My Husband With Scholar Syndrome - Extra 3
Obat untuk autisme selalu merupakan masalah sulit dalam lapangan medis. Sebagian besar dari orang-orang autis tak bisa membaurkan diri mereka sendiri ke dalam masyarakat di sepanjang hidup mereka, hanya sangat sedikit jumlah dari orang-orang autis yang sangat beruntung yang bisa belajar bagaimana bertahan hidup di masyarakat normal.
Dan di antara sedikit orang autis itu, ada lebih sedikit lagi yang memiliki sindrom cendekia. Tanpa pengecualian, sangat sedikit orang dalam kategori ini yang akan menjadi sangat bagus dalam bidang mereka sendiri dengan memakai otak mereka yang luar biasa cerdas untuk memasuki masyarakat.
Mereka bisa menjadi musisi, konduktor, ilmuwan, dokter, ataupun pemimpin di industri lainnya yang sangat luar biasa.
Sebulan yang lalu, Profesor Feng menerima undangan, yang mana adalah sebuah seminar dalam hal autisme yang diadakan oleh Asosiasi Dunia untuk Riset Autisme. Tak ada yang mengejutkan di seminar itu, yang mana tersedia setiap tahunnya, namun kali ini, asosiasi telah membuat peningkatan. Semua profesor yang ikut serta dalam seminar itu harus membawa seorang autis yang telah mereka rawat dan sudah pulih dengan baik untuk bisa ikut serta.
Profesor Feng menyalakan rekamannya sendiri selama puluhan tahun, dan setelah memilah-milah tumpukan tebal catatan medis tentang hal itu, dia memutuskan bahwa hanya Bai Chuan yang bisa mengambil peranan ini. Anak ini, sejak dia menikah, telah pulih menjadi lebih baik setiap harinya. Namun setelah anak itu pulih, yang bersangkutan juga mulai mengabaikan dirinya dan menolak untuk datang ke konseling psikologis sebulan sekali.
Bai Chuan jelas takkan setuju bila Profesor Feng memintanya secara langsung.
Profesor Feng memikirkannya selama sesaat dan memutuskan untuk minta bantuan dari Mu Xiaoya.
Dibandingkan dengan Bai Chuan, Mu Xiaoya jauh lebih baik dalam hal mendengarkan dirinya. Begitu Mu Xiaoya mendengar bahwa seminar ini bertujuan untuk membantu lebih banyak orang autis, dia pun langsung menjanjikan pada saat itu juga. Tidak seperti Bai Chuan, si serigala bermata putih itu, yang setelah dia sendiri mendapatkan banyak kemajuan, jadi tak peduli tentang sesamanya sedikit pun.
****
Di ruang tunggu VIP di bandara, Profesor Feng kadang-kadang menatap ke arah pintu masuk. Dia sudah akan naik pesawat, bagaimana bisa dia tak kunjung melihat Bai Chuan dan Mu Xiaoya?
Saat dia masih merasa cemas, seorang anak laki-laki kecil berbaju kuning mendadak berlari masuk dari jendela seperti angin, dan dengan memanfaatkan tubuh kecilnya, dia menghambur dan menyembunyikan dirinya sendiri di bawah meja buffet.
Ini adalah….
“Keluar!”
Sudah barang tentu, ternyata adalah kelompok kecil Keluarga Bai. Profesor Feng melihat Bai Chuan yang mengejar masuk, jadi dia ingin menyapa.
“Nggak mau! Aku nggak mau ganti baju!” Dibandingkan dengan kata-kata ringkas dan tepat ayahnya, ucapan tuanzi dari Keluarga Bai cepat dan gelisah, namun suaranya yang masih kekanakan dan imut takkan membuat orang merasa tidak nyaman.
“Kamu kotor sekali.” Melihat putranya bersembunyi di bawah meja makan, Bai Chuan berharap bisa membawa anak itu ke wastafel dan mencucinya hingga bersih saat itu juga. Anak ini sangat menjijikkan, dia muntah ke lantai saat masih kecil, dan sekarang saat dia sudah tumbuh besar, dia bergulingan di lantai.
“Aku nggak mau ganti baju. Aku mau pakai bumblebee ini.”
“Ganti.”
“Nggak ganti!”
Mungkin karena ayah dan anak itu terlalu rupawan, meski keduanya bertengkar dengan begitu kekanakan, orang-orang di sekitarnya bukan hanya tidak merasa tak sabar, namun malah menatap mereka dengan penuh minat.
“Itu… Xiao Chuan ah, ada apa?” Butuh waktu cukup lama bagi Profesor Feng untuk menemukan kesempatan menyela.
“Bajunya rusak, dia harus menggantinya.” Bai Chuan menatap Profesor Feng dan menjelaskan.
Bagaimana bisa baju ini disebut rusak?
Profesor Feng kebingungan. Mu Xiaoya berlari ke dalam pada saat ini dan melihat ayah dan anak itu saling berhadapan. Dia buru-buru memberi salam kepada Profesor Feng dan berjongkok untuk membujuk putranya, “Sayang, keluarlah.”
“Aku nggak mau ganti baju.” Bai Xiao Tuanzi cukup penuh tekad kali ini.
“Kalau begitu kau tak perlu ganti,” Mu Xiaoya membujuk.
“Sungguh?”
“Sungguh.” Mendapatkan kepastian dari ibunya, Bai Xiao Tuanzi langsung merayap keluar tanpa rasa takut. Ayah menyebalkan, tapi dia mendengarkan ibu ah.
Tepat setelah Mu Xiaoya berjanji, Bai Chuan jadi tidak senang. Dia menunggu hingga istrinya berdiri dan kemudian menggerutu, “Kau membantu dia.”
“… Aku, nggak kok.” Mu Xiaoya mengesah.
“Dia nggak ganti baju, aku merasa nggak nyaman,” Bai Chuan mengernyit.
Ini… bagaimana dia bisa memperbaikinya? Ini sebuah dilema ah. Profesor Feng yang mulanya ingin membantu, diam-diam melangkah mundur dan mengesah. Semua ini sungguh sulit bagi Mu Xiaoya ah.
“Aku juga takkan membuatmu merasa tidak nyaman.” Mu Xiaoya menunggu hingga putranya merangkak keluar, menepuk-nepuk celana kotornya dan berjalan ke samping bersama satu bocah besar serta satu bocah kecil, dia bertanya, “Apa kau harus memakai baju ini?”
“En.” Bai Tuanzi tampak kukuh.
“Apa kau merasa tidak nyaman dengan lubang di lengan baju ini?”
“En.” Bai Chuan juga tampak kukuh.
“Baiklah.” Mu Xiaoya mengambil sebuah pisau meja dari meja makan, dan kemudian menarik lengan baju itu untuk menusuknya dengan pisau. Dengan suara koyakan, lengan baju itu pun jadi memiliki lubang kecil dan besar.
Kelihatan agak lebih besar? Mu Xiaoya kemudian menarik lengan baju lain pada pakaian putranya, dan memotong lubang yang semula hanya seukuran sebutir beras.
En, simetris.
Dia mendongak menatap Bai Chuan, “Masih merasa tidak nyaman?”
Bai Chuan menggelengkan kepalanya.
Setelah menerima respon positif ini dari suaminya, dia pun bertanya pada putranya, “Masih ingin pakai ini?”
“Pakai!”
Mereka semua senang, jadi Mu Xiaoya pun meletakkan kembali pisaunya.
Kuat sekali! Metode sesederhana dan sekasar itu ternyata sangat efektif, dan Profesor Feng, yang telah menyaksikan keseluruhan prosesnya, jadi lebih mengagumi Mu Xiaoya.
Mu Xiaoya baru saja menyelesaikan pertengkaran kecil dalam keluarganya sebelum terdengar pengumuman bahwa mereka harus mulai naik pesawat. Mu Xiaoya kemudian berjalan sambil menarik tangan putranya, namun sebelum dia bisa berjalan dua langkah, tangannya yang lain digenggam oleh Bai Chuan.
Untung saja, dia sudah memeriksa semua barang bawaannya tadi.
****
Pesawat mengudara dengan mulus, mendarat dengan mulus, membawa mereka ke negara H setelah penerbangan selama delapan jam. Setelah beristirahat selama sehari penuh, Bai Chuan harus pergi ke seminar bersama Profesor Feng. Di seminar, Bai Chuan seratus persen tak bersedia, namun Mu Xiaoya telah menjanjikan hal ini terlebih dahulu, jadi dia harus memaksakan dirinya untuk pergi, meski Bai Chuan tak memberi Profesor Feng tampang yang baik di sepanjang jalan menuju ke seminar. Meski begitu, Profesor Feng tetap kokoh dengan santainya, karena walau Bai Chuan merasa tidak nyaman, tapi dia akan dengan serius bertanggungjawab pada janjinya dan melakukannya sampai selesai.
Proses seminarnya sangat sederhana, diskusi akademis di pagi hari dan rangkuman pengamatan di siang hari, namun pengamatan siang adalah fokus dalam seminar ini.
Lalu apa yang diamati? Para profesor itu ingin mengamati bagaimana orang autis yang mereka bawa akan saling berkomunikasi satu sama lain.
Mereka ingin menemukan arah riset yang baru dari interaksi para orang autis, ingin tahu apakah ada suatu komunikasi khusus di antara mereka, jadi setelah mereka makan siang, mereka pun meninggalkan belasan orang autis dari berbagai penjuru dunia di ruang aktivitas. Ruang aktivitasnya telah diatur terlebih dahulu dengan bilyard, meja tenis, dan beragam board game.
Akan tetapi, sayang sekali bahwa di antara belasan orang tersebut, tak satu pun dari mereka yang tampaknya ingin bermain.
Tak punya cara lain, para profesor itu hanya bisa berlari ke ruang di sebelah, berharap mereka bisa melakukan suatu komunikasi. Akan tetapi, hal itu di bawah premis bahwa mereka tak bisa membicarakan tentang pengetahuan yang berhubungan dengan profesi mereka. Alasannya adalah, mereka takut bahwa begitu mereka bicara tentang keahlian mereka, satu orang bisa bicara selama sesiangan, jadi kalau begitu bagaimana bisa ada komunikasi? Maka semuanya hanya akan menjadi sebuah seminar akademis. Di samping itu, pengetahuan profesional tak bisa membantu mereka memasuki masyarakat ah.
Tak bisa bicara tentang pengetahuan profesional, lantas apa yang harus mereka bicarakan? Orang-orang autis itu menjadi sangat tertekan. Pada saat ini, seorang autis yang terlibat dalam industri pendidikan memulai, “Aku sudah menyiapkan beberapa topik yang sering dibicarakan orang-orang pada situasi normal, atau saat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Kita akan mencobanya satu persatu.”
Semua orang tak punya arah untuk diikuti, jadi mereka pun mengangguk setuju.
“Yang pertama, cuaca hari ini.”
“Cerah hingga berawan, kekuatan angin pada level 3-4, suhu udara 26-28 derajat, kualitas udaranya bagus, cocok untuk melakukan perjalanan.” Seorang praktisi kedokteran menyelesaikan bicaranya seperti kalau dia sedang membacakan prakiraan cuaca.
Saat semua orang mendengarnya, mereka tak punya apa pun untuk ditambahkan, jadi mereka hanya tetap diam.
“Pertanyaan kedua, apa yang kau makan hari ini.”
“Keripik kentang, hamburger, sup krim jagung.”
“Spaghetti, susu….”
Sesaat kemudian, semua menu buffet sarapan pun secara mendasar telah selesai dibacakan.
“Pertanyaan ketiga, kapan kalian pertama kali jatuh cinta?”
“Umur dua puluh tahun.”
“Umur enam belas tahun.”
“Umur tujuh tahun.”
Apa?! mata semua orang secara bersamaan melongok, dan seseorang menyuarakan keraguannya, “Seorang anak berusia tujuh tahun tak tahu bagaimana jatuh cinta.”
“Benar, hati dan fisiologi mereka masih belum dewasa.”
“Kenapa kalian menanyaiku saat kalianlah yang terlambat jatuh cinta?” Bai Chuan menatap dengan muak. Dirinya berusia tujuh tahun saat dia mulai menyukai Mu Xiaoya, terus apa? Ada yang punya keluhan?
Juga, tidak mengalaminya sendiri, tak ada seorang pun yang punya hak untuk mengatakan apa-apa, jadi mereka pun menerimanya dengan pikiran terbuka.
“Pertanyaan ini bisa diluaskan lebih jauh lagi.” Si pemimpin percakapan melanjutkan dan mengajukan lebih banyak pertanyaan, “Berapa lama hubungan cinta pertama itu berlangsung sebelum putus. Jelaskan alasannya.”
“Satu bulan, karena dia cuma ingin mencoba merasakan jatuh cinta dengan seorang autis, dan kemudian rasa penasarannya hilang. Pada periode itu, kami berciuman, tapi tidak naik ranjang.”
“Dua bulan, itu karena aku makan coklat tiap hari untuk mengendalikan emosiku. Dia bilang bersamaku rasanya seperti mengurus anak TK, kecuali saat kami naik ranjang.”
“Kami nggak putus.” Jawaban Bai Chuan sekali lagi berbeda dari yang lainnya.
“Dari umur tujuh hingga sekarang?” Seseorang bertanya.
“Ya.” Bai Chuan sarat dengan kepercayaan diri.
“Bagaimana kau membuktikannya?” Semua orang bertanya.
Bai Chuan mengangkat tangan kirinya dan meluruskannya di hadapan orang yang menanyainya, “Cincin kawin, model khusus MOLO, nomor 0898, tersedia untuk diperiksa.”
Seseorang tanpa bersuara mengeluarkan ponsel mereka, dan setelah memeriksa, mereka berkata, “Memang benar, aku sudah membaca daftar internal mereka dan mereka memang punya nama Bai Chuan. Mereka sudah menikah selama lima tahun.” Lalu mengenai bagaimana dia melihat daftar internal itu, semua orang diam saja.
Kerumunan akhirnya berhenti dengan pertanyaan ini.
“Kita akan lanjut ke pertanyaan berikutnya, apa kalian sudah menikah?”
“Nggak.”
“Nggak.”
“Ya!”
Semua orang: Aku sudah lihat cincin kawinnya, kau tak perlu menjawabnya.
Bai Chuan: Aku punya OCD, jadi aku harus menjawab.
“Apa kalian punya anak?”
Orang-orang asing tak sekonservatif orang Tiongkok. Meski kelompok orang autis ini tidak menikah, hampir separuh dari mereka sudah punya anak. Akan tetapi, anak-anak mereka pada dasarnya tinggal dengan sang ibu, hanya Bai Chuan yang tinggal bersama dengan anaknya.
“Anak-anak sungguh bencana.” Yang berkata ini adalah seorang autis yang punya anak, “Aku mengurus dia selama tiga hari sebelum melemparkan dia pada ibunya dan memberi mereka banyak uang.”
“Ya, anak-anak secara mendasar adalah setan. Aku telah menghabiskan separuh dari gajiku tiap bulan untuk biaya pengasuh anak.” Ini adalah seorang autis yang tak melemparkan anaknya kepada ibunya, tapi sudah nyaris dibuat meledak setiap harinya.
“Chuan, bagaimana kau hidup dengan anakmu? Apa kau ingin memukul dia?”
“Ya, setiap kali aku ingin pukul dia, aku tinggal buang saja dia,” Bai Chuan menjawab.
“Ilegal bila membuang anak,” semua orang berseru. Kalau tidak begitu, mereka juga ingin membuang anak mereka.
“Aku bisa buang dia ke orangtuaku, mertuaku, atau kakakku. Bukan hanya tidak melanggar hukum, mereka juga akan jadi sangat senang,” Bai Chuan menjawab.
“Tiongkok benar-benar sebuah negara yang menakjubkan.” Beberapa orang autis yang tinggal dengan anak mereka, semuanya merasa iri tak terkira. Orangtua mereka merasa enggan untuk menerima anak mereka, jadi mereka hanya bisa mempekerjakan pengasuh.
“Aku nggak mau punya anak, karena mereka tak bisa mewarisi IQ-ku.” Seorang autis dengan sindrom cendekia berkata, “Terlalu bodoh, hal yang sesederhana kalkulus, mereka harus belajar selama beberapa tahun.”
“Benar juga, Chuan, apa anakmu juga bodoh?”
“Bodoh.” Bai Chuan memikirkan tentang putranya yang berusia tiga tahun yang hanya bisa berhitung dari satu hingga seratus dan menunjukkan raut muak, “Butuh waktu tiga tahun baginya untuk belajar cara berhitung hingga seratus.”
“Ini juga terlalu bodoh.” Semua orang mengekspresikan rasa simpati mereka. Jadi masih ada bagian di mana Chuan merasa tidak puas. “Istrimu pasti patah hati.”
“Nggak begitu.” Bai Chuan menjawab, “Keluarga kami punya uang, jadi tak masalah kalau anaknya bodoh.” Inilah yang dikatakan oleh seluruh anggota keluarga kepadanya saat dia bilang kalau anaknya terlalu bodoh, terutama kakaknya Bai Zheng, yang memutar mata ke arahnya untuk pertama kalinya.
Tapi, saat memikirkannya, meski kalkulus kakaknya kelihatannya tak terlalu bagus, tapi sang kakak masih bisa mencari uang.
****
Kemudian mereka mengajukan beberapa pertanyaan lainnya, yang merupakan masalah umum yang bisa ditemukan dalam kehidupan orang biasa. Setelah bertanya, semua orang menyimpulkan dan menganalisa: Bai Chuan memiliki cinta dan pernikahan, punya uang dan pekerjaan, IQ dan hal yang ingin dikejar, istri dan anak, sebuah kondisi hidup yang lengkap. Hal ini sesuai dengan definisi dari pemenang dalam hidup.
“Kamu adalah pemenang dalam hidup.” Kerumunan dengan tulus merasa iri kepadanya.
“Ya.” Bai Chuan tak merendah.
Para profesor yang bersembunyi di ruang sebelah selama sesiangan mendengarkan, tidak mengumpulkan informasi apa pun, jadi mereka pun berpaling untuk berkonsultasi dengan Profesor Feng, “Feng, bagaimana kau melakukannya?”
“….” Jangan tanya aku, aku tak melakukan apa-apa. Juga, memangnya orang-orang yang awalnya autis suka membandingkan diri mereka sendiri?
Pada pukul empat siang, seminarnya berakhir, dan masing-masing profesor datang untuk menjemput orang mereka, bersiap untuk kembali ke hotel.
“Kau pergi.” Bai Chuan mengabaikan Profesor Feng.
“Kita harus kembali ke hotel bersama-sama,” Profesor Feng menjelaskan.
“Nggak, aku mau menunggu Xiaoya,” Bai Chuan berkata.
“Xiaoya dan Xiao Tuanzi pergi ke museum.” Bukankah Xiaoya sudah mengatakannya di pagi hari?
Bai Chuan mengernyit. Dia sudah akan menjadi tidak senang saat tiba-tiba sebuah bola meriam kecil dengan t-shirt merah menabraknya, “Ayah, Ayah sudah selesai dengan seminarnya!”
Bai Chuan mengangkat anaknya dengan satu tangan, “Apa yang kau makan? Kau lebih gendut dua pon daripada pagi ini.”
“Es krim, semangkuk pasta, sebotol cola.”
Bai Chuan menggumamkan sebuah ‘en’, kemudian memberikan putranya pada Profesor Feng yang ada di sampingnya.
Semua orang menatap dan mendapati bahwa Profesor Feng yang diberi anak itu tidak merasa tidak senang. Alih-alih, sang profesor menyeringai sambil memeluk si bocah bodoh yang harus belajar matematika selama tiga tahun. Anak itu jelas sangat dimanjakan.
Bagaimana kalau kita juga pergi ke Tiongkok? Beberapa orang autis yang punya anak memikirkan hal itu dalam hati.
“Seminarnya sudah selesai?” Mu Xiaoya berjalan ke arah Bai Chuan.
“En.”
“Lelah?”
“Nggak lelah.”
“Ada hasil?”
“Aku adalah pemenang dalam hidup.”
Ada apa dengan hal membingungkan ini?
Saat Mu Xiaoya masih bertanya-tanya, seorang asing berambut pirang tiba-tiba menghampiri dan bertanya padanya dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang tak diketahui, “Berapa umurmu saat kau mulai menyukai Chuan?”
Mu Xiaoya tak tahu kenapa si orang asing itu tiba-tiba bertanya, tapi dia menjawab, “Umur lima tahun.”
Semua orang: Sepertinya Chuan tak berbohong, dia benar-benar pemenang dalam kehidupan.
————-
Versi Inggris bisa dibaca di: isotls.com/extra-3-winner-in-life-chuan/