.
Orietta mengerutkan bibirnya dan memastikan apa yang telah dia lihat.
Apapun yang sedang terjadi, dia akan menghentikannya.
Kalau dia mencintai Mimizuku, maka itulah yang harus dia lakukan.
***
Setelah mendengar bahwa ingatan Mimizuku sudah kembali, Duke Ann berlari kembali ke kastel.
Ketika dia membuka pintu, hal pertama yang melompat keluar ke arahnya adalah Mimizuku, memekikkan pembunuh berdarah.
“Di mana Fukurou?!” Mimizuku memekik, meraih para pendamping di sekitarnya.
“Fukurou! Di mana Fukurou?! Apa yang mereka lakukan padanya?!”
Duke Ann berhenti tanpa berpikir ketika melihat raut mengancam gadis itu. Dengan mata membelalak lebar dan rambut berkibar-kibar dalam amukan liarnya, Mimizuku tampak seperti hewan buas yang ganas.
“Tidak! Kembalikan dia! Kembalikan Fukurou!!”
Mimizuku sepertinya tak memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya. Gadis itu hanya memanggil-manggil seseorang bernama ‘Fukurou’ dan mengamuk.
“Mimizuku yang ingatannya telah kembali mungkin akan menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan Mimizuku yang kita kenal sekarang….”
Duke Ann teringat pada kata-katanya sendiri.
Dia mengira kalau benak gadis itu mungkin telah menggelincir ke dalam suatu kehampaan yang jauh, namun tetap saja….
“Mimizuku!!”
Duke Ann menaikkan suaranya.
Meski Mimizuku belum lama berada di sini, hari-hari yang telah mereka habiskan bersama itu nyata. Dalam beberapa hari itu, Mimizuku telah tersenyum dan merasakan kebahagiaan, dan tak ada yang bisa merebut itu.
menunggangi secercah harapan, Duke Ann memanggil namanya.
Gerakan Mimizuku berhenti seketika. Para pendamping, habis-habisan setelah digigit dan dicakar, menatap Duke Ann seolah mereka telah mendapatkan keselamatan.
“Mimizuku, tidak apa-apa. Tak ada yang perlu ditakutkan,” Duke Ann berkata dengan suara terlirih yang bisa dia berikan, perlahan berjalan ke arah Mimizuku seakan sedang menenangkan hewan buas yang terluka.
Mimizuku, dalam keterpanaan, menatap Duke Ann. Perlahan gadis itu mengerjap dua atau tiga kali.
Mendadak muncul sebuah kilauan. Ekspresi Mimizuku telah melalui perubahan yang tak terhitung jumlahnya. Campuran dari kesedihan, kebahagiaan, serta kepedihan. Dia lalu membuat raut wajah kacau dan berantakan, seakan sedang membuat keputusan yang mustahil.
“An… dy….”
“Ya, ada apa?”
Duke Ann perlahan menyusurkan tangannya pada rambut Mimizuku, semakin mendekat. Dan pada saat itulah hal ini terjadi.
Dalam sikap yang lebih terkendali ketimbang amukannya, Mimizuku menepiskan tangan Duke Ann.
Duke Ann, terpana, memejamkan matanya dengan sedih.
Mimizuku mendongak menatap Duke Ann, memelototinya dengan mata membulat dari bawah alis. Di mata gadis itu terdapat keinginan yang tak bisa disalahartikan. Itu bukan kebencian. Itu adalah gabungan dari penyesalan dan penderitaan.
“Pergi,” Mimizuku menyatakan lirih. “Pergilah, Duke Ann.”
“Mimizuku….”
“Pergi dari sini, sialan! Aku tak menginginkanmu, atau siapapun yang lain di sini! Tinggalkan aku sendiri!”
Wajah dari orang yang mengucapkan kata-kata itu bukanlah wajah dari seseorang yang Duke Ann kenal. Mimizuku yang pernah dikenal oleh Duke Ann hanyalah mimpi yang melintas, dengan senyumnya yang polos dan kekagetannya yang jinak.
Duke Ann tak pernah menyangka kalau gadis itu bisa membuat raut wajah kuat seperti yang dibuatnya sekarang.
“Mimizuku… haruskan aku meninggalkanmu sendiri?” dia bertanya, masih tidak yakin.
Mimizuku mengerutkan bibirnya dan mengepalkan tangannya membentuk tinju.
“Kumohon, tinggalkan aku sendiri.”
“Aku mengerti… aku akan pergi.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan lembut, Duke Ann menyuruh para pendamping untuk membungkuk dan pergi. Duke Ann menatap ke belakang sekali lagi dan bicara pada Mimizuku, yang sedang berdiri tegak di pusat ruangan.
“Mimizuku, harap kau jangan melupakan satu hal.”
Tak peduli ingatan jenis apapun yang dimiliki oleh Mimizuku, tak peduli dunia macam apa yang pernah ditinggali olehnya.
“Kami mencintaimu.”
Jangan lupakan itu.
Mendengar kata-kata itu, Mimizuku menangkup wajahnya di dalam tangannya dan berbalik. dia berbalik seakan berusaha menyingkirkan ingatan tentang Duke Ann dan yang lainnya.
Membuat suara pelan dan teredam, pintu pun tertutup di belakangnya.
Dengan suara itu, Mimizuku ambruk ke lantai dan mendesah lirih, sangat lirih.
“… Aku juga mencintaimu… Andy….”
Ooh….
Tetes-tetes hangat itu adalah air mata.
“Tapi aku tak bisa memaafkanmu.”
Aku mencintaimu, tetapi aku takkan pernah memaafkanmu.
Aku pasti takkan pernah memaafkanmu karena membakar lukisan Fukurou….”
Kamu ada di mana?
mendesah pada dirinya sendiri, Mimizuku menangis, Hanya memikirkan tentang Fukurou.
***
Malam itu, Mimizuku menyalakan lampu di sisi ranjangnya dan duduk di atas ranjang. Di sana sudah ada makanan yang diantarkan untuknya, tetapi dia merasa tak ingin makan, jadi dia hanya meminum air.
Mimizuku berpikir. Dia larut dalam pemikiran. Mimizuku tak terlalu sering memakai otaknya seumur hidupnya, namun demi Fukurou, dan demi kepentingannya sendiri, dia berpikir. Dia berpikir tentang apa yang harus dia lakukan.
Di atas ranjang, Mimizuku duduk nyaman di atas lututnya. Dia menyeka air matanya. Dia tak ingin terlihat dengan wajah yang begitu menyedihkan.
Lalu dia berkata nyaring.
“Keluarlah, Kuro.”
Dia menunggu selama beberapa detik. Tak ada tanggapan.
Bagaimanapun, Mimizuku tak memiliki keraguan.
“Kuro…!!”
Dia hanya memanggil nama itu.
Poo!!
Sosok mungil Kuro, bergetar di depan matanya seperti lidah api, muncul dengan suara pelan.
Bentuk Kuro berbeda dengan yang selalu Mimizuku lihat di dalam hutan, karena tubuh Kuro tembus pandang dan keberadannnya hanya bisa dirasakan secara samar. Bagaimanapun, cara Kuro menggaruk pipinya dengan tangan kanan atas serta suara gemerisiknya memastikan bahwa dia memang adalah Kuro.
“… Sudah lama ya,” Mimizuku berkata, masih dengan mata sedikit berair.
“… Aku tak menyangka kalau kita akan bertemu kembali, Mimizuku.”
Cara dia bersuara yang menggetarkan gendang telinga Mimizuku, itu pasti adalah Kuro.
“Kenapa?” Mimizuku bertanya gemetar.
“Itu tergantung pada dunia tempat kita hidup,” Kuro merespon dengan acuh tak acuh.
“Apa itu karena aku telah kehilangan ingatanku?”
“Kau bisa bilang begitu.”
“Jangan macam-macam denganku, Kuro.”
Suara Mimizuku rendah, dan kata-katanya berat dengan tuduhan.
lalu, seakan membuka mendungan, Mimizuku mencondongkan tubuh pada Kuro dan melampiaskan isi pikirannya.
“Ugh!! Kenapa Fukurou melakukan hal yang begitu bodoh?! Aku tak bisa, aku jelas tak bisa memercayainya!! Apa aku ini sangat mengganggu baginya?! Aku tahu kalau aku ini menyebalkan! Aku tahu, aku tahu, tapi… sampai sejauh itu…!”
Genangan kecil air mata mulai terbentuk di mata Mimizuku.
“Apakah aku sungguh… begitu… tak diinginkan? Apa aku… benar-benar… begitu merepotkan…?”
Mimizuku sudah tahu betapa kurang ajar dan lancangnya hal-hal yang telah dia lakukan pada hari-hari saat dirinya berada di hutan. Mimizuku sudah sangat mengetahuinya sejak lama sebelumnya, sejak sebelum dia datang ke hutan.
Dia merasa seakan kepedihan itu akan membelahnya menjadi dua.
Dia merasa bahwa bila dia mengingat masa lalu bahkan selama sesaat, batin dan raganya akan tercabik oleh rasa sakit itu.
Namun, dia tak bisa jatuh. Dia tak bisa melepaskan dunia yang pernah ditinggalinya, tak peduli seberapa banyak pun dia menginginkannya.
Karena dia harus melihat Fukurou lagi.
Kuro tak menjawab pertanyaan Mimizuku. Dia hanya menatap gadis itu dengan mata yang ekspresinya mustahil untuk dibaca.
“… Kamu tahu, Kuro,” Mimizuku berkata lemah saat dia menyeka air matanya.
“Fukurou sudah ditangkap. Apa yang harus kulakukan? Fukurou telah diambil dariku….”
“Aku memang telah mendengar bahwa sang Raja telah ditangkap oleh tangan manusia.”
“Ya, itu benar. Tidakkah para monster lainnya akan menolong dia?”
“Mereka tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Lihatlah tubuh ini, Mimizuku.”
Kuro lalu merentangkan keempat lengannya lebar-lebar. Tubuhnya tampak redup dan bergetar, dan Mimizuku bisa melihat menembusnya.
“Saat ini, sebuah pembatas spiritual yang kuat telah didirikan di sekitar negara ini. Di dalam kastel juga. Di sekitar wilayah bawah tanah tempat sang Raja ditahan juga. AKu telah berhasil menyelinap masuk melewati sebuah lubang pada jaring, tapi aku tak bisa terlalu lama berada di sini.”
“… Jadi para monster tak bisa kemari?”
“Aye,” Kuro mengangguk. “Bagaimanapun, itu bukanlah alasan langsungnya.”
“Apa maksudmu?” Mimizuku membalas.
Kuro membuka mulutnya yang seperti delima.
“Kalian manusia telah meremehkan kekuatan Lord Sinar Rembulan!” Kuro berkata seperti berteriak. Dia mengguncangkan sayap-sayapnya yang seperti kelelawar, namun sayap-sayap itu tak mengeluarkan suara mengepaknya yang biasa.
“Bahkan bila dia ditangkap pada malam bulan baru, ketika kekuatannya melemah dalam waktu yang singkat! Memangnya kau pikir siapa dia itu?! Raja para Ieri, sang Raja Malam! Saat bulan baru muncul, bahkan bila dirinya ditekan, dia bisa membakar kota ini, seluruh negara ini, hingga rata dengan tanah!”
Sampai di sana, Mendadak Kuro berhenti bergerak.
“… Bagaimanapun, Lord Sinar Rembulan tidak melakukannya.”
“Y… ya….”
Bahkan seorang Mimizuku pun paham dengan apa maksud Kuro. Sejak awal mula, dia telah menimbang-nimbang pada kenyataan bahwa bila Kuro tak memakan dirinya, monster apa yang akan melakukannya?
“Bahwa negara ini berada di sini sekarang ini. Kenyataan itu sendiri adalah kehendak Lord Sinar Rembulan, dan tak peduli apapun yang diinginkan oleh para Ieri, mereka tak mampu membelokkan kehendak itu….”
“Lalu, mereka telah meninggalkan Raja Malam?!” Mimizuku memekik tanpa berpikir.
Kuro menundukkan kepalanya seolah hendak menghindari tatapan Mimizuku.
“… Sang Raja Malam tak bisa dihancurkan.”
“Tapi…!”
“Bahkan bila raja yang sekarang dibunuh, biarkan waktu berlalu, dan kekuatan sihir akan berkumpul di bumi, akan melahirkan seorang raja yang lain. Itulah cara semuanya diatur.”
“Kalau begitu kamulah yang meninggalkan Fukurou!”
Kuro tak menjawab.
Ketika lidah api dari lampu menari-nari, kesunyian pun menyebar di malam yang gelap. Rembulan di kuar jendela begitu besar hingga tampak tidak seimbang, namun cantik.
Akhirnya, Kuro bicara.
“… Tak ada yang bisa kulakukan.”
Mimizuku menggigit bibirnya atas respon Kuro tersebut.
Baiklah kalau begitu, dia membatin.
Apa yang bisa kulakukan?
Sejak awal diharapkan kalau Mimizuku akan melakukan sesuatu. Berharap untuk dirinya sendiri, yang ingatannya telah dihapus. Bahkan bila dia berpikir dan bertindak demi Fukurou, dia hanya akan ditinggalkan lagi, kan?
Ditinggalkan….
Mimizuku akhirnya mengerti apa arti kata itu. mengepalkan tangannya membentuk tinju di atas kututnya, Mimizuku menggertakkan giginya dan berpikir.
Mimizuku yang dulu di dalam hutan takkan pernah berpikir seperti ini. Dia akan hidup tanpa memikirkan isi hati orang lain, dan hanya melakukan apa yang dia inginkan, yang mana disuruh melakukan segala hal oleh orang lain. Mimizuku, yang telah mengetahui bagaimana rasanya dicintai, kini takut tidak dicintai, dan dia telah mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik berkat ini.
Mengerti begitu banyak… ternyata sedih….
Meski demikian, dia tak berpikir untuk mundur. Dia tak mau kembali ke masa itu, saat satu-satunya hal yang dia pahami adalah rasa sakit.
Dia ingin menyelamatkan Fukurou.
Dia ingin kembali, namun bersama semua pengetahuannya tentang kebahagiaaan dan kesedihan dan air mata. Dia ingin kembali ke hutan bersama dengan Fukurou.
Meski begitu… dia berpikir.
Meski begitu, ingatan-ingatan tentang dirinya berputar-putar. Dia yang ada di hutan, dia yang ada di desa itu, serta – yang ada di negara ini.
Duke Ann membelainya dengan ramah.
Orietta memeluknya dengan lembut.
Claudius menjadi temannya.
Dalam gaya hidup ini, semua orang baik terhadap dirinya. Apa bagusnya bila dia berbalik dan menendangkan pasir ke wajah-wajah semua orang ini?
Bahkan Fukurou mungkin tak berharap untuk diselamatkan. Dia mungkin akan ditolak kembali, bahkan bila dia pergi dan menyelamatkannya.
Kalau Fukurou menolaknya lagi seperti yang telah dilakukan ketika di hutan, akankah dirinya yang sekarang mampu menanganinya?
Tinggal di sini, memakan makanan lezat, diperlakukan dengan baik, berbahagia.
“… Itu benar, Mimizuku,” Kuro berkata, dengan lembut menyela pemikiran Mimizuku. Terperanjat, Mimizuku mendongak.
“Satu rembulan yang lalu, atas perintah Lord Sinar Rembulan, pergi untuk mendapatkan ini. Ulurkan tanganmu, Mimizuku.”
“Huh?”
Sehelai rambut terjatuh ke atas tangan Mimizuku yang terentang. Rambut itu merah dan agak kusam.
“Apa ini…?”
Mimizuku merasa sepertinya dia pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya. Tapi di mana?
“Aku telah memastikannya atas perintah Lord Sinar Rembulan. Inilah buktinya. Orang yang perutnya telah kamu tusuk… masih hidup.”
“Huh…?”
Mimizuku membelalakkan matanya lebar-lebar dengan kaget.
Apa maksudnya?
Mimizuku menatap helaian rambut di tangannya. Warna ini pastilah itu. benar. Pria yang terpatri pada lembar terakhir ingatan berlumuran darahnya tentang desa.
Dia hidup.
Mimizuku tak tahu apakah ini benar atau tidak. Kalau dia meragukannya, dia takkan memiliki bukti, dan bila dia telah berbohong kepada dirinya sendiri, maka dia bisa menghunuskan senjata sebanyak yang dia suka. Bagaimanapun, Kuro telah memastikan bahwa orang itu masih hidup demi dirinya.
Mimizuku belum membunuh siapa-siapa.
Dan Fukurou lah yang telah membuat perintah itu.
“Ah….”
Mimizuku mengencangkan genggamannya pada rambut itu, menggulungkan tangannya membentuk tinju di sekitarnya, dan meletakkannya pada dahi.
Betapa sulitnya untuk memahami. Betapa mudah kalahnya sikap dia, betapa tidak berkemampuannya.
Dan tetap….
Dia selalu memperlakukanku dengan baik.
Mimizuku mengerti.
Dia selalu, sebisa yang dia mampu, memperlakukanku dengan baik.
Mimizuku mengerti sekarang.
Tetes-tetes air yang hangat mulai berjatuhan. Dia tidak bersedih, namun tetes-tetes itu tetap terjatuh.
“Aku harus pergi. Mimizuku.”
“Oh… Kuro…!”
Mimizuku mendongak dan melihat bahwa sosok Kuro bergetar tidak stabil.
“Maafkan aku, tetapi sejak awal ada batasannya. kalau aku memakai lebih banyak kekuatan sihir, aku bisa ketahuan.”
Dan kemudian, Kuro ragu-ragu selama sesaat. Mimizuku berpikir kalau dia telah melihat Kuro tersenyum.
“Nah, Mimizuku. Kalau takdir mengizinkannya… mari kita bertemu kembali.”
“Tunggu! Tunggu, Kuro! Kumohon, katakan padaku satu hal lagi!”
Mimizuku telah menyuruh dirinya sendiri supaya tak menangis, namun air mata tak mau berhenti dengan cukup cepat.
Kuharap aku bisa menerakan bentuk Kuro ke dalam mataku lebih jelas lagi, lebih kuat lagi….
“Katakan satu hal lagi padaku! Kuro… apakah Fukurou penting bagimu?! Atau… atau apakah dia hanya penting bagimu karena dia adalah rajamu, dan bukan karena dia adalah Fukurou…?!”
Sosok Kuro telah menjadi lebih pucat ketimbang kabut pagi, namun dia tetap menjawab Mimizuku dengan jelas.
“Itu benar.”
Wajah Mimizuku berkeriut.
“Tepat seperti yang kamu katakan, Mimizuku.”
Begitulah Kuro menjawab. Bagaimanapun, sosok Kuro telah menghilang, dan kata-kata jujur terakhirnya tertinggal dalam telinga Mimizuku.
“Bagaimanapun… lukisan yang dibuat oleh sang Raja… indah tanpa banding. Itulah yang kupikirkan.”
Itulah kata-kata terakhir Kuro.
Sendirian, tetap terdiam hanya dengan cahaya lampu, Mimizuku duduk dengan tenang, dan akhirnya menyeka air matanya dengan punggung tangan. Dia mendongak menatap rembulan di luar jendela.
Rembulan yang secantik mata Fukurou.
***
Hari itu, Duke Ann pergi ke ruang kerja sang Raja. Saat dia masuk, sang Raja tak menghentikan tangannya ataupun menengadah dari dokumen-dokumennya.
Duke Ann menghantamkan telapak tangannya pada meja berpernis sang Raja yang buatannya bagus itu. Tumbukannya menghasilkan dentam pelan.
Mata Duke Ann biru membara, dan wajahnya telah kehilangan warna.
“Lepaskan Raja Malam sekarang juga!” Duke Ann berkata dengan suara dalam.
“Aku tak bisa melakukannya.”
Sang Raja tak mendongak, dan responnya menunjukkan bahwa dia sudah tahu semua yang telah terjadi.
“Kenapa?! Selama ini kau sudah tahu, kan! Kau telah menerima laporan-laporan dari para penyihirmu, kan?!”
Dikuasai oleh ketidaksabaran, Duke Ann mencengkeram kerah sang Raja.
“… Lepaskan aku.”
Suara sang Raja juga dalam, serta dingin.
“Berusaha mengangkat tangan melawanku di tempat ini. Aku punya sesuatu yang tak bisa kulepaskan juga. Kalau kau membawa istrimu dan meninggalkan negara ini, aku akan mengumpulkan semua anggota keluargamu yang tersisa dan memenggal mereka semua lalu memajangnya sebagai peringatan. Apa kau sudah siap untuk itu?”
Duke Ann merasakan adanya gumpalan di tenggorokannya, dan mulai bersuara. Dia tahu kalau sang Raja bersungguh-sungguh, dan bukan cuma melontarkan ancaman kosong.
Perlahan dia melepaskan tangannya. Sang Raja tak mendongak.
“… Alasan apa yang mungkin kau punya untuk memenjarakan monster itu saat dia tak melakukan apa-apa untuk mencelakai kita?”
“Monster adalah monster, dan karenanya jahat. Itu sendiri sudah menjadi alasannya.”
“Kau tak mungkin serius!!” Duke Ann berseru.
Istrinya telah pulang larut malam sebelumnya dan mengatakan kepada Duke Ann semuanya tanpa menyeka air mata. Tak mungkin dia bisa berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Jalan yang telah ditempuh oleh Mimizuku hingga titik ini sama sekali tidak bisa dibilang heroik.
“Antara manusia rendah yang menyakitinya, dan Raja Malam yang memedulikannya, katakan padaku, yang mana yang benar-benar jahat?!”
“Kau adalah orang yang menjalankan penakhlukan sang Raja Iblis, Tuan Duke Ann.”
Duke Ann mengangguk. Dia siap untuk menerima dosanya.
“Itu benar. Karena itulah aku yang mengatakan ini padamu sekarang, biarkan Raja malam bebas!”
Bagaimanapun, sang Raja tak menyerah.
“Aku tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Terlalu banyak waktu yang telah berlalu. Pada purnama berikutnya, hanya dalam beberapa hari lagi, pemumian Raja Malam akan lengkap. Kalau kita melepaskan dia sekarang, di takkan bisa hidup lama.”
“Kalau begitu bukankah kau seharusnya mengembalikan kekuatan sihirnya?!”
“Apa kau waras, Duke Ann?” Sang Raja berambut kelabu menurunkan kelopak matanya dan menggelengkan kepalanya. “Coba saja. Kalau sang Raja Iblis mendapatkan kembali kekuatannya, dia akan membawa semua monsternya ke negara ini dan menyerang.”
“… Sang Raja Malam bukan monster biasa. Kalau kau bicara dengannya, mungkin kau akan mengerti….”
“Sungguh sebuah hal naïf untuk dikatakan. Duke Ann, dengan cara pikir seperti itu, kau akan membuat negara ini dan seluruh warganya berada dalam bahaya.”
Dihujam oleh cahaya dari mata tajam sang Raja, kini giliran Duke Ann yang menurunkan kelopak matanya.
“Aku akan melindungi mereka,” dia berkata, menggertakkan giginya.
Duke Ann menjatuhkan telapak tangannya ke atas meja, menundukkan kepalanya.
“Aku akan melindungi semua warga… juga negara ini…,” dia menggumam, meski dengan nada suara yang yang kuat.
Sang Raja berpikir bahwa akan berlebihan bila menolak kata-kata itu. Dia menatap lurus-lurus pada Duke Ann.
Sejak dahulu, nama MacValen telah terkenal di negara ini. Saat saudara termuda mencabut Pedang Suci dari sarungnya, kakak tertuanya langsung memprotes kepada sang Raja. “Adikku itu terlalu baik untuk memegang pedang tersebut!” dia dulu berkata. Putra tertua, yang merupakan kepala Keluarga MacValen pada saat itu, telah menyatakan bahwa ‘Adikku terlalu canggung untuk menggenggam pedang itu!’”
Sang Raja kini tahu bahwa tak satu pun dari kata-katanya yang salah. Duke Ann memang terlalu baik, dan pada saat bersamaan terlalu canggung, saat memegang pedang itu.
Pedangnya adalah pedang yang tak pernah gagal dalam membunuh, dan dia sendiri bukan orang yang membiarkan hatinya terlibat pada nyawa yang telah dicabutnya.
Meski demikian, Ksatria Suci bisa menjadi ‘simbol’ negara ini, karena dia telah menemukan sesuatu yang harud dia lindungi. Istri yang dia cintai, keluarganya, serta negara ini.
Jadi sang Raja meletakkan tangannya dengan kokoh pada bahu Duke Ann.
“… Raja dari negara ini… adalah aku,” sang Raja menyatakan, seakan menekan untuk mendapatkan jawaban.
“Mari kita mengenali bahwa memang ada kesalahpahaman. Meski demikian, tak mungkin membatalkan apa yang telah dilakukan. Penakhlukan Raja Iblis adalah sesuatu yang telah kita idamkan dalam waktu yang sangat lama. Demi untuk membawa kemakmuran bagi Megara ini, kita harus menjernihkan kekuatan sihir kita, dan untuk itu, kita membutuhkan sihir dalam jumlah besar. Semua ini adalah demi kepentingan negara.”
Duke Ann menggertakkan giginya. Kata-kata sang Raja bukannya tanpa arti. Sang Raja adalah orang yang menempatkan negaranya di depan semua hal lainnya. Itulah sebabnya dia menjadi raja, dan penyebab kenapa Megara ini berada di tempatnya berdiri.
“… Dengan kekuatan sihir Raja Malam….,” Duke Ann berkata dengan nada menuduh, “apa kau berencana untuk menyembuhkan lengan dan kaki Dia?”
Duke Ann selalu tahu. Namun dia tak sanggup mengatakannya. Meski begitu dia sudah tahu, bahwa bila sang Raja mendapatkan kekuatan sihir dalam jumlah besar semacam itu, Claudius akan menjadi prioritas utamanya.
“Ini adalah demi… kepentingan negara.” Segera setelah berkata, sang Raja mengalihkan tatapannya. “Aku tak berencana untuk memberikan tahta kepada siapapun selain Dia. Bagaimanapun, kalau aku mati, aku takut dengan tubuhnya itu… dia takkan bisa melindungi seluruh negara. Kalau ada apapun yang bisa kulakukan, maka aku akan melakukannya. Aku telah mengembangkan pasukan, dan mendorong pertumbuhan pertanian serta perdagangan. Tetapi dengan tubuh itu… dengan lengan dan kakinya, aku tak tahu apakah dia bisa menahan tekanan dari tahta.”
Duke Ann tak sanggup mengkritik raja malang ini lebih jauh lagi.
Sang Raja tak bisa untuk tidak mencintai putranya sendiri. Bahkan Duke Ann, yang tak memiliki anaknya sendiri, memahami betapa menyakitkannya hal itu.
“… Lalu bagaimana dengan Mimizuku?” Meski demikian, Duke Ann tak bisa menyerah. “bahkan hingga saat ini, gadis itu masih menangis, mencari Raja Malam. Bagaimana dengan dirinya?”
Bagaimana dengan Mimizuku, yang menangis pilu hanya dengan mengingat sang Raja Malam?
Sang Raja mendesah.
“… Duke Ann. kau mengatakan padaku bahwa bila Raja Malam dibebaskan, dan dia kembali ke hutan bersama gadis itu, Mimizuku akan bahagia? Bila Mimizuku kembali ke hutan itu, dia akan bahagia? Sungguhkan hal itu yang membuatmu kehilangan kesabaran?” Pada kata-kata tersebut, wajah Duke Ann menjadi muram. “Apa kau sungguh berpikir bahwa monster itu akan mengharapkan seorang gadis kecil manusia berbahagia?”
“Tapi…! Meski begitu….”
Sang Raja berbalik memunggungi Duke Ann, yang tetap tak menyerah.
Sang Raja menunduk menatap kota dari jendela ruang kerjanya.
“Kau asuhlah dia, Duke Ann. Kalau kau melakukannya, maka gadis itu takkan punya masalah lagi dalam hidupnya. Beri dia kebahagiaan dengan tanganmu sendiri,” sang Raja berkata dengan nada suara yang lebih lembut.
Karena punggung sang Raja menghadap ke arahnya, Duke Ann tak bisa melihat wajah macam apa yang dimiliki sang Raja saat dia mengucapkan kata-kata itu.
“….”
“Kebahagiaan seseorang berada di tangan orang lain, Duke Ann,” sang Raja, yang memiliki satu anak kandungnya sendiri, berkata.
Duke Ann menggigit bibirnya. Dipejamkannya mata erat-erat.
Dia ingin memberikan kebahagiaan kepada Mimizuku. Andai dia bisa, dia akan melakukannya dengan tangannya sendiri. Gadis itu telah terlahir kembali di hadapan Duke Ann sebagai seorang gadis tanpa nama dengan sepasang mata berhati murni. Mungkin itu adalah takdir. Mungkin gadis itu muncul demi cinta dan kasihnya.
Dia telah berpikir bahwa dia akan mengajari gadis kecil yang malang itu tentang kemilau hidup berkali-kali lebih besar daripada hanya hidup sekedarnya. Dia pikir akan menakjubkan bila dia bisa menyelamatkan gadis ini, yang bahkan tak tahu arti dari air mata.
Namun siapa yang akan mengerti?
Mengapa orang lain mampu membatasi kebahagiaan dari seorang manusia?
“… Kau akan menghadiri upacara pada malam purnama berikutnya, Duke Ann sang Ksatria Suci,” sang Raja berkata dengan suara sarat dengan ketegasan. “Orang yang pada akhirnya menusuk jantung Raja Iblis… akan menjadi dirimu.”
Duke Ann memejamkan matanya erat-erat saat mendengarkan kata-kata tersebut. Tangannya mengepal membentuk tinju sedemikian eratnya.
“… Seperti keinginan Anda…,” dia menjawab dengan suara pecah, seakan dia sedang memuntahkan darah. “… Rajaku, Dantes.”
Itu adalah nama sang Raja yang jarang disebut-sebut.
“Aku ingin berteman denganmu… Duke Ann.”
Duke Ann lalu mengarahkan punggungnya sendiri pada sang Raja.
Dia tak pernah berbalik lagi.
***
Orang yang membawakan Mimizuku sup hangatnya pada hari itu bukanlah pendamping yang biasanya.
“Mimizuku, bagaimana perasaanmu?”
Mimizuku terus menghadapkan punggungnya kepada tamu manapun, namun secara refleks dia berbalik saat mendengarkan suara lembut yang akrab itu.
“… Orietta….”
Orang itu adalah Orietta, yang sedang tersenyum dan membawa sebuah nampan.
“Kenapa kau memasang wajah itu? Apa kau ingin jadi lebih kurus lagi?”
“….”
Mimizuku menunduk tanpa menjawab. Duduk di atas ranjang besar berkanopi, dia pun melengos.
Orietta tersenyum seakan sedang mendesah, dan meletakkan nampan dengan mangkuk sup di atasnya ke sisi ranjang.
Dia lalu berputar dan duduk di atas ranjang. Mimizuku telah memunggungi Orietta, namun dia masih bisa merasakan getarannya.
“Hei, Mimizuku,” Orietta berkata dalam suara paling lembut yang bisa dia keluarkan, seperti yang selalu dia lakukan. “Apa kau mau menjadi putri kami?”
Mimizuku mengerjap beberapa kali saat mendengar kata-kata Orietta.
“Kau tahu, aku tak punya anak perempuan, apalagi yang sebesar dirimu,” Orietta berkata, terkikik. Dia lalu sedikit menurunkan kelopak matanya. “Tubuhku tak bisa memiliki anak.”
Mendadak, hati Mimizuku bergema.
Sakit, dia berpikir. Sesuatu di dalam dirinya terasa begitu menyakitkan.
Perlahan Orietta mulai bicara, seakan sedang menceritakan dongeng kepada seorang anak kecil.
“Apa boleh buat, tetapi begitulah adanya. Aku adalah ‘Gadis Pedang’. Aku, beserta dengan pedang itu, ditawarkan kepada pahlawan terpilih – tidak lebih.”
Ketika mendengarkan kata-katanya, Mimizuku memikirkan tentang Orietta.
Mata indigo Orietta menyerupai langit malam. Mimizuku mendapati sepasang mata itu sangat penuh kenangan.
Warnanya sama dengan rambut Fukurou.
Orietta lanjut berbicara, seakan bernyanyi. “Apakah aku hidup atau mati, itu terserah kepada sang pahlawan. Aku tak ada bedanya dari budak!”
Mimizuku merinding saat kata ‘budak’ disebut-sebut. Keringat dingin menggelincir di punggungnya. Sekarang, dia membatin. Kenapa sekarang?
Orietta terkekeh. Tampaknya dia telah melakukannya, pada akhirnya.
“Tetapi Duke Ann mengatakan padaku bahwa… dia mengatakan padaku, semua kekayaan yang dia terima karena dipilih oleh Pedang Suci sebagai Ksatria Suci… dia akan memberikan semuanya kepadaku.”
Untuk suatu alasan, dunia Mimizuku mulai beguncang tanpa henti.
Di depan mata Mimizuku menyebar sebuah pemandangan dari hal yang terjadi lama berselang. Lidah-lidah api. Dua rembulan di langit malam.
“Pergilah ke manapun kamu suka. Kamu bebas sekarang’, dia berkata.”
“Pergilah. Gadis yang menamai para monster. Tak ada lagi alasan bagimu untuk tetap berada di sini.”
Itu adalah dia.
Dialah alasan Mimizuku berada di sana sejak semula.
***
“Kau bebas.”
“Kenapa?” Orietta berkata, menatap Duke Ann. Dia bersikap berani, meluruskan punggungnya.
Ini adalah kali kedua mereka bicara. Hanya beberapa hari telah berlalu sejak sejak kejadian dengan kereta itu.
Duke Ann masih muda, dan Orietta masih kecil.
“Aku adalah milikmu.”
Itulah bagaimana dirinya dibesarkan. Terlahir sebagai yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan, dan diserahkan kepada kuil setelah kejeniusannya atas sihir ditemukan, dia lalu menjalani pembelajaran yang amat berat dalam seni sihir demi menjadi pendeta wanita yang menjaga Pedang Suci. Pada prosesnya, dia telah kehilangan kemampuan untuk memiliki anak, namun dia tak terlalu memikirkannya.
“Kalau begitu, pergilah ke ujung cakrawala. Aku takkan melakukan apapun tentang hal itu.”
“KEnapa?”
Wajah Orietta merengut.
DIa tak tahu wajah macam apa yang harus dibuatnya.
“Kenapa kau mengatakan sesuatu seperti ini kepadaku?”
“Kau pernah mengatakan kepadaku sebelumnya. ‘Kalau aku bisa bebas, aku pasti sudah melakukannya sejak lama’. Karena aku bisa, maka aku melepaskanmu dari sangkar burungmu.”
“Tapi, kau tak mendapatkan apa-apa dari itu….”
Duke Ann menaikkan bahunya.
“Aku juga tak kehilangan apa-apa. Aku adalah putra dari keluarga ksatria yang tak-ada-bagus-bagusnya. –Sebenarnya, ada satu hal yang kuhilangkan. Dengan melepaskanmu, aku telah melewatkan kesempatanku dengan seorang gadis cantik…. Tapi meski begitu, aku ingin kau tersenyum. Jadi begitulah.”
Dan kemudian, Duke Ann menatap mata Orietta dalam-dalam.
“Kalau memaksa seorang wanita menjadi tumbal, maka Pedang Suci ternyata tak terlalu suci lagi, kan?”
Pada kata-kata itu, bahu Orietta langsung melemas.
Oh, begitu….
Ini tanpa diragukan lagi adalah pria yang ‘dipilih’ oleh Pedang Suci.
“Ke mana aku harus pergi?”
“Eh, memangnya aku tahu.”
“Begitu ya. Baiklah kalau begitu, di mana kau tinggal?”
“Huh?”
Duke Ann membiarkan mulutnya setengah menganga. Pada tampang menyedihkan itu, Orietta memasang gaya mengancam.
“Aku bertanya padamu di mana rumahmu. Aku selalu ingin memasak dan bebersih atas keinginanku sendiri. Kalau kau tak keberatan, harap pekerjakanlah aku.”
“… Apa kau bersungguh-sungguh?”
“Sepenuhnya. Tentu saja, hanya kalau kediamanmu cukup nyaman.”
Lalu, Orietta mengulas senyum sepenuh hati.
“Aku tak peduli apakah kau mempekerjakanku atau membebaskan aku.”
***
“Orietta….”
Mimizuku mendesah.
“Meski kau bebas, kenapa kau tak pergi ke mana-mana?”
Orietta berbalik dan menatap punggung bergulung Mimizuku yang mungil.
“Yah,” dia berkata, “Meski aku memilih untuk tidak pergi ke mana-mana, bukankah itu adalah pilihan yang kubuat secara bebas?”
Mimizuku menutupi wajahnya dengan tangan. Air mata mulai menitik dari wajahnya.
Dia memikirkan tentang Orietta.
Dia memikirkan tentang Fukurou.
Dia memikirkan tentang apa yang telah Orietta katakan, tentang bagaimana tidak pergi ke mana-mana adalah pilihan yang juga bisa kau buat secara bebas.
Fukurou.
Dia memanggil nama itu.
Hei, Fukurou.
Kamu menyuruhku pergi ke mana?
Waktu itu, aku pasti akan memilh untuk tinggal di sisimu.
Tidak apa-apakah bila aku tinggal di sisimu?
Tidak, itu tidak benar. Dia tak membutuhkan izin dari siapapun. Bukankah dia telah membuat keputusan pada hari itu? Di antara gemerisik Hutan Malam.
Bahkan bila kamu tak mengizinkanku, aku akan tetap berada di sisimu. Makanlah aku, wahai Raja Malam.
Dia tahu apa itu menangis. Dia sudah diajari. Dia ingat.
“… Uuu… uuu….”
Untuk suatu alasan tertentu, dadanya terasa sesak.
Tenggorokannya seakan terbakar, dan dia tak sanggup bernapas. Tiba-tiba, dengan lembut, dia mencium aroma yang menenangkan.
Dirinya dipeluk lembut dari belakang oleh Orietta. Wanita itu mendekap kepalanya, dan dia mengerti bahwa Orietta juga menangis.
Mimizuku ingin melepaskan Orietta. Dia harus melepaskannya. namun, Orietta, sambil gemetar, bicara.
“… Kau telah melakukan dengan sangat baik….”
Dekapan Orietta begitu hanyat.
“Kau telah melakukannya dengan sangat baik… hidup hingga saat ini….”
Kata-kata itu telah memecahkan bendungannya. Mimizuku menangis, dan menangis.
“Tidak seburuk itu…,” Mimizuku berkata, terisak tak terkendali. Dia tak pernah menyangka kalau semuanya ternyata begitu berat.
Meski dia telah menjalani kehidupan seperti yang telah dia alami, dia tak pernah berpikir bahwa kehidupannya itu sulit. Dan kemudian, setiap hari yang telah dia habiskan sejak datang ke Hutan Malam terasa menyenangkan.
“Hei… hei, Orietta….”
“… Ya?”
“Bisa aku bertanya sesuatu padamu?”
“Apa itu?” Orietta bertanya, menepuk-nepuk punggung Mimizuku.
“Saat aku menerima semua pakaian cantik itu, dan semua makanan enak untuk dimakan, dan saat semua orang baik kepadaku, apa yang harus kukatakan atas semua itu?”
Orietta tersenyum pada pertanyaan Mimizuku.
“Pada saat-saat seperti itu, kau seharusnya berkata ‘terima kasih’.”
“Terima… kasih….”
Itu benar, ada kata-kata untuk itu. Mimizuku berpegangan pada tangan Orietta dan mengucapkannya.
“Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Orietta.
Dia menangis sembari bicara. Dia harus mengucapkannya. Dia harus mengucapkannya.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih….
Benaknya membeludak. Kata-katanya membeludak.
“Mimizuku…?”
“Uuu… ugh…! te-te-terima… ka-kasih… Kuro… Fuku… rou.. terima kasih…!”
Mimizuku kemudian roboh, dan mengerang seakan tersesat dalam mimpi.
“Terima kasih! Terima kasih…!!”
Dia bahagia.
Dia amat sangat bahagia.
Meski kamu tak melakukan apapun untukku….
Kamu telah mendengarkan ceritaku.
Dengan matanya yang dingin, cantik seperti rembulan, Fukurou menatap Mimizuku.
Aku ada di dalam mata itu.
Itu adalah kali pertama dia tahu kalau dirinya hidup.
Terima kasih.
“Aku… aku menrindukanmuuuuuuu…!”
Ada sesuatu yang harus kukatakan kepadamu.
Orietta, seakan telah membuat keputusan, memeluk Mimizuku lebih erat lagi.