Nirvana In Fire - Chapter 174
“Pertama-tama, kau tak boleh pergi. Dalam peperangan sebesar itu, selain mereka yang berperang di garis depan, pengiriman persediaan di belakang lebih penting lagi. Bukannya aku tak memercayai Yang Mulia Kaisar. Hanya saja Beliau benar-benar tak bisa dipercaya. Aku tak ragu lagi kalau kau cukup gegabah untuk pergi, konsekuensinya akan jadi terlalu mengerikan untuk dipikirkan. Pada hal ini, kau benar-benar tak boleh kehilangan kewaspadaan.”
“Ini tak pernah terpikir olehku. Tapi….”
“Karena kau tak bisa pergi, pertanyaan berikutnya yang perlu kita pertimbangkan adalah siapa yang akan menjadi orang tepat untuk pergi,” ujar Mei Changsu, dengan cepat memotong kata-katanya. “Dari sudut pandang para pejabat dan prajurit berperingkat lebih rendah, panglima macam apa yang akan mereka butuhkan? Orang itu harus seseorang yang sepenuh hati berkeinginan melawan ancaman asing, yang populer, mampu, seseorang yang mereka akan dengan sukarela ikuti. Selain Nihuang dan Jenderal Besar Zhang dari garnisun barat, yang tak bisa kita gerakkan, aku hanya bisa memikirkan satu orang.”
“Siapa?”
“Meng Zhi.”
Xiao Jingyan mengernyitkan alisnya dan langsung mulai menolak, namun Mei Changsu mengangkat tangan, menghentikannya. “Saat Kakak Meng sebelumnya berada di pasukan, dia dikenal dengan baik atas keberanian serta kekuatannya dalam pertempuran, dan ada banyak legenda an anekdot tentang dirinya. Dia memiliki reputasi yang sangat besar, dan dia juga adalah ahli beladiri tingkat atas di Liang Yang Agung. Bagi para prajurit, dirinya bagaikan dewa. Kalau kau mengirim dia, dia akan memiliki kendali penuh atas situasinya.”
“Tapi apakah seseorang hebat dalam medan perang atau tidak, dan apakah dia cocok untuk menjadi panglima tertinggi atau tidak, merupakan dua hal yang berbeda, kan?” Xiao Jingyan menatap curiga pada Mei Changsu. “Kau tahu hal ini dengan baik. Memang benar kalau Meng Zhi adalah seorang pemimpin yang gagah berani, tapi untuk mengambil peranan sebagai panglima utama, dia masih….”
“Ya, aku tahu. Pertimbangan tingkat tinggi untuk menunjuk seorang panglima tertinggi sepenuhnya berbeda dari memilih prajurit. Sebagai panglima tertinggi, tugas utamanya adalah memiliki pandangan menyeluruh atas situasinya, membuat rencana sesuai keadaan dan posisi prajurit untuk berperang. Ini benar-benar bukan sesuatu yang Kakak Meng hebat dalam melakukannya,jadi kita perlu berusaha memperbaikinya….”
Pada titik ini, Xiao Jingyan tiba-tiba mengerti. “Oh. Apa kau berusaha mengatakan padaku bahwa selama ada seseorang di sisi Meng Zhi yang mampu memiliki pandangan menyeluruh atas situasinya, berencana sesuai dengan keadaan serta posisi prajurit untuk pertempuran, itu akan cukup? Apakah orang itu adalah dirimu?”
Mei Changsu tersenyum samar padanya dan menjawab dengan lembut, “Jingyan, jangan secepat itu menolak ide ini. Aku tak menyarankan hal ini dengan sembarangan. Memikirkan kembali pada masa-masa itu, bukankah Paman Nie Zhen juga memiliki kesehatan yang ringkih dengan sangat sedikit kemampuan bela diri? Dia berada di garis depan sepanjang waktu, dan selain dari waktu itu ketika tak ada seorang pun yang bisa lolos, apakah dia pernah berada dalam bahaya? Kalau kali ini kau membiarkanku pergi, maka keadaannya akan sama seperti dengan dirinya. Dengan adanya Kakak Meng dan Wei Zheng di dekatku, apa yang perlu kau cemaskan?”
“Tapi bagaimana bala bantuan ini bisa dibandingkan dengan Pasukan Chiyan pada waktu itu? Kau dan aku sama-sama mengerti tantangan dan bahaya besar dari medan perang. Aku tidak cemas kalau kau tak bisa menangani situasi perangnya. Sebenarnya, itu adalah hal yang paling tidak kukhawatirkan. Tapi Shu Kecil, berangkat ke medan perang, hal itu membutuhkan kekuatan fisik!”
“Kalau aku tak memiliki keyakinan pada tubuhku, aku takkan memintamu mengizinkan aku pergi berperang. Pikirkanlah. Aku tahu dengan sangat baik kalau Kakak Meng kekurangan bakat, namun aku menyarankan padamu agar menunjuk dia sebagai panglima tertinggi. Kalau aku tiba-tiba jatuh sakit dan hilang kesadaran pada saat kritis peperangan, bukankah hal itu akan mencelakai Kakak Meng dan terlebih lagi, mengecewakan semua pasukan dan rakyat Liang Yang Agung?” Mei Changsu menatap sahabat baiknya. “Jingyan, percayalah padaku. Pertimbangan pertamaku adalah kondisi kesehatanku. Kesehatanku takkan menyebabkan masalah. Dihadapkan pada situasi kritis semacam ini, aku takkan bertindak gegabah!”
Xiao Jingyan mengerutkan bibirnya, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk membantahnya, namun dalam hati, dia merasa gelisah. Tak rela untuk setuju, dia mempertahankan wajahnya tetap datar dan tak bicara.
Mei Changsu tak berusaha membujuknya lebih jauh lagi, namun perlahan berjalan menuju jendela dan menatap keluar pada pemandangan akhir musim gugur yang suram di luar. Pandangannya menerawang jauh, seakan menatap pada masa dahulu, memikirkan kebeliaan dan semangat lampau.
“Perbatasan Utara adalah medan perang yang paling kukenal, dan Da Yu adalah musuh yang paling kukenal.” Lama kemudian, Mei Changsu perlahan berbalik, senyum tipisnya tampak dingin dan arogan. “Mungkin karena jauh di dalam hati, aku masih seorang prajurit. Meski aku telah menempuh jalan panjang untuk membersihkan ketidakadilan selama tiga belas tahun terakhir ini, aku masih juga mengikuti pergerakan militer Da Yu tanpa henti. Jangan marah padaku, tapi bahkan kau juga mungkin takkan bisa memahami hal ini sebaik aku, apalagi yang lainnya. Tugas utama dari seorang penguasa adalah memilih dan menggunakan orang yang tepat. Apa yang ada di antara kita hanyalah pertimbangan pribadi. Jingyan, ini adalah urusan hidup dan matinya Liang Yang Agung. Bukankah hal ini lebih penting daripada keselamatanku?”
Mei Changsu tak memehatikan debat yang terjadi sebelumnya, namun beberapa kata terakhirnya sama persis dengan kata-kata Jingyan ketika dia berusaha membujuk para pejabat mahkamah. Hal ini membuat hati sang Putra Mahkota, yang di punggungnya menanggung tanggung jawab berat untuk menjalankan negara, serasa diremas.
Kalau Lin Shu-lah yang berdiri di hadapannya, semua perkataan ini akan menjadi logis dan bisa diperkirakan. Tak ada yang akan pernah berpikir untuk menjauhkan Lin Shu dari medan perang. Dirinya secara alami adalah seorang Dewa Perang, jenderal muda yang tak terkalahkan, legenda Chiyan, kebanggaan Liang Yang Agung, sahabat paling terpercaya dan panglima yang paling bisa diandalkan… namun kenyataan memang selalu kejam. Bahkan pikiran yang paling tegas dan pemberani juga takkan mampu melawan kerusakan tubuh yang dibebani oleh penyakit. Kapan pun dia memikirkan tentang malam itu ketika sahabatnya mengigau dan linglung karena penyakit, jantung Xiao Jingyan akan serasa diremas kuat-kuat. Ketika semua telah terjadi, Mei Changsu, bagaimanapun juga, bukan lagi Lin Shu….
“Wei Zheng pernah menyebutkan kalau kau punya seorang tabib Mongolia?” Setelah menimbang-nimbang dalam waktu lama, Xiao Jingyan pun terpikirkan sebuah alasan untuk menolak permintaan Mei Changsu. “Aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia bilang kau boleh pergi, aku akan setuju….”
Begitu mendengar permintaan ini, sebuah ekspresi rumit melintas di mata Mei Changsu namun menghilang dalam sekejap. Bila orang melihat lebih dekat, dia hanya akan melihat seraut wajah yang ekspresinya terkendali dengan sempurna.
“Baiklah, aku akan kembali dan bicara pada Lin Chen,” ujar Mei Changsu, separuh bangkit dari kursinya. “Tuanku masih punya banyak hal untuk dikerjakan untuk mengumpulkan dana perang. Aku akan pamit lebih dahulu.”
Begitu melihat ketenangan Mei Changsu, Xiao Jingyan jadi merasa agak gugup. Mau tak mau dia jadi merasa bahwa hal-hal yang akan terungkap akan berada di luar kendalinya, namun ketika dia melihat lebih dekat, dia jadi merasa frustrasi, karena dia tak mampu mendeteksi apa pun.
Namun perasaan tidak biasanya ini tak berlangsung lama, karena gelombang baru laporan-laporan mendesak dari garis depan berdatangan, serta merta memenuhi pikirannya. Menggerakkan pasukan, mengatur kembali personil, menggalang dana untuk persediaan, para menteri yang berdatangan satu persatu untuk membuat laporan mereka. Sang putra mahkota yang kini adalah wali penguasa negara terus-menerus sibuk sehingga kakinya hampir tak menyentuh tanah sehingga dia bahkan tak menyadari kapan Mei Changsu mengundurkan diri tanpa suara.
Dibandingkan dengan atmosfer tegang di Istana Timur, Kediaman Su tampak luar biasa tenang dan damai. Namun bayang-bayang perang sudah melingkupi seluruh Ibu Kota, dan Kediaman Su bukanlah pengecualian. Ketika Mei Changsu melewati pintu demi pintu dan menaiki tandunya, meski semua orang berusaha sebaik mungkin untuk menjaga ketenangan mereka, mereka tak bisa untuk tidak melontarkan lirikan gelisah ke arahnya.
“Tolong antar Tuan Lin masuk.”
Setelah instruksi singkatnya kepada Li Gang, Mei Changsu langsung kembali menuju kamarnya. Tak lama kemudian Li Chen masuk, sendirian, wajahnya masih mengulas senyum. Dia berdiri di tengah kamar untuk menunggu Mei Changsu bicara. Namun meski dia telah menunggu lama, Mei Changsu masih tampak larut dalam pemikiran, maka dia pun bicara duluan. “Aku sedang di luar dan melihat beberapa teman-teman mudamu mendaftar ke biro perekrutan pasukan. Sepertinya para generasi muda dalam kediaman ini terbagi menjadi dua jenis. Yang satu sama sekali tak berguna seperti cacing, yang lainnya, melampaui rakyat jelata dengan menajamkan diri mereka sendiri untuk menjadi tulang punggung negara….”
“Kita sedang berhadapan dengan krisis negara, jadi bagaimana mungkin para prianya tak mendaftar?” Mei Changsu berkata kalem, “Lin Chen, aku juga ingin pergi.”
Pergi ke mana?”
“Ke medan perang.”
“Kau pasti bercanda.” Ekspresi Lin Chen berubah dingin. “Sekarang sudah musim dingin. Medan perang ada di utara. Kalau kau bersikeras untuk pergi, berapa lama kau akan bertahan?”
“Tiga bulan.”
Dia merespon dengan sedemikian cepatnya sehingga Lin Chen tercengang. Bibir Lin Chen memucat.
“Nie Duo membawa dua buah Rumput Es Abadi bersamanya,” Mei Changsu menatap tenang ke arah Lin Chen dan berkata lirih, “Rumput ini tak bisa bertahan lama. Kau pasti telah membuatnya menjadi pil, kan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Ini adalah Wisma Su. Mengapa jadi aneh kalau aku tahu?”
Lin Chen berbalik, menarik napas dalam-dalam beberapa kali sebelum berkata, “Lantas kenapa kalau kau tahu? Aku takkan memberikannya kepadamu.”
“Aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu.” Mei Changsu menatap punggungnya dan berkata lirih, “Kalau kita tetap pada rencana semula dan menjelajahi gunung dan sungai bersama-sama, menenangkan pikiran kita, dengan kemampuan medismu, mungkin aku bisa hidup dengan santai dan bebas untuk setengah tahun lagi… setahun… atau mungkin lebih lama….”
“Bukan mungkin. Pasti bisa. Aku tahu aku bisa melakukannya!” Lin Chen tiba-tiba berbalik, sorot matanya intens. “Changsu, kasus lamanya sudah dibersihkan. Kau sudah bisa meletakkan tanggungjawab yang telah kau bebankan pada dirimu sendiri. Takkan keterlaluan bila kali ini kau menempatkan dirimu sendiri di posisi pertama, kan? Ada begitu banyak masalah di dunia ini, satu demi satu, tak berkesudahan, yang kesemuanya tak bisa kau pecahkan seorang diri! Mengapa kau selalu menyerah pada saat kau tak seharusnya menyerah?”
“Ini bukan menyerah, melainkan pilihan,” Mei Changsu menatap lurus ke dalam mata Lin Chen, wajahnya pucat, seulas senyum tersungging di bibirnya. “Manusia itu serakah. Sebelumnya, aku akan sudah merasa puas dengan membalikkan kasus lama dan membersihkan nama-nama mereka yang telah tiada, namun kini, aku ingin melakukan lebih. Aku ingin kembali ke medan perang, kebali ke perbatasan utara. Aku ingin memulihkan kembali semangat Pasukan Chiyan dalam saat-saat terakhirku. Lin Chen, setelah menjadi Mei Changsu selama tiga belas tahun penuh, pada akhirnya bisa memilih menjadi Lin Shu, bagiku, bukankah ini merupakan berkah?”
“Siapa itu Lin Shu?” Lin Chen memejamkan matanya, berusaha menjaga agar emosi-emosinya tetap terkendali. “Sahabat yang mati-matian berusaha aku jaga agar tetap hidup bukan Lin Shu…. kau sudah bilang sendiri sebelumnya kalau Lin Shu telah mati. Demi membangkitkan orang mati selama tiga bulan, kau bersedia mendatangkan akhir bagi dirimu sendiri?”
“Meski Lin Shu sudah mati, tugas yang menjadi milik Lin Shu takkan bisa mati. Selama ada jejak dari jiwa pembela kebenaran Klan Lin yang masih hidup, maka perbatasan utara Liang Yang Agung takkan boleh kalah dan negara takkan boleh terkoyak, rakyatnya tercerai-berai. Lin Chen, aku sangat menyesal. Aku telah berjanji kepadamu, tetapi aku harus melanggar janjiku…. Aku benar-benar membutuhkan ketiga bulan ini. Sejauh menyangkut keadilan, suar di utara telah menyala-nyala, namun tak ada panglima yang bisa dikirim oleh mahkamah. Sebagai keturunan dari Klan Lin, bagaimana bisa aku hanya duduk tanpa melakukan apa-apa, bertahan pada sisa hidupku di antara gunung dan sungai? Dari sudut pandang egois, meski aku memilikimu, aku sebenarnya tidak sungguh-sungguh punya banyak sisa waktu. Kalau aku bisa mengenakan zirah dan berderap menuju medan perang lagi, aku takkan memiliki penyesalan dalam hidup ini. Dalam hal ini, kemungkinan besar aku akan mendapatkan keuntungan jauh lebih banyak daripada kerugian….” Telapak tangan Mei Changsu menyengat bagai api ketika dia mencengkeram lengan Lin Chen, matanya cerah dan bersinar bagaikan bintang. “Rumput Es Abadi adalah tanaman ajaib yang hanya bisa ditemukan secara kebetulan dan takkan bisa dicari. Langit mengizinkan Nie Duo menemukannya sehingga aku bisa menangguhkan penyakit ini selama tiga bulan, dan kembali pada kepahlawanan dari masa lalu. Lin Chen, mari kesampingkan kebenaran dan takdir negara serta rakyatnya. Kumohon, bantu aku memenuhi satu keinginanku ini.”
Lin Chen menatapnya dengan tertegun dan bertanya lirih, “Lantas setelah tiga bulan?”
Aku sudah mempelajari dan mengamati seluruh situasi perangnya. Aku juga mengerti urusan negara di dalam kepemimpinan musuh sampai taraf tertentu. Dalam tiga bulan ini, aku pasti akan mampu memadamkan api peperangan dan memperkuat pertahanan di perbatasan utara. Lalu untuk menyusun ulang militer, Jingyan telah merencanakan hal ini. Setelah perang ini, aku yakin kalau militer Liang yang Agung perlahan-lahan akan kembali pada kondisi lampau di masa keemasan kami.”
“Yang kumaksud adalah kamu.” Sorot mata Lin Chen begitu intens, wajahnya luar biasa masam. “Apa yang terjadi padamu setelah tiga bulan? Meski pil-pil Rumput Es Abadi ini mampu merangsang kekuatan fisikmu, rumput ini tak mampu menghentikan efek pemendek nyawa dari racunnya. Begitu periode tiga bulan berakhir, bahkan Dewa Daluo juga takkan bisa memberimu tambahan satu hari lagi.”
“Aku tahu itu,” ujar Mei Changsu, mengangguk samar. “Orang yang hidup pada akhirnya pasti akan mati. Lin Chen, aku sudah siap.”
Lin Chen mengertakkan rahangnya kuat-kuat. Menarik bagian depan kerah bajunya hingga terbuka, dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantong bagian dalamnya dan melemparkannya kepada Mei Changsu, berujar dingin, “Menyerah atau tidak, itu adalah pilihanmu. Aku tak punya hak untuk menentangnya. Lakukan saja sesukamu….” Setelah berkata demikian, Lin Chen berbalik, menendang pintu hingga terbuka, dan berderap keluar.
“Kau mau ke mana?”
“Kantor perekrutan di luar mungkin belum tutup. Aku akan mendaftar.” Lin Chen menjeda dan berkata tanpa melihat ke belakang, “Aku sudah berjanji akan menemanimu hingga saat terakhir. Meski kau melanggar janjimu, aku takkan melanggar janjiku. Begitu aku sudah mendapatkan penugasan militer, harap Tuan Pejabat Mei memanggilku untuk menjadi bagian dari pasukannya.”
Hawa panas yang intens membara dalam hati Mei Changsu ketika dia menggenggam botol kecil di dalam telapak tangannya. Meski benda itu sedingin es, tiba-tiba rasanya seperti akan membakar tangannya. Meski orang-orang yang berdiri menjaga di halaman tak mengetahui adanya pil Rumput Es Abadi juga tak menguping percakapan di antara kedua pria itu, berdasarkan pada kata-kata perpisahan Lin Chen, mereka bisa menerka kalau Mei Changsu telah memutuskan untuk pergi ke utara. Beberapa dari mereka adalah para pemuda berdarah panas, sementara Li Gang dan Chen Ping merupakan mantan pejabat. Di satu sisi, mereka ingin pergi ke medan perang untuk mempertahankan negara, namun pada sisi lain, mereka cemas kalau Mei Changsu takkan mampu menanggung kesukaran di medan perang. Dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran berlawanan ini, mereka pun berdiri bingung di tengah-tengah griya, tidak yakin bagaimana mereka harus bereaksi.
Dalam atmosfer tegang ini, Gong Yu membawa qin keluar menuju koridor dan mulai memetiknya. Dengan sentuhan dari jemarinya yang halus, suara dawai itu terdengar lembut dan merdu. Denting yang mendalam dan kuat bergema di seluruh kediaman, membangkitkan semangat masa muda dan pasukan yang perkasa. Ketika lagunya mencapai puncak dari intensitasnya, seseorang mulai secara ritmis memukul sebilah papan untuk menemani dan bernyanyi:
“Memikirkan hari aku mengikat rambut ke belakang dan bergabung dengan pasukan, memikirkan tentang hari di Gerbang Tanduk Beku. Memikirkan hari aku menggenggam pedangku, sama garangnya dengan sang bayu. Memikirkan hari ketika tombakku mencapai awan… waktu berlalu dalam sekejap, dan sakitnya perpisahan menyelimutiku. Menatap Gunung Yun, pada tebing-tebingnya yang dahulu adalah pelindung, kini diselimuti sulur-sulur dalam mentari terbenam….”
(T/N: ini adalah terjemahan kasar dari bagian puisi “Nanxian Lu·Bangzhuangtai· Narasi Diri” ditulis oleh Xia Wanchun (夏完淳《南仙吕·傍妆台·自叙》))
Di tengah-tengah nyanyian itu, Mei Changsu bangkit dan mendorong jendela hingga terbuka. Dia mendongak menatap langit, alisnya berkerut seakan dialiri oleh semangat juang, matanya berkilauan bagai bilah tajam dari pedang.
Dua hari kemudian, kabinet mengeluarkan dekrit yang memeirntahkan agar Nie Feng memimpin pasukan berjumlah tujuh puluh ribu prajurit melawan pasukan berkuda Bei Yan dan Meng Zhi memimpin pasukan berjumlah seratus ribu prajurit untuk melawan pasukan perkasa dari Da Yu, dan tanggal pengangkatan mereka pun ditetapkan di hadapan pasukan serta menerima segel-segel militer mereka. Dalam dekrit kekaisaran yang sama juga, pejabat tamu tanpa peringkat di ibukota kekaisaran yang terkenal, Mei Changsu, juga secara khusus ditunjuk sebagai penasihat militer untuk menemani Meng Zhi maju ke medan perang, dan diberi plakat kumala sang Putra Mahkota.
Sehari sebelum memberangkatkan tentara, Kaisar Liang mengalami stroke, mungkin akibat kejadian-kejadian mengejutkan akhir-akhir ini. Beliau terbaring lumpuh di ranjang, tak mampu bergerak ataupun bicara. Xiao Jingyan memimpin anggota klan kekaisaran, para menteri dan seluruh pejabat militer yang terlibat untuk memberikan penghormatan di depan ranjang Beliau, dan memberitahu sang Kaisar tentang perang yang akan datang. Ketika mereka secara bergiliran memberikan penghormatan mereka, Mei Changsu tiba-tiba membungkukkan diri ke dekat telinga Kaisar Liang dan membisikkan sesuatu. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang diucapkan, namun mata sang Kaisar tua tiba-tiba membelalak lebar, dan liur menetes-netes dari sisi mulutnya. Dengan susah payah, Beliau berusaha mengangkat satu tangannya ke arah Mei Changsu.
“Ayahanda Kaisar, Ayahanda bisa tenang. Tuan Su adalah cendekia paling berbakat di kekaisaran. Dia bukan hanya benar-benar mahir dalam politik istana, tetapi dia juga tak tertandingi dalam taktik mematikan di medan perang. Bersama dengan Meng qing, kali ini mereka pasti akan menekan kekacauan dan mengamankan perbatasan Utara.” Setiap kata yang diucapkan oleh Xiao Jingyan jelas dan tajam, di matanya terdapat kilauan yang membekukan tulang.
Tangan Kaisar Liang akhirnya terjatuh dengan sedih ke atas ranjang, dan suara “huhu” keluar dari bibirnya yang miring dan gemetar. Di tempat dahulu pernah terdapat otoritas mutlak, kini semua yang tersisa adalah etika di permukaan. Setelah para bangsawan dan menteri pergi bersama dengan Xiao Jingyan, Beliau pun berbaring, tak dipedulikan oleh siapa pun, dan satu-satunya suara yang bisa Beliau dengar adalah suara napasnya sendiri yang berat, yang bergema di seluruh ceruk-ceruk dingin dalam istana.
Keesokan harinya, para pejabat tingkat tinggi dari kedua pasukan bantuan menyampaikan salam perpisahan mereka kepada sang Kaisar di depan gerbang, dan berangkat dengan mengenakan zirah lengkap. Sama seperti ketika dengan tanpa bersuara mengamati kedatangan dari Mei Changsu di Ibu Kota kekaisaran bertahun-tahun yang lalu, gerbang kota Jinling yang megah dalam diam mengamati keberangkatannya pada hari itu. Ketika dirinya tiba, Mei Changsu adalah rakyat jelata tak dikenal yang penuh dengan muslihat dan intrik, namun ketika pergi, dia mencongklang di atas punggung kuda menuju api peperangan yang jauh. Setelah selama dua tahun bermuslihat dan bersiasat, negara telah berubah. Satu-satunya hal yang tetap tak berubah adalah hati yang setia dan tulus, yang akan hidup selamanya dan takkan pernah mati.
Angin awal musim dingin menghembus surai hitam Mei Changsu, membuat jubah hijau kumalanya berkelepak di belakangnya. Kuda perangnya, zirah perak terang, perasaan bebas dan tak terkekang yang terasa begitu familier dalam hati, seakan terpatri jauh di dalam sumsum tulang, takkan terhapuskan.
Menatap seratus ribu tentara, berderap maju bagai harimau. Menatap para jenderal serta sahabat dekat tercintanya, saling menopang satu sama lain. Rasanya seakan mereka kembali pada dunia yang telah hilang dalam hawa dingin salju Mei Ling. Di tengah-tengah medan perang, bibir Mei Changsu menampakkan seberkas senyum cerah dan sukacita, dan tanpa menatap ke belakang pada Ibu Kota, dia memutar kepala kudanya, mendesak kudanya agar mencongklang cepat, dengan penuh tekad memelesat maju menuju masa depan yang telah dipilihnya, akhir yang telah dipilihnya.
————–
Versi Inggris bisa dibaca di: langyanirvana.wordpress.com/2021/01/28/chapter-174-part-2-final-chapter-rising-winds/