My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 25
Badai guntur di pegunungan menjatuhkan hujan yang ganas, namun pada akhirnya mulai mereda setelah mengguyur selama setengah jam.
Mu Xiaoya merasa kalau hujan di luar menjadi semakin pelan. Dia menunduk pada Bai Chuan yang meringkuk dalam pelukannya, mata pria itu masih terpejam rapat, wajahnya putih pucat, jelas tampak ketakutan. Keduanya diguyur hujan selama hampir setengah jam. Meski kain pikniknya memiliki fungsi kedap air hingga derajat tertentu, mau bagaimanapun juga baju mereka masih basah. Mu Xiaoya menggigil, merasakan hawa dingin meresap ke dalam tubuhnya, bibirnya tampak agak keunguan.
“Xiao Chuan,” Mu Xiaoya membisikkan nama Bai Chuan, suaranya gemetar karena hawa dingin.
Bulu mata Bai Chuan bergerak, namun dia masih tak membuka matanya. Akan tetapi, dalam hati Mu Xiaoya merasa lega karena Bai Chuan bereaksi pada kata-katanya. Hal itu mengindikasikan bahwa Bai Chuan telah lepas dari kondisi ketakutan luar biasa barusan tadi.
“Xiao Chuan, hujannya sudah berhenti, tak ada guntur lagi, ayo kembali.” Mu Xiaoya berusaha melepaskan tangannya dari telinga Bai Chuan.
“Mmm~~~” Saat tangan Mu Xiaoya baru bergerak, Bai Chuan menggelengkan kepalanya tanpa disadari, merasa bahwa gemuruh gundur masih terdengar keras di samping telinganya. Secara instingtif dia kembali menyurukkan dirinya ke dalam pelukan Mu Xiaoya, takut kalau dirinya akan membuat suara menangis.
“Jangan takut, aku ada di sini, aku di sini bersamamu.” Mu Xiaoya menghibur Bai Chuan dengan sabar, untuk sesaat dia tak tahu harus bagaimana.
Sebenarnya, orang biasa juga akan dibuat ketakutan oleh guntur sebesar itu, apalagi seorang autis seperti Bai Chuan. Akan tetapi, orang biasa bisa dengan cepat menyesuaikan emosi mereka setelah ketakutan, dan ketika mereka menyadari bahwa tak ada bahaya yang sesungguhnya, mereka bisa dengan cepat menyingkirkan rasa takut itu. Akan tetapi, Bai Chuan tak mampu melakukannya. Guntur di dunia luar telah berhenti, namun masih berlanjut di dalam dunia Bai Chuan.
Mu Xiaoya harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian Bai Chuan, membuat pria itu merasa bahwa gunturnya tak begitu mengerikan dan menakutkan sehingga dia bisa melepaskan dirinya sendiri dari rasa takut.
Bagaimana cara melakukannya? Mu Xiaoya menenangkan dirinya sendiri dan berpikir dengan seksama. Pada saat ini, Bai Chuan masih belum sadar sepenuhnya, dan meski Bai Chuan merespon pada suaranya, namun reaksi ini tidaklah cukup untuk menyadarkannya, jadi apa lagi yang bisa Mu Xiaoya lakukan?
Barusan tadi, Bai Chuan menyandar rapat pada dirinya meski dia berusaha menyadarkan pria itu, jadi Mu Xiaoya kembali menutupi telinga Bai Chuan. Pada saat ini, Mu Xiaoya menundukkan kepalanya dan mendapati kalau dia sedang memegangi wajah Bai Chuan dalam telapak tangannya. Penampilan Bai Chuan benar-benar indah, kulitnya putih tanpa noda, bulu mata yang panjang dan tebal, tulang hidung yang tinggi, bibir tipis… kelihatan enak untuk dicium, begitu dia menundukkan kepalanya….
Bibir ini kelihatan… lezat dengan anehnya, apa yang terjadi?
Di dalam dunia Bai Chuan begitu mengerikan, dengan awan-awan besar dan gelap melayang, mereka menutupi langit yang sebelumnya biru sementara hujan turun dengan derasnya, membuatnya tak punya tempat untuk bersembunyi. Kehangatan di depannya adalah satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dalam kegelapan tanpa akhir ini. Siapa ini? Siapa yang membawa kehangatan familier ini? Terasa sangat akrab, jelas dia bisa mengingatnya….
Bai Chuan berpikir keras, dia memiliki intuisi bahwa selama dia bisa mengingat siapa pemilik kehangatan ini, gunturnya akan langsung berhenti.
Tiba-tiba, sesuatu yang bahkan lebih hangat dan lembut memasuki dunianya, suatu aroma akrab yang dibawa oleh kehangatan ini membungkus dirinya dan memenuhi hidungnya. Di dalam otak Bai Chuan yang kacau balau, langit gelap tiba-tiba tampak dibelah terbuka oleh kapak, menampakkan langit cerah dan jernih di baliknya saat dia akhirnya mengenali sesuatu.
Ini adalah aroma Xiaoya.
Bai Chuan tiba-tiba membuka matanya. Di dalam cahaya yang redup, dia bisa melihat siluet Mu Xiaoya berada sangat, sangat dekat dengannya. Bahkan lebih dekat daripada ketika Mu Xiaoya berbaring dalam pelukannya di malam hari, dan pada saat itu, dia bahkan bisa menghitung jumlah bulu mata Mu Xiaoya. Dua buah mata, kelopak atas dan bawah, totalnya ada 268 helai bulu mata.
Apa yang Xiaoya lakukan? Apa dia menciumku?
Benar, Mu Xiaoya sedang mencium dirinya. Gadis itu tak bisa menahan diri, bagaimanapun juga, dirinya terpukau oleh kerupawanan di depannya dan melecehkan Bai Chuan.
Saat Mu Xiaoya akhirnya menyadari perubahan dalam diri Bai Chuan, dia tahu kalau pria itu sudah sadar. Dia membuka matanya dengan kaget dan bertemu dengan sorot mata penasaran Bai Chuan. Bai Chuan sama sekali tak keberatan pada ciumannya, begitu jugalah seharusnya bagaimana mencintai ah, Mu Xiaoya berpikir seperti ini dan terjerat oleh dorongan tiba-tiba untuk memperdalam ciuman mereka. Dia berhenti sejenak, dan berbisik dengan suara lirih, “Buka mulutmu.”
Bai Chuan dengan patuh membuka mulutnya, dan Mu Xiaoya kembali datang, menjajah teritorinya seakan gadis itu adalah seorang penguasa feodal di dalam daerah kekuasaannya sendiri.
Tepat saat kedua lidah yang belum mahir itu sudah akan bersentuhan, deru ringtone yang tidak pada waktunya tiba-tiba berbunyi dengan ramainya di dalam ruang sempit mereka.
Mu Xiaoya tiba-tiba melepaskan Bai Chuan, wajahnya begitu merah hingga dia tampak seperti udang rebus. Sudah jelas kalau dirinya yang memulainya lebih dulu, namun pada saat ini, dia tampak seperti seorang gadis yang telah dicurangi ciuman pertamaya, begitu malu sehingga tak berani mendongak.
“Halo.” Mu Xiaoya mengangkat ponselnya yang berkualitas sangat tinggi, benda itu masih belum rusak bahkan setelah dibasahi oleh hujan badai sebesar ini.
“Mumu, kamu ada di mana ah? Barusan tadi hujannya deras sekali, apa kau baik-baik saja?” si penelepon adalah Liang Nuonuo.
“Aku tak apa-apa, kami sekarang akan kembali ke sana.” Mu Xiaoya tanpa sadar melontarkan pelototan ke arah Bai Chuan. Kali ini Bai Chuan benar-benar tenang, mata pria itu bahkan lebih cerah daripada sebelunya. Dia tampak lebih bersemangat, namun wajahnya masih pucat. “Bantu kami menyiapkan sup jahe.”
Setelah menutup teleponnya, Mu Xiaoya mengangkat linen kotak-kotak yang tadi dipakai untuk menutupi mereka. Cahaya terang yang tiba-tiba menyilaukan mereka berdua saat mereka memicingkan mata mereka tanpa sadar.
“Lihat, hujannya sudah berhenti.” Berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan rasa malunya barusan tadi, Mu Xiaoya tersenyum pada Bai Chuan.
Nggak memalukan, nggak memalukan, bagaimanapun juga kami adalah suami istri, ciuman itu bukan apa-apa ah. Di samping itu, Bai Chuan mungkin tak mengerti apa artinya.
“En.” Bai Chuan menjawab dengan gumaman. Hujan telah berhenti, dia tahu soal itu sejak saat Mu Xiaoya membawanya keluar dari dalam kegelapan.
“Kalau begitu ayo pulang.” Mu Xiaoya berdiri dan menarik Bai Chuan. Setelah diguyur hujan sedemikian lamanya, kedua orang itu bisa dibilang basah kuyup seperti tikus. Mereka basah dari kepala hingga ujung kaki, luar dalam, dan terlebih lagi, pakaian mereka adalah baju musim panas yang tipis. Pada saat ini, baju-baju mereka menempel ketat pada tubuh mereka, membuat mereka merasa tidak nyaman.
Pakaian dalam hitam Mu Xiaoya bahkan tampak lebih kentara dengan kaus putihnya.
Bai Chuan tak bisa menahan diri untuk menatapnya lurus-lurus.
“Kau lihat apa?” Mu Xiaoya tanpa sadar menutupi dadanya.
Bai Chuan mengerjap. Dia tak mengerti kenapa Mu Xiaoya ingin bersembunyi. Dia hanya secara tanpa sadar merasa kalau warna hitam di bawah baju putih Mu Xiaoya tampak sangat menyolok.
“Hitam.” Namun karena Xiaoya bertanya kepadanya apa yang sedang dia lihat, dia masih harus menjawab.
“.…” Mu Xiaoya tiba-tiba merasa panik. Jawaban langsung ini benar-benar bisa membuat orang tak mampu berkata-kata ah.
Hitam. Apakah pada pakaian dalam hitamnya, atau hanya menatap pada warna hitamnya? Akal sehat Mu Xiaoya mengatakan kepadanya bahwa ‘hitam’ yang disebut Bai Chuan pasti adalah karena pria itu melihat sesuatu yang berwarna hitam, tapi otak Mu Xiaoya masih tak bisa untuk tidak membayangkan sesuatu yang tak pantas untuk anak-anak.
Hal yang paling tak masuk akal adalah, dia jelas-jelas hanya sedang membantu suaminya sendiri, namun dia masih membayangkan kalau pria itu sedang mengambil keuntungan darinya. Cukup!
“Xiao Chuan.” Menarik napas dalam-dalam, Mu Xiaoya berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Kalau pakaian seorang gadis basah, akan jadi tidak sopan kalau kau menatapnya seperti ini, oke?”
“En.” Bai Chuan menganggukkan kepalanya, mengatakan pada Mu Xiaoya kalau dia mengerti.
Mu Xiaoya merasa lega, kemudian mendengar Bai Chuan bertanya lagi, “Aku tak bisa melihatmu?” Dia suka menatap Mu Xiaoya, karena dia merasa luar biasa tenang kapan pun dia menatap Mu Xiaoya.
Kalau suamimu bertanya kepadamu apakah dia bisa menatapmu saat bajumu basah, bagaimana kau bahkan bisa menjawab itu?
“.…” Ya Tuhan, Mu Xiaoya meratap malu. Kalau dia tak tahu bahwa Bai Chuan begitu polos, dia benar-benar akan berpikir kalau Bai Chuan sedang menggoda dirinya.
“Tak bisa?” Bai Chuan merasa agak kebingungan, namun dia masih berbalik dan berhenti memandangi Mu Xiaoya.
“Bisa.” Mu Xiaoya menggertakkan giginya, “Hanya saat kita berdua saja.”
Lupakan saja, akta nikahnya sudah dikeluarkan, bibir telah bersentuhan, jadi biarkan dia melihat kalau dia ingin melihat. Aku toh masih takkan kehilangan sepotong daging pun.
Bai Chuan langsung berbinar gembira.
“Cepatlah, bantu aku mengumpulkan barang-barang di tanah dan kembali.” keterburuan gara-gara hujan barusan tadi telah membuat barang-barang yang mereka bawa berserakan. Mu Xiaoya juga memunguti sampahnya sehingga tak mengotori lingkungan.
Saat mereka kembali ke kebun ceri, Liang Nuonuo dibuat terperanjat saat melihat pasangan itu berada dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Dia buru-buru menyuruh keduanya mandi dan mengganti pakaian mereka, lalu mempersiapkan sup jahe dan obat-obatan flu, namun Mu Xiaoya masih terkena flu pada keesokan harinya.
Flunya menyerang dengan begitu ganas sehingga Mu Xiaoya bahkan tak mampu bangun dari ranjang.
“Kamu ah, kenapa kau tak menyeret saja Bai Chuan dan berlari ke rumah? Padahal hujannya sama, tapi Bai Chuan baik-baik saja sementara kau jadi seperti beruang.” Liang Nuonuo memberi obat flu pada Mu Xiaoya seraya mengomelinya, “Kupikir kau harus lebih melatih dirimu sendiri di masa mendatang.”
“Aku sudah jadi seperti ini tapi kau masih mengolokku.” Mu Xiaoya bangkit dari ranjang dengan bantuan Bai Chuan dan menelan obat flunya dengan air hangat yang diberikan kepadanya oleh Liang Nuonuo.
“Coba dan lihat apa kau kena demam.” Liang Nuonuo memberinya termometer.
“Nggak usah lah.”
“Tak ada dokter di desa. Kalau demammu parah, aku harus mengantarmu ke kota terlebih dahulu. Cepatlah diukur, aku akan membawamu ke rumah sakit kalau suhu tubuhmu tinggi.”
Mu Xiaoya merasa kalau suhu tubuhnya sendiri tidak tinggi, namun saat dia ingin menolak sekali lagi, Bai Chuan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk mengambil termometer Liang Nuonuo dan menatap Mu Xiaoya tanpa bersuara. Sebenarnya, Bai Chuan juga tak suka rumah sakit, tapi dia tahu kalau rumah sakit adalah tempat untuk merawat penyakit. Dia tak mau Xiaoya pergi ke rumah sakit, tapi dia ingin Xiaoya sehat.
“Aku akan mengukurnya sendiri.” Dihadapkan pada tatapan Bai Chuan, Mu Xiaoya tak bisa terus bersikeras dan menerima takdirnya untuk mengukur suhu tubuhnya, meletakkannya di bawah ketiak dan kembali berbaring di ranjang.
“Aku akan kembali sepuluh menit lagi,” Liang Nuonuo bangkit dan pergi ke luar untuk mengerjakan urusannya sendiri.
Mu Xiaoya merasa tidak nyaman dan cemas tentang Bai Chuan. Dia menatap pria itu dan berkata, “Kau juga harus minum obat flu, hanya untuk jaga-jaga.”
“Aku nggak flu.” Bai Chuan tak suka minum obat. Sejak dirinya masih kecil, neneknya telah memberinya banyak obat, khususnya ketika dia sakit, dia harus meminum belasan obat yang berbeda dalam sehari. Setelah memakannya, lambungnya akan terasa tidak nyaman dan kepalanya akan pusing.
“Tapi aku kena flu ah. Kau bersamaku setiap hari, kau bisa ketularan juga.”
“Nggak apa-apa.”
“.…” Mu Xiaoya mendapati kalau Bai Chuan bisa jadi cukup keras kepala. “Kalau begitu, kau tak diizinkan tetap bersamaku kecuali kau minum obatnya.”
Bai Chuan menatap Mu Xiaoya tanpa bersuara, kemudian dengan patuh mengambil obat untuk mencegah flu dari dalam kotak. Dengan santai dia mengambil air yang belum dihabiskan oleh Mu Xiaoya dan meminum obat dengannya.
Mu Xiaoya langsung merasa puas. Meski Bai Chuan kadang-kadang bisa jadi cukup keras kepala, tapi dia masih penurut ah. Akan tetapi, kejutan terbesar dalam kejadian ini bukanlah bahwa dirinya jatuh sakit, melainkan bahwa Bai Chuan pulih dengan sangat baik setelah kondisinya terpantik. Nyaris tak ada emosi negatif yang tertinggal dan pria itu tidak minta maaf kepadanya karena menyalahkan diri sendiri. Apa ini berarti bahwa Bai Chuan telah kembali mengalami peningkatan?
Sepuluh menit kemudian, Liang Nuonuo kembali dan melihat termometernya. Mu Xiaoya hanya sedikit demam dan tak perlu pergi ke rumah sakit. Meski dia tak perlu pergi ke rumah sakit, namun pemulihannya buruk. Dia merasa pusing selama dua hari penuh dan batuk-batuk selama tiga hari sebelum semangatnya kembali.
Hari ini, Mu Xiaoya yang sudah sembuh dan Bai Chuan berjalan ke luar seputaran, dan ketika mereka kembali untuk makan siang, mereka melihat Liang Nuonuo dengan wajah gelap seraya bicara di telepon dengan seseorang.
“Nuonuo, ada apa?” Menunggu hingga teleponnya selesai, Mu Xiaoya lalu bertanya cemas.
“Keponakanku, si leluhur kecil itu tak mau makan, benar-benar membuatku marah setengah mati.” Liang Nuonuo tampak tak berdaya.
Keponakan yang disebut oleh Liang Nuonuo adalah anak dari kakak perempuannya. Kakak perempuan Liang Nuonuo menikah muda, jadi sekarang anak ini hampir berusia sepuluh tahun dan sudah kelas tiga. Karena akhir-akhir ini dirinya sakit, orangtua Liang Nuonuo kembali dari rumah putri tertua mereka dan membawa cucu mereka. Akan tetapi, ketika pasangan tua itu kembali, mereka langsung menaruh bocah itu ke kebun ceri dan membiarkan Liang Nuonyo mengurusnya. Liang Nuonuo pernah mengeluhkan hal ini kepadanya sebelumnya.
“Apa karena cuaca akhir-akhir ini panas? Kenapa kau tak membawakan semangka untuk dia?” Saat cuacanya panas, orang bisa dengan mudah kehilangan selera makan mereka.
“Memangnya kenapa dengan cuaca yang panas? Dia hanya tak mau makan, hanya tahu bagaimana menjawab pertanyaan.”
“Menjawab pertanyaan?”
“Benar ah.” Liang Nuonuo berkata tak berdaya. “Keponakanku itu kutu buku. Saat anak-anak lain suka bermain di luar, dia hanya suka belajar di dalam rumah. Tak peduli apakah musim dingin atau musim panas, akhir pekan atau liburan, bila tidak membaca buku dia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Nilainya bagus, tapi kakakku takut kalau dia akan jadi kutu buku sehingga memaksa anak itu kemari, ingin dia menghabiskan liburan musim panas yang menyenangkan di desa. Pada akhirnya, dia hanya membawa beberapa buku matematika dan menjawab pertanyaan matematika setiap harinya.”
“Masih ada ya anak yang suka belajar seperti ini?” Mu Xiaoya terpana.
“Kau juga berpikir kalau hal itu aneh ah.” Liang Nuonuo tersenyum pahit. “Barusan tadi aku pergi untuk menyuruh dia makan tapi dia malah bilang aku telah mengganggu proses berpikirnya dan bahwa dia harus memecahkan soal matematika di buku itu sebelum dia bisa makan. Dia juga bilang kalau aku ingin dia makan, aku harus membantu dia memecahkannya.”
“Tak bisakah kau memecahkannya?” Mu Xiaoya bertanya.
“Kau belum lihat! Itu bukan matematika tingkat SD! Aku tak bisa mengerti satu pun subyek yang tertulis di sana.” Bukan hanya dia tak memahaminya, dia juga akan dipandang rendah oleh keponakannya, berkata bahwa bibi ini telah lulus dari universitas tapi masih tak bisa mengerjakan soal matematika sekolah dasar. Liang Nuonuo merasakan tamparan di wajahnya, namun dia masih tak bisa membantahnya.
“Aku baru saja menelepon kakakku dan dia bilang dia juga tak bisa menggerakkan anak itu saat sedang mengerjakan soal-soalnya, jadi dia hanya membiarkan aku melakukan sesukaku,” Liang Nuonuo berkata murka, “Aku akan langsung menyeret dia kemari.”
Kalau kata-kata gagal, Liang Nuonuo berniat memakai cara paksa.
Mu Xiaoya mengangkat alisnya dan menatap Liang Nuonuo sudah akan masuk. Sesaat kemudian, Liang Nuonuo tampak sedang menarik keluar seorang bocah laki-laki kecil gendut berkacamata.
“Makan dulu!”
“Nggak! Aku belum menyelesaikan soalnya!”
“Makan dulu kemudian kau bisa melanjutkan!”
“Nggak mau! Pikiranku akan terganggu pada saat itu!”
“Kalau terganggu yang kau bisa memikirkannya lagi nanti, makan saja dulu!”
“Bagaimana kalau Bibi pinjami aku komputer? Aku akan tanya pada teman-teman sekelasku secara online.”
“Jangan cemas, ibumu sudah bilang agar membiarkanmu bermain di sepanjang liburan musim panas. Kau tak perlu melakukan hal lainnya.”
Mu Xiaoya melihat kalau keduanya jadi semakin dan semakin ribut dan makanannya segera akan jadi dingin. Meski sekarang adalah musim panas, tapi makanan dingin tetap akan memengaruhi rasanya ah.
“Oke, oke, bukankah cuma tentang menyelesaikan beberapa soal matematika? Ayo aku akan membantumu.”
Kedua orang yang saling tarik-tarikan itu berhenti dan berkata serempak, “Kau bisa melakukannya?”
Mu Xiaoya menatap Bai Chuan dengan seulas senyum bangga.
——-
Catatan Pengarang:
Nenek Bai bertanya pada Mu Xiaoya yang berusia 7 tahun:
Nenek Bai: “Xiaoya, bagaimana bisa kau mau bermain dengan Xiao Chuan begitu kau melihat dia?”
Ya yang berumur tujuh tahun: “Karena aku suka dia ah.”
Nenek Bai: “Apa yang kau suka dari dia?”
Ya yang berumur tujuh tahun: “Suka wajah tampannya….”
Nenek Bai: Anak-anak zaman now… sudah mulai menyukai tampang….
Inilah yang Nenek Bai pikirkan saat Beliau pergi ke dapur untuk mengambil sepiring buah.
Ya yang berumur tujuh tahun berjalan di depan Chuan yang berumur sembilan tahun: “Kakak Bai Chuan, aku ingin menciummu.”
Chuan yang berumur sembilan tahun bahkan tak mendongakkan kepalanya.
Ya yang berumur tujuh tahun: “Kamu nggak bilang kalau kamu nggak setuju, maka kamu setuju dalam diam.”
Bergerak mendekat, suara ‘mmuuaaahh~’ yang keras dan jelas terdengar, Chuan yang berumur sembilan tahun masih tak mengangkat kepalanya.
Ya yang berumur tujuh tahun buru-buru mengambil kertas tisu dan menyeka liur di wajah Bai Chuan dengan rasa bersalah, takut kalau Nenek Bai akan menemukannya ah.