The Glass Maiden - Chapter 28
Xuanji hanya merasakan sakit yang tajam di dadanya dan hampir tak mampu bernapas. Melihat kalau gadis itu tampaknya tak sanggup berdiri, Yu Sifeng bergegas menggenggamkan pedangnya ke tangan Xuanji dan memakainya sebagai kruk, berkata lembut, “Jangan bertarung dengannya. Wujudnya sangat samar dan seperti ilusi sehingga bahkan sesnjata tajam tak mampu melukainya. Kurasa tubuh aslinya tak ada di sini. Ini hanya ilusi.”
Kalau ilusi saja sudah sedemikian kuatnya, maka menemukan tubuh aslinya akan menjadi hukuman mati, kan? Xuanji jadi berkecil hati.
Si wanita cantik berbaju ungu berkata lembut, “Sebenarnya, kau tak perlu takut. Aku tak pernah membunuh siapa pun. Aku hanya perlu meminjam sedikit esensi darah kalian untuk membantuku mendapatkan kekuatan besar.”
Yu Sifeng menimbang-nimbang untuk waktu lama dan berkata, “Kau adalah siluman yang mengumpulkan yang untuk mengisi yin, jadi… kau pasti entah ular atau rubah, benar kan?”
Wanita itu tersenyum samar, “Pendekar muda ini tahu banyak. Benar, aku adalah Zi Hu*.”
(T/N: Rubah Ungu)
Rubah Ungu? Kelompok itu tak bisa menahan diri untuk menatap si wanita untuk kedua kalinya. Mereka mau tak mau menyadari betapa cantiknya dia, dan betapa anggun serta memikatnya si wanita di bawah cahaya kemilau itu. Jadi inilah siluman rubah yang terkenal itu.
“Kalau kau mampu menjadi manusia, prosesnya pastilah sangat sulit. Mengapa kau ingin melakukan perbuatan jahat setelah menjadi manusia?”
Si rubah ungu hanya tertawa dan tak mengatakan apa-apa. Beberapa saat kemudian, dia tampaknya sudah bosan dan melemparkan pedang Xuanji ke lantai. “Aku tak suka mendengarkan kata-kata muluk, khususnya saat kata-kata itu datang dari mulut orang-orang semacam itu. Sudah berapa banyak orang yang telah kalian tipu atau khianati demi mencapai tujuan kalian?”
Sesaat kemudian, Yu Sifeng bertanya lagi, “Bagaimana kau tahu kalau kami adalah para murid yang berlatih kultivasi?”
Mereka yakin kalau mereka tak menunjukkan satu pun celah sejak dari altar pemanggilan hingga kemari, dan tak ada seorang pun yang menyadari bahwa mereka bukanlah empat orang yang namanya disebut oleh si rubah ungu. Namun, mereka dikenali olehnya saat upacara.
Zi Hu berkata lembut, “Apakah kau mengajukan begitu banyak pertanyaan untuk mengulur waktu?”
Yu Sifeng terdiam saat Zi Hu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Siluman ini begitu kuat sehingga mereka tak mampu melakukan apa-apa di hadapannya, dan takutnya mereka akan mati di sini.
“Yah, sudah lama sekali sejak ada orang yang bicara kepadaku,” wanita itu berkata. Dia tertawa, “Karena aku akan mengumpulkan yang untuk mengisi yin, aku akan sangat pemilih tentang yang-nya. Hal paling penting adalah tanggal kelahiran….”
Dia baru saja memulai percakapan, namun Sifeng langsung menerka maksudnya dan berkata, “Orang-orang yang kau pilih semuanya terlahir pada hari di waktu yang, ketika matahari berada pada titik tertinggi, dan memiliki api* dalam takdir mereka.”
(T/N: Menurut Astrologi Tiongkok, takdir seseorang bisa ditentukan oleh posisi planet-planet utama saat kelahiran orang tersebut bersamaan dengan posisi matahari, bulan, komet, waktu lahir, serta shio. Lima Planet Utama (Venus, Merkuri, Jupiter, Mars, Saturnus), berhubungan dengan Wuxing / Lima Unsur / Lima Fase. masing-masing fase pada Wuxing diasosiasikan dengan sebuah elemen, yaitu logam, air, kayu, api, tanah. fase-fase ini berurutan dalam siklusnya. Jadi di sini, orang-orang yang diincar Zi Hu adalah orang-orang yang kelahirannya dipengaruhi oleh unsur api)
“Kau sangat pandai,” Zi Yu berkata, tersenyum pada Sifeng. Dia menatap pria itu dengan wajah penuh senyum, seakan sedang jatuh cinta kepadanya. “Aku tak mau menjadi orang yang mendekatimu terlebih dahulu, jadi bagaimana kalau kau tinggal di kebun dan bermain denganku?”
Setelah berkata demikian, dia turun dari atas panggung dan berjalan ke arah Sifeng, mengulurkan tangannya. Yu Sifeng mundur beberapa langkah dari wanita itu dan menghindari tangannya.
Zi Hu tak memaksanya, melainkan menatapnya selama sesaat sebelum berkata, “Aku sudah pernah melihat topengmu sebelumnya, kau adalah murid dari Istana Lize. Penguasa Istana bajinganmu itu masih berpegang pada aturan-aturan ini, padahal kukira dia sudah memahami maksudnya. Yah, tunggu dulu….”
Dia menatap seksama pada topeng di wajah Yu Sifeng, dan kemudian dia tertawa sarkastis dan berbisik, “Sudah lama sejak aku melihat topeng semacam ini. Aku tak bisa percaya kalau… kau benar-benar bersedia melakukan ini….”
“Tutup mulut.” Sifeng menyelanya dengan nada dingin, “Karena kau tahu tentang Istana, kau seharusnya mengerti kalau orang-orang dari Istana tidak boleh dianggap main-main. Kau adalah penguasa gunung, dan kau telah menyebabkan kekacauan, jadi mengapa kau tak melepaskan aku dan menyerah saja?”
Zi Hu tampak agak takut. Dia menegakkan diri dan melompat kembali ke atas panggung dan tertawa, “Kau beruntung. Kalau kau terkena Tapak Pelumpuh Matahari, tak peduli kau adalah manusia ataupun siluman, kau takkan mampu memakai qi selama paling sedikit tiga hari. Apa yang bisa kau lakukan? Tapi aku bisa memberimu sedikit muka. Aku akan membiarkan gadis kecil ini pergi, tapi kalian harus tinggal di sini bersamaku.”
Setelah berkata demikian, dia melambaikan lengan bajunya yang lebar, dan Xuanji merasakan sehembus angin kencang menerpanya, dan aura siluman mengelilingi dirinya, membuatnya tak mampu bergerak. Entah berapa lama waktu yang telah berlalu, namun angin siluman itu akhirnya memudar. Xuanji perlahan membuka matanya dan mendapati bahwa istana itu telah kosong sepenuhnya, dan baik Zi Hu maupun Sifeng telah menghilang, meninggalkan dirinya berdiri seorang diri, menggenggam pedang Yu Sifeng.
****
Sementara Xuanji dan tiga orang lainnya dibawa ke atas Gunung Gao, Linglong ditinggal seorang diri untuk memeriksa situasinya. Dia bisa mengikuti kereta itu dari kejauhan, namun saat mereka tiba di altar pemanggilan, dia melihat mereka berganti pakaian dengan gaun pengantin dan diangkut oleh tandu, membuatnya merasa cemas.
Tak ada tempat berlindung di langit, jadi kalau dia mengejar mereka dengan pedangnya, dirinya pasti akan ketahuan, dan upayanya akan jadi sia-sia. Tetapi bila dia tak mengejar mereka, dia akan merasa sangat tidak senang. Di tengah-tengah kegelisahannya, dia tiba-tiba mendengar seseorang tertawa di belakang telinganya, dengan suara rendah. Itu adalah suara laki-laki.
Linglong begitu syok, dan buru-buru berbalik untuk menghunus Pedang Emasnya lalu memasang kuda-kuda. Namun di belakangnya hanya ada suara angin, tak ada yang lain!
Linglong mengedarkan pandangan ke sekeliling dalam waktu lama dan berpikir kalau dirinya hanya salah dengar, dan diam-diam menghembuskan napas lega. Namun dia tak berani menyimpan Pedang Emasnya, melainkan berjalan mondar-mandir, memikirkan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Namun setelah beberapa langkah, terdengar suara tawa lembut dari atas. Suara yang sama lagi. Linglong ketakutan dan berkata lantang, “Siapa?” Tanpa ragu dia mengayunkan Pedang Emasnya ke sekeliling. Dengan seberkas cahaya emas, sebatang pohon besar di depannya langsung terbelah jadi dua, dan roboh ke tanah dengan suara keras, cabang-cabang dan dedaunan bergetar. Namun tetap tak ada orang lain yang terlihat.
Cahaya rembulan tampak pucat, dan terkadang ada kukukan burung hantu di dalam hutan. Sekelilingnya begitu sunyi. Sedemikian sunyinya sehingga membuat bulu-bulu halus di tubuhnya meremang.
“Ma… manusia atau hantu? Tunjukkan dirimu sendiri!” Dia mengayunkan kembali pedangnya, dan pohon besar di seberangnya berguncang. Kalau dia terus mengayunkan pedangnya seperti ini, entah ada berapa banyak pohon lain yang akan roboh.
Linglong mengayun-ayunkan pedangnya selama beberapa waktu, namun tak menemukan kulit maupun rambut siapa pun. Dia begitu lelah sehingga terengah kehabisan napas.
“Kau masih bertemperamen panas, dan belum berubah sedikit pun.”
Suara itu tiba-tiba kembali muncul di belakangnya. Linglong, tanpa melihat ke belakang, memutar tubuhnya dan mengayunkan Pedang Emas dengan sekuat tenaga, hanya untuk melihat sebentuk bayangan hitam di belakangnya bergerak secepat kilat. Pedang Emas menggores rusuknya, lalu menancap pada sebatang pohon. Linglong sudah akan mencabut pedangnya ketika cahaya bulan menggelap dan si pria melayang naik seakan dirinya adalah gagak, berdiri tanpa suara di pucuk Pedang Emas dan menunduk menatapnya.
Malam di dalam hutan begitu gelap, dan Linglong tak bisa melihat seperti apa rupa orang itu, namun matanya secerah bintang-bintang. Sepasang mata itu tampak familier, namun pada saat ini Linglong tak bisa mengingat siapa dirinya.
Pria itu tertawa lirih dan berkata, “Aku tak menyangka kalau kau ternyata secepat ini. Kau bisa ikut denganku.”
Linglong mengamuk dan mengangkat tangannya untuk mencabut pedangnya, namun tak peduli betapa keras dia berusaha, dia tak mampu melakukannya. Setelah kehilangan Pedang Emasnya, Linglong bagaikan burung yang sayapnya terikat dan kini berada dalam belas kasihan orang lain. Dia begitu marah sehingga berusaha mencabut pedangnya dengan segenap tenaga, namun pria itu melayang lagi seakan tak berbobot.
Tenaga yang dikerahkan Linglong begitu besar untuk mencabut Pedang Emas, namun dia tak mampu memulihkan momentumnya dan terpental ke belakang, nyaris terjengkang.
Tiba-tiba, seseorang menyangga bahunya, dan Linglong secara instingtif berusaha menusuk orang itu dengan pedangnya, namun orang itu memukulnya secepat kilat, dan pedang emas pun terjatuh ke tanah.
Linglong berseru kaget, namun orang itu sudah membekap mulutnya.
Pria itu mencium pipinya dengan lembut, sebuah ciuman yang dingin.
“Sekarang aku mendapatkanmu,” orang itu berkata.
Linglong merasakan hantaman ringan pada bagian belakang lehernya dan pandangannya pun menggelap.