The Glass Maiden - Chapter 11
Saat Xuanji jatuh, dia berusaha mengangkat tangannya untuk meraih pedang, namun ada terlalu banyak burung aneh yang beterbangan di sekelilingnya, mendorong dan menjepitnya, hingga dia tak mampu menggerakkan satu otot pun. Jarinya sempat mengait pada gagang pedang, kemudian tergelincir, lalu jatuh.
Satu-satunya suara yang dia dengar adalah pekikan Linglong, dan dia tak punya waktu untuk mendengarkan secara seksama sebelum dirinya jatuh.
Burung-burung aneh itu meraung dan menabrakinya, dan dalam sekejap dirinya dikepung di tengah-tengah, hingga membentuk sebuah bola kecil. Xuanji mengelak serangan-serangan dari cakar-cakar tersebut, namun jumlahnya terlalu banyak dan pedangnya tersangkut di pinggangnya, dia tak bisa mencabutnya. Setelah beberapa saat, dia merasakan sakit di belakang bahunya, ketika lengannya tertangkap. Entah sudah seperti apa dirinya yang berlumuran darah.
Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah memegangi kepalanya erat-erat untuk melindunginya dari dicakar dan digores. Qi sejatinya tidak cukup, dan semakin terkuras, tak sanggup lagi memanggil bahkan setengah ekor naga api. Dia hanya bisa dengan susah payah memakai qi sejatinya untuk melindungi tubuh, sehingga jatuhnya ke tanah tidak akan mencederainya.
Satu-satunya yang ditakutkan adalah bahwa burung-burung aneh ini tak mau menyerah juga dan menyerbu untuk menggigitnya setelah dia terjatuh ke tanah, membuat dirinya berada dalam belas kasihan mereka, siap untuk dibantai.
Saat dia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba dia mendengar seseorang bersiul keras di kejauhan, tiga panjang dan satu pendek. Xuanji dengan susah payah menghindar dari cakar-cakar burung aneh itu dan menatap ke arah tersebut, namun dia tak bisa melihat dengan jelas. Dengan terbengong-bengong, dia merasakan kilasan cahaya keperakan, secepat kilat, berpuntir di udara seperti seekor ular.
Dia begitu gugup, namun dia melihat cahaya perak itu berlompatan naik dan turun pada punggung burung-burung aneh tersebut, dan bila burung-burung itu tersentuh olehnya, hewan-hewan itu pun akan kehilangan tenaga dan tak mampu terbang lagi.
Bunyi siulan di sisi lain masih melengking, seakan menyiulkan suatu lagu yang aneh, panjang dan pendek, pelan serta cepat, dan cahaya perak itu akan mengikuti nada ini, terkadang berpuntir dan berputar, terkadang melompat dan mencelat. Dalam sekejap mata separuh dari burung-burung aneh yang mengelilingi dirinya telah dijatuhkan.
Xuanji akhirnya bisa bebas. Dia memutar sedikit pinggangnya, dan memukul kepalanya tanpa disengaja karena burung aneh di sebelahnya. Cincin kumala di kepalanya langsung pecah, dan tiga ribu helai sutra tergerai jatuh dalam lengkungan indah di udara. Dia bahkan tak repot-repot untuk merapikan rambut panjangnya, jadi dia memeganginya lalu menumpukan kaki kanannya ke sebuah pohon, yang menahan kekuatan jatuhnya, kemudian melayang turun ke tanah.
Masih ada burung-burung aneh yang menyerangnya dan dia pun mencabut pedangnya untuk menghadapi mereka. Tak dinyana, dia mendengar suara mendesing di belakangnya, bergegas merundukkan tubuhnya untuk menghindar, dan hanya mendengar suara tumbukan; lalu sebuah benda tertancap ke dalam dada seekor burung aneh di sisi lain, memecah tulang dada makhluk itu di tempatnya menancap.
Segera setelahnya, suara dari sesuatu yang berdesing menembus udara berlanjut, seakan seseorang tengah menembak dengan ketapel dari suatu tempat di belakangnya. Di tengah malam, mata orang itu begitu taajam sehingga dia bisa mengenai satu burung pada setiap serangannya. Xuanji bahkan perlu bergerak, hanya tetap diam dan menonton. Memandangi orang itu telah membunuh belasan burung aneh yang tersisa dengan ketapel dalam waktu singkat, tanah pun sudah dipenuhi oleh mayat dari burung-burung aneh ini. Bau amis, serta bau darah bercampur baur menjadi luar biasa tidak enak.
Bahkan Xuanji juga tak sanggup menahannya lebih lama lagi, jadi dia buru-buru mengambil kantong dupa yang tergantung di pinggangnya dan menghidunya, takut kalau dia menarik napas sekali lagi saja, dia akan memuntahkan semua makan malamnya.
“Nona, kau baik-baik saja?”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari hutan di dekat situ, dan Xuanji buru-buru berbalik untuk melihat seorang pria berbaju biru berdiri di belakang sebatang pohon poplar, menggenggam sebuah ketapel besi hitam yang ukurannya dua kali lipat ukuran ketapel biasa. Dialah orang yang barusan menembaki burung-burung aneh itu dengan ketapel.
Xuanji menggelengkan kepalanya dan maju beberapa langkah, menggumam, “Aku… aku baik-baik saja. Terima kasih.”
Cahaya bulannya redup, jadi Xuanji maju mendekat beberapa langkah lagi dan merasa kalau pria itu bertubuh ramping dengan rambut merah kecoklatan tebal. Suaranya terdengar seperti seorang pria muda, namun wajahnya tidak jelas.
Orang itu membungkuk sedikit kepadanya dan berkata hangat, “Upaya untuk mengangkat tanganmu tidaklah cukup. Aku yakin teman-teman Nona akan segera kemari, jadi aku pergi dulu.”
Setelah berkata demikian, pria itu berbalik. Xuanji meninggikan suaranya dan berkata, “Tunggu… tunggu sebentar! Kau… berbaliklah… kau, kau adalah….?!”
Orang itu berbalik dan sekarang Xuanji akhirnya bisa melihat dengan jelas kalau pria itu mengenakan topeng Ashura di wajahnya! Tubuhnya gemetar, dan tiba-tiba dia mengangkat jarinya dan menuding pada pria itu, namun dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Orang itu berkata, “Aku Ruo Yu, seorang murid dari Istana Lize, dan aku ingin tahu apakah Nona punya pertanyaan lainnya?”
Ruo Yu? Jadi bukan dia… tapi tak masalah, bagaimanapun juga tetap saja dia dari Istana Lize.
“Di mana Sifeng?” Xuanji mengajukan pertanyaan yang sangat langsung dan ringkas bahkan tanpa memikirkannya.
Ruo Yu tertegun, seakan dia tak tahu bagaimana harus menjawab, dan mungkin tak menyangka kalau Xuanji akan menanyakan hal itu.
“Ini… Nona, kau….”
“Apa kau kenal Sifeng?” Xuanji mungkin berpikir kalau dirinya mengajukan pertanyaan yang buruk, jadi dia pun mengubah pertanyaannya.
“Nona… uh….”
“Apa kau pernah bertemu dengan Sifeng?” Mari kita susun ulang pertanyaannya.
“Aku… di sini….”
“Itu Sifeng… kau semestinya sudah bertemu dengan dia sebelumnya, kan?” Bagaimana bisa kau masih tak mengerti? Xuanji telah mengajukan pertanyaannya dengan begitu terang-terangan.
Terdengar suara mencibir dari arah pohon. Mereka berdua sama-sama mendongak dan mendengar orang di pohon berkata, “Itu adalah kali pertama aku pernah lihat ada orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu! Dasar orang aneh.” Suara itu lembut dan memesona.
Xuanji sudah akan melihat lebih dekat saat dia tiba-tiba melihat dua sosok melompat turun dari puncak pohon dan berdiri di hadapannya. Yang satu tinggi dan satunya lagi pendek, satu pria dan satu wanita.
Si wanita semestinya adalah orang yang bicara barusan tadi, dia mengenakan baju putih, lengan baju lebar, bahu sempit, wajah cantik serta mata besar, menatap Xuanji seraya tersenyum-senyum.
Sementara si pria… mengenakan baju biru, bertubuh ramping, tangannya terlipat dan dengan punggung mengarah pada Xuanji, entah apa yang sedang dia lihat.
Hati Xuanji tergerak kembali, dan dia merasa bahwa rambut hitam pria itu, punggungnya, posturnya… semuanya begitu familier. Dia sudah akan bicara, namun kemudian dia mendengar pria itu bersiul beberapa kali di udara, dan dalam sekejap mata, cahaya perak yang telah menyelamatkan dirinya memelesat kembali dan ditangkap oleh lengan bajunya, bergerak masuk tanpa suara.
Satu-satunya hal yang bisa didengar adalah desahan panjang dari si pria, yang berbisik, “Begitu ya, kau masih mengingatku.”
Setelah berkata demikian, dia berbalik, dan di wajahnya juga ada sebuah topeng Ashura.
Xuanji nyaris terlonjak dan berlari mendekat dengan langkah-langkah cepat, dengan gugup berkata, “Kau… itu… bagaimana kau….”
Yu Sifeng tertawa ringan dan berkata lembut, “Pelan-pelan, kita sudah tidak saling bertemu selama empat tahun. Apakah sekarang gantian kamu yang tergagap?”
Xuanji berkata, “Ah! Sifeng, kau bisa bicara dengan dialek Dataran Tengah sekarang!” dia menuding hidung pria itu dan berseru.
‘Baru aku mau bilang begitu…’ Sifeng mencela dalam hati, menambahkan, “Kenapa kau ada di sini?”
Namun Xuanji tak mendengar pertanyaannya sama sekali. Dia mencengkeram tangan Sifeng dan tersenyum seakan bunga musim semua yang berkembang. “Ternyata benar-benar Sifeng! Kenapa kau mengenakan topeng lagi? Bagaimana kalau aku tak mengenalinya?”
Kerongkongan Yu Sifeng bergetar selama sesaat sebelum dia berbisik, “Tapi pada akhirnya kau mengenalinya… benar kan?”
“Nggak! Kalau kau tak bilang apa-apa, aku takkan merasa yakin.” Xuanji menggenggam tangannya dan menggoyangkannya, sama seperti ketika dirinya masih kecil, tanpa rasa takut sedikit pun.
Yu Sifeng perlahan menarik kembali tangannya, namun telinganya perlahan-lahan memerah, dan butuh waktu sesaat baginya sebelum dia berkata, “Aku mengenalimu, itu sudah cukup.”
Xuanji tak mendengarkannya sama sekali, namun hanya terus memanggil, Sifeng, Sifeng. Akhirnya, Ruo Yu yang ada di sebelahnya menyeringai, dan bahkan gadis cantik yang ada di sisinya terkikik dan diam-diam tersenyum.
Yu Sifeng mengetuk lembut kepala Xuanji dan berkata seraya tersenyum, “Tak ada yang berubah, sama seperti sebelumnya, tak punya hati, tak punya jiwa. Kenapa kau di sini sendirian? Apa kau juga turun gunung untuk berlatih?”
Xuanji sudah akan mengatakan sesuatu saat dia mendengar suara-suara dari Linglong dan Zhong Minyan memanggilnya dari belakang. Ternyata mereka berdua sudah datang kemari.