My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 31
Pagi-pagi sekali di akhir pekan, Mu Xiaoya dan Bai Chuan kembali ke rumah orangtua Mu Xiaoya bersama-sama. Sebelum mereka pergi, Li Rong membungkuskan setumpuk hadiah untuk dimasukkan ke dalam mobil dan menyuruh Mu Xiaoya memberikannya kepada ayah dan ibu Mu. Mu Xiaoya tak berpura-pura sungkan dan berterima kasih kepada mertuanya, kemudian memasukkan semuanya ke dalam mobil.
Satu jam kemudian, keduanya pun tiba di rumah Keluarga Mu. Mu Ruozhou dan istrinya, Shen Qingyi telah menunggu di depan pintu dalam waktu lama. Menatap pada mobil Audi dari kejauhan, mereka menyambut keduanya dengan senyuman.
“Xiao Chuan.” Begitu mobilnya berhenti, Shen Qingyi maju untuk membantu Bai Chuan membuka pintu kursi penumpang.
Bai Chuan keluar dari mobil, menatap Shen Qingyi selama sesaat, sebelum perlahan mengucapkan tiga patah kata:
“Terima kasih, Bu.”
Meski ketiga kata ini diucapkan dalam dua bagian yang terpisah, percakapan otonom semacam ini luar biasa langka bagi Bai Chuan, yang memiliki autisme. Shen Qingyi mengerti hal itu dan tentu saja dia jadi luar biasa kegirangan.
“Aiya, Xiao Chuan berterima kasih kepadaku. Lao Mu, apa kau dengar barusan tadi?” Shen Qingyi berbalik untuk bertanya kepada suaminya yang berdiri di sebelahnya.
“Aku sudah dengar, kau cepat bergeraklah.” Mu Ruozhou sangat tertekan. Dia jelas-jelas berdiri lebih dekat ke mobil. Kalau dirinyalah yang secara kebetulan membukakan pintu barusan tadi, ‘terima kasih’ Bai Chuan akan menjadi miliknya.
Bai Chuan terdiam, menatap ayah mertuanya, dan memanggil, “Ayah.”
“Hei!” Mu Ruozhou langsung terpulihkan, dan matanya dengan gembira menyipit membentuk senyuman seperti istrinya.
Di sisi lain mobil, Mu Xiaoya, yang sudah tak mendapatkan perhatian orangtuanya dalam waktu lama, mau tak mau jadi merasa ‘cemburu’. “Lihatlah perhatian kalian berdua. Kalau aku tak tahu bahwa menantu kalianlah yang datang berkunjung, aku akan mengira kalau sang Ketua*-lah yang datang.”
(T/N: Ketua yang dimaksud di sini adalah ketua dari Partai Komunis, yang mana merupakan pemimpin / penguasa eksekutif Tiongkok)
Omong kosong apa yang kau bicarakan?” Shen Qingyi hanya memberi putrinya perhatian yang amat sangat kecil.
“Di mananya aku bicara omong kosong? Mobilnya bahkan belum diparkir, dan kalian telah membantu membuka pintu. Tak ada ibu mertua yang membukakan pintu untuk menantunya.”
“Bagaimana bisa Xiao Chuan disamakan?”
“Kenapa berbeda? Tak bisakah Xiao Chuan keluargaku membuka pintu?”
“Ya!” Saat Shen Qingyi, yang sudah akan bicara untuk mencerca putrinya, tapi tak dinyana Bai Chuan bicara duluan.
“….”
Karena langkah ini telah dihancurkan, Mu Xiaoya dengan gembira tertawa terbungkuk-bungkuk di tempat. Para tetua Mu tertegun selama sesaat, kemudian tertawa bersama dengan putri mereka. Menantu keluarga mereka sangat istimewa, namun kecepatan reaksinya terhadap putri mereka benar-benar cepat, yang mana tak ada bedanya dengan orang biasa. Dengan demikian, kecemasan dalam hati mereka pun menjadi lebih ringan.
Shen Qingyi bahkan mengakui pada Bai Chuan, “Semua ini adalah salahku. Aku tak seharusnya membukakan pintu untukmu.”
“Tidak apa-apa.” Meski dia tak tersinggung dan ibu mertuanya telah minta maaf, Bai Chuan merasa kalau dia masih harus memaafkannya.
Mu Xiaoya sudah selesai dengan semua sapaannya. Dia membuka bagasi dan menarik keluar hadiah-hadiah dalam jumlah besar. Ada kantong-kantong dengan warna berbeda yang bisa diambil sekenanya dan jumlahnya ada lebih dari selusin.
“Kenapa kau membawa pulang begitu banyak barang?” Shen Qingyi melihatnya dan membantu mengambil barang-barang dari putrinya.
“Jangan salahkan aku ah.” Mu Xiaoya menunjuk ke arah kantong-kantong plastik paling sederhana dan kasar lalu berkata, “Kedua kantong itu dibawa olehku. Semua sisanya dipersiapkan oleh ibu mertuaku untuk Besan-besan Mu.”
“Ini….” Shen Qingyi dan suaminya saling berpandangan dan mengernyit, “Kalau begitu bagaimana bisa kami mengambil semua itu? Keluarga kita belum memberi hadiah apa pun kepada keluarga suamimu, jadi tidak pantas bila menerima barang-barang ini.”
“Iya ah.” Mu Ruozhou menatap kantong-kantong hadiah yang baru saja dikeluarkan oleh ketiganya dan mau tak mau menambahkan, “Keluarga kita dan Keluarga Bai memiliki perbedaan dalam kemampuan ekonomi. Meski kami tak mau melakukan apa-apa, tapi barang-barang yang diterima dari Keluarga Bai ini juga tak baik untuk diterima.”
Dengan kemampuan ekonomi Keluarga Bai, barang-barang semacam itu tidak seberapa bagi mereka, namun bagi Keluarga Mu, setiap hadiah yang diterima sungguh terlalu mahal. Keluarga Mu tak mau menerima terlalu banyak hadiah mahal karena hal itu membuat mereka tertekan.
“Kubilang, kalian berdua terlalu banyak berpikir.” Mu Xiaoya paling mengenal orangtuanya, mereka berharga diri tinggi, berbudi luhur, dan amat menghargai reputasi mereka. Mereka tampak agak tak peduli saat berurusan dengan hubungan sosial, tapi sebenarnya, alasan semacam ini sungguh lemah dan berlebihan. “Aku sudah menikah ke dalam keluarga itu. Kalian bisa memilih apa yang akan dilakukan dengan hadiah-hadiah itu, aku toh sudah tinggal di sana.”
“Ini….” Saat para tetua Keluarga Mu mendengar hal ini, mereka tiba-tiba merasa bila mereka tak menerima hadiah ini, maka akan tidak pantas.
“Kalau tidak, kalian bisa bilang sendiri pada mertuaku,” Mu Xiaoya berkata dan bergerak untuk membuat panggilan telepon.
“Yah, Xiaoya memang benar. Kita semua berbesanan dan hal itu tak ada hubungannya dengan hubungan sosial selama kita memiliki hati nurani yang jelas.” Mu Ruozhou langsung menghentikan putrinya melakukan panggilan telepon itu.
“Benar. Saat aku kembali, aku akan pulang dengan beberapa hadiah.”
“Kami telah menerima begitu banyak barang, apa yang akan menjadi barang yang tepat untuk kami berikan sebagai balasannya?” Shen Qingyi mengernyit.
“Menurutku sebotol potongan cabai di kulkas kita itu bagus. Aku akan membawanya pulang nanti sore.” Shen Qingyi berasal dari Provinsi Sichuan, dan suka makan cabai, serta lebih suka lagi memasaknya sendiri. Dia memiliki kebiasaan memotong-motong cabai di rumah sesekali. Jadi, di dalam kulkas Keluarga Mu, sepanjang tahun selalu ada cabai potongan yang dibuat oleh Shen Qingyi.
“Memangnya seberapa besar nilai barang itu?” Shen Qingyi tak terlalu suka dengan ide ini.
“Tapi Keluarga Bai tak memilikinya ah. Aku ingin memakannya sebagai putrimu, tapi masih tak bisa.”
“Iya iya iya, aku akan siapkan beberapa botol lagi sore ini.”
Sambil bercanda, keempatnya pun masuk ke dalam rumah dengan membawa hadiah-hadiah itu.
Begitu Mu Xiaoya memasuki ruang keluarga, dia menaruh hadiah-hadiah itu ke atas meja kopi, kemudian roboh di atas sofa.
“Lihatlah dirimu, jadi begitu malas. Kuharap kau tak seperti ini di rumah Keluarga Bai.” Shen Qingyi menatap sepintas pada postur putrinya.
“Hampir.” Mu Xiaoya menggelosor dan mendesah dengan nyaman. Tak peduli ke mana pun dia pergi, dia merasa paling nyaman di rumah orangtuanya.
“Xiao Chuan, apa Xiaoya juga sama di rumahmu?” Shen Qingyi menoleh untuk bertanya kepada menantunya karena menantunya takkan berbohong.
“En.” Bai Chuan mengangguk. Di matanya, Mu Xiaoya adalah Mu Xiaoya, yang adalah sama saja di mana pun.
Saat dia melihat Bai Chuan mengangguk, Mu Xiaoya tiba-tiba mulai menekuri perilakunya di rumah Keluarga Bai. Di depan yang lainnya, dia jelas-jelas tidak seperti ini. Apa maksud Bai Chuan adalah di kamar tidur mereka?
“Sepertinya, bagaimanapun juga, aku harus berhati-hati bila mengucapkan sesuatu kepadamu hari ini,” Shen Qingyi berkata, tapi dia merasa ragu. Kemudian setelah mengucapkan kata-kata itu, dia pun pergi ke dapur untuk memasak makanan kesukaan putrinya.
Bai Chuan ditarik oleh ayah mertuanya untuk menyelesaikan beberapa soal matematika sementara ibu mertuanya mempersiapkan makan siang di dapur. Mu Xiaoya, yang tak ada kerjaan, bersarang di ruang keluarga dan memakai ponselnya untuk dipasang pada layar TV di ruang keluarga demi menonton film. Saat filmnya sudah hampir selesai, ponsel Mu Xiaoya tiba-tiba berdering. Dia meliriknya, kemudian berlari keluar dari ruang keluarga. Tak lama setelahnya, beberapa orang pekerja yang mengenakan overall diantar masuk.
Tiba-tiba terdengar keramaian, dan para tetua Keluarga Mu terperanjat, secara terpisah mereka memiringkan tubuh untuk melongok keluar dari ruang belajar dan dapur. Bai Chuan telah menyelesaikan soal matematika di tangannya, dan perlahan berjalan keluar dari belakang ayah mertuanya.
“Apa ini?” Mu Ruozhou menatap ketiga orang pekerja tambahan yang tiba-tiba muncul di ruang keluarga.
“Taruh di sini, ya. Persis di sana.” Mu Xiaoya menunjuk pada ruang terbuka di samping sofa sebagai tempat orang-orang itu meletakkan barangnya, kemudian berbalik untuk menjawab pertanyaan ayahnya, “Kursi pijat.”
Para pekerja bergerak cepat dan meletakkan kursi pijat itu. Mereka dengan cepat membuka bungkusannya, Mencobanya untuk memastikan bahwa tak ada masalah, kemudian meminta Mu Xiaoya menandatanganinya.
“Anda punya waktu hingga satu bulan untuk mengembalikannya dan waktu hingga tiga bulan untuk menggantinya. Kalau Anda punya pertanyaan, harpa telepon kami kapan saja,” si pekerja berkata.
“Oke, terima kasih.”
Setelah Mu Xiaoya selesai menandatangani, para pekerja pun membersihkan sampah-sampahnya dan dengan cepat meninggalkan rumah Keluarga Mu.
“Xiaoya, ada apa dengan kursi pijat ini?” Shen Qingyi masih memegangi daun bawang di tangannya dan berdiri di samping kursi pijat saat dia bertanya pada putrinya.
Mu Xiaoya berkedip pada Bai Chuan yang berdiri di samping ayah mertuanya.
Akan tetapi, reaksi Bai Chuan kepada Mu Xiaoya adalah wajah kosong.
“….” Habis sudah, padahal kemarin aku sudah menjelaskan pada Bai Chuan.
“Apa yang kau lakukan, kenapa kau memandangi Xiao Chuan?” Mu Ruozhou mau tak mau melihat arah pandangan putrinya dengan mata menyipit serta kernyitan.
Kedip?
Saat itulah Bai Chuan terpikirkan tentang kata kunci tersebut dan ingatannya langsung kembali. Dia pun memikirkan tentang apa yang telah Mu Xiaoya katakan kepadanya semalam.
“Xiao Chuan, aku telah memakai kartu gajimu demi membelikan kursi pijat untuk orangtuaku, tapi kursi pijat ini agak mahal. Orangtuaku pasti akan memarahiku karena telah mengeluarkan uang dengan sembarangan. Jadi besok, bilang kalau kau yang membelinya untuk mereka, oke?”
“Oke.”
“Aku akan mengedip padamu pada saat itu.”
“En.” Bai Chuan menyetujui tanpa ragu. Akan tetapi, dia tak mengerti makna dari kedipan itu hingga ayah mertuanya ‘mengedip’ padanya. (T/N: sebenarnya si ayah mertua tidak benar-benar mengedip kepadanya, tapi memicingkan mata dan mungkin berkedip lalu membuat Bai Chuan ingat pada ‘kedipan’ itu)
“Aku membelinya.” Meski Xiaoya tak mengedip kepadanya dengan benar, Bai Chuan secara sempurna bekerjasama dengannya.
Dengan sorot lega, Mu Xiaoya diam-diam mengacungkan jempol pada Xiao Chuan.
“Kau membelinya?” Para tetua Keluarga Mu terperanjat. “Kenapa kau beli kursi pijat?”
“Gajiku, aku membelinya untuk kalian.” Xiaoya hanya menyuruhnya berkata bahwa dia yang membelinya. Lalu untuk kenapanya, Xiaoya tak memberitahunya, jadi Bai Chuan hanya bisa mengatakan hal itu.
Akan tetapi, bahkan bila Bai Chuan tak mengatakannya, para tetua Keluarga Mu secara otomatis telah membuatkan alasan untuknya. Dalam waktu singkat, mereka segera mendeduksi alasan yang memadai untuknya.
“Apakah Xiao Chuan membeli ini untuk menunjukkan baktinya?” Shen Qingyi menatap suaminya dengan gembira mereka tak menyangka kalau mereka bisa menikmati rasa bakti menantu mereka secepat ini?
“Gajimu?” Yang lebih mengejutkan Mu Ruozhou adalah bahwa Bai Chuan mampu memperoleh gajinya sendiri.
“Gajiku.” Bai Chuan mengangguk.
Keduanya tahu bahwa hadiah itu kemungkinan besar dibeli oleh putri mereka, tapi uangnya berasal dari gaji Bai Chuan, yang mana membuat maknanya jadi benar-benar berbeda. Memikirkannya dengan cara ini, kedua orang itu pun menatap pada kursi pijat baru tersebut dan langsung merasa kalau segalanya adalah baik.
“Ayah, Ibu, kursi pijat ini bagus untuk tulang serviks. Cepat cobalah.” Mu Xiaoya mendorong ibunya yang berada paling dekat dan menekan tubuhnya ke atas kursi pijat. Para tetua Keluarga Mu adalah guru, jadi mereka telah mempersiapkan pelajaran atau menilai hasil tes sepanjang hari. Tulang belakang mereka tidak bagus, itulah sebabnya Mu Xiaoya membeli kursi pijat ini.
Kursi pijatnya sudah disetel. Mu Xiaoya pun memilih modenya dan menekan tombol mulai.
Keduanya bergantian menduduki kursi pijat itu selama setengah jam. Mereka tak berpikir kalau kursi pijat itu akan benar-benar efektif. Bagaimanapun juga, mereka berdua sama-sama merasa nyaman sementara matahari menyinari wajah mereka. Shen Qingyi tak bisa untuk tidak memasak lebih banyak masakan untuk makan siang.
Setelah makan siang, Mu Xiaoya dan Bai Chuan pergi ke sebelah karena Bai Chuan berkata kalau dia ingin mencari beberapa buku.
Meski halaman di sebelah sudah tak ditempati selama beberapa waktu, Keluarga Bai telah menyuruh orang membersihkannya secara teratur. Tanaman-tanaman hijau di kebun telah dirapikan dengan seksama, sehingga tak terlihat berantakan.
Memasuki ruang keluarga, Mu Xiaoya masuk dalam kondisi melamun selama sesaat.
Dalam ingatannya, dia sudah tidak pernah kemari selama bertahun-tahun, namun perabotannya belum berubah sama sekali. Sofanya masih berpola bunga-bunga, tirainya masih seputih susu, dan bahkan set minum teh di meja kopinya juga masih sama.
Mu Xiaoya mengambil sebuah cangkir teh dan langsung melihat sebuah celah kecil pada cangkir porselen biru putih itu. Ukurannya tidak besar, tapi agak mencolok.
Melihat pada celah ini, Mu Xiaoya entah kenapa merasa familier terhadapnya. “Bentuk pada celah ini cantik, berbentuk hati.”
Bai Chuan menatapnya dan mengingat sesuatu lagi, lalu matanya mengilaskan senyuman.
“Bukankah ini sudah hilang sejak lama?” Dia sudah lama tak pernah masuk ke dalam rumah Nenek Bai, tapi dia merasakan keakraban lewat celah ini. Mungkin akan butuh waktu lama sebelum dia mengingatnya kembali.
“Delapan tahun, tiga bulan, lima hari.”
“… Mengingatnya dengan begitu jelas ah.” Meski dia tahu kalau ingatan Bai Chuan memang bagus, tapi setiap kali dia mendengar detil seakurat itu, Mu Xiaoya mau tak mau mengesah, “Sudah begitu lama, kenapa belum berubah?”
“Celah ini berbentuk hati. Kalau kau minum air dengan cangkir ini, setiap tegukan akan terpatri di hati, dan airnya akan terasa lebih baik. Kalau kau cukup banyak meminumnya, kau akan menemukan kebahagiaan.” Bai Chuan menatap lembut pada Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya balas menatap Bai Chuan dengan terbengong-bengong.
Baris yang manis semacam ini hanya akan muncul di komik-komik shoujo (T/N: komik dengan target pembaca kaum hawa. Kebanyakan isi ceritanya adalah tentang percintaan). Kalimat ini takkan dikatakan oleh Bai Chuan, juga bukan oleh Nenek Bai yang tua dan bijak, jadi dengan memperhitungkannya, Mu Xiaoya pun mulai meragukan dirinya sendiri.
“Aku yang bilang begitu?”
“En.” Bai Chuan mengangguk.
“Saat aku SMP, sepertinya aku tergila-gila pada komik-komik shoujo.” Mu Xiaoya menggaruk dagunya dengan canggung, dan juga menerka kemungkinan yang lain, “Celah ini, aku yang membuatnya.”
“En.” dengan itu, Bai Chuan menunjuk pada sebuah tempat di sudut meja.
Mu Xiaoya mengerti, maksud Bai Chuan adalah bahwa dia memakai sudut di meja itu untuk membenturkan cangkir tehnya demi membuat celah tersebut.
Mu Xiaoya menatap pada cangkir itu dan membayangkan situasi ketika dirinya benar-benar telah menipu Bai Chuan. Memikirkan tentang adegan itu membuatnya merasa hal tersebut agak lucu.
“Aku berbohong padamu waktu itu,” Mu Xiaoya berkata seraya tersenyum.
“Nggak.” Bai Chuan menggelengkan kepalanya. “Minum terlalu banyak dan kau benar-benar bisa mendapatkan kebahagiaan.”
“Kebahagiaan? Apa kau tahu apa itu kebahagiaan?”
“Tahu, kebahagiaan adalah bersama dengan Xiaoya.” Mu Xiaoya bertanya sambil lalu, tapi Bai Chuan menjawabnya dengan sangat serius.
Jawaban ini serupa dengan sebilah belati tajam dan mengiris jantung Mu Xiaoya yang membuatnya menyemburkan rasa sakit.
“Kau sudah minum air dengan cangkir ini ah.”
“En.”
Tiba-tiba hidung Mu Xiaoya mulai terasa asam, dan matanya memerah. Dia percaya kalau ada banyak orang yang telah mengucapkan atau mendengar banyak perkataan seenaknya atau dengan sengaja menipu orang lain saat mereka masih muda. Beberapa takkan memercayainya; yang lain akan percaya. Bahkan bila mereka memercayainya, kepercayaan itu hanya akan sementara karena kepolosan akan memudar, kedewasaan dan akal sehat akan membuat mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Namun Bai Chuan berbeda. Di dalam dunianya, selama dia memercayai sesuatu, dia akan memercayainya seumur hidup.
Selama lebih dari delapan tahun, Bai Chuan ingat dirinya mengucapkan beberapa patah kata begitu saja, namun dia telah melupakannya, atau lebih tepatnya kejadian itu tak memberikan kesan kepada dirinya sama sekali.
“Maaf, aku lupa.”
“Tidak masalah, kau memang punya ingatan yang buruk.” Nenek bilang kalau ingatan miliknya adalah berkah dari Langit, tidak semua orang memilikinya, jadi tak masalah bila Xiaoya lupa, karena dia ingat.
Mulanya, Mu Xiaoya menangis karena dia merasa bersalah. Alhasil, saat Bai Chuan tiba-tiba mengucapkan kalimat tanpa keluhan itu, mau tak mau dia tersenyum, “Ya, aku punya ingatan yang buruk. Tapi kali ini, aku pasti takkan lupa.”
Mu Xiaoya berbalik dan menyeka air matanya dengan punggung tangannya.
“Tidak masalah, aku akan ingat.”
“Xiao Chuan, aku akan ingat.” Mu Xiaoya berbalik dan menatap lurus pada Bai Chuan, lalu berkata tegas.
“En.” Bai Chuan mengangguk, seperti bila dia melihat seorang gadis yang selalu salah lagi dalam mengerjalan soal matematika.
“Ah ah, kenapa aku salah mengerjakannya lagi?” Mu Xiaoya dengan seragam sekolah mengacak rambutnya dengan panik, “Xiao Chuan, ajari aku lagi. Aku janji, aku akan ingat kali ini.”
“En.” Bai Chuan muda dengan mahir mengangkat pulpennya dan mulai menjelaskan kegunaan dari rumus yang sama untuk kelima kalinya.
Sebenarnya, Bai Chuan memiliki rahasia yang tak pernah dia katakan kepada orang lain. Diam-diam dia berharap kalau Mu Xiaoya takkan pernah mengingat rumus itu, sehingga akan selalu datang mencarinya sepulang sekolah setiap hari.
“Ayo, kita ke perpustakaan untuk mencari buku.”
Meski rumah ini adalah tipe rumah tinggal dengan tipe yang sama, ruang belajar Keluarga Bai jauh lebih besar daripada milik Keluarga Mu. Karena Keluarga Bai hanya memiliki dua orang yang tinggal di dalamnya, Bai Chuan dan Nenek Bai, Nenek Bai telah membongkar semua kamar tidur di lantai satu dan membangun sebuah perpustakaan kecil untuk Bai Chuan. Semua buku yang Bai Chuan baca dan ingin baca telah dikumpulkan dan disimpan di sana.
Setiap kali Mu Xiaoya memasuki ruang belajar ini, dirinya benar-benar terkejut. Terdapat rak-rak buku yang mengelilingi dinding dengan baris-baris seragam, dan semuanya terisi padat dengan buku. Nenek Bai bahkan memasang sebuah tangga yang bisa digeser di samping rak-rak buku itu sehingga memudahkan Bai Chuan memanjat naik dan turun. Terdapat sebuah meja kecil di tengah-tengah ruang belajar itu, dikelilingi oleh lautan buku. Tampaknya selama kau duduk di sana, bahkan bila kau buta huruf, kau akan bisa langsung mempelajari lebih banyak pengetahuan dari masa-masa kuno dan modern.
“Buku apa yang kau cari? Aku akan membantumu mencarinya.” Jumlah bukunya jauh terlalu banyak untuk dihitung. Membuang-buang waktu bagi mereka untuk menemukannya. Mu Xiaoya hanya melihat beberapa baris rak buku dan mendapati kalau buku-buku itu sepertinya tak mengikuti aturan penataan mana pun. Dalam situasi ini, akan membuang waktu untuk mencarinya.
“Aku sudah menemukannya.”
Mu Xiaoya berbalik, dan dia melihat Bai Chuan sedang memegangi buku dengan sampul hijau.
“Kau menemukannya secepat itu?” Seberuntung itu?
“Aku ingat semuanya.”
“Maksudmu, kau ingat di mana buku-buku itu terletak?” Mu Xiaoya merasa syok.
“En.”
Mu Xiaoya berpikir kalau hal itu seru, jadi dia tak bisa menahan diri dan berkata, “Kalau begitu, bantu aku mencari sebuah buku.”
“Oke.”
“Apa aku pernah menaruh buku apa pun di sini sebelumnya?” Sebelum masuk SMU, Mu Xiaoya terobsesi dengan komik. Begitu liburan tiba, dia akan pergi ke tempat Bai Chuan dengan alasan belajar. Begitu orangtuanya masuk, dia akan meletakkan komiknya ke atas rak buku begitu saja sehingga tak ada seorang pun yang akan menemukannya. Meski dia tidak yakin, dia berpikir kalau mungkin dia telah meninggalkan satu atau dua buku komik di sini.
“Rumput Sekolah yang Murni,” Bai Chuan menjawab. (T/N: judul itu artinya adalah anak laki-laki paling tampan di sekolah – rumput sekolah itu murni dan polos)
“Apa?”
“Rumput Sekolah yang Murni,” Bai Chuan mengulang dengan nada yang sama persis.
“Komik Shoujo?” Mu Xiaoya samar-samar mengingatnya. Sepertinya itu adalah buku komik yang sangat memukau dirinya saat SMP.
“En.”
“Komik ini, kau menyimpannya di sini, di mana?” Mu Xiaoya bertanya.
“Rak timur, baris keenam dari bawah ke atas, dan buku ke-128 hingga ke-136 dari kiri ke kanan.” Tanpa menunggu Mu Xiaoya menyelesaikan kata-katanya, Bai Chuan menyatakan dengan jelas lokasi spesifiknya.
“Ada sembilan volume ah.” Mu Xiaoya mulai mencari buku-buku itu sesuai dengan instruksi Bai Chuan. “Timur, satu dua tiga empat lima enam, baris ini, dari kiri ke kanan… ah, ketemu.”
Buku-buku komik selalu lebih kecil daripada buku-buku biasa, jadi dia dengan cepat menemukannya setelah menemukan barisnya. Mu Xiaoya pun menemukan seluruh serinya, ‘Rumput Sekolah yang Murni’.
“Sampulnya tampak sangat baru dan terjaga dengan baik.” Mu Xiaoya membolak-balikkan beberapa halaman sekenanya, kemudian menemukan bahwa karakter-karakter manga di dalamnya begitu indah dan membuat orang merinding. Mata si tokoh utama benar-benar bagai berlian dan berwarna biru muda. Saat dia tersenyum, ada kelopak-kelopak bunga megah di latar belakang. Sungguh, special effect yang hebat, Mary Sue, bagaimana bisa aku menyukai sesuatu semacam ini sebelumnya?
Memikirkannya seperti ini, pada kenyataannya, terkadang orang-orang memang aneh. Mereka dulu pernah menyukai sesuatu, namun suatu hari, mereka akan mendapatinya membosankan.
“Apa kamu mencari buku lainnya?” Mu Xiaoya menggucangkan rasa merinding dari tubuhnya dan meletakkan kembali buku komik itu.
Bai Chuan menggelengkan kepalanya.
“Yah, ayo kita pergi.”
Saat mereka tiba, mereka langsung berjalan menuju ruang belajar. Saat mereka pergi, mereka berjalan ke arah pintu, yang mana merupakan arah yang berlawanan dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan Mu Xiaoya sekilas melihat sebuah potret pada dinding ruang keluarga.
Ini adalah potret Nenek Bai. Dalam potret itu, Nenek Bai mengenakan cheongsam hitam, rambutnya disanggul rapi, dengan mutiara di kedua telinganya dan tangan terlipat saling menggenggam. Beliau duduk dengan anggun di atas sebuah kursi mahoni dan menatap semua yang ada di depannya dengan sorot penuh kasih.
“Aku yang melukisnya.” Bai Chuan mengikuti arah pandangan Mu Xiaoya dan juga menatap lukisan cat minyak itu. Dia melukisnya untuk nenek dan Beliau sangat menyukainya. Beliau menggatungnya di atas tangga sehingga bisa melihatnya setiap kali Beliau naik atau turun dari tangga.
“Kau yang membuatnya?” Tak heran Nenek Bai memiliki sorot yang begitu penuh kasih di matanya. Beliau sedang menatap Bai Chuan.
“En.” Bai Chuan mengangguk. “Pada hari ketiga setelah aku melukisnya, Nenek masuk rumah sakit.”
Mu Xiaoya tertegun selama sesaat dan merasa tertekan. Sebenarnya, ingatan Bai Chuan terlalu bagus dan terkadang itu belum tentu merupakan hal yang bagus.
“Apa kau merindukannya?” Mu Xiaoya tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Kupikir.” Bai Chuan mengangguk.
Iya lah, bagaimana bisa Bai Chuan tak berpikir? Ingatan Bai Chuan sangat bagus, bahwa ada sangat sedikit orang di dalam dunianya untuk diingat. Kalau dia ingin melupakannya, dia takkan bisa.
Tiba-tiba, tubuh Mu Xiaoya dipeluk dalam dekapan yang akrab.
Mu Xiaoya mendongak dengan kaget dan mendapati bahwa yang memeluknya adalah Bai Chuan. Dia tak tahu kapan pria itu meletakkan bukunya. Pada saat ini, Bai Chuan memeluknya dengan lembut: “Jangan sedih.”
Sedih? Tidakkah kau merasa sedih barusan tadi?
Tidak, Mu Xiaoya jelas-jelas takut kalau Bai Chuan merasa sedih, bagaimana bisa jadi dia yang sedih?
“Xiao Chuan, apa kau masih merasa sedih saat kau memikirkan tentang Nenek?” Mu Xiaoya bertanya muram.
“Nggak.” Bai Chuan menggelengkan kepalanya, “Nenek bilang, hidup semua orang memiliki batas waktu. Dia punya batas waktunya dan aku punya batas waktuku. Batas waktu Nenek sudah tiba, jadi dia pergi. Aku merasa enggan tapi tidak sedih.”
“Nenek memang benar.”
Mungkin hanya pasien-pasien autis seperti Bai Chua yang bisa dengan tenang dan rasional menghadapi kepergian orang-orang tercinta.
Akan tetapi, sebenarnya hal ini cukup bagus. Saat waktunya tiba dan dirinya pergi, apakah Bai Chuan bisa melakukan hal yang sama?
————-
Catatan Pengarang
Nenek Bai tiba-tiba menemukan cangkir yang hilang dari set minum teh kesukaannya.
Nenek Bai: “Kenapa ada celahnya, ini tak bisa disimpan.”
Nenek Bai pun membuangnya ke tempat sampah.
Bai Chuan melihat dan berjalan menghampiri tanpa suara, berjongkok untuk memungut cangkir itu, kemudian meletakkannya kembali ke atas meja kopi dengan bandelnya.
Nenek Bai: “Xiao Chuan, celah ini tidak baik, berbahaya dan akan melukai bibirmu.” Setelah menjelaskan, Beliau kembali membuangnya.
Bai Chuan berjongkok dan kembali memungutnya.
Nenek Bai: “….”
Sejak kapan Xiao Chuan jadi sangat menyukai cangkir ini?
—————–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-31/