The Glass Maiden - Chapter 31
“Kalau kau ingin menyelamatkan teman-temanmu, pertama-tama kau harus menemukan tubuh sejati dari Zi Hu. Kalau tidak, semua ilmu kultivasi yang kau miliki tak berguna terhadapnya.”
Ting Nu mendorong kursi rodanya dan sebenarnya cukup cepat untuk berlari bersisian dengan Xuanji.
Xuanji teringat bahwa barusan tadi saat di istana, pedangnya tak mampu menusuk Zi Hu. Wanita itu persis seperti segumpal asap, tak beraturan.
“Lantas, di mana tubuh sejatinya?”
Ting Nu berpikir, “Zi Hu selalu cerdik dan memperlakukan tubuh sejatinya dengan luar biasa hati-hati. Dia takkan meletakkannya di tempat biasa. Ayo kita pergi ke Paviliun Tianji dan mencarinya di sana, mungkin di sanalah dia berada.”
Apa itu Paviliun Tianji? Xuanji menatap Ting Nu dengan kebingungan. Sarang siluman ini benar-benar adalah labirin.
“Paviliun Tianji* adalah tempat di mana Rantai Besi Penenang Samudera** terletak.” Ting Nu menunjuk ke atas kepalanya, “Ada di lantai puncak.”
(T/N: 天極閣 / Tiānjí gé – Paviliun Ujung Langit; 定海鐵索/ Dinghai Tiesuo – Rantai Besi Penenang Samudera)
Xuanji benar-benar ingin bertanya apa itu Rantai Besi Penenang Samudera, dia tak tahu apa-apa soal benda itu dan tak pernah mendengar tentangnya. Akan tetapi, ini bukan saat yang tepat untuk mengobrol, jadi dia pun terus menutup mulutnya dan terfokus untuk berlari ke depan.
Guanya tidak besar, jadi mereka segera mencapai ujung dan kembali ke sisi lain lorong rahasia. Dalam kegelapan sepertinya Ting Nu mampu melihat tanpa perlu menyalakan lampu. Dia menunjuk pada tempat lilin di sisi kiri atas dan berkata, “Nyalakan yang ini. Ada jalan pintas menuju Paviliun Tianji.”
Xuanji melakukan seperti yang disuruh dan memakai pemantik untuk menyalakan lampu minyak di bagian atas. Sebuah celah terbuka di sisi kanan, dan angin pun melolong.
Xuanji mendorong Ting Nu masuk, namun dia kemudian melihat dua baris api menyala di dalam, membentang hingga ke puncak, dengan jalan yang lebarnya hanya tiga kaki serta undakan yang tidak beraturan di bawahnya. Di bawah undakan itu terdapat kegelapan yang tak tertembus. Ini pasti adalah bagian dalam dari gunung yang tengahnya telah dilubangi, dan tak mungkin bisa tahu seberapa dalamnya lubang itu. Tetapi bila dia jatuh, dirinya pasti akan mati.
Karena kursi roda Ting Nu tak bisa menaiki undakan, Xuanji hanya bisa menggendongnya di punggung, memegangi kursi rodanya dengan tangan lain, dan memanjat naik dengan kecepatan tinggi. Angin menderu keras di sekelilingnya, dingin dan seakan membawa bau busuk, yang mana sungguh menakutkan.
Si manusia duyung di punggungnya bersandar ringan di belakang leher Xuanji, rambutnya masih basah dan terasa agak dingin.
Lama kemudian, Ting Nu tiba-tiba berkata, “Ketopong Awan Ungu, Zirah Emas, dan Duyung di Kolam Dewa… apa kau ingat?”
Xuanji yang sedang berlari dan mengucurkan keringat deras, menggelengkan kepalanya dan terengah, “Tak pernah dengar itu. Zirah macam apa?” Bukankah Kolam Dewa ada di Kahyangan?
Ting Nu terdiam. Aih, gadis ini benar-benar telah melupakan semuanya. Entah itu adalah kesedihan, atau amarah, atau kehangatan dan penghiburan, dia telah melupakan semuanya. Semuanya.
“Bukan apa-apa, sebenarnya… lupa adalah hal yang baik,” dia berkata lirih.
Xuanji terdiam dalam waktu lama dan kemudian tiba-tiba berkata, “Meski aku tak tahu apa yang kau bicarakan, tapi… aku merasa seperti telah mengenalmu untuk waktu yang lama. Kau membuatku merasa sangat akrab dan dekat denganmu.”
Ting Nu tak mengatakan apa-apa.
****
Yu Sifeng dapat perasaan bahwa dia lebih baik mati daripada hidup. Dia tak bisa bicara ataupun menggerakkan tubuhnya, dan sedang ditindih oleh Zi Hu. Wanita itu memiliki daya pikatnya sendiri, yang begitu panas dan tak tertahankan sehingga Sifeng berharap dirinya bisa mengoyak kulitnya dan dagingnya lalu berciuman dengan siluman rubah itu. Dia menggertakkan gigi dan bertahan, namun tangan wanita itu begitu lembut seakan tak bertulang, dan perlahan melepaskan sabuknya serta menciumi dadanya.
Dia benar-benar akan dikacaukan oleh tangan siluman rubah itu. Yu Sifeng bergidik dan sudah akan menyerah untuk melawan ketika dia mendengar Zhong Minyan, yang terbaring di luar, berteriak, “Rubah mati! Memalukan! Melatih trik sekotor ini! Bahkan bila kau berhasil, kau akan membusuk dan bernanah dan kau takkan pernah menjadi kaum abadi!”
Hati Yu Sifeng menjadi tenang, dan serta merta kepalanya kembali jernih. Dia pun lanjut meronta dan tak dibingungkan oleh pesona wanita itu.
Zi Hu, sementara itu, tertawa dan berkata, “Seorang pria dewasa, namun dia datang kemari untuk memakiku, seorang wanita muda. Siapa bilang aku ingin menjadi kaum abadi?”
Zhong Minyan mulanya ingin memakinya untuk mengulur waktu, dan kegirangan saat Zi Hu menanggapi, jadi dia pun memaki lagi, “Kaulah yang tak tahu diri! Siapa yang peduli apa kau akan menjadi kaum abadi! Aku hanya tahu bahwa bila kau melatih teknik semacam ini, kau akan mati dengan mengerikan. Setelah kau mati kau akan pergi ke neraka dan lidahmu dicabut dan takkan pernah bereinkarnasi….”
Zhong Minyan sedang berada di tengah-tengah sesi memaki, namun sebelum dia bisa menyelesaikannya, dia merasa rahangnya mengencang dan Zi Hu mencengkeram dirinya. Rubah itu memicingkan mata, dan ketika api lilinnya padam, pupil matanya sama hijau pucatnya dengan pupil mata hewan liar. Zhong Minyan begitu terkejut hingga dia tak mampu menemukan kata-kata untuk memaki wanita itu.
“Neraka… apa kau kira alam manusia ini bukan neraka?” ujar Zi Hu garang, “Tutup mulut, atau aku akan melanggar janji dan membunuhmu sekarang juga!”
Paru-paru Zhong Minyan sudah akan meledak karena marah, namun dia tak bisa mengerahkan tenaganya dan bagai seekor domba menuju tempat penjagalan, dia hanya mampu bersikap patuh.
Zi Hu melepaskannya dan sudah akan berbalik dan kembali ke tempat Yu Sifeng, ketika tiba-tiba hawa dingin menjalar di punggungnya dan suatu perasaan ngeri mencekamnya.
Seseorang sedang mengamati dirinya!
Ketika dia berbalik, dia melihat sekilas cahaya perak, dan dalam sekejap mata, cahaya itu lenyap.
Ilusi? Ataukah itu nyata?
Zi Hu tiba-tiba mendapatkan perasaan tidak enak dalam hatinya. Tubuh sejatinya diletakkan bersama dengan benda itu, dan bila sampai ditemukan oleh orang lain, maka semuanya akan jadi sia-sia. Akan tetapi, dia telah menculik mereka semua, jadi ada siapa lagi? Mereka punya bantuan cadangan? Atau….
Gadis kecil itu!
Dalam hati dia merasa kesal karena sejak awal dia tak seharusnya membiarkan gadis itu pergi!
Zhong Minyan melihat Zi Hu bangkit dan pergi, seakan ada sesuatu yang mendesak. Dia membuka mulutnya untuk mengucapkan beberapa patah kata lagi untuk membuat wanita itu kesal, namun saat dia menyadari bahwa Zi Hu akan lebih banyak melakukan hal buruk daripada baik, dia pun menggigit lidahnya dan menunggu wanita itu meninggalkan ruangan. Ketika Zi Hu sudah berlari keluar dari ruangan itu, barulah kemudian dia perlahan mendudukkan diri dan mengangkat tirai. Ruo Yu masih terbaring, namun pakaian luar Sifeng sudah dibuka ikatannya, menampakkan pakaian dalamnya yang berwarna putih. Tampaknya hal itu belum dilakukan.
Zhong Minyan menghembuskan napas lega dan berkata, “Baguslah…. Rubah itu tiba-tiba pergi. Saudara-saudara, ayo kita cepat pergi juga.”
****
Yang disebut sebagai Paviliun Tianji, hanyalah sebuah ruangan kecil di puncak istana. Xuanji berlari hingga ke tempat ini dengan Ting Nu di punggungnya. Dia sudah kelelahan ketika membuka pintunya. Dia pun hanya mampu berbaring di lantai dan berkata dengan susah payah, “Ting… Ting Nu, kau lihatlah… apakah tubuh sejatinya ada di sini….”
Ting Nu mendorong kursi rodanya, mengedarkan pandangan, dan balas tersenyum, “Ya, kau bisa melihatnya begitu kau bangun.”
Xuanji kegirangan mendengar kabar itu dan berjuang untuk bangkit. Sudah barang tentu, terlihat sebuah kabinet tembus pandang di bagian pojok, dengan warna biru kehijauan pucat, seakan diukir dari kumala. Dalam kabinet itu terbaringlah sesosok rubah sepanjang setengah tinggi manusia dengan bulu ungu gelap, seakan sedang tertidur. Seolah dia akan terbangun bila kau mengelusnya dengan tanganmu, menggoyangkan ekornya dan mendengking.
Xuanji mencabut pedangnya dan berjalan ke arah rubah itu, menghancurkan kabinet kumala yang berharga tersebut lalu mengangkat tangannya untuk membunuh rubah itu.
Ting Nu tiba-tiba berkata, “Jangan bunuh dia. Tidak mudah bagi makhluk apa pun untuk mendapatkan wujud manusia. Ampunilah dia.”
Xuanji menggelengkan kepalanya: “Tidak, dia telah melakukan kejahatan. Dia harus mati.”
Ting Nu tertawa getir dan menggumam, “Kau… masih sama saja seperti sebelumnya….”
“Apa?” Xuanji tak mendengar kata-katanya dengan jelas, dan orang itu hanya menggumam, seakan memiliki banyak sekali rahasia namun tak mau memberitahukannya, yang mana benar-benar menjengkelkan.
“Bukan apa-apa…. Kau seharusnya melihat ini terlebih dahulu.”
Ting Nu menuding ke belakang Xuanji, dan ketika gadis itu berbalik, dia melihat sebuah rantai besi hitam tergantung di dinding, hitam pekat, dengan lingkaran jimat yang aneh menempel pada dinding di sekitarnya. Rantai itu menggelantung turun hingga ke lantai dan menjulur panjang. Sebuah lubang telah dibuat di sudut dinding untuk rantai itu, dan rantai itu menggelantung ke bawah hingga ke dasar sana. Entah seberapa dalamnya dasar itu.
“Apa ini?” Xuanji berjalan menghampiri dan menyentuhnya, namun rantai yang tampak begitu tipis dan ringan itu ternyata luar biasa berat di tangannya, seakan terbuat dari besi.
Ting Nu berkata, “Ini adalah Rantai Besi Penenang Samudera, satu pada masing-masing delapan penjuru dunia, yang dipergunakan untuk mengurung sesosok siluman terkenal.”
Setelah terdiam sejenak, dia berkata, “Tak ada siluman yang pernah menyerah untuk berusaha menyelamatkan dia. Kurasa kau pasti telah bertemu dengan siluman-siluman yang berniat untuk menyelamatkan dia di sepanjang perjalanan, kan?”
Xuanji tiba-tiba teringat dengan para Qu Ru yang menyebabkan insiden di Gunung Haiwan dan juga siluman yang tampak aneh itu, kemudian mengangguk ragu, “Aku pernah bertemu dengannya di Kota Wangxian….”
Ting Nu berkata acuh tak acuh, “Kota Wangxian terletak di tenggara, dan salah satu dari rantai-rantai besi ini ada di dasar gunung itu. Gunung Gao terletak di timur, dan ini adalah rantai besi yang kedua.”