My Husband With Scholar Syndrome - Chapter 77
Mu Xiaoya terbangun lagi di tengah malam. Orangtua mereka, dari kedua pihak, mendapatkan kabar itu pada keesokan harinya dan bergegas datang pagi-pagi hari berikutnya. Setelah banyak bujukan, hanya Shen Qingyi yang tinggal. Demi tidak memengaruhi istirahat Mu Xiaoya, yang lainnya pulang setelah memeriksa kondisinya.
Bai Chuan, yang sudah tidak beristirahat dengan baik selama enam hari, akhirnya tertidur di sofa.
Shen Qingyi memotong apel untuk putrinya dan mendesah, “Kali ini saat kau tiba-tiba jatuh sakit, performa Xiao Chuan telah melampaui perkiraan kami.”
“Apa yang terjadi dengannya?” Mu Xiaoya juga penasaran tentang performa pria itu setelah dirinya sakit, namun kemarin dia melihat kalau Bai Chuan terlalu kelelahan dan tak mau bertanya.
Dia adalah yang paling tenang di antara kami semua.” Shen Qingyi mengingat-ingat, “Memanggil ambulans, melalui prosedur merumahsakitkan, menggambarkan kondisinya, menghubungi kami, menjagamu, semuanya ditata dalam cara yang teratur, yang mana sama sekali bukan sesuatu yang akan dilakukan oleh orang yang memiliki autisme. Alih-alih, kamilah yang tak tahu apa yang harus dilakukan.”
“Dia tak mengalami serangan?”
“Tidak, dia dengan keras kepalanya tetap tinggal di dalam bangsalmu dan tak membiarkan orang lain merawatmu. Kukira dia begitu tenang karena dia tak mengerti perpisahan antara hidup dan mati.” Shen Qingyi menjawab dengan seulas senyum, “Sebelumnya ah, ayahmu dan aku merasa cemas kalau Bai Chuan takkan bisa merawatmu. Sekarang, tampaknya kami terlalu cemas.”
“Dia tak mengerti. Dia menungguku terbangun….” Atau melihat bila aku tidak terbangun.
Mu Xiaoya memutar kepala untuk menatap Bai Chuan. Pria itu meringkuk di atas sofa di dalam selimut. Matanya terpejam rapat pada wajah pucatnya. Bulu matanya yang panjang kadang-kadang bergetar. Tampaknya dia bisa terbangun kapan saja. Mu Xiaoya tak bisa melihat mata Bai Chuan tetapi tahu kalau pria itu menunggu dirinya pada akhirnya, kemudian menghampirinya.
“Aku senang kau bangun.” Mengingat kembali kejadian pada saat itu, Shen Qingyi mau tak mau merasa takut selama sesaat, “Kalau tidak… ai, aku tak seharusnya bilang begitu.”
Agar tidak menambah tekanan pada diri Mu Xiaoya, kedua keluarga itu pun mendiskusikan hal ini bersama-sama. Di masa mendatang, tak ada seorang pun yang akan mengungkit isu penyakit genetis di depan Mu Xiaoya dan Bai Chuan. Meski penyakit genetisnya tidak hancur sepenuhnya, namun mereka tak punya pilihan lain selain menunggu. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah menjalani kehidupan di masa kini secara optimis.
“Saat kau telah keluar dari rumah sakit, pergi dan temuilah Nenek Bai,” Shen Qingyi mendesak. Sejak dia menemukan alasan bahwa lolosnya putrinya dari kematian adalah karena gelang kumala itu, Shen Qingyi telah merasa berterima kasih kepada Nenek Bai dalam hatinya.
“En,” Mu Xiaoya berjanji. Bahkan bila ibunya tidak menyebutkannya, dia akan tetap pergi.
Siangnya, Shen Qingyi keluar membeli makanan untuk putrinya. Segera setelah dia pergi, Bai Zheng pun datang. Dia datang untuk memberikan baju ganti kepada Bai Chuan.
“Apa Xiao Chuan masih tidur?” Bai Zheng menatap Bai Chuan, yang masih tertidur, dan meletakkan pakaian sang adik di kursi di sampingnya.
“Takutnya dia kelelahan. Dia bahkan tidak terbangun saat pada pagi ini ada yang berisik,” Mu Xiaoya merasa tertekan.
“Kau… bagaimana keadaanmu?” Bai Zheng bertanya pada Mu Xiaoya.
“Aku baik-baik saja ah.”
Wajah Mu Xiaoya masih agak pucat, namun kondisi mentalnya telah pulih dengan baik. Dia juga telah bertanya pada Profesor Rong, selama dia tidak jatuh pingsan lagi, apakah dirinya tak ada bedanya dengan orang biasa. Namun Bai Zheng tak bisa melupakan bagiamana Mu Xiaoya terlihat ketika wanita itu tiba di rumah sakit saat Bai Zheng bergegas datang. Tubuh Mu Xiaoya tertutup oleh tabung-tabung dan, khususnya ketika, Profesor Rong berkata bahwa penyebab penyakit Mu Xiaoya adalah….
“Maafkan aku.” Bai Zheng tiba-tiba meminta maaf.
“Kakak?” Mu Xiaoya kebingungan. Kenapa Bai Zheng tiba-tiba minta maaf kepadanya?
“Karena aku memberitahu Xiao Chuan kalau aku berharap kau punya bayi sebelum kau jatuh sakit.” Ketika Profesor Rong bilang kalau Mu Xiaoya tidak hamil, dia mungkin takkan jatuh sakit hingga dua atau tiga tahun kemudian, Bai Zheng lantas mulai menyalahkan dirinya sendiri. Tapi apa arti dari dua atau tiga tahun itu? Itu artinya akan ada teknologi medis yang lebih maju, tubuh Mu Xiaoya bisa dinutrisi oleh gelang kumala itu selama dua tahun atau lebih lagi, dan mungkin dua atau tiga tahun kemudian, ketika Mu Xiaoya jatuh sakit, Profesor Rong akan sudah menemukan cara untuk merawat penyakit genetis ini. Atau, mutasi yang disebabkan oleh gelang kumalanya akan mencegah gen penyakitnya lebih jauh lagi dan Mu Xiaoya takkan jatuh sakit sama sekali.
“Kak, masalah ini tak ada hubungannya denganmu. Anak ini adalah apa yang aku dan Xiao Chuan inginkan, dan tak ada seorang pun yang berpikir kalau kehamilan akan membuatku sakit sebelumnya.”
Bai Zheng memahami hal ini, dia juga telah meyakinkan dirinya sendiri, namun masih tak mampu melepaskan rasa bersalahnya sendiri karena konsekuensi yang hampir terjadi. Kau tak bisa menghindari tanggung jawab hanya karena kau tak melakukannya secara sengaja. Saat terjadi longsor salju, tak ada bahkan sekeping salju pun yang tidak bersalah.
“Kalau kita melacak kembali pada penyebabnya, ini benar-benar adalah salahku.” Mu Xiaoya melihat kalau Bai Zheng masih menyalahkan dirinya sendiri, jadi Mu Xiaoya mengatakan separuh kebenarannya, “Kalau aku tak memilih untuk menikahi Xiao Chuan pada awalnya, Nenek takkan memberiku gelang itu, kemudian aku takkan hamil. Jadi bahkan bila aku bisa hidup selama dua tahun lagi, aku hanya akan tiba-tiba jatuh sakit dan mati. Apa Kakak kira kedua akhir ini sama? Lantas yang mana yang lebih sesuai untukku?”
Bai Zheng menatap Mu Xiaoya. Selalu ada kesan bahwa Mu Xiaoya sepertinya selama ini tahu kalau dirinya pasti akan jatuh sakit.
“Kau… jangan mati.” Setelah Mu Xiaoya mendapat serangan, semua orang dibuat terpukau oleh ketenangan Bai Chuan. Keruntuhan yang mereka cemaskan tak terjadi sama sekali, bahkan tak ada jejak krisis sedikit pun pada dirinya. Namun Bai Zheng tahu bahwa bila Mu Xiaoya benar-benar tidak terbangun, hal itu akan menjadi awal dari keruntuhan Bai Chuan.
Selama enam hari Mu Xiaoya koma, Bai Chuan tak menanyakan tentang penyakitnya, namun malah terus bertanya kepada dokter, “Kapan Xiaoya akan bangun?”
Tak ada banyak kecemasan dalam kata-katanya, seakan dia hanya menunggu hasilnya. Lalu untuk reaksi setelah mungkin menemukan hasil terburuk, Bai Zheng tak berani membayangkannya.
“Aku bekerja keras.” Mu Xiaoya menjawab seraya tersenyum.
Bai Zheng menatap Bai Chuan kembali. Dia tak bicara lagi, mengangguk dan pergi.
****
Dalam sekejap mata, tiga bulan lagi telah berlalu, dan hari persalinan Mu Xiaoya pun tiba. Ketika memilih metode persalinan, Mu Xiaoya tidak ragu-ragu memilih metode caesar. Di satu sisi, dia takut bila tiba-tiba pingsan di tengah proses persalinan, dan di sisi lain, dia tak mau Bai Chuan melihat proses persalinan itu.
Kalau Bai Chuan melihat proses persalinannya, ada kemungkinan bahwa ayah yang satu ini akan membenci anaknya begitu dilahirkan.
Namun yang tak disangka oleh Mu Xiaoya adalah bahwa dia sendiri yang memiliki begitu banyak kecemasan. Dan begitu bayinya lahir, bayi itu bagaimanapun juga masih saja dibenci oleh Bai Chuan. Alasannya membuat orang tak mampu tertawa ataupun menangis: karena putra mereka tak mirip seperti Mu Xiaoya sama sekali.
Ya, mereka punya anak laki-laki. Meski ada banyak hal yang terjadi selama kehamilan, untung saja, anak itu sehat. Ketika anak itu diantar kembali dari pemeriksaan pertama, semua orang di sekitar buaian terus-terusan memuji si anak pada pada orangtuanya.
Yang ini bilang kalau hidung si anak tampak bagus, yang lain bilang kalau mulut si anak tampak bagus, dan bahkan bahwa rambutnya tampak bagus. Hanya suara Bai Chuan yang terdengar lantang, “Dia nggak sama seperti yang kubayangkan.”
Semua orang jadi tertarik dan mengira kalau dia sedang memuji si anak, “Bagaimana menurutmu?”
“Dia berbeda dengan ketika Xiaoya masih kecil,” Bai Chuan menjawab.
Semua orang tertawa dan membujuk, “Anak ini masih kecil dan sekarang ya tampak seperti ini. Saat dia sudah tumbuh dewasa, kita baru akan tahu.”
Ketika Bai Chuan melihat bahwa semua orang tak memercayai apa yang dia katakan, dia pun mengeluarkan pena dan kertas, entah dari mana, dan menggambar sketsa dari seorang anak berusia lima tahun di tempat itu juga. Dia kemudian menunjukkannya kepada kedua keluarga tersebut, “Lihat, dia akan tampak seperti ini kelak, dia tak kelihatan mirip dengan Xiaoya sama sekali.”
Orangtua dari kedua pihak bergiliran melihat sketsa ini. Mereka hanya merasa kalau si bocah laki-laki kecil yang sedang tidur dengan mata terpejam ini terasa familier, seakan mereka pernah melihat dirinya entah di mana.
“Tunggu….” Li Rong tiba-tiba berseru, kemudian mengeluarkan ponselnya, membolak-balik album dan membuka sebuah foto lama. Dia membandingkannya dengan sketsa itu, “Bukankah ini mirip?”
“Ini adalah…” Shen Qingyi samar-samar menerka, “Saat Xiao Chuan masih kecil.”
“Ya.” Li Rong bertanya penuh semangat pada Bai Chuan, “Saat putramu tumbuh dewasa, apa dia benar-benar akan tampak seperti ini?”
“En. Aku menggambarnya sesuai dengan hukum alami pertumbuhan manusia….” Bai Chuan sudah akan menjelaskan detil dari proses pembuatan gambar ini namun disela oleh sikap kegirangan ibunya. Ini adalah sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di masa lalu, selama dia bersedia bicara, siapa yang akan berani menyelanya.
“Bagus sekali.” Dibandingkan dengan ketidaksenangan Bai Chuan, yang lainnya di Keluarga Bai merasa gembira, karena ada anak nyaris identik yang tampak seperti Bai Chuan. Mereka akan bisa menebus rasa bersalah mereka dari ketika Bai Chuan tumbuh dewasa.
Orangtua Keluarga Mu juga sangat gembira. Mereka tak peduli cucu mereka mirip siapa, selama itu adalah cucu mereka.
Tak ada seorang pun yang mengerti rasa sakit di hatinya. Bai Chuan telah merasa tidak senang tentang hal ini dalam waktu lama. Bahkan hiburan dari Mu Xiaoya juga tak berguna. Hingga suatu malam, ketika Bai Chuan menyodok wajah mungil putranya dengan jemarinya dan membangunkan Xiao Tuanzi* yang sedang tidur. Xiao Tuanzi membuka matanya dengan bingung, sepasang mata badam yang hitam dan cerah, persis seperti ibunya.
(T/N: Xiao Tuanzi secara harafiah berarti kue beras kecil atau dango kecil. Mungkin kalau dilokalkan ke Indonesia jadi klepon kecil? atau onde-onde?)
Sejak saat itu, Xiao Tuanzi Keluarga Bai akan disodok oleh ayahnya setelah dia tertidur.
Dan setiap pagi ketika mereka bangun, Mu Xiaoya selalu menemukan titik merah kecil pada pipi putranya: “….”
Waktu berlalu dengan cepat dan dua tahun kemudian, meski penyakit genetis Mu Xiaoya belum disembuhkan, dia akan dirumahsakitkan selama beberapa hari, rata-rata, sesekali. Namun dia masih berhasil melewati tanggal ‘kadaluwarsa’ kehidupannya yang lalu.
Pada hari kedua perayaan empat tahun pernikahannya dengan Bai Chuan, Mu Xiaoya dan Bai Chuan membawa anak mereka ke makam Nenek Bai.
“Kemari, panggil Nenek Buyut,” Mu Xiaoya menunjuk pada foto Nenek Bai dan menyuruh putranya untuk berkata demikian.
“Nenek… Nenek Buyut.” kata-kata Bai Xiao Tuanzi belum mulus, namun suara lembut nan manisnya bisa mencapai hati orang-orang.
“Penyesalan terbesar Nenek Buyut adalah bahwa ayahmu tak suka bicara ketika dia masih kanak-kanak ah. Kau harus mengatakan lebih banyak kata-kata lagi.” Meski Bai Xiao Tuanzi tampak mirip dengan ayahnya, sifatnya mengikuti Mu Xiaoya, mulutnya manis dan aktif dan dia bahkan sedikit nakal. Namun ini adalah semua hal yang Keluarga Bai harapkan akan dilakukan oleh Bai Chuan saat dirinya masih kecil. Karenanya, ketika Bai Xiao Tuanzi bersikap nakal, Keluarga Bai takkan menghentikannya, melainkan bahkan menyemangatinya.
Mu Xiaoya tak berani menyerahkan anaknya kepada mertuanya, karena takut mereka akan secara gegabah membesarkan seorang leluhur kedua*.
(T/N: Orang Tiongkok paling menghormati dan memuja leluhur mereka, jadi istilah leluhur kedua mengacu pada anak yang diperlakukan seperti leluhur / penguasa – dimanjakan habis-habisan)
“Nenek… Nenek Buyut, Nenek Buyut….” Suara nyaring anak itu menyebut lagi dan lagi. Mu Xiaoya menatap nisan Nenek Bai dengan tertegun dan seakan melihat senyum ramah Beliau, seakan Beliau merespon dirinya.
Nenek, kemarin seharusnya adalah hari kematianku, tapi aku ternyata selamat. Setiap hari sejak saat ini, Nenek telah memberiku kehidupan yang baru.
Mu Xiaoya menatap gelang kumala di pergelangan tangannya dan berkata dalam hati.
“Biarkan dia belajar piano nanti.” Bai Chuan tiba-tiba menyarankan dan menunjuk pada Xiao Tuanzi yang berseru ‘Nenek Buyut’ lagi dan lagi.
“Kenapa?” Mu Xiaoya terkejut.
“Nenek ingin mengajariku piano saat aku masih kecil, tapi aku tak belajar.” Bai Chuan teringat bahwa saat dirinya masih sangat kecil, Nenek suka bermain piano dengan dirinya dalam pelukan Beliau, namun sungguh aneh bila mengatakan bahwa dia memiliki sindrom cendekia, karena ingatan dan kemampuannya belajar sangat bagus, namun dia tak tahu cara memainkannya. Dia hanya tak bisa menekan kunci-kunci pada piano.
“Suaranya bagus.”
——-
Catatan Pengarang:
Inilah akhir dari novelnya. Terima kasih kalian telah menemani, Kepiting cinta kalian. Pada saat menulis novel ini, banyak hal terjadi di sekitar Kepiting. AKu mengalami kebingungan, kecemasan, dan kemunduran. Untung saja, kalian menemaniku. Terima kasih banyak.
T/N: Eits, jangan ke mana-mana. Setelah ini masih ada beberapa cerita ekstra. Stay tuned!
————–
Versi Inggris bisa dibaca di: www.novicetranslations.com/my-husband-with-scholar-syndrome-chapter-77/