The Glass Maiden - Chapter 2
Saat ini adalah pertengahan musim panas, dan hawa panas di siang hari bergulir datang dan pergi. Kebun kecil di halaman belakang Puncak Shaoyang sejuk dan semilir, dengan pepohonan menjulang yang menghadang cahaya mentari yang benderang. Angin berdesir di antara pepohonan, seolah menjadi lagu nina bobo yang sempurna.
Seorang gadis kecil, berusia sekitar sepuluh tahun, duduk di atas sebongkah batu hijau besar di tepi kolam, rambut panjang hitam, dan berkilaunya tak diikat dan menjuntai begitu saja di belakang punggungnya. Di tangannya terdapat sebuah buku besar, yang dibacanya dengan malas-malasan.
“… Terletak tiga ratus li ke arah selatan, adalah tempat yang disebut sebagai Gunung Geng, di mana tak ada pohon ataupun rerumputan, dan di mana terdapat banyak perairan dan ular-ular besar. Ada hewan buas….”
Setelah membacakan daftar semua siluman, dia menjadi malas dan melepaskan sepatunya, menjulurkan jari-jari kakinya ke dalam kolam untuk menggoda ikan karpet berekor emas besar yang sedang mengais-ngais makanan di dalam kolam. Dia berkelakar, “Ada hewan liar dan ikan, juga berburu. Aku akan memancing sesuatu yang lezat!”
“Apa yang lezat?” Suara dari seorang pria muda tiba-tiba terdengar dari arah belakang, sepertinya tertawa.
Si gadis kecil mengangkat kakinya dengan malas dan mengenakan kaus kaki dan sepatunya, lalu tanpa melihat ke belakang, dia berkata, “Lezat itu apa, Shixiong?”
(/N: Shixiong = Kakak Seperguruan Laki-laki)
Saat Du Minxing berjalan menghampirinya, pria itu menyentuh kepalanya dengan penuh kasih sebelum bertanya seraya tersenyum, “Jadi, aku tanya padamu. Apa yang sedang kau ocehkan barusan tadi?”
Si gadis kecil menunjukkan buklet di tangannya kepada Du Minxing, “Aku sedang menghapalkan daftar semua siluman, sungguh membosankan.”
Saat Du Minxing melihat raut malasnya, dia jadi tak tahan untuk tertawa, “Tak heran Guru dan Ibu Guru selalu bilang kau malas dan tak mau pergi berlatih. Kau bahkan tak mau menghapal daftar dari semua siluman.”
Si gadis kecil tak bicara, namun hanya menundukkan kepalanya dan bermain-main dengan bandul kumala di roknya. Sesaat kemudian, dia berkata, “Oh, setiap hari aku berlatih olahraga. Latihannya membuat kakiku sakit dan pinggangku linu. Aku tak tahu apa ini. Aku tak percaya soal menjadi kaum abadi. Setiap hari orang-orang terus mengucurkan keringat seperti para shixiong itu, dan mereka bau sekali.”
Du Minxing mendengarkannya dan tertawa lagi, “Berlatih olahraga itu untuk menguatkan tubuh. Apa kau pernah melihat seorang kaum abadi yang sakit-sakitan dan lemah setiap saat? Hanyalah ketika tubuh kuat baru kau bisa berlatih ilmu sihir. Kalau tidak, bagaimana kau bisa terbang? Atau membasmi siluman?”
Gadis kecil itu tak punya alasan untuk berdebat lagi dengannya, namun dalam hati, dia merasa bahwa kakaknya itu memang ada benarnya, namun dia tak bisa menari dan berlatih dengan pedang.
Du Minxing tak berniat menceramahi seorang gadis kecil.
Gadis ini berbeda dari Linglong. Saat kau bicara dengan Linglong, Linglong akan mendebat kalau dirinya tak suka mendengarkannya, namun bila tidak, Linglong akan dengan patuh melakukan seperti yang disuruh; namun bila kau bicara kepada gadis yang ini selama tiga hari tiga malam, dia akan menganggukkan kepalanya untuk menyetujui lalu melupakan semuanya, dan kemudian hanya melakukan seperti yang dimauinya sendiri.
“Ibu Guru memberi pedang emas kepada Linglong Shimei hari ini.” Seraya menggoda ikan karper dengan sebatang ranting dedalu, Du Minxing berkata, “Sejak saat ini, jiejie-mu itu tak perlu berlatih pukulan dan kuda-kuda, dia bisa latihan bertarung dengan pedang.”
(T/N: Jiejie – kakak perempuan)
“Oh,” si gadis berkata. Dia acuh tak acuh dan tak peduli.
“Chu Xuanji.” Du Minxing tiba-tiba memanggil nama gadis itu dengan serius.
Xuanji tertegun selama sesaat dan dengan enggan melompat turun dari batu hijau, membungkuk kepadanya dan berkata, “Xuanji di sini, apa yang bisa kulakukan untukmu, Shixiong?”
Dengan tegas Du Minxing bertanya, “Kenapa kau tak mau berlatih?”
Xuanji menggigit bibirnya, wajahnya keras kepala sekaligus kekanakan, dan sejenak kemudian sedikit merengut. “Aku mengerti apa yang telah dikatakan oleh orangtua, para paman, dan guru-guruku, tapi mengerti tak berarti kalau kau bisa melakukannya. Aku tak mengerti kenapa aku harus berlatih. Shixiong telah bertanya padaku ribuan kali, tapi apu masih tak mengerti.”
Du Minxing mendesah. Dia mencintai kedua adiknya itu sama rata, seolah mereka adalah adik kandungnya sendiri. Akan tetapi, Linglong sedikit lebih terbuka dan ceria, dan semua orang tak bisa menahan diri mereka untuk memanjakan dirinya. Sejujurnya saja, bahkan dengan temperamen baiknya, terkadang dia telah dibuat jadi begitu marah sehingga ingin memukul Xuanji untuk menunjukkan kekesalannya, apalagi para gurunya. Siapa yang akan mau meremas sebongkah batu kecil? Sungguh membuar frustrasi karena gadis itu bahkan tidak merespon saat kau meneriakinya.
“Guru hanya jadi marah di arena ilmu bela diri,” Du Minxing berkata dengan ekspresi cemas, “Beliau bilang kau sudah tidak berlatih selama sepuluh hari berturut-turut, melupakan aturan-aturan di Puncak Shaoyang. Sekarang Guru telah memintaku untuk menemuimu, bilang kalau kau akan dihukum berat. Kau lihat sendiri apa yang harus kau lakukan.”
Saat Xuanji mendengar tentang amarah ayahnya, dia akhirnya jadi agak takut. Dia menggumam dan mengerang selama beberapa waktu sebelum berbisik, “Apa aku bisa… tidak pergi? Katakan saja kalau Shixiong tak bisa menemukanku….”
Du Minxing menggelengkan kepalanya: “Guru kali ini sudah menetapkan. Kakak kembarmu Linglong telah mewarisi Pedang Emas, tapi kau bahkan tak bisa menyelesaikan Tinju Xuan Ming. Beliau adalah kepala sekte, bagaimana bisa Beliau melindungi putrinya? Kalau Beliau tak menghukummu dengan berat kali ini, apa yang akan dipikirkan oleh murid-murid lainnya?”
Xuanji berkata, “Kenapa kau peduli dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain…. Kita kan bukan anjing berburu, kenapa kita perlu aturan?”
Du Minxing mengeluarkan Ruyi besi hitam dari kantongnya dan melemparkannya ke udara. Ruyi hitam sepanjang dua kaki itu berayun dua kali di udara dan kemudian berhenti dengan stabil.
Du Minxing melompat ke atasnya, membungkukkan badan, dan mengulurkan tangan ke arah Xuanji, “Ayo, berhenti meracau. Bergegaslah temui Guru. Para Shixiong dan Shijie akan membantumu bicara. Lain kali, jangan semalas itu!”
Xuanji memiliki puluhan juta rasa waswas dalam hatinya, namun dia tak bisa melawan otoritas keras ayahnya, jadi dia pun perlayan menggapai tangan shixiong-nya. Memikirkan tentang kata-kata ayahnya, dengan mengibakan dia memohon pada pria itu, “Shixiong… aku tak mau dipukul….”
Hati Du Minxing melunak saat dia melihat betapa mengibakannya gadis kecil itu, dan berkata lembut, “Baiklah, aku akan bicara yang baik-baik untukmu. Kalau kau tak berlatih selama sepuluh hari berturut-turut seperti ini lagi, Shixiong takkan membantumu lagi!”
Saat Xuanji tak menjawab, Du Minxing mendesah dalam hati dan kemudian memberikan sedikit tekanan pada kaki kirinya, memutar Ruyi Besi Hitam dan terbang ke arah lapangan pelatihan di puncak gunung.
Terdapat lebih dari selusin lapangan pelatihan beladiri di Gunung Shaoyang, dan lapangan-lapangan itu dipakai oleh murid-murid dari berbagai sekte berbeda untuk berlatih. Sekte Shaoyang adalah salah satu sekte kaum abadi terbesar di dunia, dengan jumlah murid yang besar dan berkah yang melimpah. Dimulai dari mantan kepala Jingyang Xian, Sekte Shaoyang terbagi menjadi tujuh cabang. Cabang pertama, Yao Ri, dikepalai oleh Ketua Chu Lei, sementara enam cabang sisanya, seperti Cheng Xu dan Xuyang, dikepalai oleh para saudara dan saudari seperguruan sang Ketua.
Sekte Shaoyang memiliki banyak cabang dan beragam murid, yang kesemuanya disatukan oleh satu tujuan yang sama yaitu melatih keabadian dan tidak bertanding dengan sekte-sekte lainnya. Ketua sekte tak terlalu menitik beratkan pada ketenaran dan kekayaan. Sekte Shaoyang telah menjadi markas selama ratusan tahun.
Pada saat ini, kepala sekte, Chu Lei, sedang mengawasi para murid di Lapangan Pelatihan Besar di Puncak. Istrinya, He Danping, juga secara serius memberi instruksi kepada para murid wanita mengenai jurus-jurus gaya pukulan. Di siang hari, arena bela diri sama panasnya dengan kukusan dan semua orang mengucurkan keringat seperti hujan, namun arena beladiri yang luas itu sunyi, kecuali saat sesekali terdengar seruan jurus. Hanya karena putri terkecil Chu Lei, Xuanji, yang belum juga mendapatkan kemajuan dan telah menjadi malas, para murid pun tahu kalau sang kepala sedang dalam suasana hati yang garang dan menakutkan. Karena takut tanpa disengaja membuatnya marah, mereka harus menggertakkan gigi mereka dan berlatih keras, bahkan bila mereka terluka. Tak ada seorang pun yang berani bersuara bahkan saat mereka merasakan sakit.
He Danping mengamati dua orang murid saling bertukar jurus pedang, dan saat melihat kalau mereka berlatih dengan baik, maka dia pun berjalan ke samping untuk minum teh. Sayangnya, Du Minxing belum juga membawa Xuanji kepadanya. Saat dia melihat kembali pada wajah Chu Lei, He Danping mendapati wajah pria itu telah menjadi hitam dan biru. Suaminya itu pasti sedang menekan amarahnya.
Dia mengesah dalam hati dan berjalan menghampiri Chu Lei dan berkata lembut, “Suamiku… Xuanji telah merasa sumpek akhir-akhir ini, jadi kupikir dia sedang tak enak badan. Jangan terlalu marah padanya. Dia masih muda, jadi kalau kau terlalu memaksa dirinya, takutnya takkan baik….”
Chu Lei tak menjawab, namun hanya mencibir. Saat dia mendongak, dilihatnya putri pertamanya, Linglong, gemetaran dan menggenggam Pedang Emas sang ibu berlatih jurus-jurus pedang dengan serius. Wajah mungilnya merona akibat hawa panas, namun gadis itu tak mengeluh. “Dia masih muda? Linglong dan dia adalah saudari kembar. Linglong sudah bisa berlatih pedang sekarang. Bagaimana dengan Xuanji? Ini karena kau terlalu memanjakan dia! Dia manja, dan dia tak belajar apa-apa!”
He Danping tahu kalau suaminya marah kali ini, kalau tidak pria itu takkan pernah bicara seperti ini kepadanya. Apa pun yang dikatakannya hanya akan menambahkan minyak ke dalam api, jadi dengan frustrasi dia pun menutup mulutnya.
Di sisi lain, Linglong yang berusia sebelas tahun baru saja menyelesaikan latihannya dan dengan gagah menatap shixiong keenamnya, Zhong Minyan, dengan pedang terhunus. “Lawan aku!”
Zhong Minyan sedang berjongkok di dekat situ, wajahnya berkeringat. Pemuda itu mengernyit dan berkata, “Tidak mau!”
Linglong menjejakkan kakinya dan berkata, “Cepat! Ayo lawan aku!”
Zhong Minyan tetap tak mau mengiyakan, namun ada secercah senyuman kecil dalam suaranya, “Aku juga tak menyuruhmu untuk buru-buru!”
Seperti ayahnya, Linglong memiliki temperamen yang galak. Setelah memanggil Zhong Minyan dua kali, dan pemuda itu masih tak kunjung bergerak, dia jadi marah dan berkata, “Kalau kau tak bertarung denganku, aku akan menusukmu!”
Saat Zhong Minyan melihat kalau Linglong jadi marah, dia pun berpaling pada gadis itu dan tertawa, “Aku akan berlatih denganmu hanya kalau kau memanggilku Minyan Shixiong.”
Linglong menjejakkan kakinya dan berseru, “Zhong Minyan! Kau brengsek! Kalau kau tak berlatih denganku, itu berarti kau belum menguasai ilmu pedang Yaohua! Aku sudah muak denganmu!”
“Baiklah, baiklah.” Zhong Minyan meminjam pedang dari murid wanita di sebelahnya dan tersenyum, “Aku akan berlatih denganmu. Kau ini benar-benar pemarah.”
Linglong merasa gugup. Melihat kalau Minyan sudah siap, dia pun mengayunkan pedangnya. Genggamannya begitu lemah sehingga kali ini dia nyaris melontarkan pedang itu dari tangannya. Zhong Minyan bergegas memeganginya dan berkata seraya tertawa, “Kau tak bisa menggenggam pedang dengan erat, ada apa?”
Linglong merona, dan dia sudah akan menghardik dengan beberapa patah kata, namun dia mendengar Chu Lei berkata dari belakang, “Minyan, kemari.”
Zhong Minyan buru-buru menyingkirkan ekspresi tertawanya, dan membungkuk saat sang guru mendekat, “Guru ada perintah apa?”
Chu Lei berkata tegas, “Shixiong-mu sudah pergi untuk mencari shimei-mu. Dia belum juga kembali. Takutnya hatinya melunak dan dia jadi dibuat tergerak oleh gadis licik itu. Sekarang kau pergi dan periksalah. Jangan bilang apa-apa saat kau melihat dia. Cukup tangkap dia dan bawa dia kemari.”
Zhong Minyan menjerit dalam hari atas kesialannya. Dirinya begitu malang. Di seluruh Sekte Shaoyang, dia bisa bicara pada siapa pun kecuali pada si Chu Xuanji itu, keduanya selalu berselisih dan Chu Xuanji ingin memukul dirinya kalau dia mengatakan sesuatu. Tugas ini lebih cocok untuk orang lain.
Dia buru-buru memikirkan bagaimana cara untuk menolak dan bergerak-gerak gelisah, “Guru… aku… aku… sedang menemani Linglong Shimei berlatih….”
Setelah bicara, sang guru tak merespon. Diam-diam Zhong Minyan menaikkan tatapannya, namun malah melihat sang guru menatap langit di depannya. Dia juga ikut melihat dan mendapati shixiong-nya, Du Minxing, terbang mendekat bersama dengan Xuanji.
Selama sesaat, para murid di lapangan latihan bela diri menghentikan kegiatan mereka dan mendongak untuk menonton pertunjukan. Reputasi Xuanji di antara para shixiong dan shijie di sektenya tak sebaik Linglong. Gadis itu aneh dan tidak mengenakkan bila berada di sekitar mereka. Karenanya, sebagian orang yang menonton menantikan untuk melihat pertunjukan yang bagus, hanya menunggu untuk melihat bagaimana gadis itu akan dihukum/
Xuanji melompat turun dari Ruyi Besi Hitam dengan ketakutan dan gemetaran, namun saat dia melihat atmosfer di arena bela diri tidak benar dan ayahnya memandangi dirinya dengan tatapan dingin, dia pun meragu dalam waktu lama/
Du Minxing menyimpan Ruyi Besi Hitam dan menyentuh puncak kepalanya, berkata lembut, “Jangan takut, ayo, sana dan beri hormat kepada Guru.”
Xuanji merasa enggan untuk melakukannya, jadi Du Minxing pun menarik Xuanji ke depan Chu Lei dan berlutut, berkata, “Xuanji memberi hormat kepada Guru.”
Chu Lei mendengus dan berkata tenang, “Kau masih tahu bagaimana memberi hormat kepada Ketua Sekte! Kukira di matamu tak ada Sekte Shaoyang ini sama sekali!”
Xuanji tahu kalau pria itu sedang marah, jadi dia tak berani mengatakan apa-apa. Karenanya dia pun hanya menundukkan kepalanya dan mengutak-atik sabuk bajunya dengan bengong. Meski dia pikir dirinya tak salah apa-apa, dia tak berani bersikap keras kepala.
“Katakan padaku, apa yang kau lakukan di halaman belakang sepanjang hari? Selain dari berleha-leha dan tidur, apa kau sudah melakukan hal lain yang harus dilakukan oleh seorang kultivator dalam kehidupan sehari-harimu?”
Karena Xuanji tak berani mendongak, Du Minxing, yang berada di sampingnya, buru-buru berkata seraya tersenyum, “Jangan marah, Guru. Saya baru saja menemukan Shimei di kebun di belakang gunung. Dia sedang menghapalkan Kitab Sepuluh Ribu Siluman dalam hati, yang mana menunjukkan kalau dia tidak malas. Shimei masih serius dalam berlatih, tapi karena dia memiliki fisik yang lemah, dia tak bisa mempercepat latihannya. Guru, mohon mengertilah!”
Chu Lei mencibir, “Jadi kenapa kalau dia bisa menghapal semua cerita rakyat dari seluruh gunung di dunia? Pada hari kita turun gunung, apa kau mau menatap siluman dan membacakan kitab? Kalau kau tak bisa terbang, dan kau tak tahu bagaimana cara untuk bertarung dengan pedang, atau kemampuan sihir apa pun, bagaimana bisa kau menjadi kaum abadi?”
Du Minxing sudah akan bicara lebih banyak lagi, namun sang Guru melambaikan tangan dan menyela, “Pergi! Jangan ucapkan apa-apa lagi!”
Dia pun hanya bisa menurunkan tangannya dan mundur ke samping.
Chu Lei menatap Xuanji dalam waktu lama, namun dia tak mengatakan apa-apa.
Melihat penampilan jelita Xuanji, Chu Lei pun dipenuhi oleh rasa iba untuk putrinya ini. Setelah berlatih seumur hidup, Chu Lei tak terlalu memedulikan urusan soal menikah dan punya anak, namun dia akhirnya mendapatkan sepasang anak perempuan pada usia paruh bayanya. Xuanji tampak lebih mirip dengan ibunya, ramping dan lemah, dan Chu Lei tak sanggup bersikap keras pada gadis itu dalam pelatihaannya. Namun pertama, Xuanji terlalu pemalas, begitu pemalas sehingga gadis itu bahkan tak mampu melakukan kuda-kuda paling dasar. Kedua, sebagai Kepala Sekte, bila dia memanjakan putrinya sendiri, lantas bagaimana dirinya bisa dianggap serius oleh khalayak umum di masa mendatang?
Memikirkan tentang hal ini, dia merasa marah lagi, dan berkata, “Berdiri, aku ingin lihat sebaik apa kau telah berlatih Tinju Xuanming. Di sini juga, di depan semua guru, shixiong, dan shijie-mu. Jangan malu-malu.”
Xuanji tak tahu bagaimana cara melatih Tinju Xuanming, dia sudah lupa bagaimana cara melakukan kuda-kuda, namun dia harus berdiri karena perintah dari Kepala Sekte.
Selama sesaat, tempat itu begitu sunyi sehingga kau bisa mendengar suara sebatang jarum terjatuh ke tanah. Angin siang yang panas mengibaskan rambut panjang Xuanji, dan punggungnya mengucurkan keringat deras. Ratusan pasang mata terpancang padanya, dan dirinya seakan telah membeku, tak mampu menggerakkan satu jari pun.
He Danping tak sanggup melihat Xuanji dipermalukan di muka umum dan sudah akan mengatakan sesuatu, namun Chu Lei menghentikan dirinya dengan satu isyarat. Pria itu menolehkan kepalanya dan berkata, “Apa kau tak tahu bagaimana cara untuk berlatih? Kalau begitu kutanya padamu, apa yang telah kau lakukan selama bertahun-tahun ini?”
Xuanji masih tak mengatakan apa-apa. Cahaya mentari yang kuat menyorot langsung ke wajahnya, membuatnya merasa agak lemah. Jaraknya terlalu jauh, dan sebagian besar orang tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Bahkan mereka yang sebelumnya menyombong sekarang sudah tak tahan untuk berkeringat. Kalau Xuanji tetap diam seperti ini, sang guru hanya akan jadi lebih marah lagi.
“Chu Xuanji, bicara!” Suara Chu Lei sangat lembut, bagai sekeping es tipis yang tiba-tiba berderak.
Xuanji tiba-tiba jatuh berlutut dan berkata dengan suara dalam, “Aku tak bisa! Harap hukumlah aku, Guru!”
Chu Lei tertawa lantang, “Hukuman? Hukuman apa? Kau tahu kata ‘hukuman’!” Dia tiba-tiba berhenti tertawa dan berkata, “Dengar, pulang ke rumah malam ini, kemasi pakaian, dan mulai besok, kau akan tinggal di Gua Mingxia di Puncak Matahari Beishan. Baru boleh keluar saat aku mengizinkanmu keluar!”
Kerumunan pun tercengang. Gua Mingxia dalamnya seribu kaki, dan di bagian dalamnya sama gelapnya dengan neraka, dengan kelembaban dan hawa dingin sepanjang tahun, serta banyaknya serangga dan ular. Biasanya para murid akan jadi gila bila mereka tinggal di dalamnya sebentar saja, apalagi hukuman tanpa jangka waktu yang pasti semacam ini! Xuanji hanya seorang gadis berusia sebelas tahun, dan bagaimanapun juga, hukuman ini terlalu berat!
He Danping meledakkan tangisnya saat itu juga, dan Linglong, tak bisa menahan diri, bergegas maju dan jatuh berlutut, buru-buru berkata, “Memohon kepada Ketua untuk mengampuni Meimei! Dirinya tidak sehat. Dia akan mati kalau dia masuk ke dalam Gua Mingxia!”
(T/N: Meimei – Adik Perempuan)
Sekelompok murid Sekte yang masih muda, termasuk Du Minxing dan Zhong Minyan, jatuh berlutut dan memohon, “Guru, harap tariklah perintah Anda! Takutnya shimei tak sanggup menahan hukuman semacam ini! Mohon kepada Guru, beri dia kelonggaran!”
Chu Lei dengan garang mengibaskan lengan bajunya, dan berkata tenang, “Berdiri! Aku telah menetapkan pikiranku dalam hal ini, jadi tak perlu membicarakannya lagi!” Setelah berkata demikian, dia berbalik dan menatap pada Xuanji. Wajah gadis itu pucat, namun tidak tampak ketakutan.
Meski amarahnya begitu kuat, dalam hati Chu Lei sebenarnya tak tega dan mendesah, “Xuanji…. Ada banyak orang di dunia ini yang hanya bisa menjadi orang biasa, yang hidup, tua, sakit, dan mati, serta menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja. Tapi kau tak bisa. Kau adalah murid dari Puncak Shaoyang. Sebagai murid dari Puncak Shaoyang, keabadian adalah tujuan seumur hidupmu. Bagaimana bisa kau… bersedia menjadi orang biasa?”
Xuanji terdiam dalam waktu lama sebelum berkata, “Apakah kita bukan orang biasa?”
Chu Lei terdiam setelah mendengar kata-kata tersebut, namun setelah lama waktu berlalu, dia berkata, “Kau… pergilah.”
Dia tak tahu apa yang harus dirasakannya saat dia menatap punggung kurus si gadis kecil.
Kayu busuk tak bisa diukir.
(T/N: idiom yang berarti orang bebal yang tak bisa diajari)
Namun sepotong kayu busuk ini adalah putrinya, dan bahkan bila tak bisa diukir, dia tetap harus mengukirnya hingga berbentuk.
Du Mingxin masih ingin memohon kepada Chu Lei, namun yang bersangkutan mengibaskan lengan bajunya dan berjalan pergi hingga dirinya mencapai ujung area pelatihan seni bela diri. “Minxing, datanglah ke kamarku malam ini. Aku ingin lihat sudah sampai sejauh apa Teknik Racun Yang-mu.”
Begitu Du Minxing mendengar kata-kata ‘Teknik Racun Yang’, dia pun kegirangan. Ini adalah mantra paling hebat dari Puncak Shaoyang, dan biasanya hanya murid yang telah mencapai usia dua puluh tahun yang bisa melatihnya. Kini saat dirinya baru berusia delapan belas tahun, sang Guru berkata, “Kita lihat sudah sampai sejauh apa dirinya melatih Teknik Racun Yang’. Ini hanya kedok, sang guru sebenarnya berencana untuk mengajari dirinya teknik ini.
Para murid muda di sekitarnya menatap dirinya dengan iri, dan mereka semua pun menghampiri untuk mengucapkan selamat kepadanya. Du Minxing begitu bersemangat sehingga dia hampir tak sanggup menahan perasaannya dan dia pun melupakan semua tentang Xuanji.