My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 42
Saat mereka keluar dari ruang tamu, Fang Hui telah menunggu di bar kopi di samping pintu. Ada tiga cangkir kopi di depannya, dia mengambil satu untuk dirinya sendiri dan dua lainnya jelas dipersiapkan untuk mereka.
Keduanya berjalan menghampiri dan duduk. Mu Xiaoya mengambil kubus gula, menaruh dua bongkah gula ke dalam kopi Bai Chuan, mengaduknya, dan menyerahkannya kepada Bai Chuan.
Bai Chuan menerimanya, menyesap, dan tampak gembira.
En, nggak pahit.
“Apa kau mau sebongkah gula lagi?” Mu Xiaoya hanya ingat kalau Bai Chuan tak suka makanan-makanan pahit saat pria itu masih kecil, dan dia tak tahu apakah Bai Chuan bisa menerima rasa kopinya.
Bai Chuan menggelengkan kepalanya.
Mu Xiaoya lalu meletakkan mangkuk wadah gulanya, mengambil cangkir kopinya sendiri, dan tersenyum. Dia bertanya kepada wanita yang seadng tersenyum di seberangnya: “Kau ngobrol dengan siapa? Kenapa kau tersenyum seriang itu?”
“Dengan Nuonuo. Aku bilang padanya kalau suamimu mengambil inisiatif untuk menjabat tangaku dan dia tak memercayainya,” Fang Hui menjawab.
“….” Mu Xiaoya tak mampu berkata-kata. Yang begitu bisa dibandingkan dengan apa?
“Bai Chuan, bagaimana kopinya? Apakah enak?” Fang Hui melihat Bai Chuan meminum beberapa teguk penuh kopi, berpikir bahwa kemampuan membuat kopinya telah meningkat, dan tak bisa menahan diri untuk bertanya.
Bai Chuan meliriknya dan tersenyum tanpa bicara.
Senyum ini teramat malu-malu, seperti sehelai bulu. Senyuman itu menggaruk hati Fang Hui dan menggelitiknya. Dia ingin meraihnya dan menyembunyikannya langsung di dalam rumahnya.
Tampaknya Fang Hui tiba-tiba telah dihantam badai secara telak. Dia menebah dadanya dan mengerang, “Dosa ah!”
“Ada apa?” Mu Xiaoya menatap seseorang yang tiba-tiba tampak sakit hati.
“Nggak ada apa-apa. Hanya saja pada saat itu, aku sedang kegirangan ketika aku mulai melihat cahaya.” Merupakan sifat manusia untuk menginginkan hal-hal baik. Senyum Bai Chuan memiliki semacam sihir, yang mana merupakan jenis esensi murni yang jarang terlihat pada orang dewasa normal, bagaikan pancaran cahaya, menyinari semua hal di dunia dan takkan pernah dinodai oleh hal-hal asing.
Mu Xiaoya berseru marah pada Fang Hui; Fang Hui tertawa, menundukkan kepalanya, dan lanjut bertengkar dengan Liang Nuonuo.
Setelah ketiganya menghabiskan kopi mereka, mereka pun pergi ke area perumahan bersama-sama.
Rumah pengantin yang Bai Zheng beli untuk mereka berada sangat dekat dengan studionya. Saat mereka keluar dari studio, mereka berbelok ke kanan, dan gerbang perumahannya hanya seratus meter jaraknya. Karena tempat ini adalah pemukiman baru, tingkat kepenghuniannya kurang dari separuh, namun pengaturan keamanan tempat itu sangat kompeten. Bila bukan untuk Mu Xiaoya yang memiliki sertifikat rumahnya, takutnya mereka takkan pernah bisa memasuki gerbang pemukiman itu.
Berjalan masuk dari gerbang, terdapat pepohonan rindang yang dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan hijau di kedua sisi jalan. Ada sebuah kebun kecil yang penuh dengan gaya desain, dan terdapat air mancur musik di tengah-tengah pemukiman itu. Jalan-jalan di pemukiman tersebut dibagi menjadi jalan untuk pejalan kaki dan pemakai kendaraan, dan nyaris tak ada mobil yang diparkir di jalanan, yang mana membuat seluruh komunitas itu tampak aman dan teratur.
“Inilah bangunannya, kan?” Fang Hui berkata, menunjuk pada bangunan di depannya.
“Akan kucoba.” Mu Xiaoya mengambil kartu akses yang baru saja dia peroleh dari manajemen propertinya, maju dan menggosoknya. Setelah bunyi klik, pintu pun terbuka.
Ketiganya masuk dan memakai lift untuk menuju ke lantai paling atas. Kunci pintu pada unitnya memiliki kunci kombinasi. Setelah memasukkan passwordnya dengan cepat, Mu Xiaoya akhirnya melihat desain interior dari rumah baru tersebut.
Seperti yang disebutkan oleh Bai Zheng sebelumnya, ruangannya telah direnovasi dengan seksama. Meski perabot di dalam ruangan itu telah dipindahkan dan menyebabkan keseluruhan ruangan jadi tampak kosong, namun lantai kayu kelas atas, dapur dengan meja berlapis pualam, serta balkon dengan ubin-ubin mulus, semuanya menunjukkan dekorasi yang megah.
Begitu dia memasuki pintu, Fang Hui jadi lebih bersemangat ketimbang kedua pemiliknya. Dia berlari canggung ke dalam ruangan. Setelah melihat ke bawah tangga, dia berbalik dan berlari menaiki tangga.
Mu Xiaoya memutari ruang keluarga. Dia suka tempat ini setelah menatap dinding-dinding putih bersih, jendela-jendela amat besar dari lantai hingga langit-langit, serta banyaknya cahaya.
“Xiao Chuan, kau suka di sini?” Mu Xiaoya berbalik dan bertanya pada Bai Chuan.
“Suka.” Bai Chuan tidak benar-benar memiliki banyak persyaratan pada di mana dirinya tinggal, selama Mu Xiaoya ada di sana. Jadi selama Mu Xiaoya menyukainya, dia akan menyukainya.
“Kelak, hanya akan ada kita berdua yang tinggal di sini.” Mungkin semua orang memimpikan rumah mereka sendiri, tanpa orangtua mereka, namun dengan keluarga mereka sendiri dan orang yang mereka cintai. Rumah ini akan didekorasi sendiri secara seksama. Setiap buah perabot akan dipilih sendiri, dan mungkin memang tidak mewah dan megah, namun akan sangat nyaman.
“Ruang keluarga ini ukurannya hampir tiga puluh meter persegi, dan juga tersambung dengan dapur. Nanti, kita akan menaruh sofa besar di sini, menghadap dinding TV, kemudian kita akan beli sebuah TV besar dan menonton TV di atas sofa itu setiap malam.” Mu Xiaoya tak bisa menahan diri untuk mulai merencanakan, “Atau kau duduk di sini dan menonton TV, aku akan masak di sebelah sana, dan kemudian kita makan sama-sama. Setelah makan, kau harus membantuku mencuci piring.”
“Masak?” Bai Chuan mengulang setengah sadar, matanya melebar tanpa disadarinya.
“Iya lah, meski aku tak bisa dibandingkan dengan bibi (koki) di rumah, tapi nggak buruk-buruk amat.” Dia telah tinggal di luar negeri selama empat tahun, dan Mu Xiaoya telah belajar masak secara otodidak. Meski bukan tingkatan chef, jelas tak ada masalah dengan masakan-masakan rumahan.
Bai Chuan menatap ke arah dapur, membayangkan Mu Xiaoya berdiri di sana memasak untuknya, dan suasana hatinya jadi gembira.
“Xiao Chuan, ini kamar tidurnya.” Mu Xiaoya mengarahkan Bai Chuan ke kamar tidur. Juga terdapat balkon kamar di kamar tidur utama. Meski balkon ini tak sebesar yang ada di ruang keluarga, desainnya lebih halus. “Kita juga akan membeli sebuah meja kecil seperti balkon di vila dan menaruhnya di sini. Kau bisa memakainya untuk membaca di balkon kelak.”
“En.” Bai Chuan benar-benar suka membaca.
“Kita akan taruh ranjang di sini. Kemudian di sini kita akan bentangkan sehelai karpet yang lebih besar dan menambahkan beberapa bantal. Saat hujan turun atau saat musim salju, kita bisa membuka tirai dan duduk di atas karpet untuk melihat pemandangan di luar.”
“En.”
“Ayo kita buat lemari dinding di kamar sebelah. Toh tak ada orang yang tinggal di sana. Aku ingin menggantung semua pakaianku, sehingga jadi lebih mudah untuk memilih baju.”
“Oke.”
“Kita bisa membuat ruang belajar di loteng atas, kemudian memasang tikar tatami. Tempat itu seharusnya bisa menyimpan banyak buku. Ayo naik dan melihatnya….” Mu Xiaoya menarik Bai Chuan ke loteng. Saat dia mencapai tangga menuju loteng, dia melihat Fang Hui sedang duduk di undakan pertama yang mengarah ke loteng.
Fang Hui sedang menopang dagunya dengan kedua tangan dan menatap mereka dengan seulas senyum di wajahnya.
“Kenapa kamu duduk di sini?” Saat Mu Xiaoya sedang dengan serius merencanakan rumahnya, dia hampir melupakan keberadaan Fang Hui.
“Aku takut mengganggu kalian berdua saat kalian seadng merencanakan masa depan ah.” Sejak sepuluh menit yang lalu, Fang Hui telah selesai melihat-lihat loteng. Dia bersemangat ingin mengekspresikan pendapatnya tentang rumah itu, namun ketika dia melihat Mu Xiaoya dan Bai Chuan sedang membayangkan masa depan mereka dengan penuh semangat, Fang Hui tiba-tiba berubah pikiran.
Kedua orang ini, yang satu menjawab sementara yang lainnya bergerak-gerak penuh semangat. Yang lain memiliki senyum memanjakan, dan suasana gembira itu bagaikan debu di bawah cahaya mentari, berkilauan. Ini adalah rumah mereka; di mana dirinya, orang luar, bisa mengatakan lebih banyak lagi? Setelah menyadari hal ini, Fang Hui pun berjongkok di tangga, berusaha untuk tidak mengganggu mereka.
“Apa kau sudah lihat ke atas? Bagaimana?” Mu Xiaoya bertanya.
“Ya, aku sudah melihatnya. Tenang saja, tempat itu sangat cocok sebagai ruang belajar.” Fang Hui tersenyum dan bergeser menjauh dari tangga. “Naik dan lihatlah.”
“Ayo, mari kita naik.” Mu Xiaoya tidak sungkan-sungkan dan menarik Bai Chuan untuk berlari ke atas.
Fang Hui tentu saja tak kau mengikuti dengan mengekspresikan pendapatnya. Dia pergi ke ruang keluarga dan memandang dari utara ke selatan lewat jendela-jendela ruang tamu yang besar dan transparan lalu tiba-tiba tersenyum. Dia merasa lega dan mendoakan yang terbaik untuk mereka. Mumu tak berbohong. Dia tak menikahi Bai Chuan karena rasa simpati.
“Tampaknya keberadaanku untuk datang kemari agak mubazir ah….” Fang Hui tak bisa menahan diri untuk menertawai dirinya sendiri, “Aku harus mencari seseorang untuk merenovasi rumah bersamaku ah.”
Karena butuh banyak waktu untuk melalui prosedur-prosedur propertinya, jadi setelah kunjungan singkat, hari sudah siang. Ketiganya pun meninggalkan komunitas itu dan pergi ke mall terdekat untuk makan siang.
“Teras di atas cukup besar. Aku ingin membuat sebuah kebun kecil di situ.” Pada lantai kedua rumah tersebut, selain dari loteng dan ruang penyimpanan, juga terdapat sebuah teras yang amat besar.
“Itu ide bagus, tapi bagaimana kau akan menjaga agar bunga-bunga itu tetap hidup?” Fang Hui, yang mengenal temannya dengan baik, tak tahan untuk meledek. Mu Xiaoya suka menanam tumbuhan, tapi selalu menyiraminya sesuka hati dan memandang tanaman dengan perasaan antropomorphisme. Yaitu, entah bunganya haus atau tidak, Mu Xiaoya merasa mereka kehausan, dan membiarkan tanaman-tanaman itu minum dengan mati-matian. Sejauh ini, dari tangannya, hanya lobak hijau yang hidup dan tumbuh dengan kuat.
“… Aku tak bisa menyokong diriku sendiri, bagaimana aku bisa menyokong dua?” Mu Xiaoya menolak untuk menerimanya.
“Butuh dua orang untuk memelihara bunga. Kau seharusnya membesarkan anak.”
Tangan Mu Xiaoya jadi kaku, dan untuk sesaat wajahnya jadi aneh.
Melihat ekspresi Mu Xiaoya, Fang Hui tahu kalau dirinya mungkin telah mengucapkan hal yang aneh.
Mu Xiaoya sangat menyukai anak-anak. Saat mereka mendiskusikan masa depan bersama-sama, Mu Xiaoya bahkan berkata bahwa ketika dia menikah, dia akan punya setidaknya dua orang anak. Namun kini saat menyebut-nyebut tentang anak, Mu Xiaoya malah menunjukkan ekspresi ini. Apakah… karena Bai Chuan tak memahami konsep ini?
“Yah, aku akan pergi setelah makan.” Fang Hui mengubah subyeknya dan tak berani memikirkannya dengan terlalu mendalam.
“Kau tak apa-apakah?”
“Aku baik-baik saja, tapi merupakan penyia-nyiaan atas akhir pekan yang menyenangkan bila dianiaya oleh kalian anjing-anjing penindas.” Barusan tadi di rumah baru mereka, dia sudah kenyang dengan makanan anjing.
Mu Xiaoya tersenyum dan menaruh sayap ayam di mangkuk Fang Hui.
“Karena uang untuk membeli perabotnya telah disediakan oleh kakak keluargamu, maka aku hanya bisa mengirimimu beberapa barang kecil. Tanaman-tanaman di teras, aku akan membungkuskannya untukmu.” Fang Hui berkata murah hati, “Aku harus memilih tanaman yang paling tangguh.”
“Kau takkan memberiku kaktus, kan?” Mu Xiaoya bertanya ketakutan.
“Kau akan tahu pada saatnya.”
“Xiao Chuan, Fang Hui bilang dia akan mengirimi kita tanaman untuk terasnya,” Mu Xiaoya berkata pada Bai Chuan yang ada di sisinya.
Meski Bai Chuan telah diam sepanjang waktu itu, yang Mu Xiaoya katakan, telah dia dengarkan sepanjang waktu ini. Tentu saja, dia ingat apa yang Fang Hui ucapkan dan dia tak menentang Fang Hui karena Fang Hui memiliki aura yang sama seperti yang ada di perkebunan ceri. Seperti Liang Nuonuo, Fang Hui adalah teman baik Xiaoya.
“Terima kasih,” Bai Chuan berterima kasih dengan lirih.
“Bai Chuan, baru saja berterima kasih kepadaku. Aku takkan membeli kaktus, aku akan beli bunga.” Fang Hui mengesah dan menatap Mu Xiaoya, “Aku tak tahu kenapa, kedua kata yang sama itu, saat suamimu mengucapkannya, kedengaran lebih baik daripada ketika kau mengatakannya.”
Setelah makan, ketiganya berjalan pulang. Mu Xiaoya memutuskan untuk mengantar Fang Hui terlebih dahulu, kemudian dia dan Bai Chuan akan kembali ke rumah itu dan lanjut merencakan perabotan. Mereka masih punya banyak persiapan kerja yang harus dilakukan, seperti ukuran ranjang yang diletakkan di dalam kamar, ukuran jendela, ukuran tirai yang perlu disesuaikan, dan sebagainya….
“Hati-hati di jalan.” Di tempat parkir, Mu Xiaoya melambai pada Fang Hui yang duduk di dalam mobilnya.
Sebelum menyalakan mobil, Fang Hui menatap pada sahabatnya, kemudian pada Bai Chuan yang ada di sisi gadis itu. Semakin dia melihat, semakin dia merasa kalau sungguh disayangkan bila seorang pria muda seperti itu jadi begitu buta dalam tangan Mu Xiaoya, jadi dia tak tahan untuk mengulurkan jarinya dan melengkungkannya ke arah Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya berjalan menghampirinya dengan ragu.
“Apa?” Mu Xiaoya bertanya.
“Kau dan Bai Chuan, apa kalian sudah melakukan itu…,” Fang Hui bertanya.
Mu Xiaoya tak menyangka kalau Fang Hui akan benar-benar menanyakan hal ini, dan di depan Bai Chuan, dia tiba-tiba memelotot marah pada temannya: “Apa pedulimu?”
Ekspresi ini, nada ini, tidaklah pantas. Apa kalian sungguh telah menikah ah, apakah kedua kata itu datang dari seorang wanita yang telah menikah?
Fang Hui mengesah. Wajah Mu Xiaoya selalu tipis. Saat dia di kampus, dia pernah punya tiga orang pacar, namun Mu Xiaoya tak pernah membicarakan tentang mereka. Sekali, Mu Xiaoya pernah melihat dirinya mencium pacarnya di asrama. Meski Mu Xiaoya tidak kabur, gadis itu tampak lebih tidak nyaman ketimbang orang yang bersangkutan.
“Mumu, aku tahu kalau kau punya kulit yang tipis, tapi ada beberapa hal yang hanya kau yang bisa mengambil inisiatif ah.” Fang Hui membujuk dengan sungguh-sungguh, “Terlebih lagi, hanya ada kalian berdua di balik pintu yang tertutup, dan tak ada seorang pun yang mengambil inisiatif yang akan tahu ah….”
“Diam.”
Sebelum Fang Hui berhenti bicara, Mu Xiaoya berdiri dengan marah, menarik Bai Chuan menjauh, dan buru-buru melarikan diri dari tempat parkir.
“Mumu, sekarang adalah abad ke-21, cara pikir kita sudah bebas ah….” Fang Hui mencondongkan tubuhnya ke luar untuk berseru dengan hati tak rela.
Bebas, apanya yang bebas, mana ada pemikirannya begitu konservatif, dia cuma….
Mu Xiaoya berhenti dan menatap Bai Chuan yang memasang raut tenang di bawah bayang-bayang pohon. Dia hanya… tak mau menakuti Bai Chuan yang tak tahu bagaimana cara untuk mencintai.
———–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-42/