My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 43
Untuk mendekorasi rumah baru, ada terlalu banyak hal yang perlu dipertimbangkan, namun perasaan mengisi rumah sedikit demi sedikit memberikan rasa kebahagiaan yang memuaskan. Kebahagiaan semacam ini bisa melarutkan seluruh rasa lelah.
Bai Chuan tenggelam dalam visi Mu Xiaoya, dan untuk pertama kalinya, dia mati-matian ingin tinggal di dalam rumah yang benar-benar asing. Dia menginginkan sofa besar yang dikatakan oleh Mu Xiaoya, sofa yang akan membuat mereka bisa menonton TV dan tidur tanpa perlu kembali ke kamar tidur ketika mereka mengantuk. Dia menginginkan TV besar di dinding seberang dan membeli stereo bagus yang diceritakan Mu Xiaoya untuk merasakan efek bioskop di rumah. Dia ingin melihat Mu Xiaoya di dapur mempersiapkan makan malam untuk mereka di atas konter pualam. Pada saat itu, dia ingin membantu Mu Xiaoya mempersiapkan makanan dan makan bersama, dan kemudian dia akan mencuci semua piring lalu menaruhnya kembali ke dalam lemari.
Dia ingin membaca buku di loteng bersama Mu Xiaoya, membiarkan cahaya mentari menyorot lewat jendela kaca berwarna, dan menyirami tatami warna beige.
Dia menyukai rumah ini; ini adalah rumahnya dan Mu Xiaoya saja.
‘Buum~~‘
Suatu bunyi teredam terdengar dari langit, yang mana membuat Mu Xiaoya yang sedang berbaring di lantai jadi waspada, menggalau tentang sofa warna apa yang harus dibeli.
“Benar-benar akan turun hujan.” Mu Xiaoya menatap langit yang perlahan-lahan berselimut awan di luar. Tadi pagi, Paman Li bilang kalau akan turun hujan, tapi dia tak memercayainya, hingga saat ini.
Hujan turun dan guntur menggelegar.
Bai Chuan menatap nanar ke luar jendela dengan mata berkilat tidak jelas.
“Xiao Chuan, pergi dan nyalakan lampu di ruang keluarga.” Langit telah tertutup oleh awan badai, dan ruangannya seketika menggelap. Mu Xiaoya hampir tak bisa melihat kata-kata pada buku catatannya. “Cepat sekali jadi gelapnya dan sebentar lagi akan hujan deras. Aku akan menutup jendela-jendela di kamar tidur dan loteng.”
Mu Xiaoya melemparkan buku catatan di tangannya ke lantai dan berdiri dari lantai. Saat dia sudah akan pergi ke kamar tidur untuk menutup jendela, Bai Chuan tiba-tiba menangkap tangannya.
“Xiao Chuan?” Mu Xiaoya berbalik dengan kaget, namun pada saat ini langit sudah jadi amat gelap, dan lampu ruang keluarga belum dinyalakan. Dia tak bisa melihat ekspresi pada wajah Bai Chuan dan hanya bisa bertanya kepadanya, “Ada apa?”
“Hujan.” Suara Bai Chuan agak tidak jelas.
“Aku tahu, semestinya akan jadi badai guntur. Meski langitnya tampak menakutkan, hujannya akan segera berhenti. Jangan takut,” Mu Xiaoya menghibur.
“Ada guntur.” Setelah Bai Chuan mengatakan hal ini, terdengar suara teredam lainnya dari langit, bagaikan raungan hewan liar yang tertahan, dan jakun Bai Chuan bergerak-gerak di tenggorokannya.
“Kau….” Mu Xiaoya ingat kalau Bai Chuan takut pada guntur, bagaimana bisa dia melupakannya!
“Jangan takut, gunturnya takkan melukai kita.” Mu Xiaoya tidak jadi menutup jendelanya. Dia berjinjit dan berusaha menutupi telinga Bai Chuan, takut kalau Bai Chuan akan dibuat ketakutan lagi oleh guntur. Seraya menutupi telinga pria itu, dia ingin mencari tempat berlindung terdekat untuk membuat Bai Chuan merasa lebih aman.
“Xiao Chuan, ayo kita ke kamar mandi.” Jendela kamar mandi ukurannya kecil, tak seperti pada ruang keluarga yang tersambung dengan balkon. Bersembunyi di sana takkan jadi terlalu menakutkan.
“Hujan.” Bai Chuan tak mengikuti instruksi Mu Xiaoya dan berdiri tertegun di tempat yang sama di ruang keluarga, secara mekanis mengulang kata-kata itu.
Mu Xiaoya mengira kalau Bai Chuan ketakutan, namun kalau lampu di ruang keluarga menyala pada saat ini, dia akan menemukan bahwa tak ada jejak rasa takut di wajah Bai Chuan.
“Aku tahu, aku kita pergi ke kamar mandi.” Mu Xiaoya menarik Bai Chuan, namun Bai Chuan meraih dirinya dan menariknya ke arah berlawanan.
“Xiao Chuan?” Tangan Bai Chuan kokoh dan kuat, Mu Xiaoya ditarik olehnya, dan menatap dia pergi langsung menuju ke balkon. Kemudian pria itu membuka jendela dari lantai hingga langit-langit di balkon dan membawanya menuju balkon yang diterpa badai.
Sekejap kemudian, keduanya sudah basah kuyup gara-gara hujan deras.
‘Buum~~‘ Terdengar guntur lain di langit, seberkas cahaya mengilas di balik awan. Dengan cahaya petir itu, Mu Xiaoya melihat Bai Chuan yang basah. Pria itu berdiri dengan punggung menghadap ke langit dan menunduk menatap dirinya. Namun lingkungan yang gelap masih membuatnya tak mampu melihat ekspresi Bai Chuan.
Ada apa?
“Xiao Chuan, hujan turun. Ayo kita masuk lebih dulu.” Mu Xiaoya tak tahu ada masalah apa dengan Bai Chuan, tapi dia tak merasa baik bila dihujani oleh badai. Dia berusaha membawa Bai Chuan kembali ke dalam ruangan terlebih dahulu.
Melihat kalau Mu Xiaoya tak memahami dirinya, Bai Chuan harus mencondongkan tubuh ke depan sesuai dengan pergerakan Mu Xiaoya, dan menekan gadis itu pada jendela kaca di balkon dengan seluruh tubuhnya, kemudian merundukkan kepala untuk mengingatkan Mu Xiaoya dengan tindakan.
“Oh!”
Mata Mu Xiaoya melebar; tubuh basahnya hampir goyah pada permukaan jendela kaca yang mulus. Bagian belakang pinggangnya ditopang kuat oleh Bai Chuan. Mereka saling berciuman di balkon yang diterpa hujan, mereka berciuman di bawah langit yang gelap….
Kalau Mu Xiaoya tak memahami apa yang Bai Chuan maksudkan pada saat ini, maka sungguh menyia-nyiakan perjalanan bulan madu itu. Pada saat ini, Mu Xiaoya rasanya seperti kembali ke tempat kecil gelap nan basah di sisi bukit itu.
Mu Xiaoya memejamkan matanya dan mengambil inisiatif untuk memperdalam ciumannya.
Setelah hujan badainya berlanjut selama lebih dari sepuluh menit, perlahan-lahan mulai mereda, awan-awan gunturnya memencar, dan cahaya kembali ke dunia.
Keduanya juga kembali ke ruang keluarga, menyandar pada dinding, duduk di lantai ruang keluarga, basah dan gemetaran. Air hujan mengalir dari tubuh basah mereka dan menetes-netes dari pakaian mereka ke lantai.
“Jendela kamar tidurnya terbuka; kamarnya pasti basah kuyup,” Mu Xiaoya berkata.
“En.”
“Pintu lotengnya tak ditutup. Pasti ada lebih banyak air yang masuk dari teras.”
“En.”
“Lantai bagus semacam ini pasti akan menghabiskan banyak uang untuk memperbaikinya kalau sampai rusak.”
“En.”
“Kau cuma, cuma, ah, ini semua gara-gara kamu. Apa yang akan kau lakukan sekarang?” Mu Xiaoya berkata marah.
“… Aku akan menyekanya.” Bai Chuan bergerak untuk berdiri namun ditahan oleh Mu Xiaoya.
“Satu-satunya benda di dalam kamar ini yang bisa dipakai sebagai kain lap adalah pakaian kita, tapi pakaian kita juga basah kuyup.” Mu Xiaoya mengangkat lengan bajunya, dan serentetan tetesan air langsung jatuh dari lengan baju itu dalam sekejap, kemudian mengalir di sepanjang celah lantai.
Setelah terdiam selama sesaat, Bai Chuan tiba-tiba melepaskan jaketnya, memuntirnya di tangan dan memeras airnya.
“….” Ini adalah untuk memerasnya hingga kering demi menyeka lantai, tapi masih menjatuhkan tetesan air langsung ke lantai.
Tampaknya Bai Chuan juga mendapati kalau dia telah membuat kesalahan barusan tadi, jadi tanpa sadar dia menyeka air dengan jaket yang baru saja dia peras airnya.
“….”
Saat Bai Chuan selesai, dia mendapati kalau bajunya mulai menetes-netes lagi. Tiba-tiba, dia mengernyit malu dan menatap tanpa daya pada Mu Xiaoya. Betapa polosnya ekspresi itu.
Mu Xiaoya menutupi wajahnya, dan tak bisa menahan dirinya sendiri, dia pun hanya tertawa dengan murah hati. Dia tertawa keras-keras dan sekujur tubuhnya bersandar goyah dari kanan ke kiri, seakan mengalami epilepsi.
Suaminya itu amat sangat luar biasa imut.
“Kenapa kau menciumku barusan tadi?” Setelah cukup tertawa, Mu Xiaoya membelai rambut basah di depan dahi Bai Chuan dan bertanya kepadanya dengan kepala dimiringkan.
“Hujan dan ada guntur.” Bai Chuan mengerutkan bibirnya dan menjawab dengan gelisah.
Apa Xiaoya marah?
“Karena aku telah menciummu pada kali terakhir ketika terjadi hujan dan guntur, jadi kau menciumku kali ini karena terjadi hujan dan guntur, ya?” Mu Xiaoya bertanya.
“En.” Bai Chuan merasa agak bersalah. Bagaimanapun juga, insiden itu hanya terjadi sekali. Dia tidak yakin apakah cara ini bisa dipakai sebagai kebiasaan antara dirinya dan Mu Xiaoya. Tapi dia suka ciuman itu. Dia ingin menjadikannya sebagai rutinitas pada hari-hari berbadai. Dia ingin memiliki kesempatan untuk mengalami perasaan itu lagi.
“Dasar bodoh ah.” Sudah jelas, Mu Xiaoya, yang telah memastikan dugaannya, tak bisa tertawa ataupun menangis.
Xiaoya memarahiku karena bersikap bodoh. Apakah dia… tak menyukainya?
“Kenapa kau harus menciumku pada hari berbadai? Hujannya hanya turun selama beberapa hari dari 365 hari dalam setahun. Kalau kau ingin menciumku, kau kan bisa melakukannya kapan saja ah.”
Ekspresi sedih Bai Chuan tak sempat terbentuk sebelum dia berbinar bagai bunga yang merekah di musim semi.
“Aku adalah istrimu, kau bisa menciumku kapan saja. Kau tak harus menunggu hingga hujan turun.” Bahkan hal-hal yang lebih intim, kau memiliki hak untuk itu.
Mu Xiaoya tak pernah begitu terang-terangan dalam mengucapkan kata-kata kasih kepada siapa pun. Bahkan di depan Bai Chuan, dia masih agak tidak nyaman. Tapi dia tak berpaling karena malu. Dia takut bahwa bila dia berpaling, Bai Chuan takkan mengerti. Dia ingin menatap Bai Chuan tepat di mata, dan memberitahu pria itu dengan suara, emosi, tatapan, dan segalanya sehingga Bai Chuan bisa mengerti.
Aku menyukai ciumanmu.
Bai Chuan tersenyum, matanya berbinar di atas lesung pipitnya. Dia mencondongkan tubuh dan menempelkan wajahnya dekat dengan wajah Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya tak bersembunyi, dia merona, dan jantungnya berdebar. Menuggu gerakan Bai Chuan selanjutnya, menunggu pria itu melingkupi bibirnya sedikit demi sedikit.
Badai guntur di luar jendela telah berhenti, namun badai di dalam hati Bai Chuan baru saja dimulai. Sejak saat ini, ciuman dari hari berhujan itu akan muncul para setiap menit hidupnya.
Tiba-tiba dia jadi suka dengan badai guntur.
“Sekarang bagaimana kita akan keluar ah.” Sudah lebih dari sepuluh menit setelah Bai Chuan cukup mencium.
Keduanya masih duduk berbasah-basahan di lantai ruang keluarga, dengan rambut acak-acakan dan tampak memalukan.
“Nggak keluar,” Bai Chuan menjawab.
Jawaban ini benar-benar sederhana dan lancang. Mu Xiaoya dengan enggan menarik sudut mulutnya tanpa daya; tindakan yang tidak tepat pada waktunya ini menyebabkan rasa sakit yang menggelitik. Bahkan tanpa perlu menatap cermin, Mu Xiaoya tahu kalau mulutnya tak tampak bagus.
“Aku akan mengambil ponselku dan minta seseorang membelikan baju untuk kita.” Untungnya, dia meletakkan ponselnya pada tatakan pualam di dapur, sehingga ponsel itu selamat. Kalau tidak, keduanya benar-benar akan harus menunggu dan mengeringkan diri secara alami sebelum pulang ke rumah.
Mu Xiaoya mengangkat ponselnya dan menemukan bahwa ada lebih dari selusin missed call, kesemuanya dari Keluarga Bai.
“Kenapa kita tak mendengar suaranya.” Jantung Mu Xiaoya mencelos dan buru-buru menelepon balik Li Rong.
“Ma.”
“Xiaoya, bagaimana keadaanmu? Apa Xiao Chuan baik-baik saja?” Li Rong bertanya dengan panik.
“Tidak apa-apa, kami baik-baik saja.”
“Guntur besar baru saja menyambar, dan Xiao Chuan takut pada guntur.” Li Rong telah menelepon Mu Xiaoya begitu guntur terdengar, namun Mu Xiaoya tak pernah menjawab, yang mana membuatnya cemas. Dia takut Xiao Chuan akan tiba-tiba kambuh dan Mu Xiaoya takkan mampu mengatasinya sendirian.
“Xiao Chuan….” Mu Xiaoya melirik balik pada Bai Chuan yang menghampiri dan berkata, “Xiao Chuan tidak takut pada guntur.”
“Xiao Chuan tidak takut pada guntur?” Li Rong tak bisa memercayainya.
“Kau bilang sendiri pada mamamu.” Mu Xiaoya menutupi teleponnya dan berbisik pada Bai Chuan.
Bai Chuan mengangguk dan mencondongkan diri untuk menjawab Li Rong yang ada di sisi lain telepon, “Aku nggak takut pada guntur.”
“Xiao Chuan? Kau baik-baik saja? Kau benar-benar tidak takut pada guntur.” Li Rong masih tak memercayainya karena di Yuncheng, jarang terjadi badai guntur, tapi setiap kali terjadi, suasana hati Bai Chuan takkan baik.
“En, aku suka guntur.” Bai Chuan menambahkan dengan gembira.
“Suka guntur?” Ini adalah arah evolusi yang aneh.
“Uhuk… itu, Ma, tolong beritahukan pada Kakak dan Papa kalau aku dan Xiao Chuan baik-baik saja. Aku takkan membalas telepon mereka satu demi satu.” Mu Xiaoya terbatuk dengan canggung, takut kalau Bai Chuan akan mengucapkan sesuatu yang tak seharusnya diucapkan.
“Oke, kalau begitu aku akan memberitahu mereka.”
“Dan… ada sedikit kehujanan di dalam rumah ini. Takutnya lantainya basah kuyup, jadi aku perlu membersihkannya sebelum aku bisa pulang.”
“Mama akan minta Paman Li membantumu,” Li Rong berkata.
“Tidak usah, aku hanya butuh lap pel dan akan segera mengepelnya.” Kedua pihak lalu mengucapkan beberapa kata lagi sebelum Mu Xiaoya menutup teleponnya.
Setelah menutup telepon, Mu Xiaoya memesan dua set pakaian olahraga secara online, dan membeli beberapa peralatan bebersih. Kurang dari setengah jam kemudian, bel pintu berbunyi. Mu Xiaoya tahu kalau yang datang adalah kurir, kemudian menyuruh Bai Chuan membukakan pintu.
Penampilannya saat ini benar-benar tidak pantas untuk muncul di depan orang luar.
“Halo, ini adalah pakaian yang Anda pesan. Satu set baju wanita, satu set baju pria, dan sebuah alat pel….” Begitu pintunya terbuka, si saudara kurir melihat seorang pria tampan basah dengan bibir penuh kemerahan.
Ini adalah… bagaimana perang bisa pecah ah.
“Xiao Chuan, apa kau dapat bajunya?” Mu Xiaoya bertanya dengan nada gelisah dari dalam kamar.
Jiwa sang saudara kurir langsung tersulut, dan lubang di otaknya tak bisa berhenti. Kalau dia tak salah ingat, tak ada apa-apa di dalam rumah kosong ini, yang mana berarti kedua orang itu….
“Dapat.” Bai Chuan mengambil barangnya, membanting pintu hingga menutup dengan suara berdebum, menyela imajinasi tanpa batas dari sang saudara kurir.
————–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-43/