Mimizuku And The King of Night - Chapter 8
Malam itu, tepat saat Claudius sudah akan tertidur, dia mendengar sebuah suara keras di tengah tidurnya.
“Siapa di sana?”
Membuka kelopak matanya, Claudius dengan lirih menangakan identitas di pendatang. Dia tak boleh sembrono. Saat dia sembrono lah dirinya paling rentan.
“Apa kau menyadari kalau kau berada di kamar sang pangeran? Kalau kau berjalan selangkah lagi ke dalam kamarku, kau akan dikutuk oleh para penyihir terhebat negara ini.”
Meski demikian, bila orang yang sudah datang sejauh ini siap untuk membuang nyawa mereka, mereka takkan kesulitan untuk mencelakai sang Pangeran. Saat lonceng tanda bahaya berdering lirih dalam hati Claudius, dia pun memaksa matanya meihat di dalam kegelapan pekat.
Ada sesosok manusia kecil.
“Maaf sudah datang selarut malam ini, Dia.”
Suara samar itu bagaikan lonceng bulat kecil yang menggelinding pelan di atas lantai.
“… Mii? Apakah itu kamu, Mii?” Claudius bertanya, kebingungan. Dia mengira telah merasakan gadis itu mengangguk.
“Ya. Maaf, pada siang hari, mereka menagwasiku, jadi aku tak bisa datang hingga larut malam.”
“Kau diawasi…?”
“Semacam itu. Mereka tak bilang kalau aku tidak boleh ke mana-mana, sih. Orang yang ada di bawah menaramu membiarkanku masuk.”
“Begitu ya…,” Claudius merespon dengan pikiran campur aduk. Beberapa kata berbeda yang telah diucapkan beragam orang berputar-putar di benaknya.
“Mimizuku… aku menunggumu.”
“Aku tahu. Terima kasih.”
Mimizuku sepertinya mengangguk. Dia juga tampaknya tersenyum, meski hanya sedikit.
“Andy dan Orietta datang kemari dan mengatakan padaku tentang dirimu. Kukira kau takkan datang menemuiku lagi.”
“Kenapa?”
Tersembunyi di balik kelambu yang menggantung dari kanopi ranjangnya, Claudius tak bisa melihat wajah Mimizuku, dan karenanya tak tahu seberapa banyak Mimizuku telah berubah sejak mendapatkan kembali ingatannya.
Dia memejamkan matanya dalam kegelapan. Tak ada yang berubah. Tak peduli apakah matanya terbuka atau tertutup, dunia masih memiliki warna yang sama.
“… Sang Raja datang hari ini. Dia berkata bahwa upacara terakhir dalam menghancurkan Raja Malam akan digelar besok, dan aku harus datang…. Dia bilang aku harus ikut serta, sebagai raja berikutnya.”
Claudius telah memahami maksud sang Raja.
Sehari sebelumnya, Duke Ann telah datang dan memberitahu dirinya. Dia tahu semua situasinya. Duke Ann telah mengatakan padanya keadaan Mimizuku, tentang makna segel di dahi gadis itu, dan alasan kenapa gadis itu memiliki bekas-bekas luka di pergelangan tangan dan kakinya.
Dan kemudian, Duke Ann mengatakan hal ini padanya: “Kau akan dipanggil untuk menghadiri upacara dua hari dari sekarang, Claudius. Camkan yang kulakukan pada hari itu ke dalam ingatanmu. Bagaimanapun… kalau kau bisa, tolong jangan katakan kepada Mimizuku tentang hal ini.”
Duke Ann telah mengulas senyum sedih saat dia mengucapkan kata-kata tersebut.
“Kusadari kalau pada akhirnya aku akan dicap buruk dan dibenci. Mau tak mau….”
Claudius telah bertanya apa yang bisa dia lakukan untuk membantu.
Duke Ann hanya tersenyum. Dia tersenyum seakan sedang menahan apa yang sebeanrnya ingin dia katakan.
“Dia, kau mungkin akan segera mampu menggerakkan lengan dan kakimu.”
“Aku tak peduli dengan apa yang terjadi padaku,” Claudius telah berkata. Duke Ann menepuk-nepuk kepalanya.
“Jangan mengatakan hal semacam itu. Sang Raja ingin kau bisa menggerakkan lengan dan kakimu dengan bebas sehingga kau akan memiliki lebih banyak kepercayaan diri pada dirimu sendiri.”
Pecaya diri pada diri sendiri.
Menggerakkan lengan dan kakinya akan memberinya kepercayaan diri? Bisakah dia menjadi raja hanya dengan menggerakkan tangan dan kaki?
“Kamu tahu, Claudius,” Mimizuku berucap dalam suara bergetar. Claudius membuka telinganya supaya tak membiarkan sepatah kata pun lolos darinya. “Kamu tahu….” Bahkan dalam kegelapan, siluet Mimizuku tetap kecil.
Meski dia berada dekat dari mendapatkan pergerakan bebas pada anggota tubuhnya, Claudius hanya bisa memikirkan tentang Mimizuku.
Apakah Mii menangis? dia membatin.
Lalu, dengan suara bergetar bagai bisikan, Mimizuku bicara.
“Apa yang akan kamu lakukan… bila aku memintamu membantuku?”
Claudius tersenyum sebelum mampu mengatakan apa-apa.
Sejak lama dia sudah tahu apa jawabannya.
***
Sebuah lonceng tiga warna dengan suara jernih. Begitu dia mendengar lonceng itu berbunyi, Duke Ann teringat pada pemakaman almarhumah sang Ratu.
Waktu itu, Duke Ann belum terpilih sebagai Ksatria Suci. Dia telah melihat prosesi tanpa akhir dari orang-orang berpakaian hitam itu dengan pikiran kosong dari puncak sebatang pohon di kebun kediamannya.
Meski dirinya berada tinggi di atas, dia tak bisa melihat bagian dalam peti dari antara prosesi. Dia kecewa, karena telah disebutkan bahwa sang Ratu memiliki kecantikan yang langka.
Namun.
Duke Ann mendongakkan kepalanya, dan menatap Fukurou, yang seakan telah menciptakan tahtanya sendiri dengan sayapnya yang terentang.
Dua bulan telah berlalu sejak sang Raja Malam ditangkap. Sejak saat itu, dia tak diberi apapun untuk dimakan ataupun diminum, hanya tergantung seperti hendak dikeringkan dan dikuras bersih dari kekuatan sihir.
Meski demikian… sosoknya, kelopak mata diturunkan, kurus dan layu, masih tetap indah dengan dinginnya.
Di hadapan kecantikan yang menakutkan itu, bahkan sang Ksatria Suci pun bergidik.
“Wanita Suci! Bawa pedangnya kemari…!” Raja Dantes berkata dengan suara rendah. Tanpa membuang-buang tenaga, Orietta berlutut di sisi Duke Ann. Dia memejamkan matanya, dan menawarkan Pedang Suci kepada suaminya.
Duke Ann tak menyangka istrinya akan datang.
Itulah yang sungguh-sungguh dirasakan oleh Duke Ann. Sejak dia mengatakan kepada wanita itu bahwa dia harus menggenggam pedang pada hari terakhir penekanan Raja Iblis, Orietta tak pernah mendengarkan sepatah katapun yang dia ucapkan.
Bagaimanapun, pada akhirnya Orietta juga tak bisa berkata tidak.
“… Apa kau tak apa-apa dengan ini?” Duke Ann berbisik begitu dia menggenggam pedang tersebut.
Orietta mengesah, matanya masih menutup.
“Aku hidup sebagai satu kesatuan dengan pedang….”
Mendengar jawaban Orietta, Duke Ann memasang raut kesakitan. Andai dia bisa melakukan apapun tentang hal itu, dia tak mau Orietta dipaksa mengatakan hal semacam itu.
Digenggamnya gagang pedang, lalu menghunusnya dalam satu gerakan cepat.
Dua lentera ajaib memantulkan cahaya purnama ke arah Pedang Suci, membuat pedang tersebut memancarkan aura redup. Benda yang bersinar paling cemerlang pada upacara tersebut adalah kristal yang dikelilingi oleh para penyihir. Ukurannya sedikit lebih besar daripada kepala manusia, dan lidah api biru membara di dalamnya.
Tak ada kekuatan sihir yang tersisa dalam diri Raja Malam pada saat ini.
Mahkota yang disebut-sebut untuk raja berikutnya menguarkan aura mengintimidasi.
“Bawa kepadaku sang Pangeran…!”
Atas perintah sang Raja, Claudius muncul di atas kursi tandu yang ukurannya berkali-kali lipat lebih besar daripada tubuhnya yang diusung oleh beberapa orang pria. Ditutupi oleh kanopi bahkan saat dirinya dibawa ke bawah tanah, bibir Claudius mencebik. Pertama-tama dia menatap pada sang Raja, dan kemudian pada Fukurou.
Para penyihir melangkah maju. Dari sini mereka akan, dengan memakai kekuatan sihir sang Raja Iblis, melakukan penanganan sihir terbesar dalam sejarah negara mereka.
Tujuan mereka adalah membangkitkan kembali penggunaan tak terikat Claudius atas lengan dan kakinya, sampai ke ujung jemarinya.
Hal itu terjadi tepat pada saat para penyihir bersiap-siap dengan tongkat-tongkat mereka.
“Tunggu sebentar.”
Setelah tak bersuara sedikitpun hingga saat ini, Claudius memecah kesunyian pada udara kosong dengan suaranya yang tinggi. Tanpa pikir panjang Duke Ann menoleh kepadanya.
“Yang Mulia,” Claudius berkata jelas, bersitatap dengan sang Raja berambut kelabu. “Aku ingin melihat sang Raja Iblis dengan jelas dengan mata kepalaku sendiri.”
“… Apa?” Dantes menggeram.
Bagaimanapun, Claudius, tanpa ragu sambil terkubur dalam kursinya, kembali meninggikan suaranya.
“Sebelum dia ditusuk dengan Pedang Suci oleh Duke Ann sang Ksatria Suci, Aku berharap diizinkan untuk mematrikan bentuk dari calon simbol kekuatan sihir kerajaan kita ke dalam mataku….”
Sang Raja berambut kelabu memelototi putranya. namun, Claudius tak menurunkan tatapannya. Dantes bertanya-tanya kapan putranya telah menjadi begitu pemberani. Dia merasa bahwa sepertinya Claudius bukan putra yang sama dengan yang selalu dia miliki, yang selalu menegadah menatap dirinya dengan ketakutan.
“… Baiklah.” Sang Raja mengangguk. “Bawa Claudius ke depan!”
Para pria yang mengusung tandu membawa sang Pangeran maju. Dengan lembut mereka meletakkannya di atas karpet merah yang lurus. Sang Pangeran lalu menatap dengan seksama, meski dari kejauhan, pada Fukurou. Dia menatap tubuh, juga sayap yang sepertinya ditahan oleh benang-benang tak terlihat. Sosok itu tak kehilangan keagungannya.
Claudius menatapnya seakan sedang mematrikan sosoknya ke dalam batin.
Tepat saat Dantes hendak meneruskan prosesnya, mendadak Claudius meneriakkan sesuatu.
“Mimizuku, sekarang…!”
Tak seorang pun di sana yang bisa mengingkari suara yang memasuki telinga mereka. Mereka hanya berdiri dengan mata melebar dalam ketakjuban. Kain yang ada di dasar tandu Claudius telah tercabik membuka.
Lalu, sebuah bayangan melompat keluar dari dalamnya.
“Mimizuku!!” Duke Ann memekik. Seperti waktu ketika gadis itu hanyalah tulang berbalut kulit yang tertutup sehelai kain tipis, Mimizuku melompat keluar bagai peluru dan berlari.
“Hentikan! Hentikan gadis itu!!” Suara Dantes membahana seperti meriam yang diledakkan. Tercengang, para penyihir memasang kuda-kuda bertarung. Bagaimanapun, mereka adalah penyihir yang sama dengan yang telah bersiap untuk melakukan pemulihan atas anggota tubuh Claudius. Akan butuh waktu bagi mereka untuk merapalkan mantra lainnya.
Mendahului semua orang, Duke Ann ebrlari ke arah Mimizuku.
Namun, lengannya mendadak ditarik dari belakang.
“Urk!”
Dia menoleh ke sampingnya. Di sana, dengan sorot kuat pada matanya, adalah sang istri.
“Biarkan aku yang maju, Andy.”
“Apa yang akan kau lakukan?!” Duke Ann berkata.
“Akan kutunjukkan padamu. Jaga punggungku!”
Kata-kata Orietta begitu kuat. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Duke Ann begitu erat, membuat pria itu sulit menolaknya.
Terdorong oleh ketidaksabarannya, Duke Ann menatap pada Mimizuku.
Mimizuku berlari. Sepenuh hati, dia berlari. Kepada Fukurou, sang Raja Malam yang cantik.
“Fukurou!!”
Dia memanggil namanya dengan segenap hati.
Dia menggenggam sebilah pisau, menahan gagang peraknya yang cemerlang ke dadanya.
***
Orietta berdiri di pintu masuk dengan seragam lengkap pendeta wanitanya, menatap pada Mimizuku. Dia melihat bahwa gadis itu telah mengganti pakaian lamanya dengan sehelai kain putih yang tipis.
“Mimizuku….”
“Orietta, maafkan aku,” Mimizuku berkata. “Aku harus pergi.”
“… Pergilah, Mimizuku,” Orietta berkata, tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.
Menatap wajah menangis Orietta, Mimizuku juga merasa ingin menangis.
“Kamu tahu….” Air mata mulai menitik keluar dari mata Mimizuku. Dia tak nmeneruskan kata-katanya. Orietta memeluknya dengan penuh kasih.
“… Kalau aku punya seorang putri, kupikir beginilah segalanya mungkin akan terjadi, bukankah begitu?”
Orietta telah menyerah memiliki anaknya sendiri. Sebelumnya dia telah menangis dan meminta maaf kepada Duke Ann atas hal itu. Duke Ann mencintai dirinya, dan dia mencintai Duke Ann, jadi dia meminta maaf kapanpun dia menangis pada pria itu. Duke Ann tak menyalahkan Orietta. Dia sepenuhnya menyadari apa yang telah dilalui wanita itu.
Mereka tak bisa mengambil seorang anak dari panti asuhan, karena mereka harus menganggap negara sebagai anak mereka.
“Maafkan aku, Orietta.”
“Kau tak perlu minta maaf,” Orietta berkata, melingkarkan lengannya dengan kokoh pada punggung Mimizuku.
“Kamu tahu, aku… aku… aku senang mengenakan pakaian-pakaian cantik yang kudapatkan. Masakan semua orang juga lezat. Ranjangnya lembut dan empuk, dan semuanya membuatku sangat gembira.”
Itu bukan kebohongan. Perasaan-perasaannya jelas nyata.
“… Itu benar….” Persetujuan Orietta tampak sarat dengan seluruh kasih dari sang Bunda Suci.
Dia seperti seorang ibu yang sesungguhnya, Mimizuku membatin.
Aku tak tahu, aku tak mengerti, tapi itu pastilah sesuatu yang seperti ini, benar kan? Seperti inikah rasanya memiliki seorang ibu….?
Meski begitu.
“Tapi, meski begitu… aku ingin pulang.” Dia memiliki tempat untuk kembali. “Aku ingin kembali ke hutan Fukurou… aku pasti seorang yang bodoh….”
Maafkan aku, maafkan aku. Meski kamu begitu baik kepadaku.
Meski semua orang baik kepadaku.
Pada kata-kata tersebut, dengan lembut Orietta membelaikan tangannya pada kepala Mimizuku.
“Kau tahu, kita para anak perempuan… kita semua menjadi bodoh saat kita jatuh cinta,” Orietta berkata dengan seulas senyum nakal.
Mimizuku mengerjap pada kata-katanya itu.
“Orietta… adalah orang bodoh juga?” dia bertanya, menyeka air matanya. Orietta menatap Mimizuku dan terkekeh.
“Kalau tidak… bagaimana aku bisa menjadi seorang istri tak berguna seperti itu?”
Mimizuku tertawa tanpa disengaja.
“Ambillah ini….”
Orietta lalu menekankan sebilah pisau ke dalam tangan Mimizuku. Pisau itu memiliki keindahan yang sederhana, dan dengan sekali lihat, Mimizuku tahu bahwa pisau itu berharga.
“Orietta, apa ini?”
Bahu Mimizuku bergetar saat bobot dinginnya tiba-tiba ditempatkan pada tangannya.
Orietta tersenyum penuh kasih kepadanya.
“Ambil ini. Aku meminjamkannya kepadamu. Pisau ini diberikan kepadaku saat aku menjadi Gadis Pedang Suci. Benda ini telah diturunkan di kuil dari generasi ke generasi. Pisau ini dibentuk dari satu potongan yang terpecah dari Pedang Suci. Kalau kau ingin memotong benang-benang yang menahan Raja Malam… kau membutuhkan ini.”
“Sungguh tidak apa-apa bila aku memiliki ini?” Mimizuku bertanya, dilanda oleh berbagai emosi yang campur aduk.
Bukankah Orietta adalah istri Duke Ann? Bukankah dia adalah pendeta wanita dari negara ini?
Meski demikian, Orietta terus tersenyum padanya.
“Aku memaksamu mengambilnya… Mimizuku-ku sayang,” dia berkata.
***
Jadi Mimizuku mengambil pisau itu.
Rasa sakit dari udara terbuka seakan mengiris tubuhnya, dan dia mulai merasa mual.
Namun, Mimizuku tak melepaskan genggamannya.
Aku akan berjuang.
Hingga saat ini, dia selalu melakukan seperti yang dikatakan orang lain. Kini dia ingin hidup demi dirinya sendiri, memberi arah kehidupannya sendiri.
Aku sudah tahu, sejak kita pertama berjumpa.
Bertemu denganmu….
Hal itu telah menjadi pilihan pertama yang dibuat oleh Mimizuku dalam hidupnya.
Aku akan mengambilmu kembali. Karena itulah aku akan berjuang.
Mimizuku berdoa kepada Tuhan untuk pertama kalinya.
***
“Fukurou!!”
Mimizuku memotong benang sehalus sutra yang mengikat dan menahan tubuh Fukurou.
“Fukurou, Fukurou, bukalah matamu…!!” dia memanggil, menangis. Wajah Fukurou cantik dengan tenangnya, seakan dia sudah mati, dan punggung Mimizuku membeku, bukan karena kecantikan Fukurou, namun karena rasa takut bahwa sang Raja Malam telah hilang darinya.
Ada banyak hal yang mau tak mau ditakuti oleh Mimizuku.
Lalu, sedikit, dengan lemah, Fukurou mengangkat kelopak matanya. Cahaya bulan yang lembut terpancar dari matanya.
“Fukurou!”
Dengan kebebasan bergeraknya yang baru ditemukan, gerakan pertama Fukurou adalah mencengkeram pergelangan tangan Mimizuku.
Pergelangan tangan itu sedikit berubah warna, juga menggenggam sebilah pisau.
“Agh!”
Jemari kurus Fukurou telah kehilangan banyak kekuatannya, namun cengkeramannya masih kuat dengan mengejutkannya, membuat Mimizuku menjatuhkan pisaunya.
“Mimizuku!!” Duke Ann memanggil dengan putus asa.
Orietta menelan napasnya.
Dengan suara teredam, pisau itu menghantam tanah.
Namun, Fukurou menatap Mimizuku.
“Kukira kamu pernah berkata… bahwa kamu membenci pisau…,” dia berujar.
Suara yang sama, tidak berubah sedikitpun, yang telah dipakai Fukurou untuk bicara saat mereka pertama kali bertemu.
Atas kata-katanya itu, Mimizuku tersenyum.
Sebuah senyum yang kuat, tak seperti satu pun yang pernah dibuat Mimizuku sebelumnya. Senyum itu memancar dari wajahnya, meski ada setetes air mata yang terjatuh dari mata Mimizuku.
“Tidak sepenting itu….”
Mimizuku lalu melompat ke leher Fukurou.
Dia memeluk sang Raja Malam erat-erat. Lengan rampingnya yang lembut melingkari Fukurou, seakan tercipta hanya untuk memeluknya.
Fukurou lalu sedikit memicingkan matanya.
Dipeluknya tubuh Mimizuku seerat yang dia bisa.
Begitu banyak waktu yang telah berlalu sejak pertemuan mereka yang kebetulan pada malam terang bulan itu. Mereka berdua akhirnya saling menerima satu sama lain, berpegangan tangan.
***
“Andy!!” Dantes menyeru. Pembuluh-pembuluh darah tampak jelas di dahinya.
“Duke Ann sang Ksatria Suci! Belahlah si Raja Iblis! Nyawa sang Raja tergantung padanya…!!”
Para penyihir juga menyiapkan sebuah mantra baru. Dantes menaikkan suaranya, menuntut supaya Pedang Suci dihujamkan pada punggung Fukurou.
“Aku tak peduli bila kau harus membunuh Mimizuku juga…!!”
Pada nada suaranya yang kuat, Duke Ann mengguncang lepas tangan istrinya dari pergelangan tangannya.
Orietta memekik dari belakangnya.
Namun, Duke Ann tak berbalik. Diangkatnya Pedang Suci, semakin tinggi dan semakin tinggi lagi.
Mimizuku memejamkan matanya erat-erat.
Dia tak peduli bila dirinya mati seperti ini, dalam dekapan Fukurou.
Mengulang kata-kata yang sama di kepalanya lagi dan lagi, meski hal yang berlawanan dari kata-kata itu berdiri di hadapannya, dia terus mengulangnya.
“Andy!”
Claudius lah yang menyerukan nama itu.
Pedang pun terjatuh.
***
Sebuah suara nyaring, bagai kaca yang pecah, terdengar.
“!!”
Angin topan seakan berhembus, dan semua orang di dalam ruangan serta merta kehilangan kendali atas indera-indera mereka.
“Duke Ann, apa yang kau…!!”
Sebuah suara bagai air terjun yang menggemuruh terdengar, dan udara pun mulai bergejolak.
Selama sesaat, Mimizuku tak bisa menentukan arah mana yang atas ataupun bawah, namun penglihatannya pada akhirnya mulai terfokus. Semuanya telah berakhir. Semua yang tersisa di ruang bawah tanah adalah Duke Ann, Fukurou, dan Mimizuku, masih berada di pelukan Fukurou.
Duke Ann tak mengarahkan mata pedangnya pada jantung Fukurou.
Sayap-sayap Fukurou, seakan menarik napas dalam-dalam, terbentang. Dia telah mendapatkan kembali kekuatan sihirnya.
Duke Ann telah membelah kristal biru membara yang menyimpan kekuatan sihir Fukurou.
“Andy! Kau….”
Sang Raja, yang telah mendapatkan kembali keseimbangannya saat para penyihir di sisinya memapahnya, menyebut nama tersebut dengan suara yang sarat dengan kemarahan.
Namun, Duke Ann hanya menaikkan bahunya seperti biasa.
“Maaf, Raja, tetapi kalau istriku lari dariku, aku akan dapat masalah, dia berkata acuh tak acuh.
Nada suaranya seakan dia sedang bicara kepada seorang kawan lama.
***
“FUkurou, Fukurou, apa kamu baik-baik saja?” Setelah perselisihan yang mendadak itu terjadi, Mimizuku telah mengamati Fukurou, cemas.
Fukurou tak mengabaikan dirinya. DIa menurunkan tatapannya untuk bertemu dengan mata tiga putih Mimizuku.
“Kenapa kamu datang?” dia bertanya dengan suara rendah.
Mimizuku memasang rengutan yang seperti campuran antara tawa dan tangisan.
“Kenapa aku takkan datang?”
“Karena pada akhirnya kamu telah mendapatkan kebahagiaan.”
“Memang, huh? Makanan hangat, pakaian bagus, handuk-handuk lembut, juga ranjang yang empuk. Tapi….” Mimizuku menatap sepasang rembulan itu. “Kamu tak ada di sana,” dia berkata.
Fukurou menyipitkan mata rembulannya.
“Kamu sungguh seorang yang bodoh.”
“Mungkin.”
Air mata mulai menitik dari mata Mimizuku.
“Jangan katakan sesuatu yang begitu sulit untuk dimengerti pada saat seperti ini. Sekarang karena semuanya baik-baik saja, kenapa kita tidak pulang ke rumah? Ayo kita pulang ke hutan…!”
“——….”
Fukurou menyeka air mata dari pipi Mimizuku dengan ujung jemarinya yang tipis dan bercakar.
“Kukira kamu pernah bilang kalau kamu tak pernah menangis.”
“Aku ingat caranya.” Mimizuku mendongakkan pipinya. “Aku ingat cara tertawa juga. Apa kamu membenciku karena menjadi begitu manusiawi?”
“Tidak….” Fukurou lalu menyibakkan rambut Mimizuku dengan jarinya, sehingga simbol pada dahi gadis itu bisa terlihat. “Kamu… adalah Mimizuku. Dan aku–… adalah Fukurou.”
Itulah jawabannya.
***
Fukurou mengepakkan sayapnya yang terentang, mengirimkan rentetan kekuatan sihir serta angin ke dalam ruang bawah tanah. Sang Raja berambut kelabu menaikkan suaranya terhadap sang Raja Malam yang memeluk si gadis kecil.
“Apa yang kalian lakukan? Para penyihir! Riveil! Cepat, cepat, lakukan sesuatu…!!”
Namun, para penyihir tak mampu merapalkan mantra lebih jauh lagi.
Dengan munculnya bulan purnama, raja para monster sarat oleh kekuatan yang sesuai dengan namanya, dan, merasakan tekanan dari kekuatan sihirnya, para penyihir tak bisa berhenti gemetar.
“Apa yang kalian lakukan?! Cepat, sang Raja Iblis…!!”
“Kumohon, hentikan ini!!” Claudius berkata kepada Dantes saat sang Raja berusaha menyemangati para penyihir dengan sia-sia. “Tolong hentikan, Ayahanda. Jangan lagi…!”
Dipeluk erat oleh tangan kanan Fukurou, Mimizuku menatap Claudius.
Pangeran itu telah tersenyum ketika Mimizuku meminta bantuannya.
“Aku akan melakukan apapun yang kau minta, Mii.”
Dia menatap Claudius, anak lelaki yang sama yang telah mengucapkan kata-kata itu kepadanya.
Wajah Claudius berkerut, seolah sudah akan menangis, masih mengulang permohonannya kepada ayahandanya.
“Jangan lagi, Ayahanda…! Aku baik-baik saja, jadi kumohon, hentikan semua ini!”
“Claudius…,” Dantes berkata, terpana. Ditatapnya Claudius. “Claudius… apa yang kau pikirkan…?!”
“Mii adalah temanku!” Air mata mengalir di pipi Claudius. Ini adalah kali pertama sejak wafatnya sang Ratu ketika Dantes melihat air mata Claudius. “Mimizuku adalah temanku! Kalau aku harus membuat seorang teman menangis, maka tak ada artinya aku mendapatkan tangan dan kakiku kembali!”
“Dia…,” Mimizuku memanggil dari lengan Fukurou.
Namun, Claudius berbalik untuk menghadap Dantes.
“Kalau Ayahanda berkata bahwa aku tak bisa menjadi raja dengan tubuh seperti ini, maka pergilah mencari penerus yang lain! Aku tak peduli! Tetapi tetap saja, Ayahanda, tetap saja… meski aku memiliki tubuh ini… aku tetaplah putramu…!!” dia berseru.
Dia memanggil-manggil ayahandanya, menangis. Duke Ann dan Orietta berdiri menatap adegan di hadapan mereka itu.
“Claudius…,” Dantes berkata tidak yakin.
“Dia!” Mimizuku memekik dari antara lengan Fukurou. “Hei, Dia…!”
Dengan air mata mengalir turun di wajahnya, Claudius balas menatap Mimizuku. Kemudian, dia menengadah pada Fukurou.
“Dia, maafkan aku… maafkan aku.” Mimizuku tahu bahwa itu adalah permintaan maaf yang sia-sia, dan bahwa dia telah mengandalkan sang pangeran untuk melakukan sesuatu yang sangat sulit. Tetapi meski demikian, dia senang karena Claudius telah mendengarkan dirinya. “Maaf… dan terima kasih…!”
“Tidak apa-apa, Mii.” Claudius tersenyum, wajahnya masih basah oleh air mata. “Aku telah menerima banyak hal darimu. Aku telah belajar darimu. Jadi tidak apa-apa. Jangan khawatirkan itu.” Dia pun mengulas senyum hangat.
Sebuah senyum yang menyerupai almarhumah sang Ratu.
Tiba-tiba, terdengar sebuah suara rendah.
“… Pangeran muda.”
Suara siapa itu? Setelah kebingungan sepersekian detik, Claudius menelan napasnya, dan mendongak untuk menatap si pemilik suara.
“Raja… Malam….”
Fukurou menunduk menatap Claudius dengan matanya yang keemasan.
“Pangeran manusia yang memakai bagian-bagian tubuhnya sebagai hiasan. Kamu masih bisa mengambil alih tahta dengan tubuh itu.”
Mimizuku, terkejut oleh kata-kata Fukurou, menengadah menatapnya. Claudius merapatkan bibirnya dan mengangguk.
“Kalau Ayahandaku mengizinkannya…. Tidak, kalau aku mendapati diriku sendiri sesuai untuk posisi itu, maka bahkan dengan anggota tubuh yang tak berguna ini, aku akan menjadi raja dari negara ini.”
Atas jawaban penuh tekad sang Pangeran, Fukurou mengepakkan sayapnya beberapa kali. Dia lalu mendarat di hadapan Claudius.
“Raja Iblis! Apa yang kau lakukan?!” Sang Raja menyingkirkan para penyihirnya, memelesat ke depan. “Jangan sentuh dia! Apa yang kau lakukan pada putraku…?!”
Duke Ann sedikit menaikkan pedangnya. Fukurou menurunkan Mimizuku, dan dengan lembut menyusurkan cakar-cakar dari jemari panjangnya pada tangan dan kaki Claudius.
“!”
Claudius terengah. Pola-pola ganjil mulai terbentuk pada lengan dan kakinya, dan kemudian sebuah cahaya samar mulai bersinar.
Ketika cahaya itu memudar, sesuatu yang aneh terjadi pada tubuh Claudius.
Dia berguncang lemah, dan merasa lemah dan dingin.
Tetapi, perlahan dia mengangkat tangan tangannya.
“Ah….”
Dantes berdiri tegak, menatap Claudius dengan mata membelalak lebar. Duke Ann berdiri tecengang, dan Orietta menutupi mulutnya ketika air mata mulai menitik dari matanya.
Para penyihir juga tak mampu berkata-kata.
Lalu, gemetar seperti anak rusa yang baru lahir, perlahan Claudius mengangkat kakinya, dan berdiri, berjalan turun dari kursinya.
“Ra-Raja Malam, ini, aku…!”
Claudius, berdiri, menatap Fukurou dengan ketakjuban nanar.
Meski dia dulu pernah berpikir kalau Raja Malam itu menakutkan, kini dia telah melupakan rasa takutnya.
“Sebagai seorang pangeran yang dikutuk, kamu mungkin telah dibenci,” Fukurou berkata dengan suara rendah teredam.
“Kalau kamu bersedia hidup bahkan dengan anggota tubuh yang dikutuk oleh Raja Iblis, maka kamu harus hidup, Pangeran Manusia.”
Claudius membuka dan menutup genggamannya beberapa kali.
Bagaikan mimpi, dia bisa bergerak.
Pola-pola cemerlang pada dirinya bisa dipastikan akan membuat orang yang melihatnya syok.
“Dia!”
Dengan mata berbinar-binar, Mimizuku mengulurkan kedua tangannya ke arah Claudius dan memeluknya. “Pola-pola itu… cantik sekali!” Mimizuku terkikik. “Semuanya sangat cantik!”
“Terima kasih, Mimizuku.” Claudius juga tersenyum dari dasar lubuk hatinya. Dengan tangan barunya yang telah terbebaskan, dia balas memeluk Mimizuku. “Juga terima kasih kepadamu, Raja Malam….”
Bagaimanapun, Fukurou kelihatannya tak mendengarkan sang Pangeran. Berpaling seakan telah kehilangan minat, dia terbang ke angkasa. Kembali ke hutan dari mana dia telah datang.
“Oh! Oooh! Fukurou!” Dengan panik, Mimizuku berusaha meraih Fukurou. “Aku juga ikut! Aku mau pulang bersamamu!”
“….”
Tanpa bersuara, Fukurou menunduk memelototi Mimizuku.
“Kalau kamu akan pulang, maka bawalah aku juga! Kamu tak bisa meninggalkanku begitu saja di sini; dan meski kamu melakukannya, aku akan mengikutimu! Hutannya tidak jauh dari sini, jadi jangan coba-coba melarikan diri!” Mimizuku berkata, menempatkan tangannya pada pinggul.
“….”
Fukurou menghela napas kecil, dan kemudian berbalik, meraih tangan Mimizuku.
Mimizuku memekik kegirangan.
“Mimizuku!” Duke Ann memanggil.
“Oh… Andy, Orietta…!” Dia mencondongkan tubuh ke depan dari posisinya di pelukan Fukurou. “Hei, hei, hei…!”
Rasanya ada begitu banyak hal yang harus dia katakan. Terima kasih. Maafkan aku. Terima kasih.
Akankah kata-kata itu saja sudah cukup? Mimizuku membatin.
Meski mereka telah mengajari dirinya untuk menggunakan kata-kata itu pada saat seperti ini.
Semakin dia memikirkannya, semakin dia merasa bahwa kata-kata itu takkan cukup.
“Hei! Heeei…!”
Air mata menyebar di wajahnya. Kenapa? Kenapa dia begitu sedih? Kenapa dia begitu menyesal? Mimizuku tak bisa mengerti.
Orietta menatap Mimizuku dan tersenyum.
“… Selamat datang kembali kapan saja,” Orietta berkata, mengabaikan air mata di matanya. “Aku akan menunggu.” Dia tersenyum penuh kasih, seperti yang selalu dilakukannya.
Di sisinya, Duke Ann juga tersenyum.
“Kalau kehidupan di dalam hutan tidak cocok untukmu, maka segeralah kembali! Kita akan pergi ke pasar bersama-sama lagi!”
Mimizuku membuat raut wajah tertahan dan mengangguk cepat.
Di sana ada gaya hidup yang nyaman, serta orang-orang yang baik. Tetapi tetap saja, dia hanya bisa membuat satu pilihan.
Baginya, pilihan itu sudah jelas.
“… Raja Malam.” Yang bicara selanjutnya adalah Dantes, berdiri di belakang Claudius. Sang Raja berambut kelabu mengerutkan alisnya seperti yang selalu dia lakukan dan memasang wajah kaku. “Aku takkan memintamu memaafkanku, Raja Malam,” ujarnya pelan. “Namun tetap saja….” Dantes menghirup napas dalam-dalam, “Aku berterima kasih kepadamu, dari dasar hatiku,” dia mengutarakan.
“Ayahanda….”
Claudius menengadah menatap ayahandanya dan tersekat.
Fukurou tak kelihatan berminat untuk merspon. Dia mengembangkan sayapnya lebar-lebar, dan berbalik untuk menghilang ke dalam kegelapan, namun tiba-tiba dia berputar dan menghadap Dantes.
“… Kalau kamu adalah seorang raja yang memilih negaranya, maka cobalah untuk membangun sebuah negara yang menakjubkan dengan tanganmu sendiri.”
Pada saat itu, Mimizuku teringat sesuatu.
Oh, itu benar, Fukurou juga….
Fukurou bisa jadi juga telah menjadi raja manusia pada satu saat.
Memikirkan hal ini, Mimizuku teringat pada sebuah perasaan yang tak bisa dia ungkapkan ke dalam kata-kata, dan berpegangan erat pada leher Fukurou.
Kapanpun dia tak mampu mengekspresikan dirinya sendiri, itulah hal terbaik yang bisa dilakukan.
Sama seperti apa yang telah dilakukan Orietta kepadanya. Mimizuku merasa bahwa dia akhirnya mengerti bagaimana menggunakan anggota tubuhnya sendiri.
Fukurou memasang wajah kesal pada Mimizuku yang menempel pada dirinya, namun bernapas pelan, dengan lembut dia menggerakkan lengannya seperti sedang membelai kepala Mimizuku.
Melihat hal ini, Duke Ann dan Orietta saling bertatapan dan tertawa.
Dan kemudian, Mimizuku dan Fukurou pun menyatu ke dalam kegelapan.
Angin berhembus, dan pada saat berikutnya, keduanya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
***
Seakan badai telah meleawti ruang bawah tanah kastel.
“Mereka sudah pergi….”
Duke Ann mendesah.
“Oh yah,” Orietta tersenyum, menyerahkan sarung Pedang Suci kepada Duke Ann.
Dengan gerakan yang indah, Duke Ann mengembalikan Pedang Suci ke dalam sarungnya dan memberikannya kepada Orietta.
“Nah kalau begitu, kita punya banyak pekerjaan bersih-bersih yang harus dilakukan, iya kan?”
“Memang,” Duke Ann berkata singkat.
“Kau yang bertanggungjawab. Segeralah bekerja, Andy,” sang Raja berambut kelabu berkata, kembali pada nada suara muramnya yang biasa.
“Huh?!” Hei, tunggu sebentar! Bagaimana denganmu, sang Raja?! Kenapa aku?!”
“Ya tentu saja. Kenapa kau tak mencoba bekerja sesekali? Orang rumahan sialan.”
Bahu Duke Ann terkulai, dan Orietta terkikik di sebelahnya.
“… Yang Mulia…,” Claudius berkata, mendongak malu-malu pada sang Raja. “Um….”
Dia tahu bahwa dirinya harus dihukum, karena dia tidak mematuhi sang Raja.
“Dia.”
“Y-ya?!” Claudius menjawab, bahunya gemetar. Mata kelabu ayahandanya menatap dirinya. Pria itu memasang raut tegas, serta sorot tegas di matanya. Meski demikian, Claudius tak berpaling. Dia tak mengarahkan matanya ke bawah seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya. Mengerutkan bibirnya erat-erat, dia menghadap ke depan, menatap lurus pada Dantes, ayahandanya.
Dia berencana untuk menerima hukumannya dengan bermartabat. Dia tak punya penyesalan. Meski demikian, dia tak berpikir bahwa dirinya akan dibenci oleh ayahandanya untuk hal itu. Dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan, baik untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk kepentingan negara.
Dantes menunduk pada Claudius, dan membuka mulutnya untuk bicara, namun dia menutupnya dan memicingkan matanya.
Dia kemudian berjalan maju selangkah, dan memeluk tubuh Claudius erat-erat.
Atas tindakan ayahandanya yang mendadak, mata zamrud Claudius membelalak lebar.
“Yang… Mulia…?”
Dantes tak mengatakan apa-apa. Dia hanya memeluk putranya, matanya terpejam erat, dan bahunya sedikit bergetar.
Pelukannya kuat, dan menyakiti Claudius. Dia adalah seorang pria tua malang yang tak tahu caranya bersikap lembut.
Namun, Claudius memejamkan matanya.
Dia selalu menginginkan ini.
Pelukannya cukup singkat. Begitu Dantes melepaskan Claudius, wajahnya telah kembali pada wajah raja yang galak itu.
“… Sejak saat ini, aku akan mengajarimu banyak hal. Kalau kau punya semangat yang dibutuhkan untuk menjadi raja, maka ikutilah aku, meski kau sampai memuntahkan darah!”
Pada perkataan itu, mata Claudius berbinar.
“… Ya, Ayahanda!!”
Dia adalah pangeran yang suatu hari nanti akan dipanggil ‘Raja Berhiaskan Segel.”