Quick Transmigration: The Prodigal Son - Chapter 47
- Home
- Quick Transmigration: The Prodigal Son
- Chapter 47 - Anjing Gila yang Menjadi Setia [3]
Sistem bertanya pada Jiang Zhe: “Menakuti orang seperti ini, tidakkah hati nuranimu terluka?”
Jiang Zhe: “… sedikit.”
Sistem: “….”
Sistem meraung marah, “Kau tahu kalau hal itu akan menakuti mereka, tapi kau tetap melakukannya. Kau sengaja melakukannya.”
Jiang Zhe membujuk sistem, “Bukankah aku sudah bilang kalau aku juga terpaksa melakukannya?”
Sistem: “Memangnya kau dipaksa. Kau hanya perlu membuat sebuah kecelakaan, dari segala tempat, kau malah harus melakukannya di pinggir tebing.”
Jiang Zhe: “Bukankah hal ini hanya menunjukkan seberapa besar aku memercayaimu, sistem memang yang terbaik.”
Sistem: o (*////▽////*)q
Sistem: “Jangan kira kalau kata-kata dangkalmu bisa menggerakkanku. Biar kukatakan padamu, kali ini aku takkan memaafkanmu dengan mudah.”
Jiang Zhe mengucapkan beberapa kata sekenanya, dan kemudian membiarkan sistem sesukanya.
Meski dia tahu bahwa dia punya sistem untuk menyelamatkan nyawanya, tetapi bersinggungan dengan kematian seperti itu benar-benar sesuatu.
Namun dia harus bilang bahwa hal itu sangat menarik.
Efek negatif dari transmigrasi tanpa henti juga telah lenyap sepenuhnya dalam kecelakaan mobil itu.
Sistem pada akhirnya memang cuma sebuah mesin. Dia tak memahami sifat manusia.
Ada perkataan bahwa Gunung Jiang mudah berubah, tetapi sulit bagi seseorang untuk mengubah sifatnya, dan Tuan Jiang amat mengerti hal ini.
Bila Jiang Zhe tak berpartisipasi dalam pertemuan dengan teman-teman tidak jelasnya dan nyaris kehilangan nyawa, bagaimana kelak dia akan bisa memantapkan batinnya untuk menjauh dari teman-teman yang buruk, membalik lembaran baru sepenuhnya dan menjadi orang baik?
Dia bukan jiwa yang asli; dia adalah Jiang Zhe. Bahkan bila dia emmiliki nama dan marga yang sama, hal itu tak bisa mengubah fakta bahwa mereka adalah dua jiwa yang sama sekali berbeda.
Jiwa yang asli tak mampu belajar tentang pengendalian rasional, dan dia sendiri tak bisa belajar untuk bersikap bebas dan santai, dalam cara-cara tak terkendali seperti si jiwa asli.
Tanpa membuat terobosan, suatu hari nanti dia akan menghancurkan dirinya sendiri. Mungkin, karena sendirinya tak bisa menerimanya, itulah sebabnya jiwa yang asli berinisiatif untuk pergi.
Kedua hasilnya bukan seperti yang dia inginkan.
****
Matahari perlahan tenggelam di barat, merah seperti darah.
Jiang Zhe membuka lemah matanya. Langit di luar jendela sarat dengan awan yang bersinar merah seperti api, membara dengan megahnya.
Keluarga Jiang terus menjagainya. Saat mereka melihat bahwa dia sudah sadar, mereka pun datang bersamaan. Nyonya Jiang tak bisa berhenti menangis dan tersedu, “Zhe’er, bagaimana keadaanmu, apa ada bagian yang merasa sakit?”
Jiang Zhe sedikit menggelengkan kepalanya, mengeluarkan sebuah kata dengan susah payah, “Air.
Nyonya Jiang: “Oke, oke, ibu akan menuangkan air untukmu.”
Secangkir air hangat mengalir ke lambungnya dan rasa membakar di tenggorokannya pun mereda. Jiang Zhe mengesah nyaman.
Tuan Jiang syok sekaligus takut sejak semalam dan senar di hatinya sudah ditarik kencang. Melihat putranya kini berada dalam kondisi baik, api di hatinya pun langsung meledak.
Tuan Jiang: “Sudah berapa kali ayah bilang padamu supaya jangan bergaul dengan teman-teman tak jelas itu, tapi kau tak mendengarkan. Ayah sudah memintamu untuk belajar suatu keahlian supaya kau bisa mengambil alih perusahaan di masa depan, tapi kau juga tak mendengar. Bahkan bila kau tak mau melakukan apa-apa, apa kau setidaknya bisa sedikit lebih patuh? Pak tua ini sedang tidur nyenyak di tengah malam saat menerima telepon dari rumah sakit yang bilang kalau kau sekarat. Apa kau tahu apa yang pak tuamu ini, aku, rasakan di hatiku?”
Bangsal pun menjadi sunyi.
Jiang Zhe berbaring di ranjang, pura-pura merasa bersalah, “Ayah, ini cuma kecelakaan.”
“Huhu….” Tuan Jiang begitu marah sampai hatinya terasa sakit. Dia sudah tak peduli lagi, membuka selimut dan menuding pada kaki kiri Jiang Zhe, “Kecelakaan? Lihat baik-baik kakimu. Dokter bilang kalau bahkan bila nantinya kau sudah pulih, kakimu akan cacat seumur hidup. Kelak kau akan pincang, dan kau bilang padaku kalau ini cuma kecelakaan?”
Jiang Zhe ‘tercengang di tempat’. Yang lainnya juga menghindari tatapannya. Suaranya terdengar agak kacau, “Yah, apa yang barusan Ayah bilang terjadi pada kakiku?”
Tuan Jiang membeku. Putranya baru sadar dan dokter juga telah menginstruksikan padanya supaya jangan langsung mengatakan kepada putranya itu situasinya kalau-kalau dia tak bisa menerima pukulan tersebut.
Tuan Jiang hanya terlalu marah barusan. Mendengar pertanyaan putranya tadi, dia pun jadi tenang, dan keringat dingin pun sudah mengumpul di punggungnya.
Nyonya Jiang tak sanggup bersikap keras, dengan nada menenangkan berkata, “Zhe’er, ayahmu hanya bicara sembarangan, jangan dengarkan dia. Saat kau sudah sembuh dengan benar, kaki ini akan baik-baik saja.”
Jiang Zhe tak mendengarkan. Dengan keras kepala dia berkata, “Bu, apa Ibu bisa membantuku memanggil dokter kemari?”
Nyonya Jiang berdiri tak bergerak, hanya terus berusaha membujuknya.
Mendadak Jiang Zhe berbalik dan menekan bel di sebelah ranjang. Nyonya Jiang ingin menghentikannya, tetapi sudah terlambat.
Tak lama setelahnya, dokter pun datang.
Di bawah tatapan Keluarga Jiang, Jiang Zhe mempertahankan ketenangannya yang biasa. Dengan mendetil dia menanyakan tentang luka-lukanya sendiri, dan sang dokter mengatakan semua kepadanya setelah sesaat ragu-ragu.
Sepuluh menit kemudian, sang dokter pergi.
Bangsal yang elegan itu begitu sunyi, hingga sebatang jarum yang jatuh pun bisa kedengaran. Bahkan bernapas juga jadi lebih sulit dengan adanya tekanan berat.
Jiang Zhe menundukkan kepalanya dan ekspresinya tak terlihat, “Kalian semua keluarlah, aku ingin sendiri.”
“Zhe’er.”
“Jiang Zhe.”
“Keluar!” Tak seorang pun yang menyangka kalau mendadak dia akan meledak, melemparkan cangkir yang ada di atas kabinet, belingnya pun pecah berkeping-keping.
“Keluar!!!”
Mo Ling menjaga kedua orang tua itu. Dia tahu kalau sesuai dengan perangai Jiang Zhe, pria itu pasti sedang berada di ujung keruntuhan saat ini, tak mau mendengarkan siapapun yang membujuknya. Akan lebih baik bila mereka pergi, mempertahankan harga diri terakhirnya.
Mo Ling menarik orang tua Jiang Zhe pergi. Pintunya baru saja tertutup saat suara benda-benda berjatuhan terdengar dari dalam, bercampur dengan raungan putus asa seorang lelaki.
Nyonya Jiang menutupi mulutnya dan terus-menerus menangis. Bila bukan karena Mo Ling memegangi punggungnya, wanita itu pasti sudah menerobos masuk.
Nyonya Jiang memukul dada Tuan Jiang, “Semua ini salahmu. Dokter sudah bilang supaya jangan memancing Jiang Zhe, tapi kau tetap bilang padanya. Apa kau bahkan punya anakmu itu di hatimu?”
Wajah Tuan Jiang memburuk, tetapi dia tak membantah.
Bocah busuk itu benar-benar terlalu menjengkelkan. Tadi dia tak mampu menahan amarahnya bahkan sesaat pun, namun sekarang dia juga amat sangat menyesal.
Mereka hanya punya satu keturunan ini yang telah mereka manjakan sejak kecil.
Jiang Zhe juga tumbuh dengan mendapatkan apa yang dia inginkan, karakternya luar biasa tinggi hati. Sekarang dia harus menghadapi perubahan besar, mereka tak tahu apakah Jiang Zhe akan bisa melewatinya.
Tuan Jiang cemas, dan jauh di dalam hatinya, dia juga amat sangat membenci yang disebut-sebut klub itu.
Putranya yang sehat telah jadi seperti ini sekarang, mereka yang telah memanasinya takkan pernah bisa melenggang pergi dengan bebas.
Keluarga Jiang bekerjasama dengan kepolisian. Dalam waktu singkat, bukan hanya mereka menginvestigasi yang disebut sebagai klub orang kaya generasi kedua, mereka juga menyita banyak sekali obat-obatan terlarang. Mereka yang patut ditangkap sudah ditangkap, mereka yang perlu masuk ke panti rehabilitasi pun masuk ke panti rehabilitasi.
Untungnya, kecepatan mereka tepat waktu, dan mereka bahkan telah menyelamatkan sepasang saudari yang hendak diperkosa.
Polisi menuntut para orang kaya generasi kedua itu dengan kejahatan percobaan pemerkosaan. Selama beberapa saat, Kota Long jadi penuh dengan bunyi sirine polisi.
Tuan Jiang tak berhenti sampai di sini. Dia juga memberi pukulan keras pada bisnis-bisnis keluarga dari orang-orang yang telah memanasi Jiang Zhe.
Terhadap masalah ini, beberapa keluarga lama ternama yang ada di Kota Long tak ikut campur untuk menghentikannya.
Ini bukan lelucon!
Keluarga Jiang hanya punya satu keturunan. Sekarang karena Jiang Zhe terluka parah dan kemungkinan akan cacat, lingkungan kelas atas pun semuanya tahu tentang hal itu.
Pembalasan gila-gilaan Tuan Jiang masuk akal. BIla hal ini terjadi pada orang lain, mereka juga takkan mampu menanggungnya.
Meski, hal ini juga merupakan kesalahan Jiang Zhe dan dia patut menerimanya. Bagaimanapun, pemikiran semacam ini hanya melayang di benak mereka. Tak seorang pun yang cukup bodoh untuk mengatakannya keras-keras.
Tentu saja, ada alasan lain daripada sekedar bahwa Tuan Muda Jiang sungguh tak hati-hati dalam memilih teman-temannya. Keluarga-keluarga yang ditekan oleh Tuan Jiang semuanya memiliki reputasi buruk di Kota Long. Dengan Tuan Jiang mengurus mereka, hal itu memberi perusahaan-perusahaan lokal kecil kesempatan untuk bernapas.
Oleh sebab itu, luka-luka Tuan Muda Jiang sama sekali tak bernilai 23333 (T/N: Hahahaha)
Badai mengamuk di luar, tetapi Keluarga Jiang sendiri sunyi seperti air yang tenang.
Setelah Jiang Zhe pulang, dia mengurung dirinya dalam kamar setiap hari, bahkan tak menyalakan lampu. Dia hanya makan beberapa suap nasi saat kelaparan. Setelah beberapa bulan, dia sudah jadi begitu kurus sampai-sampai tulangnya menonjol, amat terlihat seperti seorang pasien yang lemah.
Tuan dan Nyonya Jiang amat tertekan, dan hati Mo Ling juga tidak nyaman.
Sekali lagi, dia memberi Jiang Zhe makanan. Melihat piring yang tak tersentuh di pintu, amarah yang telah tertahan di hatinya dalam waktu lama akhirnya tersulut.
Dia mengeluarkan kunci cadangan dan membuka pintu. Saat Jiang Zhe berusaha menghentikannya, Mo Ling membuka paksa tirainya.
Cahaya mentari yang benderang di luar jendela menyorot masuk dalam sekejap. Seperti vampir yang tak bisa terkena sinar matahari, dengan putus asa Jiang Zhe mengerut di satu sudut.
Jiang Zhe begitu lemah, “Apa yang kau lakukan, tutup jendelanya, keluar, keluar.”
Wajah Mo Ling dingin. Bukan hanya dia tak pergi, dia bahkan menyalakan lampu kamar.
Jiang Zhe menjerit serak: “Apa yang kau lakukan, jangan nyalakan lampunya, keluar.”
Mo Ling pura-pura tuli. Dia sedang mengenakan sepatu hak tinggi. ‘Dong dong’ berjalan ke arah Jiang Zhe, dengan kasar wanita itu menyeretnya ke kamar mandi meski Jiang Zhe meronta lemah.
Cermin memantulkan seorang pria yang tak terurus, berjenggot, dan luar biasa kurus.
Tiba-tiba Jiang Zhe melihat dan terkena syok, terus berupaya mundur.
Mo Ling mencengkeram kepala Jiang Zhe dan menekankannya ke wastafel. Menyalakan keran, air dingin pun mengalir ke kepala Jiang Zhe, dingin membekukan.
Mo Ling: “Apa kau sudah sadar sekarang?”
Jiang Zhe hanya meronta.
Mo Ling mengeraskan hatinya, melepas kepala shower, dan menyemprotkan air dingin ke tubuh Jiang Zhe.
“Apa kau sudah sadar?” dia bertanya lagi. Bila didengarkan dengan seksama, suara Mo Ling sedikit bergetar.
Jiang Zhe meraung dan meronta lepas darinya, terjatuh ke lantai. Air terus menetes dari wajahnya, tampak seperti air mata.
Jiang Zhe: “Kenapa kau masih mengurusku?”
Mo Ling: “Kau adalah suamiku.”
Jiang Zhe tertawa pelan, lalu tertawa lebih keras dan lebih keras lagi, berkata dala nada mengolok diri sendiri, “Kau punya kontrak sepuluh tahun dengan ayahku. Ini hanya masalah jual beli, bagaimana aku bisa jadi suamimu?”
Pupil Mo Ling menyusut, “Kau tahu.”
Jiang Zhe menggosok bagunya, “Aku sudah cacat, kontak itu juga sudah batal sekarang. Kau bisa pergi.”
Mo Ling tetap diam.
Jiang Zhe: “Pergi!!”
Mo Ling: “Aku sudah bilang sebelumnya, kau adalah suamiku.”
“Setidaknya dalam jangka sepuluh tahun ini, aku telah memandangmu sebagai suami. Dalam kekayaan, dalam kemiskinan, dalam sakit maupun sehat, hingga maut memisahkan, kita akan menjadi suami istri.”
Tenggorokan Jiang Zhe seperti tersumbat, dan aliran kehangatan pun mengalir ke hatinya. Kehangatan itu nyaris membuatnya ingin menangis.
Sumpah yang telah dia buat begitu jelas dalam ingatannya, namun sekarang dirinya sudah berubah.
Jiang Zhe menarik napas dalam-dalam dan menjadi jauh lebih tenang, “Kau bicara tentang pasangan biasa, kita bukan pasangan biasa.”
Mo Ling juga dibuat frustrasi hingga marah oleh kekeraskepalaannya, “Jiang Zhe, otakmu itu sudah bulukan, apa aku perlu mencucikannya untukmu lagi? Aku sudah bilang kalau kita adalah suami istri, tak peduli bagaimanapun hal itu dimulai, proses dan hasilnya takkan berubah. Di mata orang luar, kita adalah satu.”
…..
Setelah kesunyian yang panjang.
Mo Ling tak tahan dengan suasana itu dan maju untuk menarik Jiang Zhe supaya berdiri, namun pria itu hanya terjatuh lemas ke lantai lagi, matanya tidak fokus.
Bibir pecah-pecahnya membuka dan menutup, seakan sedang merapal. Mo Ling mendekat dan mendengarkan.
“Mo Ling, aku sungguh menyukaimu.”
Tangan Mo Ling yang hendak membantu Jiang Zhe berdiri membeku di tengah udara dan benaknya jadi kosong.
Mo Ling, kenapa kata ‘Ling’ dalam namamu bukan ‘Lin’ dari es krim (bing qi lin) saja?
Aku paling suka makan es krim.
A’Ling, aku benar-benar berpikir kalau kita sangat cocok. Kau punya bakat, aku punya tampang. Tidakkah itu membuat kita jadi memiliki bakat dan penampilan sekaligus?
….
Satu demi satu, kejadian-kejadian di masa lalu melintas di hati dan kepala Mo Ling. Mo Ling menutup lemah matanya.
Jiang Zhe, ini sungguh adalah kali terakhir aku akan memercayaimu.
…..
Jiang Zhe mendengarkan sistem mendeskripsikan situasi saat ini, hatinya mendesah dalam kelegaan. Untung saja jiwa yang asli tahu cara merayu, terus-menerus mengucap sumpah atas cintanya yang takkan berubah.
Faktanya, jiwa yang asli sudah lama tahu tentang kontrak itu, tetapi dia tak peduli tentang hal tersebut jadi dia tak menyebutkannya. Bagus sekali, sekarang hal itu dimanfaatkan oleh Jiang Zhe.
Belakangan, hubungannya dengan Mo Ling jadi rusak hanya gara-gara ketidakmampuannya untuk menolak godaan dari dunia playboy di luaran. Setelahnya, saat dia tak tahan dengan pengabaian Mo Ling terhadapnya, mungkin itu karena hatinya sedang mempermainkan dirinya.
Jiwa yang asli mengantisipasi status pernikahan mungkin sebagai: “bendera-bendera aneka warna berkelepakan di luar, tetapi bendera merah di dalam rumah tidak jatuh.
Itulah sebabnya dia pergi lebih awal.