Nirvana In Fire - Chapter 172
Dalam sepersekian detik setelah Putra Mahkota menyatakan pendiriannya, rasanya seakan angin bertiup melewati ladang gandum. Para pejabat mahkamah lain yang telah memutuskan untuk menunggu dan melihat kondisi lebih dulu langsung menyembah satu demi satu secara berturut-turut, menyerukan dua kata, “Hamba juga.” Beberapa saat kemudian, bahkan Pangeran Xu serta Pangeran Huai yang meringkuk takut-takut juga maju untuk menggumamkan sesuatu dengan sangat lirih saat mereka bergabung dengan mereka yang berkumpul untuk melakukan aksi protes di undakan. Pada saat ini, seluruh aula pun bergabung untuk melakukan protes, kecuali seorang pejabat tamu, yang mengamati semua kejadian ini dengan mata sejernih dan sedingin es.
Bila hanya gabungan pejabat mahkamah saja yang menyebabkan keributan, Kaisar Liang merasa percaya diri akan bisa menekan mereka, namun dihadapkan pada saat itu dengan sorot mata intens nan garang dari Xiao Jingyan, Beliau pun mulai agak gelagapan.
Karena sang Kaisar memahami perasaan putra yang satu ini terhadap Pangeran Qi dan Klan Lin. Dahulu, meski dirinya berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, Pangeran Jing sepenuhnya telah mengabaikan konsekuensi dan berdebat dengan ganas demi mereka. Kini saat bukti yang tak terelakkan telah muncul, Xiao Jingyan tentu saja takkan melepaskannya.
Bila Beliau tak mengendalikan putra ini, Kaisar takkan mampu menjaga agar situasi di mahkamah yang saat ini sedang rusuh tetap berada dalam kendali. Namun setelah mempertimbangkannya, Kaisar tiba-tiba menyadari bahwa dirinya saat ini tak lagi memiliki kekuasaan yang nyata dalam genggamannya, untuk mengendalikan dan menekan seorang Putra Mahkota yang telah mengawasi negara dengan pencapaian yang luar biasa.
Bagi Kaisar yang berdarah dingin itu, pengetahuan bahwa Xiao Jingyan telah tumbuh melampaui perkiraannya adalah jauh lebih mengejutkan dan tak bisa diterima bila dibandingkan dengan fakta yang baru saja diungkapkan oleh Putri Agung Liyang, jadi Beliau pun menggertakkan giginya seraya berjalan memutari balairung istana, mencari dukungan.
Para pejabat mahkamah tua, pejabat mahkamah muda, keluarga kekaisaran, penghuni Istana Belakang… Beliau tak bisa menemukan apa yang dicarinya dalam satu pun wajah mereka. Bahkan tidak pada Selir Jing yang lembut dan berperangai manis, yang matanya saat ini begitu cerah sehingga Beliau tak sanggup menatapnya.
Dalam puluhan tahunnya sebagai pemimpin tertinggi dan penguasa mutlak, Kaisar Liang tak pernah merasa benar-benar sendirian dan tak berdaya hingga saat itu. Yang bahkan lebih penting lagi, Beliau tak lagi mampu mengatasi semua tentangan itu dengan kekuatan dan kekejaman seperti yang Beliau lakukan dahulu.
Setelah terjadi keriuhan sesaat, balairung pun perlahan-lahan menjadi sunyi, namun kesunyian itu membawa bersamanya suatu kekuatan bisu yang membuat sang Kaisar bahkan merasa lebih tertekan bila dibandingkan dengan keributan yang sebelumnya. Karena semua yang hadir tidak lagi bertindak impulsif ataupun hanya mengikuti orang banyak, namun kini berkepala dingin. Mereka semua lanjut berdiri di tempat, tak menampakkan tanda-tanda untuk mundur.
Kaisar Liang tahu bahwa sekarang, karena urusannya sudah jadi begini, tak peduli seberapa lama pun mereka berada dalam kondisi buntu, hasilnya hanya akan ada satu.
“Aku… mengizinkan pada menteri menyerahkan memorial….”
Sang Kaisar tua melontarkan beberapa patah kata ini dengan lemah. Xiao Jingyan tiba-tiba merasakan hatinya membuncah, namun dia langsung menekannya dan tak menampakkan apa pun. Alih-alih, dia memberi Cai Quan lirikan cepat.
“Karena Yang Mulia telah menyetujui penyelidikan kembali atas kasus Chiyan, bersediakah Yang Mulia juga menunjuk seseorang untuk memimpin penyelidikan kembalinya?” tanya sang Menteri dari Kementerian Peradilan seraya membungkuk penuh hormat.
“Aku takkan mendiskusikan urusan-urusan mahkamah sekarang ini,” tolak Kaisar Liang lirih, “… hakim yang memimpin akan diputuskan di lain hari.”
“Yang Mulia, ini adalah sebuah masalah serius dan tak boleh ditunda-tunda. Karena urusannya sudah mengemuka, kenapa menundanya?” ujar sang Sekretaris Agung Liu Cheng menanggapi, “Menteri tua ini telah memikirkannya kembali. Memilih hakim yang memimpin bukanlah urusan kecil. Dia haruslah seseorang yang memiliki pendirian moral dan reputasi yang baik, setia, lurus, dan tak memihak. Dia juga harus cerdik dan teliti. Takutnya akan sulit untuk menemukan semua kualitas ini dalam diri satu orang, jadi mungkin yang terbaik adalah menunjuk beberapa orang hakim pemimpin untuk mengadakan penyelidikan ulang gabungan.”
“Tuan Liu benar,” ujar Shen Zhui serta merta. “Hamba mengajukan Pangeran Ji.”
“Hamba mengajukan Marquis Yan!” ujar Mu Qing sama lantang dengan sebelumnya.
Dihadapkan dengan semua permintaan ini, Kaisar Liang memjamkan matanya rapat-rapat. Sebenarnya, tidak lagi menjadi masalah siapa yang akan menjadi hakim pemimpin. Selama Xiao Jingyan masih ada, hasil dari penyelidikan ulang atas kasus Chiyan sudah jelas. Bahkan bila diri Beliau sendiri adalah tahta kekaisaran, Beliau tak lagi memiliki kekuasaan untuk mencegah hal ini. Pangeran Ji, Marquis Yan, dan Pejabat Senior dari Mahkamah Peradilan Kekaisaran, Ye Shizhen menerima suara paling banyak untuk peranan sebagai hakim pemimpin. Merasakan kelelahan tiba-tiba membuncah dalam hatinya, Kaisar Liang pun menyerah dan menyetujui semua permintaan mereka. Ketika ketiga pria yang ditunjuk untuk menerima tanggung jawab besar itu membungkuk untuk menerima dekrit kekaisaran, Xiao Jingyan, yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menahannya, tiba-tiba merasakan suatu sensasi terbakar di tenggorokannya dan tanpa sadar menoleh untuk menatap Mei Changsu.
Mei Changsu tetap sama diam seperti sebelumnya. Meski di bawah permukaan, dirinya bagai sekuali air yang mendidih dan menggelegak, sosoknya begitu diam hingga seakan dirinya tidak berada di sana sama sekali. Namun siapa pun yang mengamati dengan seksama akan menyadari adanya amarah mendalam di dalam matanya yang gelap dan tak berdasar saat dia menatap dengan sorot membara pada sang Kaisar tua yang duduk di atas tahta, seakan dia ingin menembus penampang luar yang membusuk dan lemah itu untuk menusuk diri Kaisar dahulu yang kejam, keji, dan mementingkan diri sendiri….
Namun Kaisar Liang tak menyadari sorot mata si pejabat tamu ini. Beliau bangkit untuk menjauh dari balairung di mana dirinya tak lagi mampu bernapas, sekujur tubuhnya berayun, rambut putih dan jenggotnya bergetar dalam kondisi berantakan. Seperti sebelumnya, Putra Mahkota dan semua yang hadir masih terus berkowtow penuh hormat saat sang Kaisar pergi. Menunduk pada mereka pada saat itu, bagaimanapun juga, yang Beliau rasakan dalam hatinya sudah sepenuhnya berbeda dengan seperti apa rasanya di masa lalu. Perbedaan ini ada dalam tulang, begitu mendalam sehingga kata-kata tak mampu menggambarkannya.
Selir Jing bangkit untuk menemani Kaisar Liang seperti yang selalu dilakukannya, namun persis ketika dia mengulurkan tangan untuk memapah Kaisar, Kaisar Liang mendorongnya menjauh, hanya bersandar pada bahu Gao Zhan sebagai penopang untuk menaiki Kereta Naga sendirian. Penolakan itu tak mengganggu Selir Jing. Dia menerimanya dengan tenang, bibirnya terangkat samar dalam seulas senyum tenang saat dia menaiki tandu lain untuk kembali ke Istana Belakang.
Di atas meja kecil di kamar tidur sang Kaisar, permainan catur yang belum terselesaikan pagi itu masih terpampang, tak tersentuh. Ini adalah hal pertama yang sang Kaisar lihat ketika Beliau terhuyung masuk. Dalam deru amarah yang muncul tiba-tiba, Kaisar membalikkan papan catur itu, menyerakkan bidak-bidak catur kumala hitam dan putihnya. Beberapa di antaranya mengenai wajah Beliau, menyebabkan rasa sakit yang menyengat di wajahnya.
Ayah dan anak itu seharusnya melanjutkan permainan mereka setelah upacara ulang tahun… namun setelah apa yang terjadi hari ini, apakah ada gunanya untuk melanjutkan permainan? Tak peduli apa pun hasilnya, Beliau sudah dipaksa di luar keinginannya untuk menyerah kepada sang Putra Mahkota dan semua menteri dalam perlawanan tadi, jadi Beliau telah menyerah.
Kasus Chiyan adalah simpul terbesar di antara ayah dan anak itu. Ini adalah sesuatu yang sudah sejak lama disadari oleh Kaisar Liang. Akan tetapi, Beliau tak menyangka kalau akan ada begitu banyak fakta yang terikat pada kasus itu yang bahkan tidak Beliau sadari, dan bahwa kesemuanya itu akan tiba-tiba mengemuka kembali setelah tiga belas tahun berlalu, seakan dendam dari semua arwah yang telah mati menolak untuk ditenangkan.
Sekujur tubuh Kaisar Liang tiba-tiba mulai bergidik. Beliau baru saja akan memanggil Selir Jing namun kemudian menghentikan dirinya sendiri.
Beliau tak tahu sebabnya, namun sang Kaisar Tua tiba-tiba teringat kembali pada keributan yang terjadi di koridor luar pagi ini. Memukulkan telapak tangannya ke atas meja, Kaisar berseru keras-keras, “Pengawal! Panggil Selir Yue! Cepat panggil Selir Yue untuk menghadap!” Bagaimanapun juga Kaisar tetaplah sang Kaisar, dan perintahnya dengan cepat dilaksanakan, dan sebelum seperempat jam berlalu, Selir Yue telah dibimbing ke dalam aula. Wanita itu telah kehilangan keeleganan yang dahulu dimilikinya, dan kini tampak seperti seorang wanita tua yang kumuh, meski kontur matanya masih anggun dan elegan, dan terkadang berkilat dengan kilauan dingin. Begitu dia melihat Kaisar Liang, Selir Yue langsung menghambur maju, mengulang kata-kata yang sama lagi dan lagi, “Yang Mulia, hamba memiliki laporan rahasia… laporan rahasia….”
“Selir Yue,” Kaisar Liang memegangi dagu wanita itu di antara jemarinya dan mendongakkan wajahnya, “Laporan rahasia apa yang kau miliki? Apakah itu tentang pemberontakan tiba-tiba Liyang di Balairung Wuying hari ini?”
“Selirmu ini ingin secara rahasia melaporkan Pangeran Jing…. Pangeran Jing sedang merencanakan suatu kejahatan….”
“Kau selalu ada di istana. Bagaimana kau bisa tahu apa yang Jingyan lakukan?”
“Zuo Zhongcheng, Bangsawan Timur yang menyebutkannya…,” ujar Selir Yue penuh semangat, perkataannya agak tidak beraturan. “Keponakan perempuannya memasuki istana… memberitahu pelayan Anda… kalau Bangsawan Timur setia kepada Putra Mahkota… kesetiaan kepada Putra Mahkota membuat dia setia kepada Yang Mulia….”
Kaisar Liang mengernyit. Butuh waktu sesaat baginya sebelum Beliau menyadari bahwa Putra Mahkota yang dimaksudkan oleh Selir Yue adalah Xiao Jingxuan yang telah dicabut gelarnya, dan wajahnya pun langsung menggelap.
“Pangeran Jing telah memanggil para pejabat pemerintah tanpa henti, dan banyak dari mereka… Bangsawan Timur mendengar ini… tapi Yang Mulia sudah tidak lagi menghadiri mahkamah, jadi dia tak bisa memberitahu Yang Mulia, dan hanya bisa terpikirkan tentang selir Anda ini. Setelah sekian lama, dia adalah satu-satunya orang yang masih mengingat hambamu ini… begitu Pangeran Jing jatuh, Putra Mahkota bisa kembali… Bangsawan TImur adalah seorang pejabat setia. Putra Mahkota takkan memperlakukan dia secara tidak adil. Yang Mulia juga takkan memperlakukan kami dengan tidak adil. Kami adalah orang pertama yang melaporkan hal ini. Ini adalah jasa tertinggi. Yang Mulia jelas harus menghancurkan Pangeran Jing hingga berkeping-keping dan membawa Putra Mahkota kembali… Xuan‘er adalah putra Mahkota yang sejati. Dengan mencegah konspirasi Pangeran Jing, selir Anda ini berarti telah melakukan jasa besar. Bangsawan Timur juga mendukung Xuan’er. Yang Mulia, harap pulihkan posisi Putra Mahkota, pulihkan posisi Putra Mahkota!”
Seraya dia bicara, ekspresi Selir Yue yang mulanya suram pun berubah. Dia menjadi lebih emosional, suaranya meninggi dan mulutnya bahkan mulai berbusa, amat sangat menakuti sang Kaisar. Mungkin Beliau sudah tidak melihat Selir Yue dalam waktu lama, namun Kaisar tak pernah menyangka kalau selir kekaisaran yang dulunya menakjubkan ini akan jadi seperti ini, kecerdikan dan keluwesannya dalam berbicara telah sepenuhnya lenyap, hanya meninggalkan paranoia dan kegilaan. Meski apa yang dikatakannya memang benar, wanita ini jelas-jelas telah gila. Menyadari hal ini, Kaisar Liang pun mulai mengguncang lepas tangan-tangan yang mencengkeramnya, namun semakin Beliau berusaha melepasnya, semakin wanita itu menempel, kuku-kuku jarinya mencungkil ke dalam kulit Kaisar, rasa sakitnya menyebabkan Beliau berteriak keras, “Pengawal! Bawa dia pergi! Cepat, bawa dia pergi!”
“Yang Mulia… Pangeran Jing merencanakan pemberontakan. Atas jasa hamba dalam melaporkannya, harap pulihkan posisi Putra Mahkota…,” pekik Selir Yue saat dirinya diseret pergi. Tangan dan kaki Kaisar Liang terasa dingin, matanya berkilat, dan Beliau tanpa sadar terhuyung ke depan, matanya terpejam rapat seraya Beliau terengah menarik napas. Gao Zhan bergegas maju dengan membawa teh penenang, menepuk-nepuk dada sang Kaisar dengan lembut dan mengusap punggungnya saat Beliau meminum tehnya.
Kaisar Liang merasakan sakit di dadanya, seakan Beliau tak mampu menarik napas, dan seluruh tungkainya mati rasa. Memikirkan tentang apa yang Selir Yue katakan, Beliau merasa marah dan tak berdaya pada saat bersamaan. Bila urusannya sudah jadi seperti sekarang ini, apa perbedaan yang dihasilkan dari pengetahuan semacam itu? Beliau bahkan tak punya energi dan kekuatan mental untuk menenangkan diri….
“Yang Mulia, haruskah hamba memanggil tabib istana?” tanya Gao Zhan.
“Panggil… pergilah panggil….” Apa pun yang terjadi, tetap hidup adalah yang paling penting. Semakin Beliau berusaha untuk bernapas, semakin gelisah Kaisar Liang merasa. Untung saja, setelah tabib istana dengan cepat bergegas datang untuk memeriksanya, mereka menyimpulkan bahwa hal ini adalah karena ketidakselarasan di dalam organ tanpa ada gejala besar. Mereka meresepkan sedosis obat herbal dan dengan cepat merebusnya. Setelah meminumnya, Kaisar jadi agak tenang. Kemudian Beliau mandi, dan setelahnya pergi tidur.
Entah apakah ini adalah efek dari obatnya, atau karena Kaisar Liang sudah terlalu tua untuk menanggung gejolak semacam itu, tak lama kemudian Beliau pun tertidur. Gao Zhan terus berjaga di kaki tempat tidur selama sesaat, dan ketika dia merasa yakin bahwa sang Kaisar telah tertidur nyenyak, diam-diam dia bangkit, menatap ke arah ranjang selama sesaat, kemudian tanpa suara mengundurkan diri sambil merangkak, selangkah demi selangkah hingga dia mencapai pintu samping di mana dia menyelinap keluar tanpa suara.
Tepat di luar pintu samping terdapat Koridor Yunding yang panjang dan berkelok. Selir Jing masih menunggu dengan sabar di koridor itu, lengan jubahnya berkelepak, gaunnya melambai tertiup angin. Tatapannya jernih dan tenang, dan tak memiliki ekspresi tertentu. Gao Zhan berhenti sekitar sepuluh zhang jauhnya dari tempat Selir Jing berdiri, menatap penuh perhatian pada selir kekaisaran ini yang telah naik ke puncak dengan stabil tanpa terlibat dalam perebutan mahkota.
(T/N: 1 zhang = 10*3,3 meter)
Pengurus Istana Belakang ini selalu merundukkan tatapannya dan secara samar bersikap patuh, namun kini untuk pertama kalinya, wajahnya menampakkan sebuah ekspresi, sebuah ekspresi akan tekad rahasia.
Gao Zhan tahu kalau akhirnya telah tiba waktu bagi dirinya untuk mengambil posisi.
“Menjawab kepada niangniang, orang itu adalah Zuo Zhongcheng, Bangsawan Timur….” Menghampiri Selir Jing, Gao Zhan hanya mengucapkan beberapa patah kata itu, dan setelahnya dia membungkuk ke depan dan tanpa bergerak menunggu respon.
Pupil mata Selir Jing bergerak samar, dan dia hanya memberi sebuah “Ng”, lirih, namun ketegangan di wajah Gao Zhan merileks dengan kentara. Setelah membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat, dia pun menapaki kembali jejaknya menuju kamar tidur sang Kaisar.
Kaisar Liang tetap berada dalam posisi yang sama seperti sebelumya di atas ranjang, namun napasnya telah menjadi semakin tidak teratur, dan tak lama kemudian, Beliau mulai bergerak-gerak gelisah, kepalanya tersentak dari sisi ke sisi di atas bantal, dahinya mengucurkan keringat dingin, tangannya terjulur keluar, terengah-engah, mulutnya meracau tak beraturan.
“Bangunkan Yang Mulia. Beliau mimpi buruk lagi,” Selir Jing menginstruksikan dengan lembut, seakan muncul dengan tiba-tiba.
Gao Zhan buru-buru merespon. Bangkit, dia lalu mencondongkan diri ke ranjang dan perlahan mengguncang lengan sang Kaisar.
“Yang Mulia… Yang Mulia!” Setelah memanggil-manggil Kaisar Liang beberapa kali, Beliau tiba-tiba terduduk seakan sesuatu telah menyentakkannya bangun, menatap nanar ke depan, kepalanya mengucurkan keringat.
“Apa yang Yang Mulia mimpikan?” Selir Jing menyeka keringat sang Kaisar Tua dengan sehelai sapu tangan polos dan berkata lembut, “Mungkin bukan hanya Selir Chen. Apakah ada yang lainnya?”
Gemetaran sekujur tubuh, Kaisar Liang mengibaskan tangan Selir Jing menjauh, berkata marah, “Kau masih memiliki kelancangan untuk muncul di hadapan-Ku? Semua kemurahan hati-Ku kepada kalian ibu dan anak ternyata sia-sia, karena kalian memiliki niat yang begitu jahat dan dengan sengaja berkomplot untuk membalikkan kasus Chiyan! Aku telah benar-benar buta, karena memercayai orang-orang yang begitu tak setia dan tak berbakti macam itu!”
“Bahkan meski kami telah dengan sengaja berkomplot,” ujar Selir Jing tenang, “ada sesuatu yang Yang Mulia harus pahami. Selain dari perasaan jangka panjang dan perencanaan jangka panjang, ada alasan lain yang lebih penting untuk membalikkan kasus Chiyan.”
“Apa, alasan lain apa?”
“Kebenaran. Kebenaran masalahnya.” Sorot mata Selir Jing menghujam tepat ke dalam hati Kaisar Liang. “Yang Mulia adalah Putra Langit yang Terhormat. Selama Anda menolak untuk mengakui fakta-fakta yang terungkap hari ini, tentu saja tak ada seorang pun yang bisa memaksa Anda untuk melakukannya. Namun meski Anda adalah sang Putra Langit, ada beberapa hal yang tak bisa Anda lakukan, contohnya saja memengaruhi hati nurani dan keyakinan rakyat, mengubah pendapat dari generasi di masa mendatang, Anda juga tak bisa mencegah orang-orang dari masa lalu untuk muncul dalam mimpi-mimpi Anda….”
“Berhenti bicara!” Wajah Kaisar Liang pucat pasi dan Seluruh tubuhnya gemetar, kedua tangannya menutupi dahi saat Beliau terjatuh ke belakang dengan tangisan keras, terguncang-guncang dan terengah pada bantal.
Selir Jing mengulurkan tangannya yang sejuk dan dengan perlahan memijat area di antara alis sang Kaisar, berkata lembut, “Yang Mulia, bila Anda bicara tentang kesetiaan dan bakti, takkan bisa mengatakan bahwa Komandan Lin tidak setia, atau bahwa Pangeran Qi tidak berbakti. Mereka selalu menjadi model-model percontohan bagi Jingyan. Apa yang tidak mereka lakukan, Jingyan juga takkan melakukannya. Yang Mulia, harap jangan membuat diri Anda sendiri cemas secara tidak perlu.”
Kaisar Liang perlahan merenggangkan tangan yang menutupi wajahnya dan memancangkan tatapan pada Selir Jing, “Apa kau bisa menjaminnya?”
“Kalau Yang Mulia benar-benar memahami Jingyan, Anda takkan bertanya kepada selir ini untuk menjaminnya.” Selir Jing tetap menjaga sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis, namun bulu matanya menggantung rendah, menutupi ekspresi di matanya. “Yang Jingyan minta tidaklah lebih dari kebenaran dan keadilan. Bila Yang Mulia mampu memberikan hal ini kepadanya, lantas kenapa memiliki kecurigaan yang lain?”
Kaisar Liang tak berekspresi ketika Beliau merenung, sorot matanya terpancang pada wajah lembut Selir Jing dalam waktu lama sebelum Beliau akhirnya menghembuskan desahan panjang dan menggumam, “… Semuanya sudah sampai pada titik ini… lakukan saja seperti keinginanmu… aku takkan bilang apa-apa lagi….”
———–
Versi Inggris bisa dibaca di: langyanirvana.wordpress.com/2020/11/29/chapter-172-reinvestigation/