The Glass Maiden - Chapter 26
Pakaian pengantin para pria berukuran besar dan agak tidak nyaman. Sepatu dengan sol tinggi di bawahnya sangat tidak nyaman. Mungkin karena ini adalah kali pertama dia melakukan sesuatu seorang diri, Xuanji merasa gelisah dan meneguk teh yang ada di atas meja lagi dan lagi.
Wanita dari Keluarga Zhuang, yang menemani dirinya, dengan lembut menenangkan dirinya, “Nona, apa Anda merasa tidak enak badan? Bagaimana kalau Anda tidur sebentar?”
Tidur? Xuanji menatap ke luar jendela dan melihat kalau saat ini senja hampir tiba. Sang Bidadari berkata bahwa dia akan mengirim seseorang untuk menjemput mereka sebentar lagi, jadi dia tak punya waktu untuk tidur.
Dia mengikat sabuknya yang longgar dan berdiri untuk berjalan mondar-mandir dua kali, namun sepatu bersol tebal di kakinya terasa amat tidak nyaman sehingga dia takut akan membuatnya kesulitan untuk bergerak. Namun mau bagaimana lagi, tak bisa melanjutkan juga tetap harus melanjutkan.
“Bibi, setelah sang Bidadari menjemput orang-orang, apakah dia langsung pergi ke gunung? Apa kau akan bertemu dengan orang-orang terpilih lainnya di perjalanan?”
Nyonya Zhuang berpikir, “Kudengar dia akan berhenti di tengah perjalanan ke atas gunung dan memasangkan mahkota serta jubah phoenix , dan kemudian iring-iringan genderang bunga akan bermain dan membawa tandunya naik gunung.”
Mempelai pria ternyata dijadikan mempelai wanita. Ketika Xuanji duduk di meja rias, wajahnya di cermin telah digelapkan dan alisnya ditebalkan. Nyonya dari Keluarga Zhuang cemas kalau-kalau dirinya akan dikenali, jadi secara khusus memberi Xuanji kumis untuk dikenakan. Sekilas, gadis itu benar-benar mirip dengan Zhuang Jing.
Sang nyonya melihat kalau tak ada yang harus Xuanji lakukan, jadi dia pun mengobrol dengan gadis itu. Mereka sedang di tengah-tengah percakapan ketika dia mendengar suara ramai di luar pintu, diikuti oleh si pengurus rumah tua mengetuk pintu lalu memanggil dengan ketakutan, “Nyonya, mempelai prianya… sang Bidadari telah mengirim orang untuk menjemput mereka!”
Si wanita telah mempersiapkan mentalnya untuk saat ini, namun ketika waktunya benar-benar tiba, mau tak mau dia merasa panik dan buru-buru berkata, “Nona… putraku, kau harus menjaga dirimu sendiri, kita….”
Xuanji berdiri, membungkuk kepadanya seperti seorang laki-laki, dan berkata, “Ibu, aku sekarang akan pergi. Aku tak bisa terus melayani ayah dan ibu, jadi mohon maafkan aku karena tidak berbakti.”
Si pengurus rumah tua dan Nyonya Zhuang tak tahan untuk menangis, seakan anak mereka sendiri benar-benar telah pergi.
Semua orang berkerumun, dan mereka menuntun Xuanji keluar dari pintu. Kereta diparkir di pintu masuk. Yang aneh adalah bahwa tak ada seorang pun yang mengendalikan kuda-kudanya. Begitu Xuanji tiba, pintu kereta itu menutup dengan sendirinya.
Xuanji masuk ke dalam kereta dan pintunya menutup sendiri. Kereta itu berhenti sejenak untuk membiarkan dirinya mengucapkan selamat tinggal pada Keluarga Zhuang sebelum perlahan meninggalkan kediaman Zhuang. Kereta itu tanpa kusir, namun bisa bergerak dengan cepat dan stabil serta meninggalkan Kota Zhongli dalam waktu singkat. Xuanji membuka tirai dan mengintip untuk melihat sekitar, namun dia mendapati kalau badan kereta itu terbungkus oleh asap ungu pucat dan aroma yang manis melingkupinya.
Aroma dari qi siluman. Xuanji menutupi hidungnya dan sedikit mengernyit. Aroma itu sama persis dengan yang dia cium pada kali terakhir di Aula Leluhur Gao, jadi tampaknya sang Bidadari benar-benar adalah siluman.
Kereta tiba-tiba memelankan lajunya setelah berlari beberapa waktu di jalan pegunungan. Xuanji hanya mendengar suara samar dari alat musik bambu di depannya, dan terdapat rombongan genderang bunga yang bermain dan menari. Pintu kereta tiba-tiba membuka, dan suara seorang wanita tiba-tiba berkata, “Silakan turun dari kereta dan gantilah pakaian kalian lalu masuk ke dalam tandu.”
Xuanji tak bisa bersembunyi lebih lama lagi, jadi dia pun turun untuk melihat siluman macam apa yang ada di sana. Akan tetapi, ada sebarisan wanita yang mengenakan kostum dayang istana berdiri di luar, mengenakan cadar putih, masing-masingnya membawa sebuah lentera berlapis kaca yang indah di tangan dan memegang sehelai kain putih di tangan lainnya, menunggui tandu. Empat buah tandu disandarkan di samping, dengan rombongan genderang bunga di depannya, masing-masingnya bermain lebih dan lebih ceria lagi.
Wanita berpakaian dayang istana pertama memberi salam kepadanya dan berkata dengan suara lembut, “Selamat datang, Tuan-tuan, silakan ganti pakaian kalian.”
Setelah berkata demikian, dia mengguncangkan gaun pengantin merah, diikuti oleh dua orang wanita, yang satu memegang mahkota phoenix, yang lain membawa perhiasan dan tudung pengantin. Satu demi satu, wanita-wanita lain pun membentangkan gulungan kain putih mereka dan memasang sebuah layar pembatas sederhana untuknya berganti pakaian.
Meski malamnya gelap, gaun pengantin dan mahkota phoenixnya berada di bawah pantulan lentera berlapis kaca, dikelilingi oleh mutiara dan kumala, tampak luar biasa indah. Jantung Xuanji berdebar kencang dan dia merasa enggan, namun tak ada jalan untuk kembali saat ini, jadi dia pun harus mengikuti wanita-wanita itu ke belakang layar untuk berganti pakaian mengenakan gaun pengantin dan mahkota phoenix.
Entah bagaimana yang dirasakan oleh Sifeng dan yang lainnya tentang mengenakan gaun pengantin mereka di sini…. Xuanji berpikir tanpa suara. Ini adalah salah satu pengalaman paling aneh dalam hidupnya, dan benar-benar merupakan kerja keras untuk menyingkirkan siluman.
Tidaklah mudah untuk mengenakan pakaian yang rumit itu dengan rapi. Mahkota phoenix di kepala beratnya tujuh hingga delapan pon, dan lehernya terasa sangat kaku hingga sakit. Xuanji memeganginya dengan hati-hati, takut kalau-kalau mahkota itu akan bergulir jatuh di tengah perjalanan, yang mana akan sangat buruk.
Melihat kalau Xuanji tak menangis dan tak mengatakan apa-apa, si wanita berkostum istana tertawa dan berkata, “Tuan yang terhormat ini adalah orang yang pendiam dan tenang, tidak seperti beberapa tahun terakhir ini, ketika semua orang menangis dan ingin kembali ketika mereka mendengar kalau mereka harus berganti pakaian dengan gaun pengantin.”
Melihat kalau si wanita bicara kepadanya, Xuanji tak bisa menolak untuk menanggapi, dan berkata dengan suara yang diberat-beratkan, “Mengapa mereka menangis? Semua orang ingin dipilih oleh sang Bidadari, kan?”
Si wanita berkata gembira, “Benar. Merupakan sebuah berkah sangat besar bisa melayani sang Bidadari, sesuatu yang bahkan takkan pernah bisa diminta oleh orang biasa, apalagi menjadi suami istri dengan Beliau. Ini benar-benar merupakan berkah dalam tiga kehidupan.”
Suami istri? Dia menikahi empat orang suami sekaligus! Kau terberkahi bila bisa memiliki empat orang suami dalam setahun?
Xuanji berdehem dan sudah akan bertanya kepadanya apakah ketiga orang lainnya telah tiba, ketika dia tiba-tiba mendengar suara genderang bunga, dan alat-alat musik bambu muncul dari arah depan. Si wanita yang bicara kepadanya maju dan mengatakan hal yang sama dengan yang telah diucapkannya kepada Xuanji tadi.
Tampaknya tiga yang lain telah tiba bersamaan.
Xuanji dituntun memasuki tandu, dan di telinganya, dia mendengar Zhong Minyan berteriak paling lantang: “Jangan sentuh aku…. Uh, jangan lepaskan yang ini…. Baiklah, baiklah, aku akan melakukannya sendiri! Aku ganti baju sendiri!”
Penolakan Ruo Yu sangat sopan: “Nona-nona, mohon izinkan saya berganti baju sendiri.”
Suara Yu Sifeng dingin: “Tak usah melayani, tinggalkan kami.”
Xuanji membuka sedikit tirainya dan mengintip keluar. Dia melihat mereka bertiga mengenakan mahkota phoenix dan gaun pengantin, tiga sosok ramping dengan rambut hitam dan gaun merah. Topeng Ashura milik Yu Sifeng dan Ruo Yu masih terpasang di wajah mereka dan sungguh aneh karena tak ada seorang pun yang mengingatkan mereka agar melepaskannya.
Seakan merasakan kalau seseorang menatap dirinya, Yu Sifeng menolehkan wajahnya ke arah Xuanji untuk sesaat, namun kemudian memalingkannya kembali dan tak pernah melihat ke belakang lagi.
Apa dia malu? Xuanji tiba-tiba jadi ingin tertawa. Seorang pria dewasa, dipaksa untuk mengenakan gaun pengantin untuk menikahi wanita. Hal itu cukup membuat orang tertekan, apalagi Sifeng dan yang lainnya sangat arogan. Dia pasti sangat marah pada saat ini.
Keempat orang itu masuk ke dalam tandu, para wanita istana memegangi lampu, dan mereka benar-benar melayang dengan ringan, di bagian depan, memimpin jalan.
Tandunya membubung ke udara bersama mereka, terbang menembus pepohonan gelap di hutan. Angin malam menderu, tirai tandu dan cadar merah tertiup, suara alat musik bambu di bawah tiba-tiba terdengar sangat jauh. Cahaya rembulan menyinari pemandangan ini. Mereka berempat mendapati bahwa tandu-tandu itu tidak diusung oleh siapa pun, namun terbang dengan sangat cepat. Hati mereka kaget bukan kepalang, hanya takut kalau sang Bidadari Gao adalah seorang siluman tua yang telah menghimpun kekuatannya selama bertahun-tahun, dan mereka tak tahu seberapa besar kesempatan mereka untuk menang.
Setelah terbang seperti ini selama tiga menit, suatu cahaya tiba-tiba muncul di tengah-tengah hutan belantara. Xuanji menarik lepas tudungnya dan mengeluarkan kepalanya, namun dalam cahaya rembulan dia melihat pucuk-pucuk gunung yang megah serta hutan mengelilingi dirinya. Dan pada puncak tertinggi, terdapat sebuah istana yang sangat benderang.
Yang semacam ini bukan tempat pertapaan. Sang Bidadari jelas-jelas menempati gunung selayaknya seorang raja. Takutnya bahkan sang Kaisar juga tak semewah dirinya.
Tandunya, dengan keempat orang di dalamnya, berhenti dengan mantap di depan istana besar itu. Di depan istana, sebarisan wanita dalam pakaian dayang istana, memegangi lentera berlapis kaca, seraya tersenyum berkata, “Apa kau telah menjemput keempat tuan muda?”
Si wanita yang memimpin tandu berkata, “Aku sudah menjemputnya. Ini adalah saatnya untuk menyembah Langit dan Bumi serta mengantar mereka ke kamar pengantin.”
Begitu mendengar hal ini, wanita-wanita berpakaian dayang istana itu menyibak tirai tandu, membantu Xuanji dan yang lainnya turun, lalu berjalan menuju istana dengan mereka mengikuti di belakang.
Dengan kain merah menutupi kepalanya, Xuanji tak bisa melihat apa-apa, tapi dia hanya bisa merasakan hembusan angin harum di sekitarnya, dan ada suatu qi siluman yang tak diketahui tersembunyi di dalam. Ubin-ubin kristal di lantai begitu cemerlang dan berkilau sehingga orang jadi tak tahu ke mana dirinya pergi, namun untungnya ada orang yang menunjukkan jalan, kalau tidak dia akan tersesat.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka memasuki sebuah balairung besar, yang berpencahayaan terang, dan keharumannya jadi lebih kuat lagi di sini. Ketika Xuanji menciumnya, matanya berair dan tulang-tulangnya terasa lunak, seakan dirinya sudah akan melayang pergi.
Qi siluman! Langkah Xuanji terhenti. Ini pasti si Bidadari! Dia ada di sini.
Wanita yang memimpin jalan berhenti dan berkata seraya tersenyum, “Bidadari, keempat tuan muda telah datang, dan waktu yang baik sudah tiba. Mereka elah siap untuk upacara pernikahannya.”
Seseorang yang berdiri di atas berkata, “hmm”. Suara itu indah tak tergambarkan dan menyentuh. Hanya dengan mendengarnya, detak jantung mereka menjadi semakin cepat, seakan mereka telah meminum arak paling manis, dan wajah mereka panas membara.
Xuanji menundukkan kepalanya dan melihat sepasang sepatu satin berwarna ungu muda dengan dua kuntum bunga yang halus tersulam di situ.
Sepatu itu berhenti di depan semua orang, dan tampaknya sang Bidadari sedang mengamati mereka. Tak ada seorang pun yang bicara, balairungnya begitu sunyi, dan hanya ada suara napas mereka sendiri. Detak jantung keempat orang itu pun meningkat, dipaksa oleh atmosfer syahdu ini. Jantung mereka seakan nyaris melompat keluar dari tenggorokan mereka.
Entah sudah berapa lama menunggu, namun kemudian suara bidadari yang indah itu kembali berbunyi, “Bagus sekali. Mari kita langsungkan upacaranya,” dia berkata.
Dan kemudian, langsung di belakangnya, petugas upacara pun melantunkan, “Waktu yang baik telah tiba – membungkuk kepada Langit dan Bumi!”
Seseorang mendorongnya dari belakang, dan Xuanji pun berlutut di atas bantalan pada upacara menyembah Langit dan Bumi ini. Dari sudut matanya, sepintas dia melihat orang yang ada di sampingnya, tangan pucat dengan cincin besi pada jari kelingking adalah Yu Sifeng. Xuanji sepertinya merasa bahwa pria itu memandangi dirinya, dan tangan itu pun bergerak sedikit dan meraih, menggenggam tangannya erat-erat.
Jantung Xuanji bergetar, dia tak tahu apakah harus menarik tangannya atau tidak.