My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 26
Mu Xiaoya mengambil soal-soal Olimpiade Matematika Internasional beserta kertas coret-coretan dari si gendut Liu Qu dan menyerahkannya kepada Bai Chuan.
Bai Chuan melihatnya sekali dan langsung melaporkan jawabannya, “Seratus dua puluh delapan.”
“Tuliskan prosesnya dong.” Mu Xiaoya merasa tak berdaya.
“Oh.” Bai Chuan kemudian mengambil pulpen dan menulis pada kertas coret-coretan. Belum juga semenit berlalu, namun dia sudah selesai menuliskan prosesnya.
Melihat tatapan syok dari Liang Nuonuo dan si gendut kecil, Mu Xiaoya merasa agak bangga namun pura-pura tenang dan memberikan kertasnya pada mereka, “Sekarang kita bisa makan.”
Liu Qu terlalu tak sabaran untuk mengambil kembali kertas coret-coretan itu dan memandangi proses jawaban yang sederhana dan jelas di atasnya. Dia langsung menatap Bai Chuan dengan wajah penuh dengan pemujaan.
“Bagaimana kau bisa memikirkan ini?” Mata si gendut kecil penuh dengan bintang-bintang yang bersinar dengan penuh pemujaan.
Si bocah gendut bertanya dengan suara keras, namun sayangnya Bai Chuan hanya mengabaikan dirinya. Melihat kalau bintang-bintang di dalam mata bocah kecil itu sudah akan padam, Mu Xiaoya menatapnya dengan kasihan. Dia mencolek Bai Chuan dengan jarinya dan Bai Chuan akhirnya mengangkat kepalanya.
“Dia tanya kepadamu bagaimana kau bisa menemukannya.” Mu Xiaoya mengulang kembali pertanyaan bocah kecil itu.
“Aku langsung tahu dalam sekali lihat kok.”
“….” IQ manusia biasa tak bisa dibandingkan dengan seorang jenius.
Seorang yang pintar selalu suka bermain dengan orang pintar lainnya. Liu Qu si bocah gendut langsung menganggap Bai Chuan sebagai idolanya dan berlarian mengelilinginya sepanjang waktu, kakak ini, kakak itu, berseru dan bersikeras agar Bai Chuan ‘bermain’ bersamanya, membuat Bai Chuan mengernyit dengan kesal.
Pemandangan langka ini membuat Mu Xiaoya sepenuhnya mengabaikan pemikiran untuk menyingkirkan bocah itu, tidak lagi mengganggu si gendut cilik merecoki Bai Chuan.
Akan tetapi, setelah Liu Qu membuat Bai Chuan jengkel sepanjang siang, dia akhirnya mendapatkan respon dari Bai Chuan.
“Kakak Bai Chuan, bagaimana aku harus belajar, dan pengetahuan apa yang harus kupelajari sehingga aku bisa jadi sepintar Kakak?”
“Kau nggak bisa.”
“Aku akan berusaha sangat keras.”
“Kau masih nggak akan bisa bahkan bila kau bekerja keras seumur hidup.”
“… Waaa~” Si bocah kecil yang diserang, menangis dan tak mengganggu Bai Chuan lagi.
Bai Chuan melonggarkan alisnya, merasa bahwa seluruh dunia akhirnya jadi tenang dan damai kembali.
“Xiao Chuan, apa yang kau lakukan, menyerang dia seperti itu?” Mu Xiaoya merasa tak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis.
“Nggak kok.” Wajah Bai Chuan tampak tak bersalah dan polos, “Aku memang terlahir seperti ini, dia takkan bisa melakukannya.”
“….” Baiklah, kelihatannya cukup masuk akal.
“Bai Chuan, kau melakukannya dengan cantik!” Meski Liu Qu menangis sedih, namun Liang Nuonuo malah sangat gembira. Dia mengeluarkan buklet latihan soal olimpiade milik keponakannya dan menyerahkannya pada Bai Chuan, “Selesaikan semua soal di sini ah, jangan sisakan satu pun untuk dia kerjakan. Biar kulihat apa dia masih bisa menyembunyikan dirinya sendiri dengan depresi di dalam kalau tak ada soal yang bisa dia kerjakan pada saat itu.”
“….” Bibi macam ini yang mencurangi keponakannya sendiri, tak ada yang lain selain Liang Nuonuo.
Buku latihan olimpiade matematika murid SD hanya memiliki sedikit topik dan Liu Qu telah mengerjakan hampir separuhnya, jadi hanya butuh setengah jam bagi Bai Chuan untuk menyelesaikan seluruh soal sisanya. Setelah dia selesai memecahkan soal-soal itu, Mu Xiaoya mengajak Bai Chuan keluar untuk melihat kunang-kunang.
Kali terakhir mereka pergi ke tepi sungai untuk melihat kunang-kunang, hujan guntur telah mengganggu rencana mereka, dan bahkan sampai membuat Mu Xiaoya terbaring sakit di ranjang selama beberapa hari. Sekarang karena dirinya sudah membaik, Mu Xiaoya ingat kembali. Keduanya pun menyemprotkan penangkal nyamuk dan bergandengan tangan seraya berjalan ke arah sisi bukit yang sebelumnya.
Pada saat ini, masih ada cahaya redup di langit, jadi mereka harus menunggu hingga langit menjadi benar-benar gelap dan kemudian kunang-kunangnya semestinya akan muncul.
Keduanya duduk di tepi sungai dan menunggu dengan sabar. Mu Xiaoya menolehkan kepalanya dan melihat Bai Chuan sedang mengotak-atik headphone di tangannya. Mu Xiaoya tak bisa menahan diri untuk bertanya penasaran, “Apa yang kau lakukan?”
“Merekam,” Bai Chuan menjawab.
“Headphone-nya bisa untuk merekam?” Mu Xiaoya terkejut.
“Ya.” Xiaoya lupa lagi, si pramuniaga jelas-jelas telah menjelaskan ini saat kami membelinya.
“Lalu, apa yang kau rekam?”
“Merekam suara-suara di sini, aku suka mendengarnya.”
“Suara apa?”
Bai Chuan tak bicara. Dia menyalakan mode merekam, dan kemudian mengangkat headphone itu ke arah sungai di depannya. Mu Xiaoya melongo sejenak, dan segera mengerti bahwa suara di sini mengacu pada suara-suara alam.
Suara dari sungai yang mengalir, angin yang kadang berhembus, burung-burung berkicau di kejauhan, serangga-serangga di rerumputan, dan gemerisik dedaunan di sekitar mereka….
Semua hal ini bercampur jadi satu, tidak kalah dengan simfoni agung mana pun di dunia ini. Tampaknya Bai Chuan benar-benar suka di sini dan ingin merekamnya.
Mu Xiaoya tak mengganggunya dan duduk diam di samping, menunggu dengan sama diamnya seperti ketika Bai Chuan menungguinya. Dia hanya memandangi Bai Chuan merekam suara-suara alam, menunggu kunang-kunangnya muncul.
Tiba-tiba, secercah cahaya kecil samar muncul dari sungai, diikuti oleh titik kedua dan titik ketiga, lebih dan lebih banyak lagi cahaya melayang naik dari rerumputan yang basah, menerangi pandangan Mu Xiaoya. Dia ingin memanggil Bai Chuan namun mendapati kalau Bai Chuan juga sedang menatap ke sisi ini seraya memegangi headphone-nya.
Segera, kunang-kunangnya beterbangan keluar, dan sisi bukit kecil itu serta merta diterangi oleh cahaya hangat mereka yang berkedip-kedip. Keduanya duduk diam, merasa seakan mereka berada tengah-tengah bimasakti yang berkilauan.
“Ini adalah kali pertama aku melihat kunang-kunang,” Mu Xiaoya tak bisa menahan diri untuk mendesah kagum.
“Bukan.”
“Apa?”
“Kamu pernah melihatnya sebelumnya.” Ingatan Mu Xiaoya selalu buruk, namun Bai Chuan mengingat semuanya. “Kamu pernah melihatnya saat kamu berumur enam tahun.”
“Saat aku umur enam?” Mu Xiaoya mengernyit, dengan sia-sia berusaha mengingat apakah dirinya pernah melihat kunang-kunang ketika dirinya masih kecil.
“Di halaman nenek, dua kunang-kunang tiba-tiba muncul. Kamu sangat gembira dan kemudian menyanyi.” Bai Chuan ingat, waktu itu adalah hari ke 128 dirinya mengenal Mu Xiaoya. Gadis itu mengenakan rok bunga-bunga dan sepasang sandal merah muda saat datang ke rumah nenek untuk makan semangka.
“Aku juga bernyanyi?” Alis Mu Xiaoya terangkat karena kaget. Akan tetapi, ketika dirinya enam tahun, dia masih di TK pada waktu itu. Dia sepertinya suka bernyanyi ketika dirinya masih kanak-kanak.
“En, kamu nggak nyanyi lagi setelah itu.” Suara Bai Chuan sepertinya penuh dengan setitik penyesalan.
Mu Xiaoya memutar kepalanya lalu menatap Bai Chuan dan merasa kalau dirinya telah kembali ke masa kecilnya, “Mau dengar aku bernyanyi?”
“Mau.” Suara Bai Chuan tanpa sadar jadi sedikit lebih keras karena antisipasi.
“Tunggu sebentar ah, aku akan mencari iringan musik.” Mu Xiaoya tertawa dan mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi lagi nasional K, dan menemukan lagu ‘Hari Biasa’ yang tak terlalu mudah. “Sepertinya lagu ini sangat cocok ah.”
Bukannya Mu Xiaoya narsis, dia sebenarnya bisa bernyanyi dengan cukup baik, dia juga pernah memenangkan perhargaan sepuluh besar penyanyi kampus. Akan tetapi, dia lalu pergi belajar ke luar negeri, jadwal pelajaran dan pekerjaannya terlalu ketat, yang mana membuatnya perlahan-lahan melupakan bahwa dia sebenarnya suka bernyanyi.
Musiknya mulai bermain, Mu Xiaoya mengikuti ketukannya dan secara alamiah serta akurat memasuki iringan musiknya.
“Aku bangun sendiri pada pukul 7:30 setiap pagi
Lonceng angin berdenting dan ini adalah hari dengan awan yang ringan
Aroma pakaian yang terjemur matahari sangat menenangkan
Semuanya lembut dan damai
Di setiap sudut, bunga merekah di bawah mentari
Dari depan toko kecil terdengar suara lagu cinta yang indah
Tak butuh waktu lama untuk tiba di tujuan
Orang yang lewat penuh dengan kebaikan
Ini adalah hari paling biasa
Apa kamu merindukannya juga?”
Bai Chuan mendengarkan dengan ekspresi nanar, tampak ada sesuatu yang berkelip-kelip di dalam matanya. Dipegangnya erat-erat headphone di dalam pelukannya, tak berani menggerakkan satu otot pun, takut kalau bahkan angin lemah pun akan mengganggu lagu ini.
****
Sebenarnya tak ada banyak hal yang bisa dikerjakan di kebun ceri, kau bisa mengalami semua kehidupan hariannya hanya dalam satu hari, namun pasangan itu tak merasa kalau hal tersebut membosankan. Sebaliknya, mereka menjalani kehidupan yang santai. Bai Chuan suka kedamaian dan ketenangan di kebun ceri, sementara Mu Xiaaoya merasa hidup, setiap harinya sarat dengan makna.
Karena kedua orang itu dalam suasana hati yang bagus, mereka pun membawa keranjang dan membantu Liang Nuonuo memetiki pohon ceri. Mereka memetik ceri-ceri yang tampak luar biasa lezat, dan Bai Chuan akan dengan tekun mengangsurkannya pada Mu Xiaoya. Setelah Mu Xiaoya memakannya, Bai Chuan akan tersenyum hingga matanya memicing gembira. Terkadang, saat mereka ingin keluar berjalan-jalan, mereka akan pergi ke padang di gunung dan memetik beberapa semangka untuk dimakan. Mengetuk semangka juga merupakan pelajaran tersendiri. Meski Mu Xiaoya telah berusaha mempelajarinya selama setengah harian, dia masih tak tahu semangka mana yang sudah matang dan yang mana yang belum matang. Pada saat inilah Bai Chuan menampakkan keahlian menakjubkannya karena dia sepertinya mampu membedakan suara dari masing-masing semangka secara alamiah dan dengan mudah memilih yang paling manis.
“Aku akan menyerahkan tugas membeli buah kepadamu nantinya ah.”
“En.”
Setelah memetik semangka dan membawanya kembali ke kebun ceri, mereka meletakkannya ke dalam sumur untuk didinginkan selama semalam dan pada makan siang keesokan harinya sudah bisa dianggap telah selesai.
Saat Liang Nuonuo punya waktu senggang, dia meminta mereka berdua melakukan pengembangan produk, seperti arak ceri dan selai ceri. Butuh waktu untuk memfermentasikan arak, jadi keduanya pun belajar untuk membuat selai untuk saat ini. Akan tetapi, Bai Chuan yang biasanya selalu cerdas, tampak lemah dalam area ini karena dia tak bisa belajar apa-apa tak peduli bagaimanapun caranya. Pada akhirnya, dia hanya membantu memetik ceri dan mengoperkannya pada Mu Xiaoya yang kemudian akan memprosesnya menjadi selai.
Keduanya tinggal di kebun ceri itu selama beberapa hari lagi sebelum Mu Xiaoya akhirnya memutuskan untuk pergi. Sebenarnya, mereka telah tinggal selama hampir setengah bulan. Meski mereka tak ingin pergi, tapi pada akhirnya mereka harus pergi.
Sebelum pergi, Liang Nuonuo memberi Mu Xiaoya banyak oleh-oleh, dan juga selai serta arak ceri yang mereka hasilkan di kebun ceri.
“Kenapa tidak tinggal beberapa hari lagi baru pergi? Bisnis Taobaonya sangat sibuk pada saat ini dan aku tak bisa terlalu banyak menjamu kalian,” Liang Nuonuo berkata dengan agak merasa bersalah.
“Aku tak bisa tinggal lagi, Fang Hui telah merenovasi studionya. Aku sudah ada di sini selama setengah bulan dan menjadi seperti penjaga toko lepas tangan selama setengah bulan (T/N: orang yang menyuruh orang lain bekerja namun sendirinya tak melakukan apa-apa). Kalau aku tak kembali, dia mungkin akan ingin putus hubungan denganku.” Kemarin, Fang Hui telah mengirim pesan untuk memberitahunya bahwa studionya telah direnovasi, tapi sahabatnya itu enggan mengiriminya foto, jadi Mu Xiaoya harus pulang dan melihatnya sendiri. Mengatakan kalau penampilan tokonya adalah kejutan sebenarnya adalah untuk mendesaknya segera pulang ah.
“Kalau begitu, oke, kembalilah main kemari musim panas berikutnya.”
“Oke, tapi kau tak diperbolehkan menjemput kami dengan truk dan traktor.” Mu Xiaoya menuntut. Bai Chuan suka berada di sini, dan bila pria itu bersedia datang kemari lagi tahun depan, Mu Xiaoya takkan keberatan melakukan perjalanan kemari.
Liang Nuonuo memikirkan tentang situasi ketika mereka berdua datang dan langsung tertawa. Dia kemudian menyetir sendiri mobil van ayahnya untuk mengantar mereka langsung ke stasiun kereta api.
Dua jam di atas kereta api hijau, satu jam naik taksi bandara, keduanya pun akhirnya nai ke pesawat kembali ke Yunzheng. Saat Mu Xiaoya memberitahu keluarganya bahwa mereka akan pulang, Li Rong menyuruh Paman Li memesan tiket yang masih adalah kelas satu untuk penerbangan selama tiga jam.
Bai Chuan tak terbiasa dengan transportasi dan secara mendasar dia tidur di kereta dan pesawat. Mu Xiaoya meminta dua helai selimut pada pramugari dan memberikan satu kepada Bai Chuan sebelum memasang headphone dan mengistirahatkan dirinya sendiri. Tentu saja, yang dipakai oleh Mu Xiaoya adalah headset yang berasal dari pesawatnya, sementara Bai Chuan membawa heaset yang Mu Xiaoya berikan kepadanya.
Mu Xiaoya sedang tidur sebelum tiba-tiba sebuah pekikan tajam menembus earphone-nya menuju ke gendang telinganya. Mu Xiaoya serta merta membuka matanya seperti halnya banyak orang di kelas pertama yang terbangun bersamaan. Seorang pramugari buru-buru berlari dari posisi di belakang menuju kursi yang ada di sisi kiri depannya.
“Nyonya, harap tenanglah.”
“Maaf, maafkan aku, aku akan menenangkan dia sekarang juga.” Sebuah suara wanita yang kedengaran agak lelah bicara pada si pramugari seraya meminta maaf kepada beberapa orang penumpang di sekitarnya.
“Teman kecil, jangan menangis, kakak akan memberimu permen.” Si pramugari ingin membantu membujuk si anak bersama-sama, tapi siapa yang tahu kalau anak itu malah berteriak lebih keras lagi. Suaranya begitu tajam seakan mampu menusuk langsung ke dalam otak manusia.
“Jangan sentuh dia, dia takut disentuh oleh orang lain.” Setelah si wanita mengatakan hal ini, dia menolehkan kepala untuk kembali membujuk anaknya, “Jadilah anak baik, Xiao Mang, menurutlah. Tarik napas dalam-dalam, jangan berisik, ya?”
“A, A, AA!!” Anak itu tampak lebih gelisah lagi dan teriakannya jadi semakin dan semakin cepat, hingga akhirnya para penumpang yang lain sudah tak tahan lagi.
“Apa yang kau lakukan sebagai ibunya? Kau bahkan tak bisa membujuk anakmu sendiri.”
“Anak ini tak kelihatan sekecil itu lagi, kenapa dia tak bisa bersikap masuk akal?”
“Maafkan saya, maafkan saya, anak saya mengidap autisme. Dia… dia tak bermaksud begitu, maafkan saya….” Si wanita berdiri dan membungkuk ke sekelilingnya, meminta maaf dengan tulus.
Jadi ternyata autisme ah, tak heran begitu susah untuk membujuk dia.
Begitu semua orang mendengarnya, wajah mereka pun menunjukkan secercah simpati dan mereka tak lagi menuduh anak itu tak masuk akal. Mereka hanya mengenakan headphone mereka, menaikkan suaranya dan berhenti melihat ke samping mereka.
Meski semua orang tak mengatakan apa-apa, namun si wanita merasa sangat malu. Dia menatap putranya yang sama sekali tak bisa tenang, menggertakkan giginya dan dengan tanpa daya menatap ke pramugari yang ada di samping, “Apa Anda bisa menuangkan saya segelas air? Saya akan beri dia obat.”
Selain daripada cara ini, dia tak tahu bagaimana cara menenangkan anaknya dari amukan kumatnya yang mendadak. Dia tak bisa hanya membiarkan anak itu berteriak dan menangis serta mengganggu penumpang lainnya.
“Baik.” Si pramugari langsung berbalik untuk menuangkan air.
Mu Xiaoya menatap pada wajah pucat dan putus asa wanita itu. Dia tiba-tiba menolehkan kepalanya dan melepaskan headphone di kepala Bai Chuan.
“Pinjamkan ini padaku sebentar.” Setelah Mu Xiaoya mengatakan hal ini, dia pun berdiri dan berjalan ke baris depan.
Si wanita melihat Mu Xiaoya menghampiri dan mengira kalau dirinya adalah penumpang lain yang dibuat kesal oleh putranya karena dia langsung meminta maaf. Mu Xiaoya melambaikan tangannya, kemudian mengangsurkan headphone di tangannya. Di depan mata kaget si wanita, dia langsung menutupi kepala anak yang menjerit itu.
Tangisan si anak perlahan-lahan mereda, dan sesaat kemudian, anak itu akhirnya menjadi tenang dan duduk kembali ke kursi dengan patuh.
“Ini….” Si wanita menatap Mu Xiaoya dengan kaget.
“Headphone-ku kedap suara, dan ada musik yang menenangkan di dalamnya. Kupikir mungkin akan berguna bagi anakmu, jadi aku mencobanya. Aku tak menyangka kalau akan berguna.”
“Terima kasih banyak.” Tangan si wanita yang memegangi kotak pilnya mengencang. Anaknya sudah tenang, jadi dia tak perlu memberinya obat.
“Sama-sama, istirahatlah dengan baik.” Mu Xiaoya tersenyum dan berbalik kembali ke kursinya sendiri. Saat dia duduk, dia mendapati kalau Bai Chuan sedang memandangi dirinya dengan sorot protes, ekspresinya adalah ekspresi yang belum pernah Mu Xiaoya lihat sebelumnya.
“Ada apa?”
“Headphone, punyaku.” Bai Chuan merasa sangat depresi. Kenapa Xiaoya memberikan headphone-nya kepada orang lain? Masih ada suara yang telah dia rekam di dalamnya.
“Aku tahu ah, tapi kita pinjami dulu mereka demi kebaikan. Mereka akan mengembalikannya pada kita begitu pesawatnya mendarat,” Mu Xiaoya membujuknya.
Bai Chuan mengernyit, masih tak senang, “Punyaku.”
Kenapa kali ini dia tak bisa dibujuk?
Mu Xiaoya menatap Bai Chuan yang jarang-jarang tampak serius. Tiba-tiba, dia mengambil kesempatan dan memonyongkan bibirnya dan langsung memberi Bai Chuan yang tak tahu apa-apa sebuah ciuman.
“Pinjami mereka selama satu jam saja, oke?” Mu Xiaoya bertingkah genit.
Bai Chuan mengerjap dan mengedip, kemudian duduk tegak dan berhenti bicara.
Apa dia… setuju?
Ternyata bertingkah genit juga berguna untuk seseorang dengan autisme ah.
————-
Versi Inggris bisa dibaca di: isohungrytls.com/my-husband-with-scholar-syndrome/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-26/