The Glass Maiden - Chapter 7
Pada hari berikutnya, mereka berlima pun meninggalkan Gunung Lutai. Para petinggi dari keempat sekte besar lain tidak mengucapkan salam perpisahan, karena orang-orang itu adalah tamu. Mereka hanya menunggu bunganya dipetik dan Turnamen Tusuk Rambut Bunga dimulai secara resmi.
Saat mereka berangkat, semua murid mengantar di gerbang gunung, namun hanya Linglong satu-satunya yang tidak datang. Karena Chu Lei menghukumnya dengan melarangnya meninggalkan griya, dia pun benar-benar tidak keluar. He Danping-lah orang yang menderita. Di satu sisi, dia harus mencemaskan tentang putri keduanya, dan di sisi lain, dia merasa tidak enak untuk putri pertamanya, dan harus menangani pengaturan untuk turnamen. Sungguh sulit untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik.
Karena Xuanji dan Zhong Minyan belum tahu bagaimana cara untuk terbang dengan pedang, Chu Yinghong dan Dongfang Qingqi pun membawa salah satu dari masing-masing anak dan memegangi keduanya di depan tubuh mereka, terbang dengan cepat dan stabil. Zhong Minyan baik-baik saja karena dia telah berlatih untuk terbang secara diam-diam sebelumnya, namun ini adalah kali pertama bagi Xuanji. Chu Yinghong cemas kalau-kalau si gadis kecil ketakutan sehingga memeluknya erat-erat dengan kedua tangan, menenangkannya, “Jangan takut, Bibi Hong ada di sini, aku pasti takkan membiarkanmu jatuh.”
Chu Yingyong menunduk menatap Xuanji dan melihat kalau mata anak itu terbuka lebar, menatap penasaran pada awan-awan yang melayang dibawah kakinya bagaikan selubung, dan tak ada jejak rasa takut.
Dalam hati, Chu Yinghong merasa takjub karena kedua putri dari sang Kepala begitu berbeda dalam hal temperamen. Linglong mengenal dirinya dengan lebih baik dan merecokinya setiap hari untuk berlatih ilmu bela diri. Yinghong hampir tak pernah berhubungan dengan Xuanji sebelumnya, dan dia seringkali mendengar kalau sang Kepala marah gara-gara kemalasan gadis itu, namun dia sebenarnya hanya berpikir kalau Xuanji adalah seorang gadis yang tak tahu aturan dan menjengkelkan.
Saat dia melihat kalau Xuanji sedang menatap sekeliling dengan penuh minat, dia pun tersenyum dan berkata, “Apa kau tidak takut? Ini kali pertama terbang begitu tinggi.”
Xuanji menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bibi takkan membiarkan aku jatuh.”
Chu Yinghong dibuat sangat geli oleh sikap kekanakan dan kuno dari Xuanji, jadi dia pun menggoda gadis kecil itu, “Kau seyakin itu? Aku bukan ayah maupun ibumu.”
Xuanji tak menanggapi, dia hanya menunduk pada pegunungan hijau yang membentang luas di bawah kakinya, serta awan-awan seputih susu yang melingkupi mereka, bagaikan cadar seorang wanita cantik.
Chu Yinghong mengamati dirinya tanpa bersuara, dan tiba-tiba teringat pada suatu ketika saat para saudara dan saudari seperguruan berkumpul bersama untuk minum-minum, dan Huan Yang Shidi mungkin sudah terlalu mabuk, menepukkan tangannya dan tertawa, “Kalian selalu berkata kalau putri pertama Chu, Linglong, adalah jenius yang langka. Apakah ada yang pernah melihat Xuanji si gadis kecil itu? Apalagi, kemampuan luar biasanya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan pandangannya yang tak ternoda adalah sesuatu yang sangat hebat!”
Dahulu, Chu Yinghong hanya berpikir kalau kata-kata itu adalah ucapan orang mabuk dan tak memasukkannya ke dalam hati. Namun saat ini, ketika dia teringat pada kalimat ‘Tidak ada kekagetan terhadap perubahan, tidak ada debu di bawah mata’, secara mengejutkan dia mendapati bahwa hal itu memang sesuai.
Dia tertawa dan memeluk Xuanji erat-erat ke dadanya, terbahak, “Hei, mau sedikit bersenang-senang?”
Setelah mengatakan hal itu, dia tak menunggu jawaban, melainkan menekan ke bawah dengan kaki kirinya, dan pedang yang tengah membelah awan di bawah kakinya pun melambung naik dan turun seperti seekor kuda liar yang telah kehilangan kendalinya, dan pada akhirnya, dengan pelepasan tiba-tiba, pedang itu terjun bebas dari angkasa. Melihat kalau dirinya sudah hampir menghantam tanah, pedang itu pun berayun ringan seperti naga, menyapu puncak pohon elm di puncak gunung dan melayang terbang, meninggalkan dedaunan dan ranting-ranting berhamburan di udara di belakang pedang tersebut.
Seekor lark yang tengah beristirahat di atas pohon tak bisa kabur tepat pada waktunya, dan begitu dia mengembangkan sayapnya, dirinya pun disapu ringan oleh lengan baju Chu Yinghong, dan dengan lihai ditangkap di tangannya.
“Ini, untukmu. Apakah menyenangkan?” Chu Yinghong tersenyum dan menaruh burung lark itu ke dalam lengan baju Xuanji lalu mengendalikan Pedang Penelan Awan sehingga pedang itu terbang dekat dengan pucuk pohon. Ketika daun-daunnya bertemu dengan energi pedang, dedaunan itu pun saling bertumbukan. Hal ini seperti memecah gelombang di puncak pohon, dan ranting serta dedaunan yang lebat adalah ombak di laut.
Xuanji merasa kalau segalanya tampak baru.
Pedang terbang, perasaan menatap ke bawah dari tempat yang sedemikian tingginya, angin berhembus ke segala penjuru, perasaan dari angin yang bertiup dari segala arah tanpa gangguan, dan perasaan gemetar lembut dari burung lark dalam lengan bajunya, membawa bersamanya rasa panik dan kerapuhan dari makhluk hidup yang kecil. Semua yang ada di hadapannya tampak begitu terbuka dan jernih, dan bahkan ujung rambutnya juga bisa mencicipi rasa kebebasan. Ini benar-benar merupakan pengalaman yang sepenuhnya berbeda dari terperangkap di halaman di belakang Puncak Shaoyang sepanjang hari. Dia merasa bahwa dirinya telah mempelajari sesuatu, namun dia tak tahu apa yang telah dipelajarinya itu.
Jadi ketika Chu Yinghong bertanya kepadanya apakah dia suka bermain seperti ini, Xuanji menganggukkan ‘ya’ tanpa ragu. Chu Yinghong menyentuh kepalanya dan tersenyum, “Kalau kau menyukainya, kau harus belajar untuk terbang dengan kekuatanmu sendiri. Barulah saat kau bisa terbang sendiri, kau bisa memahami kecantikan dari hal itu.”
Xuanji menganggukkan kepalanya dengan kebodoh-bodohan, dan tiba-tiba merasa dalam hatinya bahwa berlatih seni beladiri sama sekali bukan masalah. Untuk pertama kalinya, dia memiliki pemikiran untuk belajar cara terbang sendiri.
Dia menyukai kebebasannya, kebebasan di mana semuanya terbuka dan tak terkekang.
Tentu saja, dia tak tahu bahwa ketika dirinya beristirahat di penginapan pada malam hari, Chu Yinghong menemui Chu Lei dan meminta seseorang kepadanya.
“Ketua, aku ingin Xuanji pergi ke Aula Yuyang untuk belajar bersamaku, bagaimana menurutmu?”
Permintaan Chu Yinghong merupakan kejutan sekaligus kegembiraan bagi Chu Lei, yang terkaget-kaget karena wanita itu telah memilih Xuanji. Dia mengira kalau Yinghong akan mengambil Linglong sebagai muridnya. Chu Lei merasa gembira karena Yinghong adalah seorang ahli yang cemerlang dan berpengetahuan tinggi, dan Xuanji pasti akan belajar banyak bersamanya.
Chu Lei langsung tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, hal itu benar-benar merupakan keberuntungan bagi putriku. Namun, Xuanji selalu pemalas sejak dirinya kecil, jadi kuharap Shimei akan lebih mengawasi dirinya. Orang takkan bisa menjadi sosok berbakat dengan bermalas-malasan.”
Namun Chu Yinghong berkata, “Ketua Shixiong, beberapa anak membutuhkan tekanan berat untuk dilatih, namun beberapa anak tak bisa ditekan sama sekali. Semua orang memiliki metode berlatih mereka masing-masing. Menurutku Xuanji sangat bagus. Seiring dengan waktu, dia pasti akan menjadi bakat besar.”
Chu Lei tahu kalau shimei-nya ini memiliki banyak pendapat yang aneh dan tidak lazim, dan meski dia tak setuju dengan wanita itu, dia tak membantahnya. “Putri kecilku akan diajari oleh shimei-ku. Aku akan suruh dia datang kemari untuk memberi penghormatan kepada gurunya.”
Chu Yinghong buru-buru menghentikannya seraya tersenyum, “Tak perlu terburu-buru. Mari kita tunggu hingga Upacara Tusuk Rambut Bunganya selesai.”
Chu Yinghong dalam hati tahu kalau dirinya harus berhati-hati tentang hal ini. Xuanji memiliki sifat pemalas, namun luar biasa cerdas. Orang semacam ini tak bisa dipaksa untuk melakukan apa pun; anak itu memiliki ide-idenya sendiri dan Chu Yinghong hanya bisa membimbingnya, menggodanya, dan membuatnya tertarik berlatih seni beladiri. Xuanji masih kecil, dan saat dirinya lebih besar, akan jadi lebih sulit untuk mengajarinya. Kalau kau memaksa Xuanji untuk menjadi muridmu, dia akan memiliki sikap membangkang dan pada akhirnya kau harus melepaskan dirinya.
Saat Chu Yinghong dan Chu Lei sedang mendiskusikan soal pengajarannya di lantai atas Xuanji dan ketiga orang lainnya sedang minum teh di bawah. Dongfang Qingqi memesan lebih dari sepuluh macam masakan sekaligus, dan kemudian menepuk-nepuk bahu Zhong Minyan dan tersenyum, “Anak ini lumayan juga. Tidak mudah untuk bertahan hidup hingga saat ini.”
Saat Zhong Minyan ditepuk oleh telapak tangannya, sekujur tubuhnya terbanting ke atas meja dan dia jadi tak bisa bergerak. Ketika Xuanji melihat bahwa wajah Zhong Minyan menghitam dan jadi lebih pahit daripada pare, dia pun bertanya dengan suara lirih, “Ada apa? Apa kau sedang tidak enak badan?”
Zhong Minyan menggelengkan kepalanya, namun sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Dongfang Qingqi tertawa dan berkata, “Sulit baginya untuk menjajal ilmu istimewa dari Pulau Fuyu, Naga Mengibas. Beberapa dari muridku jauh lebih tua daripada dirinya, dan mereka pingsan ketika bertemu dengan jurus ini. Hal ini tidak mudah bagi anak ini!”
Xuanji mengerjapkan matanya, namun dia tak mengerti.
Zhong Minyan berkata, “Pemilik Pulau Fuyu telah membawaku terbang naik turun, ke kanan dan ke kiri, dan akhirnya berputar seratus delapan kali…. aku… muntah… aku rasanya mau mati saja….”
Xuanji menatapnya dengan penuh simpati dan berkata, “Kalau begitu kau harus pergi tidur. Besok perjalanannya masih panjang.”
Zhong Minyan menggelengkan kepalanya dan berkata, “Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan duduk di sini saja….”
Dongfang Qingqi tertawa, “Penuh semangat! Aku suka itu! Tidaklah mudah untuk sampai sejauh ini! Murid-murid Ketua Chu memang berbeda, jauh lebih baik daripada murid-muridku yang tak berguna! Bagaimana kalau kau ikut bersamaku dan menjadi murid dari Pulau Fuyu? Aku akan bicara pada Chu Laodi.”
Namun kemudian terdengar suara tawa Chu Lei dari arah belakang, “Dongfang Xiong suka berkelakar, dan semua murid dari Pulau Fuyu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Bagaimana bisa kita membandingkannya?”
Berkata demikian, dia dan Chu Yinghong berjalan menghampiri bersama-sama, duduk seraya tersenyum, dan berkata, “Maaf telah lama menunggu.”
Dongfang Qingqi berkata lagi, “Chu Laodi sangat terberkahi. Ada banyak orang berbakat di Sekte Shaoyang, yang benar-benar membuatku iri padamu.”
(T/N: Laodi – secara harafiah berarti ‘Adik Tua’. Salah satu panggilan akrab)
Chu Lei dan dirinya adalah teman dekat sehidup semati. Orang ini selalu bicara dengan begitu lantang dan terus terang. Chu Lei sudah lama telah terbiasa dengan hal itu. Dia pun tersenyum dan berkata, “Kau itu bicara apa! Memangnya cuma ada sedikit orang di pulaumu? Cukup Pianpian dan Yu Ning saja sudah cukup untuk kau sombongkan. Beberapa waktu yang lalu, kudengar mereka telah menebas siluman ganas di Lantian, dan kau masih bisa menangis padaku dan bilang kalau kau sial. Apa mereka akan hadir di Turnamen Tusuk Rambut Bunga?”
Dongfang Qingqi mendesah dengan penuh kebanggaan saat dia membicarakan tentang kedua murid terbaiknya, “Bagaimana bisa mereka tidak berpartisipasi dalam Turnamen Tusuk Rambut Bunga? Aku akan merasa lega kalau mereka bsia mengambil alih Pulau Fuyu di masa mendatang.”
Setelah berkata demikian, Dongfang Qingqi menepuk-nepuk Zhong Minyan yang pucat dan berkata, “Anak ini juga tidak buruk! Sungguh luar biasa melihat bagaimana seorang anak muda bisa menahan Naga Mengibasku. Tidak mudah! Merekalah yang akan menjadi pusat perhatian pada Turnamen Tusuk Rambut Bunga selanjutnya! Chu Laodi, jangan pura-pura mengeluh kepada saudaramu ini!”
Semua orang tertawa, namun kemudian mereka mendengar suara debuman keras, dan ternyata Zhong Minyan sudah tak sadarkan diri.
Chu Yinghong bergegas membantunya naik ke lantai atas untuk beristirahat dan meminta Xuanji untuk merawatnya di dalam kamar, memberi anak itu beberapa nasihat yang bagus sebelum turun.
Suara-suara orang yang sedang tertawa dan bercanda bisa terdengar dari arah bawah, dan aroma arak pun menyerbu penciuman Chu Yinghong. Xuanji duduk di atas bangku dalam waktu yang lama, merasa lapar dan gelisah ingin turun untuk mendengarkan cerita-cerita lucu mereka. Zhong Minyan sedang tidur nyenyak di atas ranjang, namun wajahnya pucat, dan pemuda itu pasti telah dibuat benar-benar ketakutan oleh teknik pertarungan pedang.
Xuanji begitu kelaparan sehingga pandangannya menggelap, dan di atas meja ada makanan kesukaannya yang ditinggalkan oleh Chu Yinghong untuk mereka berdua. Dia tak sabar menunggu Zhong Minyan bangun, jadi dia pun makan sendiri.
Baru makan setengah, dia tiba-tiba merasakan seseorang memandangi dirinya. Ketika Xuanji berbalik, dia melihat Zhong Minyan menatap dirinya dengan mata terbuka lebar. Dia pun menelan makanannya dan bertanya ragu, “Apa kau… mau makan sedikit?”
Zhong Minyan merona dan menggelengkan kepalanya, berbisik, “Aku pusing, kau bisa makan sendiri.”
Xuanji berkata, “Oh,” dan lanjut menguburkan kepalanya untuk makan.
Ketika Zhong Minyan melihat bahwa makanannya hampir dihabiskan oleh Xuanji, dia pun tak tahan untuk bicara lagi: “Itu… apa kau bisa menghabiskan supnya sendirian….”
Xuanji akhirnya mengerti bahwa Minyan sebenarnya ingin makan, jadi dia pun mendesah, “Kenapa kamu tak bilang saja? Masih ada sejumlah makanan, jangan cemas, ayo makanlah.”
Zhong Minyan tadi begitu pusing sehingga dia memuntahkan semua yang bisa dimuntahkannya, dan sekarang dirinya dilanda oleh rasa lapar, jadi dia pun menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Namun kakinya terasa selemas kapas, dan dia tak punya tenaga untuk menginjak lantai sebelum dirinya terjatuh. Dia tertegun dalam waktu lama, namun kemudian tiba-tiba berbalik dan berbaring lagi ke ranjang, menggumam, “Aku nggak lapar, aku nggak makan.”
Begitu kata-kata tersebut keluar dari mulutnya, seolah dengan sengaja menyanyikan nada yang berbeda, perutnya berseru lantang dan mengeluarkan erangan panjang.
Zhong Minyan membeku.
Xuanji tertegun.
Sesaat kemudian, Xuanji berjalan ke sisi ranjang, mendorong Minyan, dan berkata, “Hei, makanlah makananmu.”
Zhong Minyan berpura-pura tidur dan mengabaikan gadis itu.
Xuanji mendorongnya lagi dan berkata, “Ayo makan. Kita masih harus melakukan perjalanan panjang besok.”
Zhong Minyan begitu kesal sehingga dia terduduk dan berkata, “Nggak!”
Saat dia berbalik, dilihatnya Xuanji sedang memegang sebuah mangkuk besar berisi nasi yang terendam sup dan sedikit sayuran hijau di atasnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang, melumat nasinya dengan sendok, dan berkata, Biar kusuapi kamu, buka mulutmu.” Xuanji pun menciduk sesendok penuh nasi dan sup lalu menghantarkannya ke mulut Zhong Minyan.
Zhong Minyan menatap sendok itu seakan benda tersebut adalah sejenis siluman, matanya membulat dan tubuhnya sarat dengan amarah dan nafsu membunuh.
“Buka mulutmu.” Xuanji tampak seperti sedang membujuk anak kecil.
Wajah Zhong Minyan merah membara dengan rasa malu dan kekesalan, merasa marah dan malu karena dirinya telah dibuat mencapai titik di mana dirinya membuat seorang gadis kecil menyuapinya. Yang bahkan lebih menyedihkan lagi adalah bahwa dia begitu tertarik oleh keharuman nasinya sehingga dia tak mampu mengendalikan dirinya sendiri dan membuka mulutnya untuk menelan.
Mmm, lezat.
Tapi bukan itu masalahnya!
Dia meluapkan amarahnya pada Xuanji dan memelototi gadis itu dengan garang, menelan nasinya dengan buas seakan dia memiliki dendam terhadap nasi itu.
“Apakah enak?” Xuanji begitu lemot sehingga dia bahkan tak menyadari tatapan membunuh Zhong Minyan dan bertanya kepadanya dengan sikap manis.
Zhong Minyan mengabaikannya, mulutnya penuh dengan makanan dan dia mengunyah dengan ganas. Pesona dari makanan benar-benar luar biasa. Saat ini dia malah mulai merasa kalau gadis ini lembut dan imut, mungkin karena dirinya telah merasa kenyang dan puas.
Dia mendapati kalau bulu mata Xuanji sangat panjang, seperti dua buah kipas kecil, tebal dan lebat, menerakan dua bayangan melengkung pada wajah putih bersihnya. Alis gadis itu melengkung bagaikan bulan sabit, yang disebut-sebut sebagai bentuk alis dari orang yang berpikiran terbuka. Memang benar, Xuanji tampak tak memiliki hal yang perlu dicemaskan di dunia ini, selalu begitu tak pedulian.
Xuanji dan Linglong adalah saudari kembar. Mereka tampak serupa, namun Linglong jauh lebih cerah dan lebih menyenangkan daripada Xuanji. Zhong Minyan hampir tak punya kesan terhadap Xuanji sebelumnya. Kalau dia belum pernah mendengar para shixiong itu mengomentari para murid wanita pada suatu hari, pengetahuannya atas diri Xuanji akan benar-benar kosong.
Para shixiong itu berkata bahwa Linglong bagaikan mawar, cerah dan memesona, dan bahwa ketika gadis itu tumbuh dewasa, Linglong akan menjadi seorang wanita cantik, wanita cantik yang memikat, dan berduri.
Kemudian mereka membicarakan tentang beberapa orang murid wanita yang kesemuanya merupakan wanita-wanita cantik terkenal. Pada akhirnya, entah siapa yang mulai membicarakan soal Xuanji, berkata, “Itulah seorang wanita cantik, dengan tulang dan temperamen semacam itu, aku yakin kalau kita akan melihatnya dua tahun lagi. Tak ada satu pun dari hal-hal yang telah kau katakan bisa disebut jelita, namun kau harus tahu bahwa wanita cantik yang sesungguhnya itu jelita. Linglong shimei adalah mawar, dan Xuanji Shimei adalah kecantikan yang bagai kaca, yang perlu dirasakan secara seksama untuk menghasilkan pesonanya.”
Kecantikan yang bagaikan kaca.
Saat Zhong Minyan melihat pipi Xuanji yang sejernih kristal, untuk pertama kalinya dia merasa bahwa julukan itu memang tepat untuk Xuanji. Tentu saja, akan lebih baik bila sifat pemalas dan nakal Xuanji bisa berubah.
Xuanji memasukkan suapan terakhir nasi ke dalam mulut Minyan dan tiba-tiba menyadari bahwa wajah pemuda itu begitu merah seakan menitikkan darah, jadi dia pun bertanya, “Apa kau merasa tidak enak badan? Apa kau demam? Aku akan minta ayahku datang kemari dan memeriksa!”
Xuanji meletakkan mangkuknya dan turun ke lantai bawah untuk memanggil bantuan, namun Zhong Minyan menangkap pergelangan tangannya dan berkata buru-buru, “Jangan!”
Tangannya sama panas dengan besi yang menyala. Xuanji begitu terkejut sehingga dia hanya bisa menatap Minyan dengan tatapan kosong.
Zhong Minyan buru-buru menarik kembali tangannya, menyelimuti kepalanya dan pergi tidur, berbisik, “Aku baik-baik saja, aku mau tidur sebentar. Turunlah dan bilang pada Guru agar jangan mencemaskanku.”
Xuanji, tahu kalau Minyan dikenal dengan kecenderungan suasana hatinya untuk berubah-ubah, tak mengatakan apa-apa dan meniup padam lilin untuk pemuda itu sebelum turun.
Sudah jelas, keesokan harinya, Zhong Minyan bersikap seakan tak ada apa pun yang terjadi dan memperlakukan Xuanji dengan sikap lebih dingin daripada sebelumnya, dan bila bukan karena fakta bahwa Chu Lei turun, Minyan bahkan takkan menyapa Xuanji.
Xuanji hanya berpikir kalau Minyan takut kalau si Pemilik Pulau Fuyu itu akan menggunakan jurus Naga Mengibas untuk menguji dirinya lagi, dan tak menganggapnya serius. Chu Yinghong sedang membicarakan soal insiden siluman di Gunung Lutai, dan perhatiannya telah sepenuhnya terserap para topik itu.
“Hanya dalam dua hari ini, lima orang telah dimangsa di Gunung Lutai. Aku tak percaya kalau kedua siluman itu sekuat itu!” Ketiga orang dewasa tak berkata-kata saat Chu Yinghong membentangkan informasi yang mereka terima pagi ini di atas meja.
Ketiga orang dewasa itu terdiam. Lama kemudian, Dongfang Qingqi berkata, “Kita harus mempercepat perjalanan untuk tiba di sana, kalau tidak akan lebih banyak lagi orang yang dimangsa.”
Chu Lei bergumam mengiyakan, kemudian, berkata, “Kupikir kita tak bisa pergi ke Gunung Zhangtai, kita harus mengarah ke barat menuju Gunung Lutai. Yinghong… kau bisa mengunjungi bibimu lain kali saja.”
Chu Yinghong mengangguk dan berkata, “Tidak apa-apa, penting untuk menyingkirkan silumannya terlebih dahulu.”
Kemudian mereka mendiskusikan pembagian tugas, sarapan, dan sudah akan berangkat, ketika mereka melihat sekelompok tamu berbaju biru perlahan berjalan masuk dari pintu masuk penginapan, masing-masing dari mereka mengenakan topeng Ashura. Mereka berasal dari Istana Lize.
Saat Xuanji melihat kostum ini, dia merasa seakan dirinya pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya.
Tak ada seorang pun yang memperkirakan akan bertemu dengan orang-orang dari Istana Lize di sini dan merasa terkejut. Akan tetapi, begitu para tamu itu masuk, mereka menyeka meja dan kursi di sudut dengan handuk tangan, mengeluarkan satu set perlengkapan minum teh porselen putih, satu set perlengkapan minum arak bambu biru, dua mangkuk kumala putih dan sepasang sumpit perak lalu meletakkannya ke atas meja. Perilaku tidak biasanya ini membuat semua orang di dalam penginapan menatap mereka, namun mereka tidak tampak keberatan.
Sesaat kemudian, seseorang berseru, “Wakil Penguasa Istana datang.”
Mereka melihat empat orang berbaju biru berjalan dengan membawa sebuah kursi bambu sejuk dari luar pintu, dan ada seseorang yang duduk di atasnya, dengan rambut panjang dan tubuh ramping. Dialah Wakil Penguasa Istana Lize, yang telah menginstruksikan kepada mereka agar menangkap siluman saat mereka berada di Puncak Shaoyang.
Mereka telah berencana menghampiri untuk memberi salam kepadanya, namun mereka lalu melihat dua orang anak yang mengenakan baju biru berjalan ke arah mereka, berkata serempak, “Ketua Sekte Chu, Pemilik Pulau Dongfang, Kepala Aula Chu, Tuan Muda Zhong, Nona Chu. Wakil Penguasa Istana ingin bicara.”
Dengan cara yang begitu teratur, kelima orang itu pun diundang.
Kelompok itu mengikuti kedua anak, dan sang Wakil Penguasa Istana sudah berdiri menunggu di depan meja. Melihat mereka datang, orang itu pun menekuk tangannya dan tersenyum, “Saya telah bersikap kasar. Saya tak menyangka akan bertemu dengan kalian semua di sini. Saya sebenarnya ingin kembali diam-diam.”
Chu Lei membalas sapaan itu dan berkata, “Apakah mungkin Wakil Penguasa Istana memiliki hal mendesak untuk dilakukan?”
Sang Wakil Penguasa Istana menghela napas dan berkata, “Normalnya, saya seharusnya membantu di Puncak Shaoyang dengan Upacara Tusuk Rambut Bunganya, namun kemarin saya tiba-tiba menerima pesan mendesak dari istana dan harus bergegas pulang untuk menangani beberapa urusan pribadi. Pihak istana telah meminta maaf kepada istri Anda, jadi saya harap Anda tak keberatan. Begitu tugas istana sudah terselesaikan, saya akan bergegas kembali ke Puncak Shaoyang dan takkan berani menunda-nunda.”
Semua orang berkata, “Tidak apa-apa, urusan Wakil Penguasa Istana pasti penting.”
Sekarang mereka saling bertukar basa-basi dan Wakil Penguasa Istana berusaha membuat mereka untuk terus minum bersamanya. Saat Chu Yinghong melihat warna langit, dia pun bangkit dan berkata seraya tersenyum, “Kami sedang terburu-buru untuk menyingkirkan siluman di Gunung Lutai, jadi takutnya kami tak bisa menemani Wakil Penguasa Istana beramah-tamah di sini. Nanti di Turnamen Tusuk Rambut Bunga, kami pasti akan minum tiga gelas arak bersama Wakil Penguasa Istana.”
Setelah mendengar hal ini, sang Wakil Penguasa Istana tak memaksanya untuk tetap tinggal lebih lama lagi dan hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus! Saya memiliki hal penting untuk dikerjakan, kalau tidak saya pasti akan menemani kalian. Bagaimana kalau begini saja. Yu Sifeng Kecil sedikit lebih mahir dalam seni mengendalikan siluman. Kalian harus membawa dia bersama kalian, dan akan jadi sedikit lebih mudah untuk memetik bunga. Saya tak mau menghambat kalian.”
Chu Lei ingin menolak, namun dia berpikir kalau sang Wakil Penguasa Istana selalu memiliki temperamen yang aneh, jadi kalau dia menolak niat baiknya begitu saja, hal itu akan jadi tidak mengenakkan, jadi dia pun setuju.
Sang Wakil Penguasa Istana menepukkan tangannya dan berkata, “Sifeng, kau temanilah Ketua Chu dan yang lainnya untuk menangkap siluman. Setelah itu, kau bisa langsung kembali ke Puncak Shaoyang, tak usah terburu-buru pulang ke Istana.”
Begitu kata-kata tersebut keluar, semua orang pun melihat seorang pemuda kurus berbaju biru memelesat keluar entah dari mana, separuh berlutut di hadapan sang Wakil Penguasa Istana membungkukkan kepalanya dan berkata, “Murid mematuhi.”
Xuanji hanya merasa kalau nama ini terasa familier. Sifeng… Sifeng… sebenarnya di mana aku pernah mendengar nama ini sebelumnya? Xuanji berusaha keras untuk mengingat-ingat, namun dia tiba-tiba melihat si pemuda berbalik dan membungkuk kepada gurunya, mengenakan topeng Ashura di wajahnya dan sebuah kantongan kulit bersepuh emas dengan bunga tersemat di pinggangnya. Dia pun teringat pada penampilan pemuda itu dan tak bisa menahan diri untuk menudingnya, berkata, “Ternyata kamu!”
Sang Wakil Penguasa Istana tertawa: “Apakah Nona Chu mengenal anak nakal ini? Dia pasti telah menyinggungmu sebelumnya. Berandal ini memiliki temperamen yang aneh, jadi Nona seharusnya tak usah memedulikan dia.”
Xuanji menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, tidak sama sekali….”
Sifeng memberi bungkukkan samar kepadanya dan menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa. Penampilan dingin dan sopannya begitu berbeda dari kali terakhir sehingga Xuanji merasa kalau dirinya pasti telah salah mengingat orang.
Sang Wakil Penguasa Istana mengatakan beberapa patah kata sopan lagi sebelum semua orang meninggalkan penginapan dan terbang menuju Gunung Lutai dengan pedang mereka.