My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 36
Sudah tiba waktunya untuk makan siang saat Mu Xiaoya keluar dari Universitas Yuncheng, karenanya dia pun mencari restoran di dekat situ untuk makan siang. Sembari menunggu makanan disajikan, dia tiba-tiba teringat Bai Chuan.
Dirinya tak berada dalam kondisi terbaik saat mengantar Bai Chuan pergi kerja di pagi hari, dia juga tak tahu apakah Bai Chuan menyadarinya atau tidak. Meski Bai Chuan tak terlalu sensitif dengan emosi orang lain, namun Mu Xiaoya selalu merasa kalau Bai Chuan mampu menangkap emosi-emosinya.
Saat makanannya disajikan, Mu Xiaoya mengambil foto makanannya dan mengirimkannya pada Bai Chuan.
Tak lama setelahnya, Bai Chuan sudah merespon pesannya: ‘Masih ada sepuluh menit sebelum jam 12:31’.
“….” Sungguh tidak fleksibel ah. Mu Xiaoya tersenyum tanpa daya, namun kemudian dia memikirkan tentang hal itu dan merasa kalau waktu makan yang telah dia tetapkan untuk Bai Chuan tak bisa diubah lagi. Bagaimanapun juga, makan tepat waktu memang adalah kebiasaan yang baik.
Tapi… responnya sangat cepat, jadi dia seharusnya tak terpengaruh oleh masalah ini, kan? Setelah membuat tebakan, Mu Xiaoya perlahan jadi tenang dan berkonsentrasi pada menyantap makanan di hadapannya.
Sepuluh menit kemudian, Mu Xiaoya baru saja menghabiskan makan siangnya dan ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dia membukanya dan mendapati bahwa itu adalah gambar makan siang dari Bai Chuan, empat jenis masakan dan satu sup, yang mana tampak bergizi dan sehat.
Mu Xiaoya tersenyum dan membalas pesan itu dengan empat kata: ‘Kamu harus menghabiskannya loh~’
Lima belas menit kemudian, Mu Xiaoya menerima balasan dari Bai Chuan; foto sebuah piring yang bersih, mengindikasikan bahwa Bai Chuan telah menghabiskan makanannya.
Foto ini membuat suasana hati Mu Xiaoya kembali membaik, jadi dia pun lanjut pergi menuju studio.
Kembali ke studio, Mu Xiaoya melihat Fang Hui sedang duduk di depan jendela kaca sambil minum secangkir kopi begitu dia memasuki pintu. Dia tersenyum dan menghampiri untuk duduk, “Bawakan aku secangkir kopi juga.”
“Menghilang dari tempat kerja tanpa alasan yang bagus, begitu datang masih berani menyuruh-nyuruh pemegang saham utama, nyalimu tidak kecil ah.” Fang Hui meliriknya tanpa bergerak seinci pun.
“Tapi aku sudah minta izin pergi secara langsung oh….”
“Xiao Xin, buatkan secangkir kopi,” Fang Hui berseru ke samping.
“Baik.” Ying Xin adalah pegawai studio yang baru direkrut. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dan dia telah melihat Mu Xiaoya begitu gadis itu melewati pintu, jadi dia telah mempersiapkan kopi sebelum Fang Hui menyuruhnya.
“Secangkir kopimu.” Sesaat kemudian, Ying Xin menyajikan kopi untuknya.
“Terima kasih, kamu adalah….” Mu Xiaoya ingat kalau pemuda itu telah datang untuk wawancara kemarin, tapi dia tak bisa mengingat namanya.
“Namaku Ying Xin, kau bisa memanggilku Xiao Xin. Aku datang untuk wawancara kemarin,” pemuda itu memperkenalkan dirinya sendiri.
“Halo, aku Mu Xiaoya.” Mu Xiaoya tersenyum dan berkata, “Terima kasih untuk kopinya.”
“Sama-sama.”
“Xiao Xin, pergilah panggilkan Leng Yi kemari,” Fang Hui memerintahkan.
“Oke.”
Sesaat kemudian, Ying Xin membawa bersamanya seorang gadis muda yang mengenakan pita imut di puncak kepalanya.
“Mereka adalah pegawai rekrutan baru kita, Ying Xin dan Leng Yi.” Fang Hui juga menudingkan jarinya ke arah Mu Xiaoya dan memperkenalkan dirinya, “Ini adalah bos kalian yang lain, calon desainer besar, Mu Xiaoya.”
“Halo, Bos.” Keduanya menyalami serempak.
“Jangan panggil aku bos ah, usia kita hampir sama, kalian panggil saja aku Mumu.” Dia dan Fang Hui baru saja lulus kuliah tahun ini, jadi usia mereka tak berbeda terlalu jauh dengan Ying Xin dan Leng Yi.
“Aku sudah beritahu sebelumnya pada kalian, studio kita ini tidak besar dan hanya ada kita berempat di sini, semuanya berusia hampir sama, jadi jangan terlalu hati-hati saat kita bergaul. Akan lebih akrab untuk memanggil satu sama lain secara santai, jadi tak apa-apa selama kita melakukan pekerjaan dengan serius,” Fang Hui berkata.
“Tentu,” keduanya menjawab dengan sikap lebih santai.
Beberapa dari mereka adalah pendatang baru di masyarakat, jadi mereka mengakrabkan diri di siang hari dan segera jadi saling mengenal. Leng Yi mengambil jurusan dalam desain grafis, setelah lulus dari sekolah politeknik, dia memiliki pengalaman satu tahun dalam membuka toko online, jadi dia tak merasakan tekanan bila harus mengurus toko online di studio. Setelah bekerja selama satu hari, toko online Studio H&Y akhirnya tampak bisa dipamerkan, dan bahkan di siang hari, masih ada satu orang yang menanyakan harganya.
“Fang Hui, barusan tadi kita punya seorang pelanggan yang menanyakan secara online.” Mu Xiaoya langsung memberitahukan kabar baik ini pada Fang Hui.
“Apa yang aneh tentang itu? Aku sudah menjual belasan pasang,” Fang Hui berkata dengan tidak setuju.
“Apa? Kapan itu terjadi? Kenapa aku tak tahu tentang itu?”
“Aku ingin memberitahumu hal ini pagi ini, tapi kau mengabaikanku sepanjang waktu ah,” Fang Hui membentangkan tangannya.
“Cepat, cepat, ceritakan padaku tentang hal itu.” Mu Xiaoya menarik Fang Hui ke samping dengan penuh semangat.
“Pamanku meneleponku pagi ini dan bilang kalau pasar sepatu kita berjalan dengan baik.” Fang Hui tersenyum, “Meski kita baru buka selama satu hari, tapi 50% outletnya telah membuka pesanan, yang satu menjual sepasang, lainnya menjual dua pasang. Dan dalam 80% toko, sepatu yang telah ditanyakan dan dicoba juga ada dalam kondisi yang baik. Pamanku juga bilang, berdasarkan pada pengalamannya menjual sepatu selama bertahun-tahun, sepatu kita… memiliki kesempatan untuk habis terjual.”
“Kalau begitu kita bisa mendapatkan biaya sewa untuk enam bulan berikutnya?” Mu Xiaoya sangat kegirangan.
“Tentu saja ah. Akhirnya, kita tak harus mencemaskan tentang tak punya uang untuk membayar sewa.”
Leng Yi dan Ying Xin saling bersitatap tanpa suara: Perusahaan kita kelihatannya agak miskin, akankah gaji kita dibayar bulan depan?
Di Grup Yifeng.
Di ruangan luar Departemen R&D yang luas, seorang kurir yang membawa sebuah buket bunga mawar besar tiba-tiba muncul di kantor.
“Permisi, yang mana adalah A’Tong Mu?” Si kurir berseru di pintu. (T/N: A’Tong Mu = Atom; nama dari Astro Boy)
“Aku, aku.” A’Tong Mu buru-buru menarik lepas headphone-nya, berdiri, dan berlari menghampiri.
“Halo, buket mawar Anda, silakan tanda tangan di sini.”
“Terima kasih.” Setelah A’Tong Mu menandatangani kertasnya, dia memegangi buket itu melintasi kantor.
Para programmer tertindas lainnya: Kampret! Pekerjaannya sangat sibuk, tapi orang ini malah punya waktu untuk memedulikan pacarnya?!
Setelah menerima pandangan iri, cemburu dan dengki dari semua programmer jomblo di dalam ruangan itu, A’Tong Mu dengan hati-hati meletakkan buketnya di atas kursi di sampingnya.
Pang Zi yang duduk di depan A’Tong Mu berbalik dan bertanya, “Hei kau, kau akan putus dengan pacarmu?”
“Enyah, dasar kau paruh gagak (T/N: orang yang kalau bicara akan membawa sial), tak bisakah kau mengatakan hal yang lebih baik?” A’Tong Mu memelototi Pang Zi.
“Hei kau, hanya ada dua situasi kapan bunga akan dikirimkan. Yang pertama adalah hari Valentine, yang lainnya adalah saat menyinggung pacarmu.” Pang Zi tertawa, “Bila melihatmu yang mengirimkan bunga tiap beberapa waktu sekali, kuperkirakan takkan lama sebelum kalian berpisah ah.”
“Enyah kau!”
“Saudara ini tidak sedang menyumpahimu, tapi karena trik lama tidaklah baru, kau harus mencari akar yang penyebab masalahnya ah.” Sebagai orang yang telah melalui hal yang sama, Pang Zi jelas tahu bahwa wanita terkadang tak bisa dengan mudah dibujuk. Kalau tidak, bagaimana bisa dirinya diputuskan setiap kalinya?
“Kemarin adalah ulang tahun istriku (T/N: sebenarnya calon) dan aku melupakannya gara-gara pekerjaan. Dia sangat marah dan menangis tentang hal itu.”
“Kalau begitu kau harus membujuk dia dengan benar ah.” Nada suara Pang Zi kedengaran agak serius.
“Persis. Aku akan pulang kerja tepat waktu hari ini. Aku takkan kerja lembur tak peduli apa pun yang dikatakan oleh siapa pun,” A’Tong Mu berkata penuh tekad.
“Jangan khawatir, selama servernya nggak kolaps, kami teman-temanmu ini takkan memanggilmu kembali,” Pang Zi menjamin.
Istri menangis marah?
Bai Chuan yang biasanya mengabaikan suara-suara di luar, tiba-tiba mendengar beberapa kata kunci. Dia melirik pada kantor di luar, berdiri, mendorong pintu, dan keluar, langsung berjalan menuju kedua orang yang baru saja mengobrol itu.
“Tu-Tuan Muda Kedua?” Kedua orang itu terperanjat saat mereka melihat Bai Chuan yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Meski lokasi mereka sangat dekat dengan kantor Bai Chuan dengan hanya sebuah pintu kaca yang memisahkan mereka, namun Bai Chuan selalu sepenuhnya terhalang dari hal-hal yang tak membuatnya tertarik. Berdasarkan pada pengalaman selama tiga tahun, bahkan bila mereka berkaraoke, Bai Chuan bahkan takkan mengangkat kepalanya dan melihat, jadi kenapa dia tiba-tiba keluar hari ini?
“Istri menangis?” Bai Chuan bertanya.
“Ah, be-benar ah.” A’Tong Mu kebingungan, bagaimana bisa Tuan Muda Kedua tiba-tiba peduli tentang istriku?
“Istri menangis, harus bagaimana?” Bai Chuan bertanya, wajahnya sarat dengan keingintahuan.
“….” Keduanya saling bersitatap, dan tiba-tiba merasa ‘saat keberuntungan datang, pikiran bekerja dengan benar’. Akhirnya, A’Tong Mu bertanya dengan hati-hati, “Tuan Muda Kedua, apakah Anda juga membuat istri Anda menangis?”
“En.” Bai Chuan mengangguk.
Kabar yang sungguh besar ah. Tiba-tiba, suara ketikan di keyboard berhenti, dan semua pendengar tanpa suara menaikkan telinga mereka tinggi-tinggi (T/N: Tidak harafiah karena telinga manusia jelas tak bisa digerakkan. Maksudnya seperti hewan yang mengangkat telinga agar bisa mendengar lebih jelas.)
“Menangis, apa yang harus kulakukan?” Melihat kalau A’Tong Mu tak menjawab, Bai Chuan lanjut bertanya.
“Uh… menangis, menangis, harus… mengirimkan bunga untuk membujuk,” A’Tong Mu menjawab.
“Bunga?”
“Benar, bunga.” Dengan mengatakan hal itu, A’Tong Mu juga menunjukkan mawar yang baru saja dibelinya secara online yang rencananya akan dia berikan kepada pacarnya setelah pulang kerja.
Bai Chuan menatap buket di tangan A’Tong Mu, kemudian mengulurkan tangannya… dan mengambilnya.
“….” Operasi macam apa ini? Bai Chuan kembali ke kantornya dengan cepat sebelum A’Tong Mu akhirnya bisa bereaksi, “Tuan Muda Kedua, itu bunga…. Uh… mmm….!”
Kedua kolega yang duduk di depan dan belakang A’Tong Mu, yang satu merespon tangkas dengan memegangi dirinya, sementara yang lain membekap mulutnya. Mereka menindih A’Tong Mu untuk memastikan Bai Chuan sudah kembali ke kantor sebelum melepaskan tangannya.
“Apa yang kalian berdua lakukan? Itu bungaku,” A’Tong Mu berkata marah.
“Apa kau tak punya hati nurani?” ujar kolega di depan.
“Tak bisakah kau bersimpati?” kata kolega di belakang.
“Bagaimana bisa aku tak punya hati nurani dan tidak bersimpati?” A’Tong Mu terengah nelangsa.
“Memangnya berapa harga seikat bunga? Kau masih ingin mendapatkannya kembali dari Tuan Muda Kedua?”
“Tapi… itu bunga yang ingin kuberikan kepada pacarku ah,” A’Tong Mu menjelaskan.
“Sebagai orang normal, tak bisakah kau membelinya saja lagi?”
“Tuan Muda Kedua punya autisme, tapi kau masih ingin dia pergi membelinya sendiri? Sia-sia kau sudah memakan permen pernikahannya kemarin ah.” Keduanya bicara berturut-turut sementara para kolega lainnya mengangguk setuju.
“Aku… kalau begitu aku akan membelinya lagi saja.” A’Tong Mu merasa telah disalahi. Bunga miliknya jelas-jelas telah dirampas tapi masih saja dicela oleh yang lain ah.
Dengan kesal, A’Tong Mu berbalik dan memesan seikat bunga secara online. Humph! Aku memesan yang lebih baik dan lebih mahal kali ini.
Karena situasi yang terjadi kemarin, Bai Zheng memberitahu asistennya agar mengaturkan supir untuk mengirim Bai Chuan pulang ke rumah pada pukul 5 sore, demi memastikan bahwa dirinya takkan terhambat oleh jam macet. Karenanya, ketika Mu Xiaoya pulang dari studionya, Bai Chuan sudah menunggu di depan pintu kediaman sambil memegang sebuah buket bunga mawar yang indah di tangannya. Di sampingnya ada Paman Li yang sedang menangis karena terlalu bersemangat, telah menggosok ponselnya, siap untuk mengambil banyak gambar.
Siapa yang memberi ide mengajari Bai Chuan cara memberikan bunga?
Mu Xiaoya menaikkan alisnya dengan kaget, kemudian membuka pintu dan turun dari mobil.
“Bunga, untukmu.” Mu Xiaoya baru saja turun dari mobil dan Bai Chuan telah menghantarkan bunga itu di depan wajah Mu Xiaoya.
“Kenapa kau memberiku bunga?” Mu Xiaoya bertanya dengan sengaja.
“Membujukmu.”
Aiya, Tuan Muda Kedua, bagaimana bisa hal semacam itu dikatakan secara sengaja ah. Paman Li tiba-tiba merasa kalau dirinya telah membuat kesalahan. Dia merasa bersemangat karena Tuan Muda Kedua ternyata tahu bagaimana membeli bunga, tapi lupa kalau Tuan Muda Kedua takkan tahu bagaimana cara mengucapkan kata-kata romantis ah.
Mu Xiaoya tertawa dan menikmati situasi itu, “Terima kasih, aku benar-benar menyukainya.”
Aiya, untung saja, Nyonya Muda Kedua tak peduli dengan itu. Ditambah dengan merasa senang, Paman Li tidak lupa untuk merekam adegan ini dengan teleponnya, dan segera mengisi album yang dia dedikasikan untuk Tuan Muda Kedua dengan banyak sekali gambar-gambar baru.
Bai Chuan melihat Mu Xiaoya tersenyum, dan dia segera tak lagi merasakan perasaan aneh yang dia rasakan pagi ini. Dia tersenyum: Seperti yang diperkirakan, bunga memang berguna, membujuknya sukses ah.
Mu Xiaoya tak bisa menahan diri untuk menundukkan kepalanya dan menghidu keharuman bunganya, namun malah dibuat kaget saat menemukan kartu ucapan yang tersembunyi di dalam kelopak-kelopak mawarnya. Dia membukanya dengan penasaran, menatapnya, kemudian melirik Bai Chuan dengan penuh makna, “Untuk yang tercinta… Miao Miao Jiang (T/N: Saus meong)?”
Bai Chuan tak memahami makna dari kata-kata Mu Xiaoya, karenanya dia masih menatap Mu Xiaoya sambil tersenyum-senyum. Paman Li yang berdiri di samping langsung mengedutkan matanya setelah Mu Xiaoya membaca isi kartunya: Apa artinya ini? Apakah Tuan Muda Kedua menyukai orang lain? Nggak mungkin lah.
“Nyonya Muda Kedua, pihak toko bunganya pasti telah salah memasangkan kartunya.” Paman Li tahu kalau Tuan Muda Kedua keluarganya tak mampu menjelaskannya, jadi dia buru-buru membantu.
Mu Xiaoya mengabaikan Paman Li dan menatap Bai Chuan, “Siapa itu Miao Miao Jiang?”
“Nggak tahu,” Bai Chuan menggelengkan kepalanya.
“Untuk siapa bunga ini?”
“Bunganya untukmu.”
“Dari mana bunganya berasal?”
“Aku dapat dari kantor.”
“….” Permisi, suamiku dicurigai telah mencuri barang milik orang lain atau telah terjadi perselingkuhan di luar nikah, yang mana yang harus kupilih?
—————–
Versi Inggris bisa dibaca di: isohungrytls.com/my-husband-with-scholar-syndrome/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-36/