The Fourteen Years I Spent as a Cat - Chapter 2
Chapter ini diterjemahkan oleh Kak June / kurenai86
Editor: Kak Nadita | Proofreader: Kak Glenn
Happy reading!
Malam itu ternyata tidak turun hujan.
Keesokan harinya langit mulai menjadi cerah, dan orang-orang yang lewat tampaknya jadi lebih bersemangat.
Jumlah orang yang lewat juga tampaknya telah bertambah, dan sebagai hasilnya, orang yang memanggil pelanggan untuk masuk juga jadi lebih lantang.
Dari apa yang anak-anak – yang tidak menenteng tas-tas mereka – katakan, hari ini adalah hari libur dan aku menguap lebar-lebar.
Udara yang lembab juga sepertinya telah tersapu bersih, dan kehangatan yang baru ditemukan terasa cukup nyaman.
Mungkin ini karena ada lebih banyak orang asing pada hari libur, orang-orang yang terkadang menyadari keberadaanku akan meninggalkan sisa-sisa dari kotak makan siang mereka atau sedikit roti dan sebagainya untukku. Karena bagaimanapun aku mulai merasa lapar, begitu aku memastikan kalau mereka sudah pergi, aku akan memakannya dengan penuh syukur.
Bagaimanapun juga, makanan ini sama sekali tidak selezat seperti yang nyonya itu bawakan untukku kemarin.
Tak bisa terlalu banyak berkomentar pada kemewahan semacam itu, pada akhirnya aku menghabiskan semua makanan yang telah diberikan kepadaku.
Mungkin nyonya itu sedang sibuk, tapi barulah saat sore hari tiba dia akhirnya datang membawakan sejumlah daging ikan. Bahkan saat sore telah datang, jumlah orang yang berjalan lewat tak kelihatan berkurang sedikit pun.
“Hei, bagaimana kabarmu.”
Saat aku sedang tidur siang di antara kantong-kantong sampah, aku mendengar sebuah suara yang familier.
Kuangkat kepalaku untuk melihat ke arah jalanan, dan di sana berdirilah si empat mata yang kemarin. Di tangannya terdapat kaleng yang kelihatan enak, dan dia mendekatiku pelan-pelan sambil menatap lurus kepadaku.
Sebenarnya apa yang orang ini pikirkan?
Mungkin dia hanya orang aneh? Aku menjawab diriku sendiri saat aku menatap orang itu dengan sorot mengancam, kalau dia lebih dekat lagi aku akan menggigitnya.
Orang itu berhenti, dan menggaruk kepalanya, kelihatan bingung.
“Ah ya ampun, apa kau memang sewaspada itu?”
Ya, terlalu cepat puluhan tahun bagimu untuk berusaha menipuku, anak muda.
Aku berkata demikian pada orang itu. Dibalas dengan, “Jangan menggeram. Aku akan memberimu sesuatu yang enak.” Dia kemudian membuka tutup kaleng itu dengan canggung.
Aku mencium aroma lezat yang sama seperti kemarin, dan aku menyembulkan sedikit wajahku keluar. Orang itu pelan-pelan meletakkan kaleng itu di depanku, dan kemudian mundur seakan berniat memberi jarak.
Apa dia sedang bersikap penuh pertimbangan? Mungkin, dia melakukan itu untuk berusaha berkata, “Aku takkan menyakitimu.”
Konyol sekali. Tak mungkin aku bisa memercayai itu.
Aku mendekati kalengnya, sehati-hati biasanya, dan memelototi orang itu sesekali untuk menjaga agar dia tetap berada jauh saat aku makan. Makan seperti ini kasar, sama halnya dengan makanan di dalam kaleng ini lezat.
Melihatku makan, orang itu kelihatan seakan dia sedikit lega. Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara familier di samping ‘Itou-san‘ ini, dan nyonya yang telah membawakan makanan untukku sesaat yang lalu telah muncul.
“Halo.”
Mendengar orang itu menyapanya dengan sopan, dia juga, menjawab sopan dengan sebuah “Halo.”
“Kamu juga menyerahkan naskah hari ini?”
“Tidak, hari ini saya hanya sedikit bicara dengan seseorang tentang bisnis….”
“Begitu ya. Saya tidak terlalu sering melihatmu di sekitar sini jadi saya hanya berpikir kalau bertemu lagi denganmu agak sedikit aneh.”
Nyonya itu kemudian meneruskan dengan, “Istrimu cukup sering mampir untuk berbelanja, sih.”
“Yah, Anda memang tidak salah.” Pria itu mengeluh saat dia menggaruk pipinya.
“Itu benar. Saya, um, saya selalu bersembunyi untuk belajar, jadi….”
“Yah, selagi kamu ada di luar mungkin akan bagus bila berjalan-jalan di sekitar sini dan melihat-lihat distrik perbelanjaan, bukankah menurutmu begitu? Akan jadi sedikit olahraga, dan ada banyak barang baru yang masuk untuk semua toko hari ini, jadi mereka akan tetap buka sampai malam.”
“Um, apa harganya murah?”
“Wah, sudah minta diskon ya?”
Si nyonya tertawa, si pria tersenyum malu-malu.
Aku dengan cepat mengosongkan isi kaleng dan melompat kembali ke antara kantong-kantong sampah. Meski orang itu menyerukan sebuah “Ah!” pelan, saat dia berbalik padaku, aku lebih cepat.
“Wah wah, dia kabur ya?”
Setelah si nyonya mengatakan itu, si pria berjongkok dan memungut kaleng kosongnya. Dia mengeluarkan sebuah kantong putih dari sakunya dan meletakkannya dengan rapi ke dalam kantong itu.
“Haa… sepertinya dia cukup waspada kepadaku….”
“Begitulah bagaimana sebagian besar kucing liar bersikap. Ada banyak yang tak bisa langsung memercayai orang sama sekali,” ujar si nyonya, berusaha menghibur si pria.
Si pria menggumamkan sebuah “Saya mengerti,” pelan dan menatap sedih ke arahku.
Aku takkan ditipu oleh siapa pun. Bila perasaanku telah muncul sebelum aku dibuang, maka mungkin aku akan merasa seperti itu, tetapi yang kumiliki tidak lebih daripada insting. Aku ini hanya tak bisa memercayai manusia, juga siapa pun, selain diriku sendiri.
Cuaca yang cerah berlanjut selama empat hari setelahnya, dan ikan yang diberikan oleh si nyonya serta kaleng-kaleng dari si pria menjadi makananku.
Berkat itu perutku jadi sangat penuh dan aku berhenti merasakan dera kelaparan yang menyakitkan.
Hidup seperti ini secara menggelikannya terasa menyenangkan.
Pada pagi ketiga, orang yang datang untuk mengumpulkan kantong-kantong sampah datang, tetapi salah satu dari mereka membagi sejumlah roti denganku. Rotinya agak kering, tapi bahkan yang ini rasanya cukup lezat.
Pada hari kelima, langit sangat berawan sejak pagi.
Si nyonya membuka tokonya, dan kemudian dalam sebuah kesempatan langka, membawakan sebuah kaleng pagi-pagi sekali, sambil menggumam, “Sepertinya akan hujan hari ini.” Kalau dia ada di sini di pagi hari, maka itu berarti, kali lainnya dia di sini adalah pada sore hari. Itulah yang kupikirkan saat aku menyantap makananku.
Jalanan yang kelabu, kembali terlihat persis seperti saat pertama kali aku melihatnya.
Arus orang-orang yang kelelahan dan mobil-mobil memenuhi dunia yang terihat olehku.
Udaranya juga terasa agak lembab, dan meski aku tak merasa terlalu nyaman, aku meringkuk dan bersembunyi di belakang kantong-kantong sampah.
Dan kemudian, agar bisa tidur, kubiarkan pikiranku menjadi santai hanya untuk sejenak.