My Husband With Scholar Syndrome - Extra 4
Bai Guoyu, chairman dari Grup Yifeng, tiba-tiba menyadari bahwa ada sebuah masalah, dan masalah itu adalah bahwa putra pertamanya, sang presdir dari grup tersebut, tampaknya, yah, tak pernah berlibur sekali pun dalam tujuh hingga delapan tahun ini.
Tak heran kalau dia menjadi anjing lajang!
Seakan telah menemukan alasan penting atas status lajang dari Presdir Bai, pada rapat pemegang saham, secara paksa dia mendorong sebuah liburan besar pada putranya yang berlangsung selama tiga bulan.
Langkah mendadak ini membuat tebakan-tebakan liar menyebar di Grup Yifeng, dari Departemen Administrasi hingga para wanita tukang bebersih: Apakah mungkin karena sekarang kondisi Tuan Muda Kedua telah membaik, bos besar jadi ingin mengurangi kekuasaan Tuan Muda Pertama dan membagi otoritas?
Ini benar-benar terlalu tak berperasaan. Betapa baik Tuan Muda Pertama terhadap Tuan Muda Kedua selama bertahun-tahun ini ah, bagaimana bisa Tuan Muda Kedua berbalik terhadap kakaknya begitu dirinya membaik?
Begitu kabar itu keluar, para rekan di Departemen R&D langsung merasa tidak senang. Bagaimanapun juga, sebagai monyet-monyet kode yang hanya tahu bagaimana menenggelamkan diri mereka sendiri di dalam riset dan pengembangan, bagaimana bisa mereka menang bila mereka harus menghadapi forum gosip hitam itu? Akan tetapi, para kolega di Departemen R&D yang telah bersama dengan Bai Chuan selama bertahun-tahun bahkan tak pernah mempertimbangkan bahwa Tuan Muda Kedua mereka adalah orang semacam itu. Dan karenanya, A’Tong Mu diam-diam menghampiri Bai Chuan, “Tuan Muda Kedua, apa Anda tahu kalau Pak Presdir tiba-tiba pergi berlibur?”
“Aku tahu.” Bai Chuan telah mendengar Li Rong mengatakan hal ini saat mereka pulang ke rumah untuk makan malam.
“Kalau begitu, apa Anda tahu kenapa Pak Presdir disuruh pergi berlibur?” A’Tong Mu dengan sengaja memberi penekanan pada kata tersebut.
“Karena Kakak lajang.” Bai Chuan secara tepat merangkum topik makan malam pada hari itu.
“… Jadi, Chairman memaksakan pernikahan?” A’Tong Mu terkejut.
“En.” Bai Chuan mengangguk.
Orang-orang yang akhirnya mendapat jawaban, akhirnya merasa luar biasa lega. Jadi ini bukan karena Tuan Muda Kedua mereka ingin secara paksa merampas posisi tersebut, tetapi karena Tuan Muda Pertama, sosok orang yang sedemikian suksesnya, juga bisa dipaksa untuk menikah?!
Sungguh membuat orang ingin tertawa keras-keras dan berseru tiga kali ke langit, siapa yang akan dilewatkan dalam sklus reinkarnasi?
Akan tetapi, apa yang seharusnya diputihkan sudah seharusnya diputihkan. Para kolega di Departemen R&D langsung menjalankan berbagai invasi internal dan meneruskan kabar bahwa sang Presdir pergi ke luar untuk mencari istrinya. Dan karenanya, secara diam-diam, kelompok gosip hitam yang berpikir bahwa mereka sudah akan tidak disukai lagi, langsung mengubah tandanya: ‘Tiga bulan kemudian, dia pasti akan kembali bersama istrinya.’
Bai Zheng tak tahu kalau ada perang sebesar itu di dalam Grup Yifeng. Karena dia tak harus pergi bekerja, dia pun memutuskan untuk beristirahat dengan baik. Setiap hari, dia akan tinggal di rumah untuk membaca buku, lari pagi, atau menyusun mainan lego.
Pada minggu pertama, Li Rong memberi petunjuk lagi, “Kenapa kau tak mengundang beberapa orang teman untuk kumpul-kumpul?”
“Yang lainnya bekerja, bagaimana bisa mereka begitu santai seperti aku?” Bai Zheng tetap tak tergerak.
Pada minggu kedua, Li Rong menginstruksikan kepada cucunya, “Pergilah dan minta pada pamanmu untuk memberimu adik (sepupu).”
“Paman, kacih awu… adek….” Si bocah bayi kecil yang baru saja belajar bicara, kata-katanya terbata, namun maknanya sangat jelas.
“Anak-anak yang membantu orang menyampaikan pesan takkan tumbuh tinggi.” Bai Zheng menggoda keponakannya ini dengan permen kapas.
“Nggak… campaikan.” Sejak saat itu, si bocah bayi kecil tak mau lagi membantu orang menyampaikan pesan mereka.
Pada minggu ketiga, Li Rong mulai mengadakan pesta minum teh di rumah. Setiap hari, akan ada nona baik-baik dari keluarga ternama yang mengunjungi kebun bunga di halaman.
Bai Zheng tak punya cara untuk menolak ibunya mengatur nona-nona itu bersamanya, hal ini hanya sedikit merepotkan, jadi Bai Zheng menimbang-nimbang untung dan ruginya, kemudian setelahnya memutuskan untuk membeli tiket pesawat untuk meninggalkan rumah.
Setelah mengetahui bahwa putranya akhirnya keluar, Li Rong pun jadi gembira, “Kau akan pergi ke Negara M? Apa kau akan menghadiri acara ulangtahun sekolah?”
Sekolah tempat Bai Zheng lulus dari sana, telah mengundangnya untuk acara ulang tahun mereka setiap tahunnya, namun tampaknya Bai Zheng tak pernah menghadirinya bahkan sekali pun.
“Bukan.”
“Lantas, apa kau akan pergi menemui teman?” Tak apa-apa bila menemui teman, Bai Zheng sudah belajar di sana selama empat tahun, jadi pasti ada banyak teman sekelas atau sahabat yang dikenalnya. Teman-teman ini mengenalkan teman mereka, dan kemungkinan besar dia akan bertemu dengan seseorang yang dia sukai ah.
“Bukan.” Bai Zheng tahu terlalu baik tentang apa yang ingin ditanyakan ibunya, jadi demi mencegah wanita itu dari bertanya lebih jauh, dia langsung berkata, “Aku tak diizinkan berkeliaran di rumah ini, jadi akan berkeliaran saja di hotel.”
“Kau…!” Li Rong menyantap setengah mangkuk nasi lebih banyak malamnya karena marah, benar-benar mengganggu rencana diet bulan ini.
Pada hari kedua, Bai Zheng membawa passport dan teleponnya, lalu meninggalkan rumah seakan dia cuma pergi ke kios di bawah untuk membeli sebungkus rokok. Saat dia lepas landas dalam pesawat, dia tiba-tiba menyadari, apa aku lupa bawa dompetku?
Negara ini jauh lebih terbelakang dibanding Tiongkok, dan pembayaran mobile tidaklah populer, apalagi bahwa staf pelayanan di pihak mereka semuanya menagih secara tunai, jadi Bai Zheng langsung berada dalam posisi yang sulit.
Bai Zheng tak punya pilihan selain menelepon teman sekelasnya di Negara M, “Aku ada di bandara dan aku lupa membawa dompetku, apa kau bisa menjemputku?”
“Aku sedang rapat hari ini, tunggu sampai rapatnya selesai sekitar jam tiga siang,” temannya menjawab.
Jam tiga. Bai Zheng menatap jam tangannya, masih ada sisa waktu dua jam, jadi lebih baik bila mencari kedai kopi dan duduk. Bai Zheng dengan cepat menemukan sebuah kedai kopi, hanya untuk mendapati bahwa kedai kopi ini hanya bisa menggesek kartu dan menerima uang tunai. Meski tak ada banyak orang di dalam kedai kopi itu, tapi mereka tak bisa membiarkan Bai Zheng duduk di sana tanpa memesan apa-apa.
Lupakan saja, tinggal pergi ke suatu tempat dan mencari tempat untuk duduk.
“Apa Anda orang Tiongkok?” Tiba-tiba, sebuah suara wanita yang manis terdengar di belakang Bai Zheng.
Bai Zheng berbalik. Dilihatnya seorang gadis yang mengenakan kaca mata besar berbingkai hitam. Kaca mata gadis itu sangat tebal, sampai-sampai menutupi ekspresi di dalam matanya.
“Ya,” Bai Zheng mengangguk.
“Kalau begitu aku mengundang Anda minum kopi,” si gadis berkata sedikit gembira.
“….” Apa aku baru saja digoda?
Kalau hal ini terjadi sebelumnya, Bai Zheng pasti takkan membiarkan dirinya sendiri digoda demi secangkir kopi, namun dia, yang telah melakukan penerbangan jarak jauh selama lebih dari sepuluh jam, benar-benar tak ingin berkeliaran lagi.
Setelah memesan kopi, keduanya pun duduk di depan jendela. Sebenarnya, ini tak bisa disebut sebagai jendela, hanya kaca yang menghadap ke arah lorong di luar. Di bandara internasional, orang-orang dengan beragam warna rambut berkeliaran, dan saat beberapa orang dengan kulit Asia terkadang muncul, si gadis akan menatap dua kali ke arah mereka.
“Apa kau sedang menunggu seseorang?” Bai Zheng segera menemukan anomali itu.
“En.” SI gadis menganggukkan kepalanya, kemudian lanjut menatap ke luar jendela tanpa mengatakan apa-apa.
Begitu pendiam dan pemalu. Hal ini membuat Bai Zheng, yang berpikir bahwa dirinya sedang digoda dengan secangkir kopi seharga lima puluh yuan, terkejut.
“Terima kasih untuk kopinya,” Bai Zheng menyampaikan terima kasihnya.
“Ti… tidak apa-apa,” si gadis terbata dan merona saat dia bicara.
“Kenapa kau mengundangku minum kopi?” Bai Zheng selalu akurat dalam menilai seseorang. Hanya dalam waktu singkat, dia menemukan bahwa gadis itu lebih tertutup dan tidak komunikatif daripada yang dikiranya.
Karena kau ingin minum, tapi kelihatan seperti tak punya uang,” si gadis menjawab.
“….” Ternyata begitu, dia sedang dibantu oleh orang lain. “Terima kasih.” Bai Zheng berterima kasih lagi.
“Kamu kan sudah berterima kasih kepadaku barusan tadi,” si gadis bereaksi.
Bai Zheng menatap pada barang bawaan di belakang si gadis. Sebuah wadah cello besar, sangat menarik perhatian. “Apa kau pemain cello?”
“En.”
“Datang ke Negara M untuk belajar?” Ada sebuah sekolah musik terkemuka di dunia di Negara M, ibunya lulus dari sana.
“Datang… untuk tampil.”
Jawaban ini mengejutkan Bai Zheng, karena gadis ini tampak muda dengan penampilan yang persis seperti seorang siswi. Dia sudah bisa datang kemari untuk tampil?
“Apa aku membuatmu gugup?” Sejak Bai Zheng duduk, tangan gadis itu telah menarik-narik ujung bajunya, yang mana merupakan tanda-tanda ketegangan dan ketidaknyamanan.
“Maafkan aku… aku punya sedikit kegugupan sosial.” Si gadis meminta maaf dengan terburu-buru.
“Tidak masalah.” Karena hubungannya dengan Bai Chuan, Bai Zheng tahu sedikit tentang kondisi-kondisi aneh ini dan sangat sabar terhadap mereka. Demi tidak membuat dirinya sendiri menambah tekanan pada gadis itu, dia memutuskan untuk pergi duluan. “Aku lupa untuk membawa dompetku saat aku terbang kemari, apa kau bisa meminjamiku beberapa ratus lagi? Aku akan menggantinya lewat ponselku padamu.”
“Ini.” Si gadis mengeluarkan setumpuk uang dengan buru-buru. Bila ditukar menjadi RMB (yuan), setidaknya senilai empat hingga lima ribu.
Bai Zheng menaikkan alisnya karena ini adalah pertama kalinya dia diberi uang dalam hidupnya. Namun melihat penampilan gugup si gadis, Bai Zheng tak mengembalikan kelebihan uangnya, melainkan mengeluarkan ponselnya dan mendahului untuk menambahkan WeChat gadis itu, “Tambahkan WeChat-ku, aku akan mentransfer uangnya padamu.”
Si gadis memindai kode QR-nya dan buru-buru menyimpan ponselnya. Bai Zheng tak tinggal lebih lama lagi, mengambil uang itu dan berdiri, mengucapkan terima kasihnya lagi dan berbalik untuk pergi.
****
Bai Zheng tidak benar-benar pergi ke hotel, melainkan tinggal di rumah teman baiknya yang ada di daerah pinggiran. Pemandangan di sekitar rumah itu benar-benar indah, dia bisa tiba di sebuah danau untuk memancing hanya dengan berkendara selama dua kilometer. Temannya itu juga punya perahu di tepi danau yang bisa dipakai Bai Zheng untuk pergi memancing.
Bai Zheng melewatkan waktunya dengan memancing selama beberapa hari, dia bahkan tidak pergi ke pusat kota hingga akhir pekan ketika temannya mengundang dia pergi ke sebuah konser. Bai Zheng mulanya tak mau pergi, tapi dia tak bisa menolak teman baiknya, jadi pada akhirnya dia pun setuju.
Mereka mulanya memiliki rencana untuk makan siang di tengah hari, kemudian mereka akan pergi ke balai konser bersama-sama, tapi saat mereka baru setengah jalan menuju ke sana, perusahaan temannya itu mendapatkan suatu masalah yang harus ditangani, meninggalkan Bai Zheng seorang diri. Bai Zheng tak punya pilihan selain makan sendirian di restoran. Saat dia memperhitungkan bahwa sudah tiba waktunya untuk pergi ke balai konser, dia pun berjalan keluar dari restoran itu.
Cuacanya bagus saat dia masuk, tapi siapa tahu bahwa hujan deras akan tertumpah setelah lewat waktu singkat yang dia butuhkan untuk makan siang?
Bai Zheng kembali ke restoran dan meminjam payung. Saat dia keluar, tiba-tiba dilihatnya sebuah sosok di sudut jalan. Pada mulanya, Bai Zheng hanya merasa agak familier, dan ketika dia melihat wadah cello di samping si gadis yang sama tinggi dengan si empunya, Bai Zheng jadi cukup yakin dengan tebakannya.
Dia membuka payung dan berjalan di depan si gadis di bawah tirai hujan hingga dia bisa melihat kaca mata tebal itu yang akhirnya membuat dirinya yakin kalau memang adalah si gadis itu.
Di bawah naungan bayang-bayang besarnya, suara hujan sepertinya sudah banyak berkurang, dan si gadis yang gugup akhirnya mengangkat kepalanya< “Ternyata kamu.”
Rupanya, si gadis mengingat penampilan Bai Zheng.
“Kau mau ke mana? Aku akan mengantarmu ke sana,” Bai Zheng tersenyum.
“Aku… aku akan pergi ke Balai Konser,” si gadis menjawab.
Begitu kebetulan?
“Ayo pergi.” Bai Zheng berbalik, mengisyaratkan pada si gadis agar berjalan di bawah payungnya.
Si gadis berjuang untuk membawa cellonya dan meletakkannya di tengah-tengah mereka berdua untuk memastikan agar benda itu tidak menjadi basah. Akan tetapi, gerakan ini jelas-jelas menguras tenaga, dan sebelum berjalan maju dua langkah, cello itu hampir jatuh ke tanah.
“Biar aku saja.” Bai Zheng mengulurkan tangannya, memegangi cello itu di tengah-tengah seakan benda itu adalah orang. “Kau pegang payungnya.” Bai Zheng menyerahkan payung di tangannya kepada gadis itu.
Si gadis menerimanya, namun dirinya terlalu pendek, dan meski dia berusaha sebaik mungkin untuk berdiri sambil berjinjit, tetap saja dia mengenai Bai Zheng beberapa kali, apalagi bahwa separuh dari tubuh Bai Zheng langsung terekspos pada hujan.
“Bajumu!” Barulah hingga mereka tiba di gerbang balai konser si gadis menyadari bahwa sisi kiri tubuh Bai Zheng sudah basah kuyup.
“Pergilah, bukankah kau harus tampil?” Bai Zheng menyerahkan cello yang kering itu pada di gadis.
Si gadis melihat waktunya, dan memang sudah terlambat. “Tunggu… tunggu hingga aku selesai dengan pertunjukan ini, aku akan berterima kasih lagi padamu.”
“Tidak usah.” Bai Zheng tersenyum, “Pergilah dan tampillah dengan baik.”
“En, itu… siapa namamu?” Si gadis bertanya setelah mengumpulkan keberaniannya.
“Bai Zheng,” Bai Zheng langsung memberikan namanya.
“Kak Bai Zheng?!” Ada kekagetan gembira mendadak dalam suara gadis itu.
“Kamu adalah?” Bai Zheng mengernyit, bagaimana bisa dia tampak seperti telah mengenalku begitu dia mendengar namaku?
“Aku Momo, kau selalu bercerita padaku saat aku masih kecil.”
Momo? Gerbang ingatan perlahan-lahan terbuka. Bai Zheng menatap cello si gadis dan tiba-tiba teringat bahwa cukup lama berselang, ketika Li Rong masih seorang pemain biola di orkestra philharmonic, dia telah mengikuti ibunya melakukan tur pertunjukan selama beberapa waktu.
Dia ingat bahwa cucu perempuan dari konduktor orkestranya bernama Momo. Si gadis kecil memiliki bakat musik yang hebat, namun dia hampir tak bisa melihat apa pun sejak dirinya kecil, jadi dia pun mengikuti kakeknya melakukan tur seraya berusaha menyembuhkan matanya ke mana-mana. Bai Zheng mengasihani si gadis kecil, jadi ketika orkestranya melakukan latihan, dia akan bercerita kepada si gadis yang begitu pendiam ini.
Belakangan, saat dia SMU, sang ibu akhirnya menyerah atas karirnya dan kembali ke keluarga karena masalah Bai Chuan, dan setelah itu, dia pun tak pernah melihat Momo lagi.
“Apa matamu sudah sembuh?” Bai Zheng bertanya.
“En, Kak Bai Zheng, jadi kau tumbuh seperti ini. Kau tampak benar-benar rupawan.” Pria ini adalah kakak yang telah menjaganya saat dia masih kecil, dan si gadis tiba-tiba menjadi gugup.
Bai Zheng, yang dipuji sebagai ‘rupawan’ untuk pertama kalinya, tertawa kebodoh-bodohan, “Pergilah sekarang, kita akan bicara lagi nanti.”
“En.” Si gadis tampak akhirnya teringat pada pertunjukannya. Dia pun berlari sambil memegangi cellonya dengan tergesa-gesa sebelum tiba-tiba berbalik untuk berkata pada Bai Zheng, “Kak Bai Zheng, tunggu aku sampai aku selesai dengan pertunjukanku, jangan pergi ke mana-mana.”
“Aku datang secara khusus untuk melihatmu tampil, jadi aku mau ke mana lagi?”
“Aku akan tampil dengan baik, ingatlah untuk melihatku oh, aku akan ada di sisi kiri panggung, baris pertama.”
“Baiklah.” Bai Zheng tersenyum, bukankah dia punya kegugupan sosial? Bagaimana bisa dia tiba-tiba jadi bicara sebanyak itu?
—————
Versi Inggris bisa dibaca di: isotls.com/extra-4-remember-to-look-at-me/