The Glass Maiden - Chapter 1
Dia tak ingat bagaimana dirinya mati.
Entah apakah dia dipenggal di pasar, atau mati karena sakit di ranjangnya… dia bahkan tidak ingat.
Keempat penjaga mencengkeram rantai-rantai besi yang terikat pada tubuhnya, dan dia mau tak mau terseret ke depan oleh mereka.
Api yang menjalar di angkasa terkadang mendarat ke tepi jalan, membubungkan lidah-lidah api hijau setinggi setengah tubuh orang. Lidah-lidah api itu, merah dan merekah, luar biasa menyilaukan.
Tak terhitung banyaknya percabangan di jalan tersebut, dan banyak yang baru saja mati, seperti dirinya, berpakaian putih, ditarik di sepanjang jalan oleh para penjaga. Beberapa menangis, beberapa tertawa, beberapa menggumamkan sesuatu pada diri mereka sendiri. Akan tetapi, tak peduli seberapa banyak pun penyesalan yang dimiliki seseorang mengenai kematian mereka, mereka akan disesakkan oleh atmosfer yang berat.
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mengikuti dalam diam berbagai tahap kejadian dan melewati gerbang kota yang jauh.
Para penjaga yang mengarahkannya maju berhenti dan menunggu dirinya masuk.
Dia mendongak malas pada langit kelabu, api yang berkeredap, serta bunga-bunga Manjusaka semerah darah. Bunga-bunga Manjusaka itu melengkung bagaikan cakar-cakar naga, dan begitu rapuh, namun juga ada secercah kegarangan.
(T/N: bunga Manjusaka / Higanbana / Red Spider Lily / Bakung Lelabah Merah – gambarnya ada di media. Bahasa bunganya bisa dicari sendiri di internet ya.)
Dirinya tertegun, namun kemudian didengarnya beberapa orang penjaga di belakangnya berkata, “Entah berapa lama kita akan harus menunggu, tapi hantu-hantu baru ini sangat berisik, jadi kenapa kita tidak mulai memberi mereka air dari Sungai Kelupaan? Mereka toh akan harus meminumnya sebelum bereinkarnasi.”
Sungai Kelupaan? Saat dia berbalik, dilihatnya sebuah kendi arak berwarna gelap dikeluarkan oleh salah seorang penjaga wanita, yang kemudian melangkah menuju tepi jalan dan menyibakkan bunga-bunga merah, menampakkan sungai yang jernih.
Dia tak tahu apa warna airnya, namun air itu indah dan berkilauan, seakan mengandung banyak hal.
Penjaga menciduk sejumlah air ke dalam kendi, membuka mulut seorang hantu baru, dan menuangkannya tanpa memedulikan tangisan si hantu. Si hantu pada mulanya memekik keras, namun kemudian perlahan berhenti bergerak, dengan raut linglung dan naif di wajahnya, persis seperti bayi yang baru lahir.
Setelah menyuapi si hantu beberapa kali, suara tangisan itu perlahan berhenti. Dan ketika si penjaga wanita melihat bahwa masih ada sejumlah air di dalam kendi arak, dia mengulurkan tangannya.
“Biar kulihat,” dia berkata.
Si penjaga menatapnya dari atas ke bawah dan menyeringai, “Beraninya kau memerintah tuanmu ini. Katakan lagi,” dia berujar.
Dia hanya mengulurkan tangannya, “Biarkan aku melihatnya.”
Si penjaga tak merespon. Alih-alih si penjaga mengangkat tangan untuk memukulnya, namun para penjaga yang mengawal dirinya dengan panik menghentikan penjaga wanita tersebut.
“Berhenti! Apa kau tahu siapa dia? Jangan gegabah!”
Si penjaga, masih tidak percaya, mencibir, “Aku ingin tahu siapa dia! Kalau dia adalah seorang pejabat yang terhormat, kenapa dia dirantai?”
Beberapa orang penjaga lain menariknya ke samping dan berbisik, “Karena dia mati dengan cara yang tak diizinkan oleh hukum, kalau tidak siapa yang akan berani mengikat dia? Dia tak ingat siapa dirinya saat ini, kalau tidak kau akan sudah mati sekarang. Dia tidak bisa dipandang sepele bahkan oleh sang Huotu Agung, apalagi olehmu.”
Si penjaga berbalik untuk menatap seksama pada dirinya, hanya untuk melihat seorang wanita cantik, yang memiliki raut linglung namun garang di wajahnya.
Melihat kalau gadis itu masih meminta kendi araknya, mereka pun tak punya pilihan selain menyerahkan benda itu kepadanya.
Dia hampir menjatuhkan tutupnya dan buru-buru mengulurkan tangan untuk menangkapnya. Begitu tertangkap, ditatapnya air di dalam kendi, untuk melihat fragmen-fragmen ingatan, semua ingatan dalam hidupnya.
Fragmen berikutnya yang muncul, adalah ingatan dari seorang siluman, yang membunuh, menjarah, dan dipenggal di pasar.
Ketika ingatan-ingatan itu terus berputar, menampakkan ingatan dari seorang gadis istana yang kesepian, yang mati karena depresi di depan sebatang pohon yang sarat dengan bunga-bunga merah.
Dia memutar ingatan-ingatan dari berbagai kehidupan yang berbeda beberapa kali, namun dirinya tak pernah bahagia. Ingatan-ingatan itu entah adalah terbaring di ranjang orang sakit atau kehidupan yang kesepian.
Dia hanya merasa bahwa kepingan-kepingan ingatan ini familier namun sekaligus tidak familier. Dia ingin tahu bagaimana dirinya mati dan apa yang telah dia lakukan sebelum dirinya hidup. Namun untuk suatu alasan dia tak mampu mengingatnya.
Melihat kalau dia tampak melamun, para penjaga mau tak mau merasa panik. Orang ini berbakat dan gigih, serta tidak mudah untuk ditangani dengan apa yang telah dilihatnya pada saat ini. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah berkompromi dan berkata, “Nona, Anda hampir melewati pintu. Sang hakim harus membaca buku hidup dan mati, bagaimana kalau kita menunggu hingga kita berada di dalam?”
Dia menganggukkan kepalanya dan mengembalikan kendi itu kepada si penjaga, dan dalam waktu singkat dia pun tiba di depan Gerbang Yadu yang menjulang dan indah.
Dua dewa hitam raksasa menjaga gerbang, dan ketika melihat mereka, keduanya pun menghentikan mereka.
“Tunjukkan penandanya padaku.”
Si penjaga tersenyum dan menarik keluar sebuah penanda merah dengan nama gadis itu serta fakta-fakta penting tentang kehidupannya. Dewa penjaga gerbang memandanginya dengan seksama, namun gadis itu tak tahu apa-apa soal hal tersebut, dan hanya bermain-main dengan sabuknya.
“Kenapa dia bisa diikat?” si dewa aneh bertanya dengan suara rendah.
Si penjaga menggelengkan kepalanya, menempatkan tangan di lehernya, lalu menariknya perlahan. Si dewa aneh langsung mengerti. Ditatapnya gadis itu dengan seksama, mundur ke samping, dan berkata, “Silakan masuk.”
Para penjaga menarik rantai arwah yang berat dan menarik gadis itu masuk. Kotanya penuh dengan paviliun dan wisma, persis seperti dunia manusia, kecuali bahwa seluruh penghuninya adalah hantu, dengan beberapa hantu tua menjadi asisten yang menjalankan kedai teh, yang kesemuanya takkan pergi untuk bereinkarnasi.
Gadis itu melupakan tentang air di sungai dan dituntun menuju sebuah gedung yang megah.
Dirinya dituntun menaiki sebuah menara yang menakjubkan, yang lapis demi lapis genting hijaunya membentang seperti sayap burung phoenix. Di atasnya, awan-awan keberuntungan melingkupi menara, dan menara itu dilapisi oleh tanaman-tanaman hijau.
Silakan masuk, Nona.” Dua dari para penjaga melonggarkan rantai pada pinggangnya dan pergi ke pengadilan untuk kembali bersama dengan sang Hakim. Dua yang lainnya tetap tinggal di belakang untuk mengawasi dirinya, menunggu di aula.
Seorang bocah berwajah biru dan bertaring membawakan teh dengan panik. Melihat ada sesuatu yang aneh tumbuh di kepala si bocah, gadis itu tak bisa menahan diri untuk mengulurkan tangan demi menyentuhnya. Wajah si bocah nyaris merubah kelabu karena ketakutan, dan dia pun memekik di tempat, berteriak, “Ampun!”
Si penjaga terburu-buru menyingkirkan bocah itu dan tersenyum, “Jangan salahkan dia, dia tak pernah melihat dunia sebelumnya.”
“Aku akan menyuruh dia istirahat.”
Gadis itu menganggukkan kepalanya dan berkata, “Aku hanya merasa kalau tumor di puncak kepalanya menarik.”
Para penjaga hanya mampu tersenyum pahit, membatin: ‘Kau adalah musuh bebuyutan dari semua siluman, siapa yang berani membiarkanmu menyentuh mereka seujung jari pun?’
Tak ada yang perlu dikatakan. Sementara kedua penjaga yang pergi ke pengadilan memberikan dokumen resmi kepada sang Hakim, yang berjenggot dan duduk dengan kebingungan selama sesaat, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sesaat kemudian, sang Hakim bertanya dengan suara yang dalam, “Kenapa kau membelenggu dia?”
Si penjaga menjawab, “Karena dia adalah manusia, maka arwahnya harus dibelenggu saat dia mati.”
“Idiot.” Sang Hakim mengernyit, “Siapa yang meyuruhmu melakukan itu! Memangnya aku tak tahu dia akan jadi siapa di kehidupan berikutnya?”
Si penjaga segera tertawa dan berkata, “Tuanku bijaksana. Xiaoyuan memang linglung. Kabarnya dia tak boleh dibelenggu dengan rantai jiwa, tapi dia telah mati di dunia oleh tangannya sendiri (bunuh diri). Kalau dia tidak dibelenggu, maka akan melawan hukum. Untung saja, dia tak punya ingatan, dia tak tahu apa-apa, dan bisa dibawa ke alam baka dengan patuh. Sebaliknya, saya harus bertanya kepada Tuan, reinkarnasi apa yang harus dia masuki kali ini?”
Sang Hakim membelai jenggotnya dan menimbang-nimbang sesaat sebelum berkata, “Penuh tekad… tampaknya dia belum menjadi seorang Taois. Kali ini, kita lebih baik kembali pada bagaimana kita berasal, dengan lebih banyak penderitaan, hingga dia mendapatkan kesadarannya. Kalau dia masih tidak bijaksana dan terus melakukan bunuh diri… kau yang patut disalahkan dan lain kali dia akan dilemparkan ke dalam neraka dan dibiarkan saja untuk berusaha sendiri!”
Si penjaga sudah akan turun untuk menyampaikan pesan saat sebuah suara terdengar dari balik tirai di belakang sang Hakim,
“Tunggu.”
Sang Hakim dan penjaga buru-buru berbalik dan membungkuk, berujar, “Salam kepada Kaisar Houtu.”
Suara itu, yang tidak seperti suara pria ataupun wanita, berkata, “Aku telah mempertimbangkan masalah ini, dan aku merasa kalau penderitaan mungkin takkan mendatangkan pencerahan. Takutnya amarah bahkan akan menjadi lebih besar bila tekanannya berat.”
Sang Hakim menundukkan kepalanya dan berkata, “Saya ingin tahu apa yang Kaisar Agung inginkan?”
Orang di belakang tirai berkata, “Takutnya bukan merupakan ide bagus memberinya rasa sakit dan penderitaan di kehidupan-kehidupannya yang lampau, dan hasilnya adalah jiwa-jiwa jahatnya tak mau pergi dan benaknya akan tersesat. Akan lebih baik bila dia bisa disentuh oleh kedamaian dan keharmonisan, lalu kemudian dimasukkan ke dalam reinkarnasi surgawi untuk melatih keabadiannya.”
Sang Hakim berada dalam dilema: “Dia memutuskan sendiri dalam kehidupan ini, dan dia harus mengabdikan dirinya sendiri pada alam kahyangan…. Di samping itu, jalan menuju keabadian itu sulit, dan hanya ada sangat sedikit orang yang berhasil. Kalau kali ini tak berhasil, maka akan menyia-nyiakan itikad baik Kaisar.”
Lama kemudian, Houtu berkata, “Kau seharusnya meninggalkan dia di alam baka dan mengajari dia setiap hari dengan kitab-kitab kultivasi menuju keabadian. Setelah lewat beberapa waktu, kita akan memutuskan ke mana akan mengarahkan diri kita.”
“Saya mematuhinya.”
Saat melihat gadis itu, sang Hakim mengesah dalam hati saat menatapnya mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyentuh semua yang ada di dalam aula. Gadis itu penasaran tentang semuanya sehingga sang Hakim tak bisa untuk tidak mendesah dalam hati. Mempertahankan bintang jahat ini di alam baka, beberapa dari mereka akan ketakutan.
Sang Hakim tersenyum dan berkata, “Selamat, Nona. Kaisar Houtu (T/N: Houtu =Tanah Gelap) telah mendekritkan bahwa Anda harus tinggal di alam baka selama beberapa hari dan kemudian baru bicara soal reinkarnasi.”
Gadis itu menatap sang Hakim dengan terbengong-bengong, tampak tak mengerti. Sang Hakim memaki dalam hati, mengganti kalimat, dan berkata, “Itu artinya… membiarkan Anda bermain di alam baka selama beberapa hari, membaca buku dan berjalan-jalan, dan kemudian mengantar Anda untuk bereinkarnasi ketika waktu yang tepat sudah tiba.”
Gadis itu mengangguk dan menyentuh gambar Sembilan Bidadari yang tergantung di dinding, berkata, “Aku suka tempat ini, aku akan tinggal di sini.”
Sang Hakim menganggukkan kepalanya, “Kalau Anda suka berada di sini, maka merupakan berkah bagi kami.”
Sang Hakim berbalik dan memberitahu kepada si bocah hantu untuk pergi ke lantai dua dan membersihkan kamar, kemudian dia berbalik dan berujar, “Nona, ada satu hal baik lagi. Sang Kaisar telah mengasihani Anda karena telah begitu kebingungan dan pelupa, jadi Beliau memberi Anda nama.”
Gadis itu begitu tak tahu apa-apa sehingga dirinya tak tahu apa yang terjadi, namun penjaga di sisi lain dirinya telah menariknya ke bawah dengan lembut dan menekan punggungnya agar membungkuk, lalu berkata, “Sang Kaisar telah memberimu nama, dan kau harus berlutut serta menerimanya.”
Si gadis tak berlutut, dia hanya menatap si penjaga. Sang Hakim benar-benar tak tahan lagi, jadi dia berkata, “Sang Kaisar memberimu nama Xuanji. Di masa mendatang, orang yang menyebut Xuanji akan berarti memanggil dirimu.”
Gadis itu berbalik dan melihat si bocah turun dari lantai atas. Dia tersenyum dan mencengkeram tumor di atas kepala bocah itu, membuat si bocah memekik dan melolong.
*****
Xuanji tetap tinggal di alam baka selama beberapa waktu dalam kondisi bingung seperti itu. Di permukaan, dikatakan bahwa dia sedang melakukan berbagai tugas untuk sang Hakim, menyajikan teh dan air, namun pada kenyataannya, ada berapa banyak orang yang berani menyuruh dirinya? Dia dibiarkan berkeliaran di sekitaran kota sepanjang hari, berharap dirinya tidak akan membuat masalah.
Setiap hari, sang Hakim akan membawakannya beberapa kitab tentang keabadian dan prinsip-prinsip duniawi pada waktu senggangnya, dan dibuat tercengang pada betapa baiknya dia bisa membaca dan menulis.
Seiring dengan berlalunya waktu, sang Hakim mau tak mau jadi merasa takjub pada kebijaksanaan Kaisar Houtu. Kalau arwah linglung itu diizinkan bereinkarnasi, dia hanya akan membuat kesalahan lagi dan lagi, tanpa mengetahui apa kesalahannya. Sekarang karena gadis itu telah jadi lebih tertarik pada keabadian, dirinya telah kehilangan kehampaannya dan telah menjadi sedikit lebih cerdas daripada sebelumnya.
Gadis itu bagaikan batu, baru keluar dari dasar sungai, dengan sosoknya sepenuhnya samar dan pikirannya linglung.
Sekarang karena dia telah diajari prinsip-prinsip dunia dan kisah-kisah para kaum abadi serta orang bijak, dia telah dibentuk dengan seksama dan akhirnya berkembang, dan bakat yang tersembunyi di dalamnya sudah akan muncul.
Hanya ada satu hal, dan hal itu menyebabkan sakit kepala.
Yang pertama adalah bahwa si gadis pemalas, mengejutkan pemalasnya, dan begitu pemalas sehingga sang Hakim merasa marah pada para Dewa.
Begitu gadis itu bisa rebahan, dia takkan pernah duduk. Kalau dia tak perlu berpikir, maka dia takkan berpikir. Dia hanya suka duduk terbengong-bengong di tepi Sungai Kelupaan, dan memandangi air.
Semua orang tahu apa yang dipandanginya, namun tak seorang pun yang berani memberitahunya bahwa semua ingatan kehidupan lampaunya telah diambil oleh Kaisar Houtu. Sang Kaisar ingin memangkas habis semua kekejaman masa lalunya dan memulai kembali semuanya dari awal.
Sang Hakim mencarinya selama setengah harian, namun gadis itu tak terlihat di mana-mana. Sang Hakim pun memanggil para penjaga dan menyuruh mereka untuk mencari hanya untuk mendapati bahwa Xuanji sedang memandangi bunga-bunga di tepi Sungai Kelupaan sepanjang siang dan tidak bergerak.
Sang Hakim begitu marah sehingga dia pergi untuk mencari Xuanji di tepi sungai dengan buku di tangan, berniat memberi teguran keras pada gadis itu. Setelah menghabiskan waktu beberapa bulan dengan Xuanji, mereka berdua sudah menjadi sedikit seperti guru dan murid. Karena gadis itu mudah untuk diajari dan cerdas, serta mentalitas awal sang Hakim yang waspada juga telah melonggar dan benar-benar mengajari gadis itu sebagai murid. Tak ada guru di dunia ini yang takkan marah pada kemalasan muridnya.
Setelah meninggalkan gerbang kastel, sang Hakim melihat sosok putih ramping duduk di tepi Sungai Kelupaan. Dia menghampiri, namun dilihatnya Xuanji tengah memandangi bunga Manjusaka, yang berayun-ayun di tepian, mata menatap lurus ke depan, tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Sang Hakim sudah akan memanggil dirinya, namun Xuanji tak menatap ke belakang dan berbisik, “Guru.”
Sang hakim mengesah dan maju untuk duduk di sisinya, ikut bersama dengannya memandangi bunga-bunga Manjusaka sewarna darah. Lama kemudian, sang Hakim berkata, “Apa yang kau pandangi?”
Xuanji berkata lirih, “Lihatlah warnanya. Aku punya suatu perasaan akrab bahwa aku seharusnya telah melihatnya dari waktu ke waktu, tapi aku tak bisa ingat.”
Hati sang Hakim sedikit terkejut, namun dia berkata, “Kehidupan lampaumu telah berlalu, jadi jangan susahkan dirimu sendiri dengan urusan-urusan fana ini, kalau tidak hal itu akan berlawanan dengan prinsip-prinsip yang telah kuajarkan kepadamu.”
Xuanji berkata, “Benar. Yang Guru katakan selalu benar. Aku selalu merasa kalau hal itu masuk akal. Meski aku memahaminya dengan sangat baik, entah kenapa aku merasa kalau hal itu sangat jauh dan sulit untuk dilakukan.”
“Oh? Hal apa yang kau rasa sulit untuk dilakukan?”
“Guru menyuruhku untuk melatih karakterku, agar jangan melihat ke masa lalu, juga agar tidak memikirkan masa depan. Hal-hal itu cenderung membuat orang kerasukan, dan hati menjadi tidak murni, sehingga orang itu tak bisa berkultivasi. Ketika enam indera tercemar, orang tak mampu melihat di balik bentuk, dan dengan mudah dimabukkan oleh kesenangan dan ketenaran.”
Dia memetik sekuntum bunga dari tepian, meremasnya dalam tangannya, dan cairan merah pun mengalir di antara jemari rampingnya.
“Namun hati dilahirkan untuk berpikir, dan mata dilahirkan untuk melihat, mulut untuk bicara, dan telinga untuk mendengar. Kalau aku menyerahkan semua itu, maka aku ini apa? Aku tak mengerti apa yang Guru maksudkan ketika bicara tentang menjadi kaum abadi akan memiliki pikiran jernih, namun setelah menjadi kaum abadi… apakah tak ada yang tersisa?”
Sang Hakim terkejut karena dia akan mengajukan pertanyaan serumit itu, dan sesaat kemudian berkata, “Tidak, Kekosongan batin itu bersifat paradoks. Mereka tahu namun tidak tahu, mereka mengerti tetapi tak mengerti.”
“Lantas apa yang benar-benar mereka ketahui?” Gadis itu bertanya serius, “Aku tahu, bisakah aku tetap berpura-pura kalau tidak tahu? Apakah para kaum abadi bahagia?”
Sang Hakim mengernyit: “Xuanji, kau membicarakan tentang kerbau lewat tanduknya. Bahagia? Apa kau pikir kesenangan atas suara benar-benar merupakan kesenangan yang hebat?”
Gadis itu menundukkan kepalanya dan berbisik, “Aku tahu apa maksud Guru. Aku hanya tak mengerti. Bila tanpa tujuan dan tanpa hati, maka kenapa hal itu ada? Aku telah memikirkannya dalam waktu lama, tapi kurasa aku tak bisa melakukannya. Kalau aku tak memikirkan tentang penyebabnya, lantas apa alasan untuk hal itu? Guru pasti sangat kecewa padaku.”
Sang Hakim melihat kalau mata gadis itu tampak jernih, namun wajahnya berkabut dan ada raut ganjil pada dirinya, tampak tahu namun tak mengerti. Sang Hakim lebih terkejut lagi. Dia tahu bahwa Xuanji terlalu cerdas untuk dibiarkan mengingat tentang masa lalu dan masa kini, dan bahwa bila gadis itu mengingatnya, gadis itu akan terjatuh ke dalam neraka dan menjadi iblis, dan takkan pernah bisa membalikkan lembaran baru. Kalau begitu, upaya susah payah dari Kaisar Langit dan Kaisar Houtu akan menjadi mubazir.
Sang Hakim terdiam dalam waktu lama, dan akhirnya memiliki sebuah rencana dalam benaknya. Dia tiba-tiba menepukkan tangannya dan berkata, “Aku mengerti apa maksud Xuanji.”
Xuanji buru-buru menatap, dan berkata dengan nada ingin tahu, “Apa yang Guru mengerti?”
Sang Hakim tertawa, “Aku akan menunjukkan kepadamu kehidupanmu yang lampau! Sekali ini saja, dan takkan pernah lagi!”
Xuanji begitu kegirangan sehingga dia menari-nari sedemikian rupanya sehingga dirinya bahkan tak bisa bicara.
Sang Hakim memungut segenggam penuh tanah dari tepi sungai, melemparkannya ke dalam sungai, dan berkata, “Manfaatkan waktumu, dan jangan ajukan pertanyaan-pertanyaan ini lagi.”
Xuanji buru-buru mencondongkan diri ke depan dan menatap air yang beriak di Sungai Kelupaan. Warna air perlahan-lahan menebal dan membentuk seorang wanita berpakaian putih. Saat melihat wajah si wanita, Xuanji tertegun.
Wanita itu adalah dirinya sendiri.
Namun sepertinya juga bukan dirinya.
Sepasang matanya bagaikan kepingan es dengan hawa membekukan. Tiba-tiba, wanita itu mencabut sebilah pedang, roknya berpusar, dan darah memercik ke seluruh tubuhnya. Darah menciprati dirinya. Kemudian, dia menarik pedangnya dan menyeka wajahnya, meninggalkan noda darah di pipi kirinya. Tiba-tiba, dia tersenyum ganjil, seakan dirinya berada dalam kesenangan luar biasa.
Xuanji hanya merasa bahwa pemandangan ini begitu akrab. Senyum itu, gaun putih bernoda darah itu, sepasang mata yang tampak bagaikan kepingan es dan salju…. Di telinganya seakan berdering suara akrab dari terompet, zirah emas, dan teriakan-teriakan memekakkan. Sang Jenderal di atas punggung kuda memiliki tiga kepala dan enam lengan, dikelilingi oleh api.
Ashura! Itu adalah pasukan Ashura!
Xuanji tiba-tiba menangkap secercah inspirasi di dalam kegelapan dan sudah akan menceploskannya, ketika tiba-tiba dirinya didorong oleh seseorang yang ada di belakangnya dan tak bisa berpegangan. Dia pun terjatuh ke dalam Sungai Kelupaan dengan bunyi ceburan, dan meminum beberapa teguk air yang pahit itu.
Bagai seekor kucing besar yang terjatuh ke dalam air, dia merangkak ke tepian dengan panik. Pada saat tangannya mengenai tanah, benaknya menjadi linglung, dan seluruh masa lalu serta masa kini menghilang dalam kepulan kabut asap. Dia memiringkan kepalanya dengan hampa pada sang Hakim di tepian, ingin memberitahukan sesuatu padanya, namun lupa siapa orang itu.
“Kau…,” dia menggumam, “aku….”
Aneh. Sepertinya aku telah melupakan sesuatu yang penting. Apa itu? Jadi apa yang sebenarnya….
Sang Hakim memanggil para arwah, memasang rantai pengunci arwah pada dirinya dan menariknya ke tepian, berkata lantang, “Xuanji, kau telah berada di alam baka selama lebih dari tiga bulan dan kini kau sudah sadar. Kau akan dikirim untuk bereinkarnasi. Kuharap kau akan melatih keabadian dengan tekun di kehidupanmu yang berikutnya dan kembali ke Langit sesegera mungkin.”
Setelah mengatakan hal itu, semua orang pun membawanya ke jalur reinkarnasi. Melihat bahwa Xuanji berada dalam kondisi terbengong-bengong dan tahu bahwa hal itu disebabkan karena dirinya telah meminum air kelupaan, si penjaga pun berkata was-was, “Hakim, Nona Xuanji akan dikirim ke jalan yang mana? Atau apakah sama seperti sebelumnya, menuju Jalan Ashura?”
Sang Hakim menggelengkan kepalanya: “Tidak, dia tak lagi seperti dirinya yang dahulu, dan pikirannya sudah akan hancur. Pada saat kritis semacam ini, selama dia merasa tidak yakin, dia akan menjadi siluman. Karenanya, aku telah membuat rencana dan mengakalinya untuk membuatnya meminum Air Kelupaan. Dia tak boleh direinkarnasikan sebagai Ashura, kalau tidak semua yang telah dilakukan akan jadi sia-sia belaka. Saat ini ada banyak kultivator keabadian di dunia, dan mereka menghormati kaum abadi, jadi biarkan dia pergi ke dunia manusia. Selama ada ketulusan, hasilnya akan ditentukan di masa mendatang.”
Gerbang roda reinkarnasi menjadi manusia telah terbuka. Dari dalamnya cahaya cemerlang meruah keluar, dan bisa terlihat bahwa ada puluhan ribu jalan saling bersilangan yang berbentuk seperti jaring laba-laba. Saat cahaya itu menyentuh dirinya, sekujur tubuh Xuanji perlahan-lahan menjadi tembus pandang, dan akhirnya membentuk sebuah bola cahaya.
Sang Hakim mengambil bola cahaya itu dan melemparkannya ke dalam pintu reinkarnasi, berkata dalam hati, “Kalau kau dan aku ditakdirkan untuk berjumpa, kita akan berjumpa kembali di kahyangan. Kuharap kau akan menjaga dirimu sendiri dengan baik.”
Malam itu, istri dari Kepala Puncak Shaoyang dari Gunung Shaoyang melahirkan dua orang anak perempuan. Pada malam kelahiran mereka, Kepala Perguruan Chu Lei mendapatkan mimpi di mana dia melihat sebuah kumala yang indah serta cahaya bintang yang menyilaukan, maka dia pun menamai putri-putrinya Linglong dan Xuanji.