My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 34
“Sepatu-sepatunya sudah masuk pasar.” Di studio, Fang Hui duduk di samping Mu Xiaoya dengan komputer tablet.
“Bagaimana?” Mu Xiaoya bertanya. Kelompok pertama sepatu dengan nama merek mereka dijual lewat toko eksklusif milik paman Fang Hui, namun harganya 50% lebih tinggi daripada sepatu-sepatu lain di tokonya, jadi mereka tak terlalu optimistis pada proyeksi penjualannya.
“Kan baru saja dipasang siang ini. Kita akan lihat data penjualannya besok,” Fang Hui berkata.
“Sore dan akhir pekan adalah waktu terbaik untuk penjualan. Akan butuh sekitar dua hari untuk tahu popularitas sepatu kita,” Mu Xiaoya berkata.
“Aku tiba-tiba merasa gugup, apa yang harus kulakukan?” Fang Hui mengernyit.
“Bukankah kau sudah berjanji padaku kalau tak jadi masalah kalau kita tak mendapat untung dan tidak kehilangan uang? Kenapa sekarang kau gugup?” Mu Xiaoya tersenyum.
“Saat kau punya bisnis, bukankah merupakan hal lumrah kalau kau ingin mendapat uang dan tak kehilangan uang?” suasana hati Fang Hui sedang buruk.
“Oke, tak ada gunanya memikirkan tentang itu sekarang.” Mu Xiaoya menutup komputernya dan berdiri, membawa tasnya, “Kupikir kita lebih baik pulang cepat dan tidur. Kita akan tahu hasilnya besok pagi.”
“Nggak, jam berapa sekarang? Kau akan pulang sekarang?” Fang Hui menatap jamnya, dan bahkan belum lewat jam lima.”
“Tak ada yang perlu dikerjakan sekarang dan aku sudah janji pada Xiao Chuan kalau aku akan ada di rumah jam enam hari ini. Sebelumnya, aku terlambat dan membuat dia menungguku. Kali ini, aku harus kembali lebih cepat sehingga aku bisa menjadi orang yang menunggu dirinya,” Mu Xiaoya berkata.
“Kalian itu kekanak-kanakan. Kau tunggu aku, aku akan tunggu kamu.” Sebagai orang dewasa, Fang Hui tak bisa menerima cinta yang tampak seperti anak-anak TK yang saling berjumpa di sekolah setiap harinya semacam ini.
Mu Xiaoya tersenyum dan tak menjelaskan. Cara dirinya berhubungan dengan Bai Chuan begitu sederhana dan nyaris kekanakan. Namun hal-hal kekanakan ini mungkin merupakan hal paling penting bagi Bai Chuan saat ini. Mu Xiaoya tak tahu seberapa lama kesabarannya akan bertahan atau apakah dia bisa menepati janjinya kepada Bai Chuan setiap saat. Tapi, setidaknya untuk sekarang, dia bersedia bekerjasama dengan cara kekanakan Bai Chuan dalam berhubungan.
“Pergilah.” Fang Hui melambaikan tangannya untuk menggusah dan Mu Xiaoya pun mendorong pintu hingga terbuka dan kemudian berkendara ke vila setengah jam lebih awal.
Grup Yifeng.
Pada siang ini, Bai Zheng telah selesai membicarakan tentang kerjasama eksternal. Saat dia kembali, dia memanggil semua kepala departemen dan rapat tanpa henti dengan mereka. Dia tak kembali ke kantornya hingga hampir waktunya pulang.
“Pak Presdir.” Asisten Lu Yang dengan cerdas mengantarkan secangkir air hangat untuk meredakan rasa hausnya.
Bai Zheng meneguknya, membasahi tenggorokannya, dan berkata, “Sebentar lagi, atur sopir untuk membawa Xiao Chuan pulang.”
“Oke, saya akan mengaturnya,” Lu Yang langsung menjawab.
“Juga, atur bahan rapat untukku dan pesankan aku makan malam.” Seraya bicara, Bai Zheng melepaskan jasnyaa dan menggantungkannya pada gantungan baju, kemudian menggulung lengan bajunya. Saat dia akan lanjut bekerja, dia melihat asistennya masih berdiri di depan mejanya dan tidak pergi.
“Ada yang lain?” Bai Zheng bertanya.
“Pak Presdir….” Lu Yang meragu sejenak dan mengeluarkan sekantong benda berwarna merah dari kantongnya lalu meletakkannya di atas meja Bai Zheng.
“Apa ini?” Bai Zheng mengernyit.
“Permen pernikahan,” Lu Yang menjawab.
Bai Zheng tercengang selama sesaat. Permen pernikahan?
“Apa kau menikah?” tanpa sadar Bai Zheng mulai mempertimbangkan jadwal kerja mereka. “Beberapa proyek terakhir ini sangat ketat, dan permainan-permainan VR generasi kelima akan segera dirilis. Aku takkan bisa memberimu izin cuti karena periode waktu ini. Karenanya, aku bisa minta pada Departemen Keuangan untuk mengirimimu amplop merah tambahan yang mana akan menjadi hadiah pernikahanmu. Setelah kesibukan ini selesai, aku akan memberimu liburan besar.”
… Saya tak menikah.” Lu Yang, yang tidak menikah, berkata canggung.
“Kau tak menikah, lantas kenapa kau memberiku permen pernikahan itu?” Bai Zheng tak mampu berkata-kata.
“Ini adalah permen pernikahan yang diberikan Tuan Muda Kedua kepada saya.”
Xiao Chuan? Bai Zheng kembali menatap dingin pada paket permen pernikahan itu dengan tatapan berbeda.
“Saya dengar saat Tuan Muda Kedua tiba di perusahaan hari ini, dia datang dengan membawa sekantong besar permen pernikahan. Di pintu, dia memberikan sekantong permen pernikahan kepada Xiao Chen si penjaga keamanan. Kemudian dari seluruh anggota Departemen R&D, tak ada seorang pun yang tidak menerima permen pernikahan. Ini diberikan kepada saya saat saya pergi mengantarkan makanan di siang hari.” Sebagai asisten Bai Zheng, Lu Yang jelas-jelas tahu tentang cinta bosnya kepada sang adik, Bai Chuan. Bahkan bila proyek investasi bernilai sepuluh juta yuan telah selesai, Bai Zheng akan lebih gembira ketika Tuan Muda Kedua keluarganya membuat kemajuan dalam autismenya.
“Dan… bukalah dan lihatlah.” Lu Yang mengingatkan kembali.
Bai Zheng menatap Lu Yang, menngambil paket permen pernikahan itu dan membukanya sesuai dengan kata-kata sang asisten, kemudian menarik keluar catatan merah muda di dalamnya. Kemudian dia menatapnya dalam waktu lama tanpa bicara.
Lu Yang tahu bahwa pada saat ini, dia harus pergi, jadi dia sudah akan mengambil kembali permen pernikahan miliknya dan keluar untuk mengaturkan supir bagi Tuan Muda Kedua. Tak dinyana, jarinya baru saja menyentuh ujung dari paket permen pernikahan itu namun dipegangi oleh Bai Zheng.
“Presiden, ini adalah permen pernikahan yang Tuan Muda Kedua Berikan kepada saya.” Lu Yang tiba-tiba dapat firasat buruk ketika dia melihat postur mendominasi Bai Zheng.
“Bukankah kau memberikannya kepadaku?” Bai Zheng bertanya.
“Saya… itu….” Itu kan cuma untuk ditunjukkan padamu….
Pada tatapan dingin Bai Zheng, Lu Yang benar-benar tak punya nyali untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.
Meninggalkan permen pernikahan itu, Lu Yang dengan sedih meninggalkan kantor Bai Zheng. Saat dia menutup pintunya, dengan berani dia menggumam, “Dia tak menerima permen pernikahan dari adiknya tapi malah pergi dan mencuri punyaku. Aku mau diberi kebahagiaan. Aku mau cari pacar tahun ini.”
Kedatangan Bai Chuan di tempat kerja luar biasa akurat. Dia berjalan memasuki kantornya pada pukul 8:50. Namun sebaliknya, dia tak terlalu tepat dengan jam kerjanya. Dia biasanya meninggalkan kantor setelah menyelesaikan satu dari tugas-tugasnya dan tiba-tiba menyadari kalau sudah waktunya untuk pulang ke rumah. Kemudian pada saat ini, juru tulis Departemen R&D, Xiao Li, akan memanggil supir untuk memberitahu mereka agar menunggu di depan pintu masuk perusahaan.
Karenanya, saat Bai Chuan meninggalkan tempat kerja, jamnya biasanya tidak tetap, namun setelah lama berlalu, Xiao Li mampu memperkirakan jangka waktu rata-ratanya. Bai Chuan akan meninggalkan kantornya antara pukul 6:00 hingga 7:30 setiap sorenya. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang keluar dari kantor mereka tepat waktu pada akhir hari. Namun hari ini, dari jam 1:00 hingga 5:30, Bai Chuan tak peduli kalau program di tangannya baru separuh ditulis, dan dia langsung mematikan komputernya lalu berjalan keluar dari kantor.
“Tuan Muda Kedua sudah pulang kerja?” Para programmer melihat Bai Chuan tiba-tiba meninggalkan kantor, kemudian mereka diam-diam kembali bicara di grup chat.
“Nggak, program terakhir yang dia kerjakan baru setengah ditulis. Tuan Muda Kedua memiliki kelainan obsesif kompulsif dan takkan meninggalkan pekerjaan kecuali dia telah menyelesaikannya.”
“Tapi Tuan Muda Kedua sudah hampir sampai di di pintu lift.”
“Mungkin untuk pakai kamar kecil?” Ada kamar kecil di dekat pintu masuk lift.
“Idiot, Tuan Muda Kedua punya kamar kecil di dalam kantornya.”
Demi membuat Bai Chuan merasa nyaman, Bai Zheng telah mempersiapkan semua yang dia bisa di dalam kantor Bai Chuan. Bisa dikatakan bahwa selama Bai Chuan tak bersedia, dia tak perlu keluar selangkah pun dari kantornya. Jadi sedikit demi sedikit, orang-orang di Departemen R&D tahu kalau begitu Bai Chuan meninggalkan kantor, dia pasti siap untuk pulang ke rumah.
Bai Chuan berjalan keluar dari kantor besar itu, kemudian melangkah menuju lift di sisi kanan.
“Tuan… Tuan Muda Kedua, apa Anda sudah pulang kerja?” Xiao Li, si juru tulis bertanya dengan tidak yakin.
Bai Chuan tak bicara, alih-alih dia menekan tombol lift. Saat liftnya naik, dia pun melangkah masuk.
“Xiao Li, Tuan Muda Kedua meninggalkan pekerjaan untuk pulang ke rumah?” Yu Qian menongolkan kepalanya dan bertanya.
“Aku nggak tahu ah. Tuan Muda Kedua nggak jawab.” Xiao Li meragu sesaat dan memutuskan untuk mengangkat telepon di atas meja untuk memberitahu supir di bawah. “Tuan Muda Kedua baru saja turun.”
“Tampaknya Tuan Muda Kedua benar-benar pulang kerja,” Yu Qian berbalik dan mengumumkan pada semua orang.
“Siapa, siapa yang telah menyembuhkan kelainan obsesif-kompulsif Tuan Muda Kedua.” Seseorang memekik nelangsa. Tuan Muda Kedua baru saja kembali dari liburan panjang sebulannya dan dia tak berani mengharapkan sebanyak apa Tuan Muda Kedua harus bekerja, tapi mereka berharap dia akan menyelesaikan program yang sedang dikerjakannya ah.
“Nggak, menurutku kelainan obsesif-kompulsif Tuan Muda Kedua belum sembuh, tapi saat pesan Tuan Muda Kedua sampai pada kita secara serempak dari pusat kendali, ternyata prioritas Tuan Muda Kedua telah berubah untuk menjalankan tugas dengan tingkatan lebih tinggi,” A’Tong Mu tiba-tiba berdiri dan bicara.
“Tugas dengan tingkat lebih tinggi apa?” Semua orang bertanya dengan bingung.
“Istrinya meneleponnya pulang untuk makan malam.”
“….”
Butuh waktu tiga menit bagi Bai Chuan untuk memakai lift dari kantor ke lantai bawah, dan satu menit lagi untuk naik ke mobil dan mengenakan sabuk pengamannya. Dia memperhitungkan bahwa hanya akan butuh waktu dua puluh menit untuk berkendara dari perusahaan ke rumah. Dia bisa sampai di rumah sebelum jam enam.
Setelah supir mulai menjalankan mobilnya, Bai Chuan duduk di bangku belakang dan tanpa suara menghitung waktunya. Dia memperhitungkan waktu untuk pulang kerja, waktu untuk masuk dan keluar dari lift, kecepatan, namun dia lupa memperhitungkan lalu lintasnya. Dengan kata lain, Bai Chuan yang dahulu tak pernah memperhatikan lalu lintas saat pulang-pergi kerja.
Pada pukul 5:30 sore, sebagian besar perusahaan di kota sudah jam pulang kerja. Ini adalah saat puncak dari kemacetan lalu lintas. Kurang dari sepuluh menit setelah berkendara, mobilnya jelas-jelas melambat. Dan hingga pukul enam, mereka hanya mencapai sedikit lebih dari separuh perjalanan.
Supir yang bertanggungjawab mengantar Bai Chuan pulang tak tahu kalau Bai Chuan perlu pulang ke rumah sebelum jam enam. Setelah menemui kemacetan lalu lintas, dia menurunkan kecepatannya dan perlahan menyamai kecepatan kura-kura lalu lintasnya. Dia menyetir maju denagn sabar hingga ledakan suara mendadak terdengar dari belakang.
Sudah jam enam!
Bai Chuan menatap ke luar mobil dan mendapati kalau dia tak sampai ke rumah tepat pada waktunya. Tiba-tiba dia jadi gelisah. Dia ingin pulang ke rumah dan bertemu dengan Xiaoya. Dia buru-buru mengulurkan tangan untuk membuka pintu, berusaha keluar dari mobil untuk berjalan pulang, tapi saat dia berusaha membukanya, dia mendapati kalau dia tak bisa membukanya. Kemudian dia mencobanya beberapa kali lagi tanpa hasil.
Kenapa dia tak bisa membukanyaa?
Kegugupannya serta merta berlipat tak terbatas, dan tindakannya membuka pintu jadi semakin dan semakin ganas. Pada akhirnya, Bai Chuan menghantam pintu dengan tubuhnya, berusaha membuka pintu itu.
“Tuan Muda Kedua, Tuan Muda Kedua, ada apa dengan Anda? Anda tak bisa keluar dari mobil sekarang.” Si supir baru kali ini ditugaskan untuk mengantar Bai Chuan pulang. Dia tak pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya. Dia ketakutan dan tak tahu harus bagaimana.
“Sudah jam enam. Aku mau pulang. Aku mau pulang. Sudah jam enam.” Bai Chuan terus mengulang kata-kata ‘jam enam’, ‘pulang’, seraya menabraki pintu dengan bahunya sendiri, membuat suara teredam.
“Tuan Muda Kedua, Tuan Muda Kedua, jangan tabrak pintunya.” Si supir ketakutan tapi dia tak bisa melakukan apa-apa selain berseru.
“Sudah jam enam. Aku mau pulang.” Bai Chuan terus mengulang kalimat ini dan tak bisa mendengar suara apa pun dari luar.
“Tuan Muda Kedua, Tuan Muda Kedua!” Kalau Tuan Muda Kedua menghantami pintunya seperti ini lagi, dia akan terluka. Si supir menggertakkan giginya, menatap pada kursi yang kosong, memindahkan mobil ke sisi jalan, kemudian menarik rem darurat, melepaskan sabuk pengamannya dan memanjat ke bangku belakang demi mencegah Bai Chuan melukai dirinya sendiri.
Si supir memegangi pinggang Bai Chuan erat-erat dari belakang dan menariknya kuat-kuat, namun ruang di dalam kompartemen itu kecil, dan dipadukan dengan tenaga Bai Chuan saat kumat, si supir tak mampu menahan Bai Chuan sama sekali, jadi dia hanya mampu meminimalkan benturannya. Di dalam tempat itu, si supir bahkan terkena pukulan dari siku Bai Chuan beberapa kali, dan menggertakkan giginya dengan kesakitan.
Saat si supir memikirkan tentang harus bagaimana, Bai Chuan, yang meronta mati-matian dalam pelukannya, tiba-tiba berhenti. Sang Tuan Muda Kedua berhenti memukuli pintu, perlahan meraih ke dalam kantongnya, dan mengeluarkan ponselnya yang menyala terang dari dalam kantong.
Apakah seseorang telah menelepon Tuan Muda Kedua? Akan tetapi, ringtone dari ponsel itu berdering dengan Didi yang aneh. Bahkan si supir juga tak bisa mendengarnya kalau dia tak memerhatikan, dan jelas takkan bisa mendengarnya bila bersamaan dengan kumatnya sang Tuan Muda Kedua.
“Hei, Xiao Chuan, apa kau sudah pulang kerja? Kapan kau akan sampai di rumah?” Saat telepon itu tersambung, suara Mu Xiaoya terdengar dari telepon.
“Sekarang jam 6:10, 6:10, 6:10.” Bai Chuan menatap waktu di ponselnya, dan dirinya pun mulai kembali memasuki kondisi panik.
“Hei, halo, Xiao Chuan, ada apa denganmu?” Mu Xiaoya mendengar Bai Chuan dan tahu kalau ada sesuatu yang tidak benar, kemudian bertanya dengan panik.
“Enam lewat sepuluh, enam lewat sepuluh, enam lewat sebelas….” Seiring dengan berlalunya waktu satu menit dan satu detik lagi, Bai Chuan jadi semakin dan semakin gelisah, yang mana membuatnya tak mampu fokus sehingga dia tak bisa menjawab pertanyaan Mu Xiaoya.
Saat si supir melihat Bai Chuan tak mampu berkomunikasi dengan normal, dia hanya bisa menekan tombol speaker di ponsel Bai Chuan dan berseru kepada orang di ujung lain teleponnya, “Hai, saya adalah supir yang ditugaskan untuk mengantar Tuan Muda Kedua pulang. Tuan Muda Kedua sepertinya ada masalah.”
“Apa, apa yang terjadi?”
“Barusan tadi, Tuan Muda Kedua terus-terusan berusaha keluar dari mobil dan menabraki pintu dengan tubuhnya. Akhirnya, saya berhasil menghentikannya. Sekarang….” Si supir menatap Bai Chuan dan berkata, “Dia tidak menabraki pintu dan terus mengatakan enam lewat sepuluh. Oh, dia juga bilang jam enam dan pulang.”
“Pak, siapa namamu?” Mu Xiaoya, yang telah menerka alasannya, menjadi tenang.
“Marga saya Ma.”
“Pak Ma, tolong tempelkan ponselnya ke telinga Xiao Chuan dan nyalakan volumenya hingga paling keras,” Mu Xiaoya memerintahkan.
Si supir menatapnya, meletakkannya di posisi, kemudian mendengar gadis di telepon berkata pada Bai Chuan dengan nada yang sangat halus, “Xiao Chuan, aku akan datang menjemputmu. Apa kau mau menungguku di dalam mobil?”
Setelah kalimat ini diulang lima kali berturut-turut, Bai Chuan perlahan-lahan kembali pada akal sehatnya: “Apa kau akan datang untuk menjemputku?”
“Ya, aku sudah di jalan. Apa kau mau menungguku di mobil sebentar?”
“Oke.”
“Kalau begitu berikan ponselmu kepada supir di sampingmu. Ada sesuatu yang harus kukatakan kepadanya.”
Bai Chuan menolehkan kepalanya dengan kebodoh-bodohan, menatap pada supir aneh di sampingnya, dan mengoperkan ponselnya. Pak Ma mengambil ponsel itu dan menempelkannya ke telinga: “Ini saya.”
“Pak Ma, harap kirimi saya koordinat GPS Anda pada ponsel Xiao Chuan. Sebelum saya sampai, awasi dia dengan seksama dan jangan biarkan dia keluar dari mobil ataupun menyakiti dirinya sendiri. Saya telah merepotkan Anda,” Mu Xiaoya meminta dengan tulus.
“Baik!” Pak Ma tak berani membiarkan Bai Chuan keluar dari mobil. Dia mengunci mobilnya dari dalam, kemudian duduk di samping Bai Chuan untuk menjaganya. Pada saat bersamaan, dia menelepon untuk memberitahu pada perusahaan kalau Tuan Muda Kedua, putra sang pemilik perusahaan, telah mengalami sesuatu, dan dia tak bisa menjelaskannya.
Begitu Lu Yang menerima telepon itu, wajah ketakutannya benar-benar pucat ketakutan, dan dia bergegas memasuki kantor Presdir: “Pak Presdir, Tuan Muda Kedua dapat masalah di perjalanan pulang.”
“Apa?!”
Sebenarnya, tempat di mana mobil Bai Chuan berlokasi sudah sangat dekat dengan vila Keluarga Bai, jadi Mu Xiaoya tiba di lokasi Bai Chuan lebih cepat daripada Bai Zheng, namun kemacetan lalu lintasnya lebih serius pada saat ini. Melihat kalau dirinya berada kurang dari satu kilometer jauhnya dari Bai Chuan dan karena mobilnya terhalang, dia pun dengan susah payah memutuskan untuk berjalan.
“Paman Li, aku akan lari ke sana duluan, dan Paman bisa menyetir mobilnya pelan-pelan.” Mu Xiaoya dengan gelisah mendorong pintu mobilnya dan berlari keluar tanpa menunggu respon dari Paman Li.
Mu Xiaoya berlari menerobos kemacetan, berlari beberapa langkah, dan merasa kalau kecepatannya tidak cukup tinggi. Mu Xiaoya pun melepaskan sepatu hak tingginya dan berlari dengan menentengnya. Setelah berlari sekitar sepulih menit, Mu Xiaoya akhirnya melihat mobil Bai Chuan.
Dia berlari menghampiri jendela kursi belakang dan melihat Bai Chuan di dalamnya.
Bai Chuan sedang duduk tegak di kursi belakang, memegangi ponsel di tangannya, dan Mu Xiaoya tidak yakin apa yang pria itu katakan.
Melihat kalau Bai Chuan tak apa-apa, Mu Xiaoya merasa lega. Dia mencondongkan tubuh, lalu mengetuk pelan jendela di samping Bai Chuan, lalu memanggil, “Xiao Chuan.”
Mendengar suara yang familier itu, Bai Chuan menolehkan kepalanya dan melihat Mu Xiaoya di luar jendela. Matanya serta merta berbinar dan dengan penuh semangat dia membuka pintu dan keluar.
Kali ini si supir tak menghentikannya. Dia membuka kunci pintu mobil dan membiarkan Bai Chuan membuka pintu dengan gerakan mulus.
“Xiaoya.” Bai Chuan bergegas keluar dari mobil dan menggenggam lengan Mu Xiaoya. Mu Xiaoya terdorong olehnya dan terhuyung. Tubuhnya mundur dua langkah dan sepatu hak tinggi di tangannya terjatuh.
“Aku ada di sini.” Mu Xiaoya tak peduli soal memungut sepatunya dan dengan seksama mengamati ekspresi Bai Chuan. Untung saja, kondisinya tak tampak terlalu serius.
“Xiaoya, Xiaoya, Xiaoya….” Bai Chuan terus berteriak, dan Mu Xiaoya membiarkannya berteriak. Dia berteriak dan Mu Xiaoya menjawab hingga Bai Chuan menjadi tenang.
“Saat jam enam, aku tak sampai di rumah.” Suara Bai Chuan sarat dengan kesedihan. Dia telah berjanji pada Xiaoya kalau dia akan pulang ke rumah pada pukul enam, tapi sekarang sudah jam enam lebih empat puluh enam menit dan dia masih belum di rumah.
Apakah hal ini benar-benar terjadi karena dirinya tidak tiba di rumah tepat waktu?
“Tidak apa-apa.” Mu Xiaoya berkata tenang dan lembut, “Bukankah aku ada di sini untuk membawamu pulang?”
“Aku terlambat, aku tak pulang ke rumah tepat waktu pada pukul enam.”
“Aku juga terlambat ah. Minggu lalu, aku terlambat gara-gara kemacetan lalu lintas dan kamu menungguku,” Mu Xiaoya berkata.
“Aku tak mau kamu menungguku. Saat kau menunggu, waktunya sangat lambat.” Bai Chuan tak suka perasaan bahwa waktu berjalan dengan sangat lambat.
Jadi, saat kau menungguku, apa kau selalu merasa bahwa waktunya lambat?
“… Aku tak menunggumu ah. Aku datang padamu.” Mu Xiaoya tiba-tiba ingin menangis.
Setelah berpikir sejenak, Bai Chuan berpikir kalau penjelasan Mu Xiaoya tampak sangat masuk akal.
Ya, Xiaoya tak menunggu, dan alih-alih gadis itu datang mencarinya. Kesadaran ini membuat Bai Chuan merasa agak gembira dan dia pun tak bisa menahan senyumannya.
“Sepatu.” Setelah tersenyum, Bai Chuan menyadari sepatu Mu Xiaoya di sebelah kakinya. Dia membungkuk, membantu Mu Xiaoya meluruskan hak yang bengkok, dan membantu memasangkannya pada kaki Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya mengangkat kakinya dan mengenakan sepatunya.
“Xiao Chuan, ayo pulang.” Mu Xiaoya menarik Bai Chuan lagi dan kembali ke mobil.
Arus lalu lintas masih tersangkut. Orang-orang terus mengklakson yang mana menyebabkan sakit kepala. Saat seorang pengemudi menggabungkan mobil mereka ke dalam kemacetan, hal itu menyebabkan lalu lintas jadi lebih lambat lagi. Namun Bai Chuan di bangku belakang tak lagi merasa tak sabar. Pak Ma melongok dari spion. Tuan Muda Kedua mereka sedang menggenggam tangan gadis itu dan mata mereka tampak cerah seakan mereka sedang dalam suasana hati yang menyenangkan.
Dia menyimpulkan bahwa ini adalah istri dari Tuan Muda Kedua yang dia dengar ceritanya dari Xiao Chen si penjaga keamanan yang diberi permen pernikahan di perusahaan hari ini.
Pada jarak lebih dari sepuluh meter dari mobil mereka, Bai Zheng berhenti dan menatap mobil Bai Chuan pergi hingga Lu Yang menyetir menghampiri (T/N: Bai Zheng ternyata juga turun dan lari seperti Xiaoya)
“Pak Presdir, bagaimana dengan Tuan Muda Kedua?” Lu Yang bertanya keheranan saat dia melihat Bai Zheng yang turun dari mobil untuk berlari demi mencari Tuan Muda Kedua tapi malah berdiri tertegun di sisi jalan.
“Pulang.” Bai Zheng terpikirkan tentang catatan di permen pernikahan itu dan kondisi Mu Xiaoya yang berlari bertelanjang kaki di tengah kemacetan lalu lintas barusan tadi. Tampaknya dia akhirnya merasa yakin kalau wanita ini tulus kepada adiknya.
“Kembali ke perusahaan.” Bai Zheng kembali ke dalam mobil.
“Ah?” Lu Yang terkejut. Orang yang mengidap brother complex ini, kapan pun Tuan Muda Kedua bermasalah, biasanya dia selalu pergi untuk menemui sang adik, namun sekarang bukan hanya dia tidak pergi menemui Tuan Muda Kedua, dia masih punya minat untuk kembali ke perusahaan?
————–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-34/