The Demoness Is Not Evil - Chapter 6
Setelah semalam bersama, Liu Feng tetap Liu Feng, Qu Qingyin tetap Qu Qingyin.
Sepertinya semua tetap sama.
Satu-satunya yang berubah mungkin adalah ketika Ji Chuiyu melihat wajah teman baiknya yang segar setelah musim semi, pria itu pun menaikkan alisnya karena kaget, lalu dengan bercanda mengucapkan, “Selamat.”
Liu Feng berpaling dan memberinya tawa tahu-sama-tahu.
Qu Qingyin, gara-gara seseorang tertentu bekerja terlalu keras, hanya bisa beristirahat di kamarnya selama beberapa hari. Saat akhirnya dia meninggalkan kamar, pertemuan pendekar sudah berakhir. Yang tinggal di wisma gunung sudah pergi satu demi satu. Sekarang yang tersisa hanya tinggal beberapa orang, maka dia pun mengemas barang-barangnya dan bersiap untuk pergi.
Saat Liu Feng melihat Qu Qingyin meninggalkan kamarnya, dia pun menghampiri dan mengambil tas dari tangan gadis itu lalu menaruh tas itu di punggungnya sendiri. “Ayo pergi, kita harus berpamitan pada Ketua Wisma.”
“Ketua Wisma?” Sepertinya sejak tiba di Wisma Gunung Zhong Yi, Qu Qingyin belum pernah bertemu dengan Ketua Wisma Guan. Sebelum meninggalkan tempat itu, setidaknya dia harus berpamitan pada si pemilik.
“Sepertinya selama ini, kau tak pernah menemuinya.”
“Tak pernah dapat kesempatan.”
“Kau lah yang tak ingin menjumpainya, kan?” Liu Feng tertawa saat mengungkapkan isi hati gadis itu.
Qu Qingyin tak langsung menjawab dan hanya tersenyum.
Saat sampai di aula tamu, Ji Chuiyu sudah tiba selangkah lebih dulu dari mereka, dan kini sedang bercakap-cakap dengan Ketua Wisma Guan.
“Kakak Guan, Chuiyu.” Liu Feng berjalan masuk sambil merangkapkan kedua kepalan tangannya, “Aku telah membuat kalian berdua menunggu lama.”
“Tak usah dipikirkan. Kali ini kita tak pernah dapat kesempatan untuk duduk dan mengobrol dengan santai. Tak kukira kalau begitu kita punya waktu senggang kau sudah akan pergi.” Guan Guang’en berkata penuh sesal.
Liu Feng tertawa dan berkata, “Kali ini kita tak punya keberuntungan itu. Maka lain waktu kita pasti akan dapat kesempatan.”
Guan Guang’en melirik Qu QIngyin dan sambil tertawa berkata, “Ini pasti Nona Qu. Kali ini, kalau wisma saya yang lengang ini tak cukup ramah dalam melayani dan menghormati Nona, saya harap Nona bersedia memaafkan.”
“Ketua Wisma Guan terlalu sopan. Wisma yang terpandang ini membuat orang merasa seperti di rumah. Kalau bukan karena hal ini tidak pantas, takutnya saya akan ingin tinggal di sini lebih lama dan tidak pergi-pergi.”
Guan Guang’en terbahak-bahak. “Kalau Nona suka, mampirlah kapan pun Anda mau. Wisma yang luas ini akan selalu menyambut Anda.”
“Ketua Wisma sungguh terlalu murah hati.”
Guan Guang’en melambaikan tangannya. “Saya tidak sedang bersopan santun. Kapanpun Nona menginginkannya, datang saja, anggap tempat ini seperti rumah Anda sendiri, sama seperti Adik Liu di sini.”
Qu Qingyin melirik Liu Feng dan berjanji seraya tersenyum, “Kalau begitu saya sangat berterima kasih dengan Ketua Wisma. Saya pasti akan mampir suatu saat nanti.”
“Nona harus datang.”
“Tentu saja.”
Guan Guang’en mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk bahu Liu Feng dan bicara dengan cukup emosional, “Melihatmu hari ini, aku bisa merasa tenang. Meski berkelana ke empat penjuru lautan, tetap jauh lebih baik bila memiliki tujuan.”
Liu Feng tersenyum tapi tak bicara.
“Nyonya Besar sudah tiba.”
Tepat saat pengawal di pintu mengumumkan, semua orang di dalam langsung berdiri untuk memberi salam.
Nyonya Besar Guan adalah seorang wanita tua yang tampak murah hati. Dengan dipapah oleh dua orang pendamping wanita, dia pun duduk di kursi utama, dan tersenyum pada Qu Qingyin. “Nona ini benar-benar punya penampilan halus yang menyegarkan. Kemarilah, aku ingin melihat dengan jelas.”
Qu Qingyin mendekat lalu menekuk lututnya untuk memberi salam, “Nyonya Besar.”
Nyonya Besar Guan mengangguk mantap, menggenggam tangan gadis itu, lalu menepuk-nepuknya, “Melihatmu sekarang, aku tahu kalau kau lumayan, lemah lembut dan baik hati.”
Ji Chuiyu menurunkan kepalanya dan diam-diam tertawa. Kalau dari penampilan luar, Qu Qingyin memang lembut dan baik, tapi saat membunuh dia juga bisa menjadi monster yang bahkan akan membuat mundur para dewa dari khayangan.
Liu Feng hanya bisa berdiri di samping. Seyumnya tersungging saat dia terus menonton.
“Nona ini, aku menyukainya. Kemarilah, aku akan memberimu jepit rambut ini.” Nyonya Besar Guan mencabut dari rambutnya sebuah jepit rambut dari emas yang berkilauan, di puncaknya terdapat sebutir kumala hijau zamrud sebesar jempol. Sambil tertawa riang, wanita tua itu memasangkannya ke rambut Qu Qingyin.
Akan tidak menghargai bila Qu Qingyin menolak pemberian itu, maka dia hanya bisa menerimanya. Memberi hormat dengan sikap sebaik mungkin, dia pun membungkuk, “Banyak terima kasih kepada Nyonya Besar atas hadiah yang demikian berharga ini.”
“Kita bisa bertemu di sini berarti kita berjodoh, tak perlu berterima kasih padaku.”
Qu Qingyin mengeluarkan sebuah wadah kumala dari kantong wewangian yang tergantung di pinggangnya, lalu mengulurkannya ke depan. “Hadiah dari Nyonya Besar, meski junior ini berkekurangan, tetap harus membalasnya. Ini adalah krim pelembab yang saya buat sendiri, saya memberikannya pada Nyonya Besar. Semoga Anda tetap awet muda, terberkahi dengan umur panjang.”
Nyonya Besar Guan tertawa dan menerima pemberian itu, lalu membukanya untuk diendus. “Mm, aromanya ringan dan elegan, krimnya juga telah digiling hingga berpendar dan lembut. Hanya dengan sekali lihat aku tahu kalau ini bukan krim biasa. Ini krim yang bagus.”
“Syukurlah kalau Nyonya Besar menyukainya.”
“Kau memberiku krim ini, kalau hasilnya bagus pada wanita tua ini, tapi aku tak bisa mendapatkannya lagi setelah yang ini habis, harus bagaimana?” dengan berkelakar Nyonya Besar Guan bertanya padanya.
Qu Qingyin tertawa dan menjawab, “Kalau krim ini sesuai dengan selera Nyonya Besar, Qingyin akan menuliskan resepnya dan mengirimkannya untuk Nyonya Besar. Anda tinggal menyuruh orang untuk mengikuti instruksinya.”
“Kau tak punya masalah dengan itu?”
“Sejak awal krim itu dibuat untuk digunakan, tentu saja tidak masalah.” Qu Qingyin tersenyum pada pendamping wanita di sisi Nyonya Besar, “Boleh saya merepotkan kakak ini untuk membawakan kertas, kuas, dan tinta?”
Si gadis pendamping menyuarakan jawabannya dan mengundurkan diri untuk mengambilkan alat tulis. Sesaat kemudian, dia pun kembali dengan kertas, kuas, dan tinta. Qu Qingyin menuliskan resepnya dengan detil yang memadai, meniup tulisannya hingga kering, dan menyerahkannya pada Nyonya Besar untuk dibaca.
Nyonya Besar Guan mengamati kertas dengan guratan-guratan yang begitu indah dan anggun, masing-masing huruf ditulis dengan jelas tanpa kehilangan intensitas kata-katanya. Wanita tua itu mengangguk setuju, “Sungguh sebuah batin yang tenang dengan tangan yang cekatan, kualitas dari sebuah hati anggrek. Aku ingin tahu siapa yang beruntung bisa menikahimu.”
Qu Qingyin merundukkan kepalanya untuk menghindari topik itu.
Saat ini lah Liu Feng berjalan maju dan berkata, “Hari sudah siang. Nyonya Besar, Kakak Guan, kami akan pergi lebih dahulu. Sampai jumpa lagi.”
“Sampai jumpa lagi.”
Guan Guang’en mengantarkan mereka pergi hingga ke luar lembah. Liu Feng dan dua yang lain naik ke atas punggung kuda dan pergi. Sang Ketua Wisma tetap berdiri di tempat sampai dia tak lagi bisa melihat sosok mereka, baru kemudian dia kembali ke wisma gunung.
Kembali ke aula tamu, Nyonya Besar Guan masih menempati kursinya. Melihat putranya kembali, dia pun bertanya, “Sudah pergi?”
“Ya.”
Nyonya Besar tak bisa menahan desahannya, “Satu tahun, suatu kesempatan langka bagi mereka untuk kemari.”
“Ibu.”
“Aku baik-baik saja, tapi nona itu benar-benar tidak buruk. Dia berbeda dengan orang Dunia Persilatan pada umumnya, mengerti tata karma, berpengetahuan luas tentang dasar kepenulisan. Kata-kata yang ditulisnya, ah~, sekali lihat saja sudah menunjukkan kalau dia diajari oleh seorang guru yang hebat. Sikapnya anggun, jelas-jelas telah menerima pelajaran dari kalangan atas. Sungguh tak tahu bagaimana dia bisa berakhir di Dunia Persilatan, seperti sebutir mutiara berkilau dilempar ke kegelapan.”
Guan Guang’en berkata: “Kalau tidak begitu, bagaimana Adik Feng bisa bertemu dengannya?”
Nyonya Besar Guan tertawa, “Kata-kata itu memang benar, pada akhirnya semua tergantung pada takdir. Sudah berumur dua puluh lima tahun dan baru sekarang seorang nona berhasil mendapatkan perhatiannya, ini sungguh adalah kejadian yang langka.”
“Itu benar. Dari apa yang anakmu ini lihat, Adik Feng bahkan sedang sedikit ditindas oleh nona itu.”
Nyonya Besar tertawa dengan lebih gembira lagi. Dielusnya wadah kumala di tangan dan berkata, “Monyet kecil itu memang sudah seharusnya punya seseorang yang bisa mengendalikannya.”
Guan Guang’en juga ikut tertawa. Sementara itu, orang yang menjadi subyek percakapan mereka sudah bersin-bersin beberapa kali di atas punggung kuda.
***
Tak peduli berapa lama pun perjalanan dilakukan, pada akhirnya selalu akan berakhir. Tak peduli seberapa jauh pun akhir dunia, hati para sahabat akan tetap berdekatan.
Ji Chuiyu telah berpisah jalan dengan mereka tiga hari yang lalu, melanjutkan perjalanannya mencari wanita-wanita cantik tanpa batas yang ada di dunia.
Dan selama tiga hari ini, Qu Qingyin dan Liu Feng selalu berdamai. Saat beristirahat di penginapan, keduanya menempati kamar masing-masing, persis seperti teman seperjalanan biasa.
Di dalam kamar, Qu Qingyin duduh di depan cermin, perlahan mengoleskan krim yang harum, kulitnya sehabis mandi begitu halus dan lembut. Pada saat ini lah daun jendela berbunyi pelan. Seseorang telah melompat masuk, namun gadis itu tak menoleh ke belakang.
Sepasang tangan besar melingkari pinggangnya, memeluk tubuhnya saat pria itu menempatkan dirinya di atas pangkuan. “Kenapa kau datang hari ini?” Qu Qingyin bertanya dingin, mulai menyisir rambutnya yang basah, tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda perubahan suasana hati akibat kedatangan pria itu.
Tangan Liu Feng sudah mulai menyelusup ke balik pakaiannya, dengan tak sabar mengelus sebelah puncak dadanya. Memijat perlahan, dia pun berkata, “Hari ini tubuhmu bersih, kan?”
(T/N: sepertinya maksud Liu Feng adalah tentang tamu bulanan Qu Qingyin….)
Qu Qingyin menaikkan alisnya, “Bagaimana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu. Rasanya begitu putus asa saat aku hanya bisa melihatmu. Jadi bagaimana aku bisa tak peduli?”
Qu Qingyin langsung meludah padanya.
Dengan sabar Liu Feng menunggunya menyisir rambut sebelum kemudian menggendongnya dan berjalan menuju ranjang, lalu buru-buru memanjat.
Qu Qingyin merasakan sakit yang teredam gara-gara semangat pria itu, dan tak bisa menahan diri untuk memukulnya beberapa kali, “Apa yang kau lakukan?”
“Bagaimana menurutmu… setelah yang sebelumnya – kita tak pernah melakukannya lagi…. Liu junior juga menjadi gila….”
Entah Liu junior sudah menggila atau tidak, Qu Qingyin tak tahu. Tapi orang yang berada di atasnya jelas-jelas sudah sinting. Lagi dan lagi pria itu melontarkannya sepanjang malam. Di mana jiwa pantang menyerah, seorang Pendekar dengan rasa keadilan langit? Yang ini benar-benar si sesat besar.
Setelah saat-saat penuh semangat akhirnya berlalu, Liu Feng mencumbui orang di pelukannya sambil bertanya pelan, “Sakitkah?”
“Jauh lebih baik daripada saat malam pertama.” Jawaban gadis itu sangat jujur.
Liu Feng terkekeh, “Hal ini benar-benar memberi perasaan yang luar biasa, membuat orang tak mampu menahan diri.”
“Apa si berandal Ji Chuiyu juga yang mengatakan hal ini padamu?” Qi Qingyin menyipitkan matanya.
Liu Feng mengulurkan tangan dan meremas dagu Qu Qingyin, berpikir bahwa meski pada saat ini suasana hatinya sedang memiliki sedikit niat membunuh, sisi imut dalam diri gadis itu juga memancar dengan begitu cemerlang.
“Bila menyangkut urusan antara pria dan wanita, dia itu memang bajingan. Tapi kau tak bisa mengingkari kalau beberapa perkataannya memang sangat masuk akal.”
Qu Qingyin menyingkirkan tangan Liu Feng, menggosok dagunya, menyuarakan ‘heng’, lalu dengan tidak setuju berkata, “Dia punya begitu banyak wanita. Sebenarnya dia yang meniduri mereka atau mereka yang menidurinya? Apakah perbedaan semacam itu bisa dijelaskan?”
Liu Feng yang terpana sesaat tiba-tiba meledak tertawa. Dipeluknya gadis itu dan berguling-guling di ranjang beberapa kali, tawanya begitu lepas saat dia berkata, “Yang barusan kau katakan itu terlalu benar.”
Wajah Qu Qingyin menampakkan ekspresi apa adanya, “Memang begitu.”
“Malam sudah larut, tidurlah.”
Qu Qingyin berusaha mendorongnya. Tapi karena tak mampu menyingkirkan pria itu, dia pun berhenti. “Besok, lebih baik kita berpisah jalan.”
Mata Liu Feng yang tertutup tak membuka. Dia hanya bertanya, “Kenapa?”
“Ada hal yang harus kuurus.”
“Tak bisakah kita tetap bersama?”
Qu Qingyin terdiam sesaat. “Urusan semacam itu aku ingin menanganinya sendiri.”
“Apa ada bahaya?”
“Bahaya apa, aku hanya akan pergi membersihkan makam orangtua dan guruku.”
“Kalau begitu aku bersikeras untuk ikut.”
“Buat apa?”
Liu Feng membuka matanya, mengulurkan tangan, lalu perlahan menggesek hidung Qu Qingyin. “Gadis bodoh. Tubuhmu sudah menjadi milikku, tentu saja aku harus pergi bersamamu untuk memberi penghormatan pada Ayah dan Ibu Mertua, juga Guru.”
“Kau kan tidak menikahiku, berhenti bicara sembarangan.” Qu Qingyin menepis tangan pria itu, merasakan sedikit kesedihan.
“Kapan pun kau ingin menikah, maka aku akan mempersunting. Aku bahkan bisa mempersuntingmu sekarang juga.”
Qu Qingyin memukul kepala Liu Feng. Merasa gelisah, dia lalu berkata, “Sudah tengah malam, jangan konyol.”
Liu Feng mengembalikan perkataan itu padanya, “Kau lah yang bicara, sudah tengah malam dan kau bukannya tidur malah tiba-tiba bicara soal berpisah jalan. Apa ini karena sebelumnya aku tidak bekerja cukup keras, sampai-sampai kau punya waktu senggang untuk berpikir ke mana-mana?”
Qu Qingyin memukul pria itu tepat di dada, memuntahkan, “Benar-benar ya, semakin aku mengenalmu, semakin aku tak berani mengenalimu.”
Liu Feng mengecup ringan bibirnya dan tertawa sembari berkata, “Kalau begitu aku akan membuatmu melihat sisi diriku yang ini.”
“Maaf saja ya. Memangnya apa yang bisa dilihat, tak ada bedanya dengan orang bejat.” Gadis itu sama sekali tak menahan diri dan melontarkan kata-kata itu padanya.
Liu Feng menariknya ke dalam pelukan, menjulurkan jari untuk menyentil bibirnya, lalu berkata dengan bersungguh-sungguh, “Qingyin, aku tak peduli kalau kau menyembunyikan sesuatu dariku ataupun menipuku. Aku hanya peduli pada keselamatanmu.”
Qu Qingyin merasa mengantuk. Dia berpikir sendiri, mungkinkah pria itu mengetahui sesuatu?
Seseorang yang dikenal sebagai cendekiawan nomor satu di Wulin, pasti memiliki kecerdasan tinggi. Bila berhubungan dengan orang seperti ini, terkadang meski sudah begitu berhati-hati, kau takkan bisa memastikan kalau kau tidak meninggalkan jejak apapun.
“Setiap orang punya sesuatu yang mereka tak ingin orang lain tahu, karenanya aku takkan memaksamu untuk benar-benar terbuka padaku. Tapi jangan membuatku khawatir. Keselamatanmu adalah yang paling penting, jangan mengambil risiko berbahaya.” Liu Feng menatap gadis itu dengan sangat serius, begitu bersungguh-sungguh memohon padanya.
“Aku kan tidak sakit. Kenapa aku harus bersikeras mencari tugas berbahaya untuk dikerjakan?” Qu Qingyin tak menjawab tapi malah bertanya balik.
Liu Feng tertawa, namun tawanya itu tak mencapai mata. “Kau dan aku sama-sama tahu, di dunia ini ada tugas-tugas berbahaya tapi punya alasan untuk tetap dikerjakan. Alasan yang membuatnya mustahil untuk tidak diselesaikan. Tapi aku tak berharap kau harus menyelesaikan tugas semacam itu.”
“Dan kalau aku punya?”
“Aku ikut.” Liu Feng mengucapkannya dengan sepenuh hati dan kebulatan tekad, tanpa setitik pun keraguan.
Qu Qingyin tertawa dengan bersuara ‘pu chi’, merangkulkan tangannya ke pinggang Liu Feng, dan berkata, “Dulu Guru pernah berkata, kata-kata yang diucapkan oleh laki-laki di atas ranjang, adalah yang paling tak dapat dipercaya. Menurutmu, haruskah aku memercayaimu?”
Liu Feng tertawa getir, “Gurumu itu benar-benar….”
“Benar-benar mampu melihat secara menyeluruh seperti apa hati seorang laki-laki?”
Liu Feng menggelengkan kepalanya dan terus tertawa.
Qu Qingyin meletakkan kepalanya di atas dada pria itu. Suaranya menunjukkan tanda-tanda kelelahan, ucapannya juga agak samar, “Apa kau tahu kenapa aku bersedia memberikan diriku padamu malam itu?”
“Kenapa?”
Qu Qingyin tertawa pelan dalam dekapannya, “Liu Feng, apa kau tahu bagaimana perasaanku saat kudengar Ji Chuiyu bilang lakau kau masih ‘seekor anak ayam kecil’ (T/N: maksudnya masih perjaka)?”
Mendengar hal ini, wajah Liu Feng langsung memanas. Dia mendengarnya?
“Guru dulu juga pernah berkata, kalau suatu saat aku bertemu dengan seseorang yang tidak buruk, seseorang yang juga kusukai, dan secara kebetulan juga merupakan orang yang bersedia untuk tetap murni seperti kumala, maka aku harus mengambil kesempatan lebih dulu dan membuatnya menjadi milikku.”
Sebenarnya Guru macam apa ini? Liu Feng mengangkat tangan untuk memijit pelipisnya.
Orang dalam pelukannya masih terus berbicara: “Dulu aku pernah merasa yakin kalau kata-katanya hanya celotehan sembarangan dan tak mau repot-repot mendengarkannya.”
“Kalau begitu kenapa kau masih….”
“Tapi pada saat itu aku merasa kalau niatmu itu benar-benar tidak buruk, dan aku sendiri tak membencinya.”
Liu Feng tertawa dan berujar, “Kau juga sudah mengujiku beberapa kali, benar kan?”
Kesadaran Qu Qingyin menjadi sedikit memudar, “Bagaimana bisa, aku hanya memanfaatkan situasi yang sudah ada, tidak lebih. Siapa yang menyuruhmu untuk mengambil keuntungan dariku…?”
Liu Feng merengkuhnnya lebih dekat, mendesah sebelum berkata, “Aku juga hanya tak mampu mengendalikan perasaanku. Mau bagaimana lagi.”
Orang yang ada dalam pelukannya ternyata sudah tertidur. Liu Feng mengecup rambut gadis itu dan mengikutinya masuk ke alam mimpi.
Inilah cinta. Siapa yang telah menipu siapa ke dalamnya, tak lagi penting. Yang penting adalah bahwa mereka saling mencintai.
Pada hari dengan hujan rintik-rintik, orang jadi tak bisa untuk tidak merasa sedikit sendu. Liu Feng menjulurkan tangan dan mendorong jendela penginapan hingga terbuka, menatap ke bawah pada pejalan kaki yang jarang-jarang di jalanan.
“Langitnya benar-benar tak menguntungkan,” dia mendesah, lalu berpaling untuk menatap orang di depan meja rias.
Pakaian Qu Qingyin hari ini berbeda dari biasanya, sama sekali tak membawa aura dari orang Dunia Persilatan.
Gaunnya berlapis-lapis, setidaknya ada enam atau tujuh lapis. pakaian tersebut dihias dengan aksesoris-aksesoris cantik yang mewah, juga menambahkan sedikit ornament rambut.
Dia berpakaian seperti ini, terlihat persis seperti seorang gadis terhormat dari keluarga bangsawan.
Melihat gadis itu bangkit dan berjalan menghampirinya, hati Liu Feng pun mengesah. Pakaian tak cukup terbuka, duduk tanpa menyilangkan lutut, tersenyum tanpa menampakkan gigi, bergerak tanpa mengguncang kainnya.
“Apa ini dirimu yang sebenarnya?” Liu Feng tak tahan untuk bertanya.
“Kalau ini adalah diriku yang sebenarnya, mungkinkah aku akan membiarkanmu berada di atas ranjangku?”
Liu Feng terbahak. Mengulurkan tangan untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, dia lalu menundukkan kepala dan mendaratkan kecupan di bibir. “Kata-katamu memang benar.”
Qu Qingyin berdiri di sisinya di depan jendela. Wajah gadis itu menampakkan kedukaan. “Aku yang seperti ini adalah aku yang biasa dilihat oleh orangtuaku, sosok aku yang diharapkan oleh Guru. Itulah sebabnya aku berpakaian seperti ini saat menemui mereka. Hanya dengan demikian barulah hati mereka bisa tenang.”
Liu Feng menepuk-nepuk kuat bahu Qu Qingyin, tangannya meraih payung. “Ayo pergi, kereta yang sudah kusewa sedang menunggu di bawah.”
Qu Qingyin menggenggam tangannya, “Liu Feng, kau dan aku belum menikah, tidak benar kalau kau ikut pergi.”
Liu Feng mendesah keras-keras. “Qingyin, tentu saja merupakan suatu keharusan bagiku untuk mematuhi formalitas ini. Aku yakin kalau para tetua tentu akan lebih suka melihatmu memiliki seseorang untuk diandalkan seumur hidupmu.”
“Keikutsertaanmu tetap saja salah,” gadis itu bersikeras.
Tangan Liu Feng meraih wajahnya, dengan penuh perhatian mengamati gadis itu. Ekspresi Qu Qingyin tidak menunjukkan informasi apapun. Liu Feng menurunkan tangan dan mendaratkannya ke bahu gadis itu. “Baiklah kalau begitu. Karena kau bersikeras tentang hal ini, aku percaya kalau kau punya alasan yang tak bisa kau katakan padaku.”
Qu Qingyin menundukkan kepala dan tak mengatakan apa-apa.
“Pergilah, jangan sampai waktunya terlewat. Pulanglah lebih awal, aku akan menunggumu di penginapan.”
Qu Qingyin menganggukkan kepalanya. Dia pun menerima payung dari pria itu sebelum berbalik dan melangkah keluar pintu.
Dari balik jendela Liu Feng mengawasi gadis itu meninggalkan penginapan, naik ke atas kereta kuda, secara bertahap menembus hujan, dan perlahan menghilang dari pandangan.
Bersandar kembali ke bingkai jendela, kedua tangan Liu Feng terlipat di dada. Ekspresi di wajahnya tampak lebih dalam daripada telaga.
Gadis itu tak memercayainya!
Meski Qu Qingyin telah memberikan dirinya pada Liu Feng, dia masih tidak memercayai pria itu.
Jelas-jelas ada sesuatu di antara hati gadis itu dengan hatinya. Tidak terlihat, tidak berwujud, tapi benar-benar ada.
Liu Feng telah ikut pergi ke kampung halaman gadis itu, tapi tak diijinkan mengikutinya membersihkan kuburan.
Bukannya dia tak bisa diam-diam membuntuti Qu Qingyin, melainkan dia tahu kalau dirinya sampai ketahuan, hubungan di antara mereka berdua akan berakhir pada saat itu juga. Mungkin inilah alasan kenapa gadis itu mau membiarkan Liu Feng ikut ke kampung halamannya.
Dia selalu merupakan seorang wanita yang cerdik, begitu cerdik sampai-sampai Liu Feng diberinya sakit kepala.
Sulit untuk melakukan perjalanan pada hari hujan. Kereta kuda melaju pelan, dan saat sampai di pertengahan jalan, roda keretanya bahkan terjebak dalam lumpur dan tak bisa keluar.
Qu Qingyin membuka payung dan melangkah turun dari kereta, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Hujan yang jatuh dari langit ini, sama persis dengan kondisi batinnya sekarang, sarat dengan kesedihan.
Setiap tahun pada saat-saat ini, inilah waktu di mana perasaannya menjadi paling menyulitkan, paling menyedihkan baginya. Sejak Guru tiada, dia benar-benar telah menjadi sebatang kara, tanpa keluarga, hidup di dunia ini sendirian. Di tengah alam liar tanpa satu kehidupan pun, sosok Qu Qingyin yang memegang sebuah payung kuning apricot bagaikan asap yang berlalu, tak memedulikan banyaknya lumpur yang telah mengotori rok dan sepatunya yang bersulam.
Kira-kira empat jam kemudian, dia berhenti di luar sebuah desa kecil yang sunyi.
Di hadapannya terdapat dua buah makam. Meletakkan buah-buah persembahan pada kedua makam tersebut, dia kemudian membakar dupa dan kertas bakaran.
“Guru, orang itu nyaris telah melakukan dosa-dosa tak termaafkan sebanyak lebih dari satu masa kehidupan (T/N: istilah yang dipakai adalah è guàn mǎn yíng / 恶贯满盈 . Istilah ini juga menunjukkan bahwa sudah saatnya si pelaku menerima hukuman dari Langit) . Pada saatnya nanti Yin-er akan pergi mengumpulkan mayatnya, memenuhi takdir guru dan murid di antara kalian berdua.”
Qu QIngyin memerhatikan saat kertas bakaran terbakar habis di depan makam sang Guru. Mendesah, dia lalu mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas batu nisan, berkata: “Tapi Yin-er masih tidak mengerti, dia sampai menipu gurunya dan mengkhianati leluhurnya, kenapa kau masih menerimanya sebagai muridmu? Apakah mungkin, bahkan meski berjalan di jalur yang salah, kau tetap harus menjalaninya sampai akhir, apakah hal semacam itulah cara kerjamu yang sebenarnya?”
Di antara kata-katanya, ingatan tentang suara tua namun bertenaga dari Guru berlintasan di depan matanya – aku, gurumu ini, tak pernah mengaku salah seumur hidupku.
Ah~. Gurunya ini yang tak pernah mengaku salah….
Waktu pun berlalu. Qu Qingyin sekali lagi berdiri di depan kedua makam, berkali-kali ragu, sebelum akhirnya berkata, “Ayahanda, Ibunda, putrimu ini sudah bertemu dengan seseorang. Sayangnya, orang ini sulit untuk dikendalikan. Putrimu ini telah membuat keputusan secara terburu-buru, tak tahu bagaimana harus meneruskan dari sini.” Suara gadis itu terputus cukup lama sebelum meneruskan, “Begitu aku telah menyelesaikan tugas ini, di antara aku dan dia, bila jodoh kami masih ada, putrimu ini akan mengajaknya bertemu kalian dan Guru.”
Di depan makam, abu bercampur menjadi lumpur, buah-buah persembahan masih tetap di tempatnya tanpa memedulikan guyuran hujan. Tapi sosok tamping itu sudah tak ada lagi di sana.
Tak lama setelahnya, Qu Qingyin kembali ke tempat kereta kudanya telah terjebak lumpur. Si kusir dengan jujur dan sepenuh hati masih menunggunya di sana. Gadis itu pun duduk kembali di dalam kereta dan pulang ke sebuah kota kecil bernama Kota Hong Ye (Hong Ye = Daun Merah)
Kereta kuda itu berhenti di depan penginapan. Sebuah tangan menaikkan tirai kereta dari luar.
Qu Qingyin menatap si pemilik tangan tanpa mengatakan apa-apa.
Liu Feng mengulurkan tangan padanya, “Ayo, aku akan membantumu turun.”
Qu Qingyin menempatkan tangan kanannya di atas tangan Liu Feng, membiarkan pria itu memapahnya saat dia melangkah turun dari kereta. Dia pun berkata dingin, “Takut kalau aku tak kembali?”
Liu Feng bertanya balik, “Apa kau pernah memikirkan kemungkinan kalau aku lah yang akan pergi lebih dulu?”
Qu Qingyin menyerahkan payungnya dan berjalan sendiri memasuki penginapan seraya berkata tanpa peduli, “Itu akan sempurna.”
Liu Feng mengekorinya, “Sungguh tak peduli?”
“En, ada pepatah bagus yang mengatakan bahwa seekor katak berkaki tiga sulit ditemukan, tapi seorang lelaki berkaki dua amat mudah untuk ditemukan.”
Qu Qingyin memalingkan kepala dan memberi pria itu satu lirikan seringan awan.
Tangan Liu Feng memeluk gadis itu dan menuntunnya naik tangga, “Dengan cuaca ini, jangan sampai kau terkena flu. Lihat dirimu, tanganmu dingin sekali. Aku sudah meminta pelayan untuk membwakan air panas, jadi kau bisa mandi yang nyaman dengan air panas.”
Di dalam kamar, Qu Qingyin duduk di ranjangnya, terbengong-bengong.
Liu Feng melepas jubahnya dan duduk di sebelah gadis itu, menggenggam tangannya yang dingin, dan berkata, “Seharusnya kau biarkan aku menemanimu. Lihat dirimu, pergi sendiri dan kembali dengan terlihat seperti sudah kehilangan kesadaran. Juga,” tangan Liu Feng terangkat untuk membelai sudut mata Qu Qingyin, “Bagaimana kau bisa menangis sampai matamu jadi seperti ini?”
Qu Qingyin menunduk menatap kakinya, suaranya hampir menghilang dihembus angin, “Liu Feng, aku sudha membuat keputusan. Tahun depan aku akan membawa seseorang untuk pergi membersihkan kuburan bersamaku, tapi aku tak tahu apakah kau yang akan menjadi orang itu.”
“Tentu saja adalah aku. Kau kira kau masih punya kesempatan untuk menggantinya dengan orang lain?”
Mata gadis itu memutar ke atas untuk menatap Liu Feng. Bibirnya sedikit ditekuk. “Aku juga tak berharap menggantinya, tapi aku takkan menggantungkan diriku pada sebuah pohon. Dulu Guru pernah berkata, masa muda seorang wanita itu berharga, jadi tak boleh disia-siakan.”
Liu Feng langsung menyerang mumpung sedang panas-panasnya, “Kalau begitu kita menikah tahun ini.”
Qu Qingyin menggelengkan kepala, “Tahun ini tak bisa.”
“Kenapa?”
“Beberapa hal harus dialami sendiri untuk mengetahui apakah itu berharga atau tidak.”
Liu Feng tak lagi bertanya dan hanya merengkuhnya dalam pelukan.
Sebuah suara berisik tiba-tiba terdengar dari luar jendela. Keduanya langsung menolehkan kepala ke sana.
“Pergilah melihat,” Qu Qingyin berkata.
Liu Feng melepasnya lalu membuka jendela. Seekor merpati pos tengah bertengger di sana. Liu Feng mengambil sebuah tabung bambu dari kaki merpati itu dan membukanya.
Pada saat ini, seorang pelayan masuk dengan membawa air panas. Setelah menuangkan semua airnya, dia pun mengundurkan diri tanpa suara.
Qu Qingyin menutup puntu, melepas ornament-ornamen rambutnya, lalu mulai melepas pakaian.
“Apa kau ingin tahu apa isi surat ini?” Setelah membaca, Liu Feng berjalan ke balik layar pembatas dan langsung mendapati pemandangan surgawi seorang wanita cantik tengah memasuki bak mandi.
Qu Qingyin bahkan tak mengerjap sekali pun. Perlahan dia memasuki bak mandi, kepalanya bersandar di pinggiran bak. “Tuan Muda Xiao Yao selalu punya banyak hal yang harus diurus di Dunia Persilatan. Semakin banyak aku tahu, semakin banyak masalah yang akan kudapatkan, jadi lebih baik tak tahu sama sekali. Bukankah ada pepatah bagus yang mengatakan bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan?”
“Ada masalah muncul di Tujuh Puluh Dua Dermaga Berseri.”
“Kau harus pergi ke sana.” Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
Liu Feng mengamati Qu Qingyin, “Kau takkan mau pergi.”
“Tidak pergi.” Gadis itu langsung menolak.
“Kalau begitu jangan pergi. Lagipula kau tak pernah menyukai urusan di Dunia Persilatan semacam ini….” Liu Feng meraih tangan kanan gadis itu dari dalam bak dan menggenggamnya erat-erat. “Jangan melakukan hal berbahaya, aku akan khawatir.”
“Baiklah.”
“Kau katakan, kau lakukan.”
“Aku takkan melakukan hal berbahaya,” dia berjanji.
Liu Feng menepuk-nepuk bahu telanjangnya yang halus, lalu berpaling dan pergi ke balik layar. Sebelum melompat keluar jendela, sekali lagi pria itu mengulang, “Jangan melakukan hal yang berbahaya.”
Saat mendengar suara jendela ditutup, Qu Qingyin tertawa. Memakai lengannya sebagai bantal, dia menoleh untuk menatap ke luar.
Dan apa tepatnya yang bisa dianggap berbahaya?
Berkelana di Dunia Persilatan, itu sendiri saja sudah merupakan tugas berbahaya.