My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 35
- Home
- My Husband With Scholar Syndrome
- Chapter 35 - Tak Ada Hubungannya Dengan Kebajikan atau Tanggung Jawab
Segera setelah keduanya kembali ke vila, Paman Li, yang mengantarkan Mu Xiaoya kepada mereka, juga kembali. Begitu dia memasuki pintu, dia begegas mendekat untuk melihat kondisi Bai Chuan, hanya untuk mendapati kalau Bai Chuan sedang duduk tenang di ruang makan untuk makan malam.
“Tuan Muda Kedua, Anda baik-baik saja?” Paman Li bertanya cemas.
“Dia baik-baik saja.” Mu Xiaoya menganggukkan kepalanya perlahan.
“Bagaimana bisa hal itu terjadi dengan begitu tiba-tiba?” Setelah mendesah lega, Paman Li bertanya. Sebelumnya, Bai Chuan tak pernah mengalami masalah sebelum berangkat kerja ataupun ketika berada di dalam mobil.
“Aku telah membuat janji dengan Bai Chuan untuk bertemu pada pukul enam sore. Dia terjebak dalam kemacetan lalu lintas, dan merasa gelisah, jadi… semua ini salahku.” Mu Xiaoya menyalahkan dirinya sendiri.
“Bagaimana bisa saya menyalahkan Anda?” Paman Li tak menyangka kalau Bai Chuan bisa tiba-tiba jadi kesal karena telah gagal pulang ke rumah tepat waktu, namun masalah ini tak seharusnya menjadi kesalahan Nyonya Muda Kedua. Kesalahan ini…. Di mana salahnya?
Apakah kesalahannya adalah karena Tuan Muda Kedua telah jadi terlalu berkeras, tak tahu bagaimana cara untuk berubah, atau terlalu peduli dengan permintaan terakhir Nyonya Besar? Kalau kau harus menempatkan kesalahannya, satu-satunya kesalahan hanyalah karena kondisi Tuan Muda Kedua. Paman Li menatap Mu Xiaoya, yang menyalahkan dirinya sendiri, dan tiba-tiba merasa tidak enak hati. Tuan Muda Kedua dan istri Tuan Muda Kedua sama-sama muda dan baik, mereka adalah pasangan sempurna. Tapi bagaimana bisa Tuan Muda Kedua….
“Untung saja, tak ada masalah dengan Xiao Chuan, dia hanya gelisah. Paman Li, bisakah Paman menelepon Papa dan Mama dan memberitahu mereka sehingga mereka takkan mencemaskannya?” Mu Xiaoya meminta pada Paman Li seraya tersenyum. Dia tahu kalau Paman Li harus melapor pada yang lainnya tentang masalah Bai Chuan.
“Oke.” Saat Paman Li menelepon, sang tuan dan nyonya sudah ada dalam perjalanan pulang mereka. Setelah mendengarkan kata-kata Tuan Muda Pertama selama sesaat, mereka tak lagi mendengarkan hal lain yang dia katakan dan langsung berniat untuk pulang.
Setelah Bai Guoyu dan Li Rong kembali ke rumah, Bai Chuan telah pulih seperti biasanya, dengan suasana hati tenang dan rona wajah kemerahan. Hati mereka pun jadi tenang dan mereka kembali menenangkan Mu Xiaoya. Mereka tidak menegur, tapi malah mengucapkan beberapa nasihat kepadanya. Mereka mengingatkan dirinya bahwa autisme Bai Chuan telah menyebabkan pria itu menjadi keras kepala dan tidak fleksibel. Bai Chuan sangat terfokus pada waktu, jadi Mu Xiaoya harus berusaha untuk tidak spesifik soal waktu ketika dia ingin bertemu dengan Bai Chuan. Karena kejadian kali ini telah membuat mereka mustahil bertemu pada waktu yang telah dijanjikan, Bai Chuan akan jadi gelisah.
“Xiaoya, mama dan papa mengatakan ini kepadamu untuk mengingatkanmu dengan itikad baik, kami tak berusaha mengatakan kalau kau bersalah. Xiao Chuan memang seperti ini, jadi kau pasti kaget. Ini bukan salahmu. Kau jangan memasukkannya ke dalam hati.” Li Rong cemas kalau Mu Xiaoya akan memikirkannya secara berlebihan.
“Aku tahu. Aku sudah tidak bersama dengan Xiao Chuan dalam waktu lama dan tak tahu banyak kebiasaannya. Bagus kalau kalian menyebutkan hal ini kepadaku. Aku akan memerhatikannya mulai sekarang.” Mu Xiaoya mengerti maksud hati Li Rong. Sebelumnya dia tak terlalu memikirkannya, namun Bai Chuan telah menderita hari ini, jadi dia mau tak mau menyalahkan dirinya sendiri.
“Baguslah kalau kau mengerti.”
“Pa, Ma, aku akan naik untuk memeriksa Xiao Chuan.” Mu Xiaoya mencemaskan Bai Chuan dan kembali ke kamar tidur.
Setelah Mu Xiaoya pergi, Li Rong masih cemas. Dia menatap suaminya dan berkata cemas, “Menurutmu, apakah Xiaoya merasa kalau Xiao Chuan terlalu menyusahkan?”
Bai Guoyu menimbang-nimbang sejenak dan menjawab, “Xiaoya tak mengatakan apa-apa, jadi aku tak bisa membuat tebakan sembarangan.”
“Apa kau tak cemas? Kalau Xiaoya merasa Xiao Chuan menyusahkan dan ingin pergi….”
“Kita sudah berjanji pada orangtua Xiaoya. Kalau Xiaoya ingin pergi, kita takkan menghentikan dia,” Bai Guoyu mengingatkan Li Rong, meski dia sendiri tak ingin Mu Xiaoya pergi.
“Aku… takut pada kesedihan Xiao Chuan.” Kalau Mu Xiaoya benar-benar ingin pergi, Li Rong takkan menghentikan ataupun menghalangi, tapi begitu dia memikirkan tentang Bai Chuan, dia tak sanggup menahannya.
“Jangan pikirkan tentang itu, dan….” Bai Guoyu berkata, “Mari kita sesedikit mungkin membicarakan tentang Xiao Chuan dan Xiaoya.”
“Kau juga berpikir kalau aku hanya sengaja mengingatkan Xiaoya, apa kau pikir Xiaoya akan memikirkannya dengan terlalu berlebihan?” Li Rong merasa cemas.
“Tidak. Aku hanya berpikir bahwa saat Xiaoya menikah ke dalam keluarga kita, keluarga kita terlalu memikirkan tentang Xiao Chuan. Setelah lama waktu berlalu, akan ada kesalahpahaman. Kupikir sekarang juga sudah saatnya bagi mereka untuk pindah keluar. Dengan cara ini, beberapa kesalahpahaman bisa dihindari terlebih dahulu,” Bai Guoyu menyarankan.
“Bagaimana kalau Xiao Chuan kambuh lagi?” Li Rong merasa sedih.
“Apa kau bisa membuat Xiao Chuan tenang di dalam mobil itu dengan satu panggilan telepon?” Bai Guoyu bertanya kepada istrinya.
Tidak, Li Rong tahu kalau semua yang bisa mereka lakukan sebelumnya adalah mencegah Bai Chuan dari melukai dirinya sendiri hingga dirinya tenang.
Ketika Mu Xiaoya kembali ke kamar tidur, Bai Chuan sedang duduk di mejanya sambil menulis sesuatu.
“Xiao Chuan, sudah hampir waktunya untuk mandi dan istirahat.” Bai Chuan baru saja kembali ke kondisi dasar dari emosinya, dan Mu Xiaoya berpikir kalau pria itu harus istirahat lebih awal.
Setelah Bai Chuan menyelesaikan coretan terakhir, dengan patuh dia meninggalkan mejanya, mengambil piyama yang diserahkan Mu Xiaoya kepadanya, dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.
Saat suara air datang dari kamar mandi, Mu Xiaoya berjalan menuju meja dengan penasaran untuk melihat apa yang Bai Chuan tulis. Yang ditulisinya adalah buku catatan loose leaf. Bai Chuan tak menutup bukunya, jadi buku itu terpampang di atas meja. Di atas kertas putih, Bai Chuan menulis rapat-rapat dengan tulisan tangan yang indah: ‘Sudah jam enam, dan aku ingin pulang’.
Dengan sekali lihat ini, air mata yang telah ditahan oleh Mu Xiaoya selama ini, langsung berjatuhan. Tiba-tiba, dia bahkan tak bisa menahan dirinya sendiri dan menangis.
“Aku sudah mandi.”
Mu Xiaoya telah tertegun terlalu lama. Dia tak tahu kapan Bai Chuan sudah selesai mandi dan telah berdiri di sisi Mu Xiaoya.
“Oke, kalau begitu aku akan mandi juga.” Mu Xiaoya berbalik untuk pergi tapi tiba-tiba ditarik oleh Bai Chuan.
“Kamu nangis.” Bai Chuan mengernyit, dan bertanya dengan penyesalan, “Apa itu karena aku tak pulang tepat waktu hari ini?”
“Bukan.” Mu Xiaoya menyeka dan mengeringkan air matnaya seakan dia tak bisa menutupi fakta bahwa dirinya telah menangis dalam waktu lama.
“Kalau begitu kenapa kamu menangis?”
“Aku benar-benar nggak menangis.”
“Menangis.” Nada suara Bai Chuan tegas, matanya cerah dan memiliki ekspresi bahwa dia jelas-jelas telah melihatnya.
“….” Pada saat ini, Mu Xiaoya sangat ingin ditinggalkan sendirian selama sesaat, untuk memilah-milah emosi-emosi buruk dalam hatinya, namun Bai Chuan tak bisa mengerti hal itu ataupun memahami kata-katanya, dan alih-alih pria itu bersikeras dan bertanya kenapa dia menangis. Mu Xiaoya tak tahu bagaimana harus menjawab karena ada terlalu banyak emosi yang bertumpuk jadi satu di dalam dirinya dan dia tak bisa mengatakan kenapa persisnya dia menangis. Dia hanya merasa lelah dan sedih.
“Aku nggak mau bilang, oke?” Suara Mu Xiaoya mengandung permohonan.
Bai Chuan membeku, berjuang selama sesaat, dan tiba-tiba mencondongkan diri ke depan lalu memeluk Mu Xiaoya. Dengan lembut dia membujuk di telinga gadis itu, “Jangan nangis, peluk.”
“Huhu….” Emosi-emosi yang menumpuk dalam diri Mu Xiaoya meledak dari dasar hatinya. Dia ingin memilah-milahnya dengan cara mandi namun malah melepaskan semuanya begitu Bai Chuan membujuk dirinya seperti seorang anak, seakan sebuah bendungan telah terbuka.
“Aku cuma ingin menangis. Kenapa kau terus bertanya, terus bertanya?”
“Nggak tanya, nggak tanya.” Bai Chuan dengan kikuk menepuk-nepuk punggung Mu Xiaoya.
Setelah sesi pelampiasan ini, perasaan Mu Xiaoya jadi jauh lebih baik. Setelah mandi, dia dan Bai Chuan berbaring di ranjang lebih awal. Sebelum mereka tidur, Bai Chuan menatap Mu Xiaoya dan memiliki ekspresi seakan dia ingin mengatakan sesuatu dan tak bisa tidur.
“Kau ingin bilang apa?” Mu Xiaoya tak berdaya.
“Aku ingin bilang,” Bai Chuan langsung duduk penuh semangat dari balik selimut. “Aku takkan menanyakan hal-hal yang kamu tak ingin aku tanyakan, jadi kelak, apa kau bisa berhenti menangis?”
“… Nggak!” Mu Xiaoya berpikir dan jadi ingin menangis lagi, “Kalau aku ingin nangis, aku akan nangis. Kenapa aku tak boleh nangis?”
“Kalau… kalau begitu kau bisa melakukan apa pun yang kau suka.” Bai Chuan kembali berbaring dengan polosnya. Nenek memang benar, pemikiran kaum wanita memang benar-benar rumit.
Keesokan paginya.
Di meja sarapan, kondisi mental Mu Xiaoya jelas-jelas tak terlalu baik. Anggota Keluarga Bai lainnya melihat dirinya dan tahu apa yang sedang terjadi. Mereka tak bicara secara terbuka. Selama sesaat, suasana di meja itu terasa agak menekan.
Setelah sarapan, Mu Xiaoya mengantar Bai Chuan ke pintu. Hari ini Bai Zheng juga pergi ke perusahaan, jadi Bai Chuan naik mobil bersama dengan Bai Zheng untuk pergi langsung ke perusahaan tanpa harus menunggu supir menjemput dirinya.
“Hari ini aku akan pulang jam enam.” Sebelum memasuki mobil, Bai Chuan memastikan lagi pada Mu Xiaoya dengan sangat serius.
Saat Mu Xiaoya mendengar hal ini, senyum di wajahnya langsung membeku. Lagi? Apakah perlu untuk kembali setiap harinya pada jam itu kelak?
“Aku akan mengaturkan supir membawa Xiao Chuan pulang pada pukul enam.” Bai Zheng tiba-tiba menatap Mu Xiaoya, yang telah membeku, dan berkata demikian.
Mu Xiaoya menatap Bai Zheng, dan memahami maksud pihak lainnya, tersenyum, lalu berterima kasih kepadanya.
“… Ayo pergi.” Bai Zheng tak mengatakan apa-apa lagi,membuka pintu untuk pergi.
Ekspresi Mu Xiaoya jadi tampak sangat familier sekarang. Bisa dikatakan bahwa sesekali, wajah Bai Zheng dan orangtuanya akan tampak seperti itu. Itulah perasaan bertanggungjawab, tertekan, lelah, dan sakit hati. Itulah perasaan yang kau dapat saat kau benar-benar menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mengurus Bai Chuan dan, hanya mereka yang benar-benar peduli tentang Bai Chuan, yang akan memiliki ekspresi ini. Dia berharap Mu Xiaoya bisa menemukan cara untuk meredakan tekanan itu dan dia juga menghargai Mu Xiaoya, yang sedang bersusah payah berdamai dengan dirinya sendiri.
“Tunggu sebentar.” Pada saat ini, Mu Xiaoya tiba-tiba memanggil Bai Zheng.
Gerakan Bai Zheng untuk masuk ke dalam mobil terhenti, dan dia kembali menoleh.
“Itu, supir yang mengantar Xiao Chuan pulang kemarin, Pak Ma. Tampaknya tanpa sengaja dia telah dilukai oleh Xiao Chuan kemarin karena dia ingin menghentikan Xiao Chuan dari menabrak pintu mobil.” Mu Xiaoya telah menemukan luka pada wajah supir itu, tapi pada saat itu dia hanya memerhatikan Bai Chuan, jadi dia tak sempat bertanya.
“… Aku mengerti.” Bai Zheng terdiam sejenak, kemudian mengangguk untuk menunjukkan kalau dia tahu apa yang harus dilakukan. Kemarin, berkat kecerdasan si supir, dia telah mengunci pintunya. Kalau dia tak melakukannya, Bai Chuan mungkin akan telah berlari keluar dari mobil dan konsekuensinya akan tak terbayangkan.
Jalan Haiyuan.
Fang Hui berkendara ke tempat kerja dalam sikap penuh semangat. Sebelum mobilnya memasuki tempat parkir, dia melihat Audi Mu Xiaoya dari kejauhan. Dia bertanya-tanya kenapa Mu Xiaoya tiba lebih awal daripada dirinya pagi ini namun kemudian mendapati kalau Mu Xiaoya masih terbengong-bengong di kursi pengemudi dan mobilnya masih menyala.
Gadis ini ngapain sih?
“Apa yang kau lakukan?” Fang Hui mematikan mobilnya dan tak bisa menahan diri untuk menghampiri lalu mengetuk jendela.
“Fang Hui?” Mu Xiaoya kembali pada akal sehatnya dan balas menatap.
“Sial, sepasang mata panda yang besar. Apa kau terlalu banyak bersenang-senang semalaman atau kau mencemaskan tentang volume penjualan sepatu kita sepanjang malam?” Fang Hui tak bisa menahan diri untuk berkelakar.
“Karena Xiao Chuan,” Mu Xiaoya menjawab lelah.
“Karena….” Wajah Fang Hui serta merta berubah. Menatap mata Mu Xiaoya, tiba-tiba dia melihat lampu ‘kuning’ (T/N: kata kuning di Tiongkok sering diasosiasikan dengan seks). “Ternyata bersenang-senang dengan terlalu berlebihan ah. Kau akhirnya telah menjadi istri yang sesungguhnya….”
“Fang Hui, aku akan keluar. Ada sesuatu yang harus kulakukan dan aku akan kembali di siang hari.” Mu Xiaoya mengabaikan Fang Hui, seakan dia tiba-tiba telah membuat keputusan. Dia pun memundurkan mobilnya dan pergi.
“….” Fang Hui, yang ditinggalkan dan bermandikan sejumlah besar rasa lelah berkata, “Ada masalah apa ah?”
Setelah meninggalkan studio, Mu Xiaoya pergi langsung menuju Universitas Yuncheng. Dia memutuskan untuk bicara pada Profesor Feng.
Karena ini mendadak, Mu Xiaoya hanya bisa menjajal keberuntungannya dan pergi ke kantor Profesor Feng. Dia kemudian diberitahu kalau Profesor Feng ada kelas di pagi hari, jadi dia pun pergi ke ruang kelas besar di mana Profesor Feng mengajar dan mendengarkan dengan tenang di dalam ruang kelas yang besar itu. Dia tak berdiri dari kursinya hingga semua murid yang maju ke podium untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada Profesor Feng telah pergi. Dia lalu meninggalkan kursinya dan tersenyum pada Profesor Feng.
“Ada masalah dengan Xiao Chuan?” Pada jalan bergaris tiga di Universitas Yuncheng, keduanya berjalan seraya membicarakan tentang Bai Chuan.
“Apa Anda melihatnya?”
“Bahkan bila kau tak melihatnya, kalau mempertimbangkan waktunya, bukankah sudah hampir tiba waktu bagimu untuk kembali dan menemuiku?” Profesor Feng berkata.
“Apa maksud Anda?” Mu Xiaoya kebingungan.
“Tidak mudah untuk bergaul dengan orang yagn memiliki autisme. Meski Xiao Chuan telah menyesuaikan diri dengan sangat baik, masih ada banyak perbedaan yang dia miliki bila dibandingkan dengan orang biasa. Pasangan normal akan memiliki masalah antara satu sama lain seiring dengan berjalannya waktu, apalagi kamu dan Xiao Chuan.” Profesor Feng berkata, “Kau datang lebih lambat daripada yang kuperkirakan.”
Mu Xiaoya tersenyum pahit.
“Tapi kamu masih datang kepadaku, aku sangat senang.” Menghadapi sorot mata kaget Mu Xiaoya, Profesor Feng terseyum, “Ini membuktikan bahwa kau tak berniat menyerah atas Xiao Chuan. Kau datang menemuiku, kau ingin Xiao Chuan berubah jadi lebih baik, kan?”
“En.” Inilah yang Mu Xiaoya pikirkan.
“Ayo kita pergi ke kantorku untuk minum secangkir teh dan lihat apa yang bisa kulakukan untukmu.” Profesor Feng tersenyum menenangkan dan mengajak Mu Xiaoya ke kantornya.
Di dalam kantor, Mu Xiaoya menceritakan kepada Profesor Feng tentang situasinya secara mendetil tentang Bai Chuan sebelum dan sesudah krisis pribadinya. Profesor Feng mendengarkan dengan seksama sebelum dia berkata:
“Biasanya, orang-orang dengan autisme memiliki lintasan yang dikembangkannya sendiri dan begitu hal itu diganggu, atau mereka pikir mereka telah gagal dalam tugas mereka atau bahwa mereka tak bisa menyelesaikannya dalam kerangka waktu mereka sendiri, akan sulit bagi mereka untuk jadi tenang dalam waktu yang singkat.”
“Aku tahu itulah sebabnya kenapa Xiao Chuan merasa kesal kemarin.” Mu Xiaoya menekankan.
“Tidak, kau salah paham dengan maksudku,” Profesor Feng tersenyum. “Kemarin, Xiao Chuan tidak pulang ke rumah tepat waktu, tapi kau telah menenangkan dirinya.”
“Apa ada yang salah dengan itu?” Mu Xiaoya bertanya.
“Tidak, itu sangat bagus, sangat bagus.” Profesor Feng mengatakannya dua kali berturut-turut, dan suaranya jadi agak bersemangat. “Aku tak tahu bahwa keberagamanan kemampuan adalah fitur umum bagi pasien-pasien autis, tapi kau telah membuat Xiao Chuan belajar menyesuaikan diri kemarin.”
“Menyesuaikan diri?” Mu Xiaoya membeku.
“Ya.” Profesor Feng berkata, “Kami selalu berpikir kalau autisme itu seperti penutup kaca, yang memisahkan para pasien autistik dari orang normal. Tapi begitu kita berhasil memecahkan penutup kaca ini dan mereka bisa berkomunikasi dengan lancar, tak ada banyak perbedaan antara pasien autis dengan orang biasa. Secara teori, yang bisa dilakukan oleh orang normal, mereka juga bisa melakukannya.”
“Caramu menangani situasinya adalah sebuah situasi yang sangat sukses. Saat Xiao Chuan tak bisa pulang ke rumah tepat waktu, kau menawarkan untuk mengambil inisiatif menemui dirinya, dia memahami dan menerima, kemudian dia jadi tenang. Meski, ini adalah berkat kemampuan komunikasimu yang baik dan penerimaan tinggi Xiao Chuan atas apa yang kau komunikasikan. Pada saat itu, kau membiarkan Xiao Chuan menyadari bahwa ada kemungkinan lain untuk menyelesaikan satu masalahnya. Ini hampir sama dengan akal sehat bagi orang biasa, dan amat sulit bagi pasien-pasien autis, khususnya mereka dengan masalah pemrosesan emosional. Kalau kau bisa membuat Xiao Chuan menyadari hal ini secara mandiri, perlahan dia akan belajar cara untuk menyesuaikan diri.”
“Kesadaran diri? Bagaimana aku bisa melakukannya?” Mu Xiaoya mengernyit.
“Jangan cemas. Jangan terlalu tertekan. Bukankah aku baru saja bilang kalau hal ini membutuhkan komunikasi yang baik?” Profesor Feng menenangkan dengan seulas senyum, “Jadi, kau telah melakukan hal yang bagus sekarang, selama kau tetap bersamanya seperti ini, secara alami dia akan mengembangkannya perlahan-lahan.”
“Aku mengerti. Aku akan melakukannya,” Mu Xiaoya berjanji.
“Setelah bicara tentang Xiao Chuan, mari bicara tentang dirimu,” Profesor Feng tiba-tiba berkata.
“Aku?” Mu Xiaoya membeku.
“Sebenarnya, anggota keluarga dari orang-orang autis memerlukan konseling psikologis lebih banyak daripada orang-orang autis dalam situasi-situasi ini,” Profesor Feng berkata penuh makna, “sebenarnya, orang-orang autis bisa hidup dalam dunia merek sendiri; mereka mungkin saja tak merasa tertekan. Tapi tekanan itu masih ada dalam diri anggota keluarga mereka. Di dalam rumah ahli (mungkin semacam SLB?), lebih dari separuh orangtua menyerah atas perawatan rehabilitasi anak-anak mereka setiap tahunnya. Dan kadang-kadang, beberapa orangtua meninggalkan anak-anak mereka yang autis di pintu fasilitas rumah ahli.”
“Aku tak mau menyerah,” Mu Xiaoya buru-buru menjelaskan.
“Jangan gelisah dulu. Aku hanya ingin memberitahumu, kalau kau merasa lelah, merasa sedih, bahkan bila kau pernah merasa ingin menyerah, itu normal. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, jangan memberi dirimu sendiri terlalu banyak tekanan. Saat kau ingin bicara, kau bisa datang ke tempatku kapan saja,” Profesor Feng berkata.
Mu Xiaoya mengerti makna di balik kata-kata Profesor Feng. Profesor Feng takut kalau dirinya akan terjebak dalam lingkaran besar bahwa dia tak bisa menyerah atas Bai Chuan dan merasa bertanggungjawab untuk pria itu. Dia terbawa dalam kebajikan diri semacam ini dan akhirnya dihancurkan oleh tekanan semacam ini. Profesor Feng bisa melihat kalau Mu Xiaoya tidak berada dalam kondisi pikiran yang baik hari ini dan memberinya konseling demi meringankan tekanan itu.
Akan tetapi, dari mana dia akan tercuri oleh kebajikan? Dia bahkan tak pernah berpikir kalau dirinya memiliki sentimen mulia. Kalau begitu, dia akan telah menerima lamaran Bai Chuan dalam kehidupannya yang lalu.
Yang dia lakukan sekarang, adalah karena dia ingin melakukannya.
Ini tak ada hubungannya dengan kebajikan ataupun tanggung jawab.
Dia telah mengalami dunia tanpa Bai Chuan dan tak mendambakannya lagi. Sebaliknya, dia lebih menyukai masa ini.
“Terima kasih, Profesor Feng. Saya mengerti apa yang Anda maksudkan. Saya takkan terjebak di dalamnya,” Mu Xiaoya menjawab.
Entah itu adalah kesukacitaan ataupun kesedihan, ini adalah masa depan yang dia bersedia lalui bersama Bai Chuan. Hidupnya terlalu pendek, bagaimana bisa dia melepaskannya dengan mudah?
———–
Catatan Pengarang
Teater Kecil:
Saat Bai Chuan masih kecil, dia tidak bagus dalam berkomunikasi dan kadang-kadang membuat neneknya menangis.
Xiaoya kecil pada suatu hari melihat Nenek Bai menangis dan tak bisa menahan diri untuk berlari menghampiri dengan cemas.
Xiaoya kecil: “Nenek, kenapa Nenek menangis?”
Nenek Bai: “Aku tak apa-apa, nenek hanya agak lelah.”
Xiaoya kecil: “Apa Nenek marah dengan Kakak Bai Chuan?”
Nenek Bai: “Ya, aku sangat marah hingga rasanya ingin membuang dia.”
Xiaoya kecil: “Nenek, itu takkan berhasil. Ibuku bilang anak-anak bisa diajari saat mereka salah, tapi mereka tak bisa dibuang.”
Nenek Bai: “Kakak Bai Chuan-mu terlalu sulit untuk diajari.”
Xiaoya kecil: “Biar kubantu Nenek bicara kepadanya.”
Maka Xiaoya kecil pun berlari ke ruang belajar dan bicara pada Bai Chuan sepanjang siang. Dia tak membiarkan Bai Chuan membalikkan halaman buku.
Bai Chuan remaja yang dibuat tak bisa membaca bukunya dan yang diomeli sesiangan jarang-jarang merasa depresi.
Jadi, Nenek Bai secara ajaib tersembuhkan.
———–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-35/