My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 65
Pada perjalanan pulang dari rumah sakit ke studio, langit tiba-tiba dipenuhi oleh salju tipis. Saljunya bagaikan butiran-butiran beras yang berjatuhan dari langit ke kerai jendela. Sebelum orang sempat melihat lebih dekat, salju itu sudah berubah menjadi titik-titik air.
Ini semestinya adalah salju pertama tahun ini, para pejalan kaki di jalan tampak agak bersemangat. Langkah-langkah kaki mereka yang tergesa berhenti karena salju yang turun tiba-tiba dan mereka pun mengeluarkan ponsel mereka untuk mengambil gambar.
Mu Xiaoya juga sangat menyukai salju. Kalau ini adalah yang dulu, dia pasti akan berhenti di sisi jalan untuk menikmatinya selama sesaat, atau menelepon Bai Chuan untuk menontonnya bersama dengannya. Namun pada saat ini, ada persimpangan jalan di depannya, dan karena jalan bersaljunya licin, lalu lintasnya jadi terhambat.
Malam-malam musim dingin selalu datang lebih cepat. Saat dia memarkir mobilnya di tempat parkir di dekat studio, langit sudah menjadi kelabu. Mu Xiaoya melongok keluar dari jendela, dan beberapa toko di sepanjang jalan bahkan sudah menyalakan lampu mereka.
Sekarang pukul lima lewat dua puluh menit di sore hari dan Bai Chuan akan pulang kerja sebentar lagi.
Mu Xiaoya keluar dari mobil dan menguncinya. Dia kemudian secara kebetulan menemukan apotek di sudut di belakang sebaris pohon sycamore. Pada musim semi dan musim panas, pohon-pohon itu rindang serta lebat, dan apoteknya akan tertutup dan sukar untuk dilihat. Saat musim gugur dan musim dingin membuat dedaunan berguguran, Mu Xiaoya menemukan bahwa studio mereka terletak berseberangan secara melintang dari tempat itu. Bahkan ada apotek di jalan ini.
“Nak, obat apa yang ingin kau beli?”
Mu Xiaoya terkejut saat mendapati dirinya telah memasuki apotek tanpa sadar. Seorang kakak berusia empat puluh atau lima puluh tahun yang mengenakan jas lab putih bertanya kepadanya dengan perhatian.
“Aku… apa kau punya kontrasepsi?” Mu Xiaoya bertanya dengan susah payah.
“Iya ah, yang macam apa? Kontrasepsi yang sebelum atau sesudah?” Kakak apoteker itu bertanya, sementara orangnya sudah berjalan ke konter dan menaruh beberapa kontrasepsi di sana.
“Untuk yang setelah.” Setiap kali dia menjawab sebuah pertanyaan, Mu Xiaoya jadi luar biasa tidak nyaman. Untung saja si kakak apoteker tak memasang tatapan aneh. Wanita itu memiliki ekspresi biasa saja seakan dirinya hanya sedang berbisnis.
“Kalau begitu minum ini, bagus bila meminumnya dalam kurun 72 jam setelah melakukannya.” Si kakak apoteker mengambil sekotak obat dan meletakkannya di depan Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya menatap kotak obat putih itu dan tak mengulurkan tangan untuk mengambilnya setelah lama waktu berlalu.
“Apa kau mau ini?” Si kakak mendesak.
“Berapa… berapa harganya?” Mu Xiaoya kembali pada kesadarannya.
“Tiga sembilan.”
Setelah menerima uangnya, si kakak apoteker pun menyerahkan obatnya. Melihat wajah nanar gadis itu, dia pun tak tahan untuk menambahkan beberapa patah kata: “Gadis kecil, kalau kau ingin punya anak, diskusikan dahulu untuk menikah dengan pacarmu.”
Dia telah melihat banyak orang yang datang untuk membeli kontrasepsi. Tak satu pun dari mereka yang memasang ekspresi ini. Keraguan di wajahnya begitu kentara, gadis ini jelas-jelas tak menginginkannya.
“Aku sudah menikah,” Mu Xiaoya menjawab tanpa sadar.
“Suamimu tak menginginkan anak?”
“Bukan.”
“Kalau begitu belum siap?” Si kakak mengerti.
Mu Xiaoya mengangguk.
“Juga, memang benar kalau kalian para anak muda sama sekali tak peduli pada anak-anak kalian ketika kalian bekerja keras dalam karir ah. Dan kaum wanita berada di bawah lebih banyak tekanan oleh masyarakat modern. Menjadi seorang ibu benar-benar bukan keputusan yang sederhana.” Kemudian dia berkata, “Tapi kalau kau benar-benar ingin punya anak, jangan terlalu cemas. Terkadang seorang anak itu di luarnya seperti pohon muda kecil, tapi sebenarnya, kau tak usah terlalu cemas ah. Selama kau mencintainya, mereka akan tumbuh ah. Obat ini efektif dalam waktu tujuh puluh dua jam, kau bisa memikirkannya kembali.”
Mu Xiaoya berterima kasih kepadanya dan berjalan keluar dari apotek. Dia berjalan dengan tatapan kosong ke depan dan sudah berada kira-kira dua atau tiga meter jauhnya, ketika tiba-tiba dia berhenti, dan menunduk menatap kotak obat yang baru saja dibelinya.
Ini hanya sekotak kontrasepsi. Dalam masyarakat saat ini, fungsi benda ini sama dengan TT. Namun dalam perspektif Mu Xiaoya, kedua benda ini memiliki metode yang berbeda dalam mencapai sasaran mereka. Ini adalah kontrasepsi setelah kejadian itu. Kalau dia meminumnya, bila terdapat sebuah kehidupan kecil yang tumbuh dengan gigih di dalam rahimnya, maka dia telah membasmi kehidupan dari anaknya dan Bai Chuan.
Tapi bila dia tak meminumnya, dia mungkin akan kebetulan jadi hamil dan seorang anak yang membawa garis keturunannya akan terlahir dalam waktu sepuluh bulan. Kemudian dalam waktu dua tahun lagi, saat anak ini baru saja belajar cara untuk berjalan dan memanggil ‘ibu’, dia akan kehilangan ibunya selamanya.
Sejak kelahiran kembalinya, Mu Xiaoya telah menjadi beruntung dan bersyukur. Dia senang karena dirinya bisa kembali ke masa lalu dan memiliki kesempatan untuk membuat pilihan yang berbeda, memberinya pandangan tentang masa depan dan untuk mengenali banyak penyesalannya. Namun pada saat ini, dia membenci pengetahuannya akan masa depan dan berharap dirinya tak tahu apa-apa. Dengan demikian pada saat ini, dia mungkin akan dengan penuh semangat berspekulasi apakah dirinya hamil, daripada meragu untuk meminum obatnya.
****
Pada pukul enam lewat lima sore, karena jalan bersaljunya licin, Bai Chuan tiba di studio beberapa menit lebih lambat. Dia buru-buru mendorong pintunya hingga terbuka dan berjalan masuk.
“Kau sudah sampai? Tapi Xiaoya belum kembali, apa kau mau menelepon dia?” Fang Hui melihat Bai Chuan dan berkata dengan nada akrab.
“Nggak di sini?” Bai Chuan terkejut. Hari ini, Xiaoya tidak bilang kalau dia akan pulang terlambat ah.
“Dia pergi ke rumah sakit di siang hari. Dia mungkin tertunda oleh sesuatu,” Fang Hui berkata.
Bai Chuan mengangguk dan berpaling ke bar. Saat berjalan, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Mu Xiaoya, tapi saat dia sudah akan menghubungi dari belakang jendela bergaya Perancis di bar, Bai Chuan menemukan Mu Xiaoya di seberang jalan.
Bai Chuan langsung mematikan ponselnya, berbalik, dan berjalan keluar.
“Eh, kau mau ke mana?” Fang Hui melihat Bai Chuan tiba-tiba berlari keluar lagi dan menatap ke luar dengan ragu. Dia mengikuti arah langkah Bai Chuan dan juga melihat Mu Xiaoya. “Sungguh deh, tak bisa menunggu hingga menyeberang jalan.”
Fang Hui tersenyum, mengambil tasnya yang sudah dikemasi, dan langsung meninggalkan tempat kerja tanpa berpamitan pada keduanya.
“Xiaoya.” Bai Chuan berseru gembira seraya berlari ke arah Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya kembali pada akal sehatnya dan mendongak. Dilihatnya Bai Chuan berlari ke arahnya. Tanpa sadar dia memasukkan obat dari tangannya ke dalam tasnya.
“Kau… pulang kerja secepat ini?” Mu Xiaoya bertanya dengan perasaan bersalah.
“Sekarang sudah jam enam lewat sepuluh.” Bai Chuan menunjukkan jamnya pada Mu Xiaoya.
“Sudah sesore ini?” Mu Xiaoya terkejut, rupanya tak menyangka kalau dirinya akan berdiri terbengong-bengong di pinggir jalan dalam waktu lama.
“Ayo kita beli sayuran.” Kemarin, tak ada makanan di rumah. Bai Chuan telah memikirkan tentang pergi berbelanja hari ini. Saat dia berkata demikian, dia meraih tangan Mu Xiaoya sehingga mereka bisa berjalan ke mal perbelanjaan di dekat situ.
“Tanganmu dingin sekali.” Hanya satu langkah, Bai Chuan berhenti. Dia mengerutkan alisnya dan membungkus telapak tangan Mu Xiaoya yang dingin dalam kedua tangannya. Tampaknya hal itu tidak cukup, jadi dia menundukkan kepalanya untuk menghembuskan napas ke tangan Mu Xiaoya. Semburan kabut putih mengenai telapak tangan Mu Xiaoya, namun tidak membawa kehangatan, tetapi memang berhasil menghidupkan kembali orangnya.
“Di dalam mal tidak dingin,” Mu Xiaoya mengingatkannya.
“Kalau begitu… ayo cepat pergi ke mal.” Setelah dua langkah, Bai Chuan tiba-tiba berhenti lagi. Dia melepaskan syal dari lehernya dan membungkuskannya pada Mu Xiaoya. “Oke, ayo cepat jalan.”
Semuanya tampak baik-baik saja dan dia rasanya tak melewatkan apa pun, jadi Bai Chuan pun tersenyum gembira. Dia meraih tangan Mu Xiaoya, dengan cepat melewati lampu-lampu lalu lintas dan mereka pun berlindung di dalam kehangatan mal.
“Apa masih dingin?” Bai Chuan merasa gelisah dan ingin memastikan.
“Sudah nggak dingin lagi.” Mu Xiaoya menggelengkan kepalanya. “Ayo kita belanja.”
Setelah membeli bahan makanan, mereka pun kembali ke rumah dan memasak makan malam. Setelah makan malam yang sederhana, Bai Chuan mencuci piring sementara Mu Xiaoya menonton TV di sofa. Seperti dua kacang dalam satu cangkang, perasaan kedua orang itu kembali tenang, yang mana membuat Mu Xiaoya untuk sementara melupakan masalah yang berkenaan dengan kehamilan. Dia tak mau Bai Chuan mendeteksi ketidaknormalannya, setidaknya sebelum dia menemukan jawabannya.
Di sini, Mu Xiaoya masih mencemaskan tentang apakah dirinya hamil. Di sebelah sana, Bai Chuan, yang baru saja merasakan daging untuk pertama kalinya dan masih memiliki rasa itu terpatri dalam sumsumnya. Ketika keduanya berbaring di ranjang, dengan terus terang dan tenang Bai Chuan mengungkapkan permintaannya.
“Apa tak apa-apa?” wajah Bai Chuan tampak penuh harap dan tangannya penuh semangat saat dia memegangi pinggang Mu Xiaoya.
“Nggak.” Bagaimana bisa Mu Xiaoya bersedia. Dia menjawab dengan wajah dingin, dan langsung berguling menjauh.
Bai Chuan agak kecewa tapi tak bertanya lagi. Dia hanya meraih seperti biasa untuk memeluk istrinya agar tidur bersama, namun permintaan ini juga ditolak oleh Mu Xiaoya.
Bai Chuan kebingungan. Kakaknya tak menyebutkan kalau Xiaoya akan jadi marah setelah menolak dirinya ah.
Bai Chuan yang merasa cemas, terkena insomnia yang jarang dialaminya, namun mendapati bahwa bahkan di pagi harinya, perasaan Mu Xiaoya juga tidak baik.
“Apa kau marah denganku?” Bai Chuan bertanya dengan gelisah di meja sarapan.
“Nggak.” Mu Xiaoya menggelengkan kepalanya.
Bai Chuan dengan hati-hati memilah-milah urusan ini selama sesaat dan memastikan bahwa Mu Xiaoya tak berbohong kepadanya sebelum pergi bekerja dengan tenang. Mu Xiaoya hanya menunggu dirinya untuk pulang kerja, kemudian ketika mereka berbaring di ranjang, dia kembali mengeluh pada punggung istrinya: Bukankah dia bilang dia tidak marah? Selain itu, aku nggak memintanya hari ini ah, kenapa dia tak bisa tidur dalam pelukanku seperti sebelumnya?
“Apa kau marah padaku?” Bai Chuan bertanya dengan sangat yakin pada saat sarapan di hari ketiga.
“Nggak ah,” Mu Xiaoya menjawab, kemudian memberi Bai Chuan tatapan ganjil.
Namun Bai Chuan yang sensitif kali ini tak memercayai Mu Xiaoya. Ditatapnya Mu Xiaoya dengan keras kepala.
“Sungguh tidak, cepat makanlah atau kau akan terlambat kerja.” Dengan itu, Mu Xiaoya menundukkan kepalanya dan mencium wajah Bai Chuan. Bai Chuan tertegun, dan keraguan di dalam hatinya serta merta memudar oleh ciuman mendadak ini, dan dirinya kembali jadi gembira.
Bai Chuan naik taksi, dan Mu Xiaoya juga meninggalkan studio. Dia telah membuat modifikasi terakhir pada draft desain terkini dan mengirimkannya pada Fang Hui sebelum pukul sepuluh.
“Ini adalah draft desain yang terkini, lihatlah.”
“Aku tak mencemaskan apa-apa kalau kau yang menggambarnya, tapi bantu aku dengan desainku. Bagaimana menurutmu soal ini?” Karena bisnis studionya secara resmi telah berjalan, pembagian tugas di antara keduanya tanpa disadari telah menjadi jelas. Mu Xiaoya berfokus pada desain sementara Fang Hui berfokus pada jalannya bisnis. Dia telah sibuk selama setengah tahun dan tidak mudah baginya untuk punya waktu mendesain. Akhirnya, Fang Hui tiba-tiba menyadari bahwa dirinya belum juga mendesain sepasang sepatu pun.
“Ini bagus kok, jauh lebih baik daripada saat kau masih di kampus,” Mu Xiaoya menatapnya dan berkata kagum.
“Sana sana sana. Apanya yang lebih baik daripada saat aku masih di kampus? Jangan sarkastis, katakan, apa menurutmu desain ini akan ngetren?” Fang Hui bertanya.
“Ngetren atau nggak ngetren, aku tak bisa menjamin, tapi kalau aku, aku akan membeli sepatu semacam ini saat aku melihatnya di mal,” Mu Xiaoya tersenyum.
“Itu dia.” Fang Hui tertawa gembira. “Beri aku USB flash drive-mu yang ada gambar desainnya itu. Aku juga akan memasukkan gambar desainku dan mengirimkannya ke pabrik bersama-sama.”
“Ada di dalam tasku, kau ambillah sendiri dan aku akan memindainya.” Mu Xiaoya akan memindai draft desain di tangannya.
Fang Hui menyerahkan draft desainnya kepada Mu Xiaoya, kemudian pergi ke kantor Mu Xiaoya untuk menggeledah tas Mu Xiaoya. Baru saja resletingnya terbuka, sebuah kotak obat yang mencolok mata terpampang nyata di depan mata Fang Hui.
Fang Hui terperanjat, mengambilnya, dan mengamatinya. Dia mendapati kalau kotak obat itu belum dibuka, jadi dia meletakkannya kembali dan menemukan USB stick perak di dalam kantong samping.
“Apa kau sudah menemukan USB flash drive-nya?” Mu Xiaoya bertanya.
“Ini.” Fang Hui menyerahkan USB stik-nya.
Mu Xiaoya mengambilnya, menambahkan hasil pindaiannya ke dalam USB flash drive itu sebagai cadangan, kemudian mengirimkan satu salinannya ke email Fang Hui. “Aku sudah mengirimkannya ke email-mu. Kau bisa mengirimkannya secara langsung sebentar lagi.”
“Oke.” Fang Hui menatap pesan masuknya untuk memastikan dirinya sudah menerima draft desainnya. “Kau minumlah obatnya dan aku akan mengurus sisanya.”
“Obat apa?” Mu Xiaoya bertanya-tanya.
“Kontra….” Fang Hui melirik pada kedua pegawai yang duduk di sebelahnya dan merendahkan suaranya. “Obat di dalam tasmu ah, obatnya belum diminum. Sana minumlah, atau akan jadi tidak efektif.”
Mu Xiaoya baru bereaksi dan menjawab, “Aku belum memikirkannya.”
“Apa yang perlu dipikirkan? Kalau kau menginginkannya, maka jangan diminum. Kalau kau tak menginginkannya, maka minumlah.”
“Aku menginginkannya tapi tak berani,” Mu Xiaoya menjawab.
“Karena Bai Chuan?” Fang Hui meragu dan berkata, “Kalau kau mencemaskan soal autisme, ini adalah sesuatu yang tidak diturunkan.”
“Bukan karena Bai Chuan, tapi karena aku.”
“Karena kamu? Karena kamu?” Fang Hui keheranan.
Karena aku tak yakin apakah aku pantas untuk menjadi seorang ibu.
“Kau tak mengerti pikiran kami para wanita yang sudah menikah.” Mu Xiaoya bicara keluar topik.
“Ya, kalau begitu kau si wanita menikah bisa pergi dan mendiskusikannya dengan suamimu.” Fang Hui terlalu malas untuk bertanya, lagipula, tak peduli apakah Mu Xiaoya akhirnya memutuskan untuk punya anak atau tidak, dia akan mendukung sahabatnya itu tanpa syarat.
Mu Xiaoya tersenyum, kembali ke kursinya, kembali menatap tasnya, kemudian mengambil ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada Bai Chuan: ‘Pulanglah kerja lebih cepat, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu.’
Bai Chuan: ‘Oke.’
————–
Catatan Pengarang:
Teater kecil yang tak bertanggungjawab:
Bai Chuan: “Aku ditolak.”
Bai Zheng: “….” (Aku nggak kepingin tahu.)
Bai Chuan: “Xiaoya marah.”
Bai Zheng: “….” (Aku nggak kepingin tahu)
Bai Chuan: “Apa yang harus kulakukan?”
Bai Zheng: “….” (Jangan tanya aku)
Bai Chuan: “Aku nggak mau yang seperti itu lagi.”
Bai Zheng: “Mana bisa?!”
——————-
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-65/