My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 20
Perkebunan ceri yang Mu Xiaoya ingin datangi namun tak pernah punya kesempatan untuk melakukannya merupakan kampung halaman dari temannya, Liang Nuonuo. Setelah lulus kuliah pada kehidupannya yang lampau, dia telah memikirkan tempat-tempat yang belum bisa didatanginya itu, jadi Mu Xiaoya menetapkannya sebagai tempat tujuan bulan madunya bersama Bai Chuan. Terlebih lagi, perkebunan ceri Liang Nuonuo terletak di area pegunungan, dan menurut Liang Nuonuo sendiri, kampung halamannya berpemandangan indah, tidak kalah dengan tempat-tempat tujuan wisata di luaran sana.
Yang paling penting adalah ketenangan daerah pegunungan dan populasinya yang lebih sedikit, semestinya hal itu akan membuat Bai Chuan merasa lebih nyaman.
Setelah memeriksa barang bawaan mereka, mereka pun berpamitan pada Paman Li yang mengantar mereka ke bandara, kemudian Mu Xiaoya mengajak Bai Chuan memasuki bagian dalam ruang tunggu. Karena mereka telah memesan tiket kelas satu, tidak ada banyak orang di ruang tunggu bersama mereka. Mu Xiaoya memperhitungkan waktu untuk pesawatnya mendarat seraya menghubungi Liang Nuonuo agar menjemput mereka di sana.
Liang Nuonuo: ‘Setelah kau turun dari pesawat, naiklah taksi ke stasiun kereta api dan belilah kereta tujuan terakhir ke Rongxian. Kemudian aku akan mengatur seseorang untuk menjemput kalian.’
Mu Xiaoya mengangkat alisnya: ‘Masih harus naik kereta ah?’
Liang Nuonuo: ‘Memang kurang praktis bila di daerah-daerah pedesaan. Tapi, pemandangan di sepanjang jalannya benar-benar bagus, keretanya sendiri adalah kereta bercat hijau yang seperti telah diambil dari sejarah.’
Mu Xiaoya: ‘Tapi aku masih benar-benar tak mau menaikinya.’
Liang Nuonuo: ‘Saat ini aku tak bisa menjemput kalian dari bandara ah, tunggulah sampai kalian tiba, keluarga budak ini akan memperlakukan kalian dengan sangat baik. (kedip.gif)’
Mu Xiaoya mendenguskan tawa. Dia berbalik untuk menatap Bai Chuan dan mendapati kalau pria itu sedang menolehkan kepala untuk menatap dirinya dengan ekspresi bertanya di wajahnya.
“Nuonuo bilang, kita harus tukar kendaraan dan naik kereta setelah turun dari pesawat. Kuperkirakan hari pasti sudah hampir gelap saat kita tiba di perkebunan cerinya,” Mu Xiaoya menjelaskan.
Bai Chuan mengangguk, mengindikasikan kalau dia tak punya opini tentang hal itu. Tapi Nuonuo ini, dia sepertinya pernah mendengarnya dahulu.
“Nuonuo, apa dia adalah teman yang meminjamimu uang sebelumnya?” Bai Chuan bertanya.
“Kau dengar ya?” Mu Xiaoya agak malu. Dia hanya ingin membelikan headset untuk Bai Chuan tapi masih harus meminjam uang untuk membelinya, benar-benar memalukan. Saat menelepon waktu itu, dia dengan sengaja berjalan agak menjauh, tapi dia tak menyangka kalau Bai Chuan masih bisa mendengarnya.
“En.” Bai Chuan mengangguk. Benar, dia mendengarnya.
“Uhuk~~” Mu Xiaoya terbatuk dengan tidak nyaman.
“Nih.” Tiba-tiba, ada sebuah kartu bank berwarna perak di hadapannya.
“Ini apa?” Mu Xiaoya melongo.
“Kartu gajiku,” Bai Chuan berkata, “Semuanya untukmu, tak perlu pinjam uang.”
Pada hari berikutnya setelah Bai Zheng mendengarkan permintaan adiknya, dia pun pergi ke departemen keuangan perusahaan untuk dengan segera membereskan akun Bai Chuan. Dan agar tidak membiarkan adiknya, yang secara khusus sensitif dengan angka, menemukan masalah apa pun, dengan spesifik dia menginstruksikan pada departemen keuangan agar memperhitungkan gaji Bai Chuan hingga dua digit terakhir setelah titik desimal. Setelah itu, sebelum pergi bekerja pagi ini, dia sendiri yang menyerahkannya kepada Bai Chuan.
“Kartu gajimu?” Mu Xiaoya agak terkejut. Butuh waktu beberapa saat baginya untuk memproses segalanya. Li Rong telah memberitahunya sebelumnya bahwa Bai Chuan memang bekerja. Kelihatannya pria itu mengerjakan pemrograman di perusahaan mereka.
“En, menyerahkan kartu gaji.” Tangan Bai Chuan terjulur lagi.
Menyerahkan kartu gaji? Apa dia mengerti apa artinya ini? Juga, bagaimana Bai Chuan tahu tentang ‘menyerahkan kartu gaji’, siapa yang memberitahu dia tentang hal itu?
Mu Xiaoya terpaksa bertanya kepadanya, “Siapa yang menyuruhmu untuk menyerahkan kartu gajimu?”
“Nenek bilang, saat kelak aku menikah, aku harus menyerahkan kartu gajiku kepada istriku.” Inilah hal yang neneknya beritahukan kepadanya di hari pertama dia pergi bekerja. Meski sudah berlalu lama, namun Bai Chuan memiliki ingatan yang bagus, dan karenanya dia mengingatnya dengan jelas, “Kamu adalah istriku, jadi aku memberimu kartu gajiku.”
Kamu adalah istriku!
Nada suara Bai Chuan datar dan tidak mendominasi sama sekali, namun Mu Xiaoya tak bisa menahan dirinya sendiri dari merona.
Orang ini ah, dia berbakat alami dalam menggoda, kenapa aku tak menemukan ini sebelumnya?
“Kau memberiku semua uangmu?” Mu Xiaoya mengambil kartu gajinya.
“Beri kamu semuanya, passwordnya adalah ulang tahunku, ulang tahunku adalah….”
“Aku tahu, sehari sebelum tahun ajaran baru dimulai.” Mu Xiaoya ingat kalau ulang tahun Bai Chuan adalah pada tanggal 31 Agustus. Saat dia masih kecil, sebelum tahun ajaran baru sekolah dimulai, dia akan pergi ke rumah Nenek Bai dan membantu Beliau mempersiapkan ulang tahun Bai Chuan. Hari itu adalah ulang tahun Bai Chuan, dan juga makan-makan besar terakhir pada liburan musim panas Mu Xiaoya.
“En.” Senyum Bai Chuan langsung menyala dan lesung pipitnya muncul kembali. Xiaoya ingat ulang tahunnya, meski ingatan Xiaoya tidak bagus, tapi Xiaoya ingat ulang tahunnya. Meski dia sudah tak merayakan ulang tahunnya bersama Xiaoya lagi sejak empat tahun yang lalu, tapi Xiaoya masih belum lupa!
Dia nggak lupa~~
Tak sanggup menahannya, Bai Chuan sedikit melompat kegirangan.
“Kalau begitu aku akan menghabiskannya loh.” Mu Xiaoya tidak sungkan-sungkan. Lagipula dia tak punya sisa terlalu banyak uang. Meski Liang Nuonuo akan menjadi tuan rumah untuk mereka pada perjalanan ini dan dia takkan perlu mengeluarkan banyak uang, tapi dia masih butuh uang untuk menutupi biaya perjalanan mereka. Kedua, dalam perjalanan mereka kali ini, Keluarga Bai tak memberi mereka uang tambahan, itu pasti karena mereka sudah tahu tentang keberadaan kartu ini. Dia hanya tak tahu seberapa banyak gaji yang dimiliki Bai Chuan, apakah bisa menyokong keluarga (Dia dan Bai Chuan)….
Mu Xiaoya berpikir sejenak, dan tiba-tiba memahami rasa aman yang pernah disebutkan oleh para koleganya yang telah menikah.
Setelah terbang selama dua jam, pesawat pun mendarat dengan aman. Mereka mengambil bawaan mereka, dan Mu Xiaoya memanggil taksi lalu pergi langsung menuju stasiun. Menunggu keretanya tiba, Mu Xiaoya mengirim pesan untuk melapor pada Liang Nuonuo.
Seperti yang telah Liang Nuonuo katakan, satu-satunya kereta yang beroperasi di Rongxian benar-benar adalah kereta bercat hijau. Ini adalah kali pertama Mu Xiaoya memakai kereta semacam ini. Kecepatan dari kereta hijau benar-benar lamban, tak ada penyejuk udara, bangku-bangkunya keras, persis seperti kereta-kereta tua di museum. Tapi tak satu pun dari hal-hal ini yang bisa dianggap sebagai yang terburuk. Yang terburuknya adalah bahwa ada terlalu banyak orang di kereta, dan setelah keretanya mulai berjalan, para penumpang bisa berkeliaran dengan bebas. Bukan hanya itu, tapi para turis dari berbagai tempat yang jauh suka mengobrol di perjalanan dengan beragam topik serta dialek semuanya bercampur baur dan mendengung di seluruh kereta.
Mu Xiaoya tanpa sadar memutar kepalanya untuk menatap Bai Chuan, dan seperti yang telah dia perkirakan, alis Bai Chuan berkerut.
“Nggak nyaman?” Mu Xiaoya bertanya cemas.
“En.” Bai Chuan mengangguk, dia tak suka lingkungan yang berisik.
“Kalau begitu, dengarkanlah musik dengan headphonemu.” Mu Xiaoya memasangkan headphone yang dikalungkan di leher Bai Chuan, lalu mengeluarkan ponselnya dan memainkan lagu piano yang biasa dipakai untuk menenangkan Bai Chuan.
Ekspresi Bai Chuan jadi agak rileks, tapi dia masih mengerutkan bibirnya. Tampak kentara kalau dia masih merasa gelisah.
“Kita akan duduk di sini selama dua jam. Dua jam itu benar-benar cepat. Kau seharusnya tidur sebentar, aku akan membangunkanmu saat kita sampai.”
Bai Chuan mengangguk tidak nyaman, kemudian menaikkan volume pada headphonenya, berbaring kaku di atas bangku keras di kereta hijau itu.
Mu Xiaoya tak berani bersuara, dia hanya duduk diam seraya melihat pemandangan di luar jendela. Seperti yang Liang Nuonuo katakan, meski kereta itu tua dan berkarat, namun pemandangan di sepanjang perjalanan benar-benar indah.
Keretanya sangat lambat, dan ada banyak pemberhentian di sepanjang jalan. Kereta itu akan berhenti hampir pada setiap setengah jam untuk menjemput kelompok-kelompok tamu lainnya. Saat kereta itu berhenti untuk kedua kalinya, ada sepasang kakek-nenek dan cucu mereka yang duduk di seberangnya. Si gadis kecil berumur sekitar lima atau enam tahun, kelihatannya baru saja terpisah dari orangtuanya dan meratap sepenuh hati.
“Huhuhuhu… aku mau mamaku, aku mau mamaku~~”
“Anak baik, jangan menangis, kita akan kembali setelah liburan musim panas.” Si nenek membujuk dengan sabar.
Pada saat ini, Bai Chuan yang telah tidur dengan tenang mulai bergerak, karena dia kelihatannya terganggu oleh suara itu. Mu Xiaoya terperanjat, buru-buru dia menarik keluar sekotak besar coklat dari tasnya di hadapan si gadis kecil.
Anak-anak seumuran ini biasanya menyukai makanan manis tapi dilarang oleh orangtua mereka. Saat dirinya tiba-tiba diperlihatkan begitu banyak coklat di hadapannya, tangisan dan ratapannya pun serta merta berhenti.
“Adik kecil yang baik, jangan menangis, biarkan kakak ini tidur sebentar. Sekotak coklat ini untukmu, bagaimana?” Mu Xiaoya membujuk dengan lembut.
Si gadis kecil tanpa sadar menolehkan kepalanya untuk menatap kakak laki-laki (Bai Chuan) yang sedang tidur, dan kemudian dia terus menatap dan memandang, tak bisa melepaskan tatapannya. Hal itu membuat Mu Xiaoya berpikir kalau pastilah ada sesuatu di wajah Bai Chuan. Namun setelah dia menatap dengan seksama, wajah pria itu bersih. Wajah tidur Bai Chuan tampak persis seperti malaikat.
“Bulu mata kakak itu panjang sekali ah.” Tiba-tiba si gadis kecil berseru, “Mirip seperti jerapah.”
Mu Xiaoya terpana, dan saat dia melihat pada mata Bai Chuan, dia mendapati kalau bulu matanya memang benar-benar panjang, khususnya ketika pria itu menatap dirinya dengan mata berbinar.
“Kalau begitu, kita tak boleh membangunkan jerapahnya, oke?” Mu Xiaoya tak bisa menahan senyumannya.
“En.” Si gadis kecil berpendidikan baik. Setelah diberitahu oleh Mu Xiaoya, dia bukan hanya berhenti menangis, tangannya juga tidak maju untuk mengambil coklatnya. Namun Mu Xiaoya bersikeras memberikan coklatnya kepada si gadis kecil.
“Tak usah. Barusan tadi kami telah mengganggumu, mulanya itu adalah kesalahan kami,” nenek si gadis menolak.
“Tidak apa-apa kok, coklat ini adalah hadiah pertemuanku untuk adik kecil ini. Terima kasih sudah memuji bulu mata suamiku.” Mu Xiaoya tertawa.
“Suamimu?” Si wanita tua tampak agak kaget. Sepertinya dia tak menyangka kalau pasangan yang tampak seperti mahasiswa itu ternyata sudah menikah. Namun saat dia kembali menatap mereka, dia merasa kalau pasangan itu tampak sangat cocok.
“En, kami baru saja menikah.”
“Ah, kalau begitu kurasa ini bisa dianggap sebagai manisan pernikahan?” si wanita tua berkata saat dia menyampaikan ucapan selamatnya. Dia tak lagi menolak coklat-coklat itu karena merupakan berkah bila menerima makanan manis semacam ini.
(T/N: 喜糖 – membagikan permen dan makanan manis kepada teman dan keluarga menunjukkan kalau pasangan pengantin ingin berbagi kesukacitaan dan mendapatkan restu dari semua orang. Biasanya, empat makanan manis yang umum adalah coklat, gula batu, permen melon, dan permen-permen cookie kecil. Ini adalah simbol-simbol tradisional yang menunjukkan hal-hal manis dalam pernikahan)
Keretanya terus bergerak lamban, suara-suara yang terus-menerus dan monoton dari rel menggesek kereta selalu membuat orang mengantuk. Saat mereka sudah akan berhenti di stasiun ketiga, Mu Xiaoya juga merasa agak mengantuk, dan tanpa sadar dia tertidur di samping Bai Chuan.
Sekelompok penumpang baru naik ke kereta, tas-tas besar dan kecil memenuhi koridor saat kereta itu jadi semakin ramai. Bai Chuan bergerak dan perlahan membuka matanya saat dia mendapati wajah tidur Mu Xiaoya di dekatnya.
Aku melihatnya lagi. Setiap kali aku bangun, aku bisa melihat wajah tidur Mu Xiaoya~~
Bai Chuan perlahan tersenyum. Dia tak menggerakkan satu otot pun saat dirinya terus menatap Mu Xiaoya. Sama seperti ketika dia terbangun setiap pagi akhir-akhir ini, dia selalu memandangi Mu Xiaoya selama sesaat.
“Kakak, Kakak ini akan bangun kalau kamu melihat lagi.” Tiba-tiba, suara kekanakan terdengar. Karena anak itu terlalu dekat, headphonenya jadi tak bisa menghalangi suaranya.
Bai Chuan tanpa sadar menolehkan kepalanya dan melihat sepasang kakek-nenek dan cucu yang tak dikenalnya. Si gadis kecil memegang sekotak coklat, kotak coklat yang telah Xiaoya masukkan ke dalam tasnya pagi ini. Penemuan ini membuat Bai Chuan merasa lebih dekat dengan sepasang orang tua dan anak di depannya.
“Kakak, apa kau sangat, sangat~ suka kakak ini?” Si gadis kecil bertanya polos.
Bai Chuan terpana. Kecuali dengan beberapa orang yang dia kenal, dia akan butuh beberapa saat untuk menjawab pertanyaan orang lain.
“Jangan bicara sembarangan.” Si wanita tua melihat ekspresi Bai Chuan tidak benar, jadi dia buru-buru menegur cucunya.
“Aku juga begitu kok. Saat aku sedang tidur, mama akan selalu memandangiku, dia akan membangunkan aku dengan pandangan itu setiap kalinya ah. Aku tanya pada mama kenapa dia sangat suka memandangiku seperti itu, dan dia bilang itu karena dia benar-benar menyukaiku.” Si gadis kecil merengut dengan tidak puas.
“….” Si wanita tua memberikan tatapan canggung pada Bai Chuan dan menjejali mulut si gadis dengan coklat. “Jangan bicara lagi, makan coklat saja.”
“En,” Bai Chuan tiba-tiba membuka mulutnya, “sangat suka.”
Si wanita tua terpana sesaat, kemudian menampakkan seulas senyum ramah. Butuh waktu lama bagi orang ini untuk menjawab. Ternyata dia hanya malu ah, sangat berbeda dengan karakter istrinya, tapi mereka saling melengkapi satu sama lain.
“Kakak, meski kamu sangat suka kakak ini, tapi kamu tak boleh terus memandangi dia, karena orang yang tidur juga bisa merasakan pandanganmu loh. Rasanya akan nggak enak kalau kamu nggak cukup tidur.” Si gadis kecil berkata pada si kakak lelaki, “Paling banyak… kau bisa melihat selama satu menit.”
Gadis kecil ini, dengan coklat berlepotan di jarinya, menuding lurus di depan Bai Chuan seperti seorang kakak perempuan yang imut.
Bai Chuan menatap nanar dalam waktu lama sebelum memberikan gumaman pelan.
Si gadis kecil menarik kembali tangan kecilnya yang sudah terasa pegal dan diam-diam mengesah dalam hati: Orang-orang dewasa ini sangat kekanakan, bahkan aku juga tak membiarkanmu memandangi terlalu banyak ah, tapi kau tetap saja harus memikirkannya selama itu.
———-
Catatan Pengarang:
Bai Chuan: Semua uangku adalah untuk kamu habiskan….
—————–
Versi Inggris bisa dibaca di: isohungrytls.com/my-husband-with-scholar-syndrome/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-20/