The Longest Day in Chang’an - Chapter 8
Cuping hidung mengembang, seekor anjing pelacak mengendusi tegel-tegel remuk di reruntuhan Changming Fang itu. Yao Runeng memegangi kekangnya, sesekali melihat ke arah luar, gelisah dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Suara-suara keras orang-orang yang menari sesuai dengan musik ditemani oleh gemuruh sorakan terus terdengar dari sisi lain tembok. Gelombang-gelombang suara itu sendiri cukup menggoda. Bila dia memanjat ke atas dinding, Yao Runeng tentunya bisa melihat pemandangan-pemandangan yang beberapa kali lebih menarik daripada suaranya.
Tetapi Yao Runeng terlalu disibukkan untuk memikirkan tentang hal itu. Pada saat ini, dirinya sarat dengan kegelisahan. Pertama dia belum menemukan apa pun sepanjang pencarian ini, yang berarti dia telah mengecewakan Komandan Zhang, dan yang kedua, dia tak tahu bagaimana keberlanjutan dari penyelidikan yang dijalankan oleh Departemen Jing’an. Selama sisa orang-orang Turki itu masih berkeliaran, Chang’an takkan pernah aman.
Mendadak, si anjing pelacak mengangkat kepalanya dan mulai menggonggong keras.
Dengan seulas senyum masam, Yao Runeng berjongkok dan membelai leher berbulunya. Ini adalah kali ketiga si anjing menggonggongi sumur itu. Para Prajurit Lubi telah sejak lama menyadari batu yang menutupi mulut sumur saat mereka mencari di tempat ini. Setelah Yao Runeng tiba di sini dengan si anjing, dia juga telah memeriksa sumur itu beberapa kali namun juga tak menemukan apa pun yang tidak biasanya.
‘Kenapa anjing ini begitu terobsesi dengan sumur itu? Dia sama keras kepalanya dengan Komandan Zhang.’
Saat pemikiran tidak hormat ini muncul dalam benaknya, Yao Runeng terkekeh dengan takjub, berpikir bahwa dia tak bisa membiarkan Komandan Zhang tahu tentang hal ini, dan kemudian dia berdiri serta menyapu kotoran dari pakaiannya. Karena pencarian ini tak banyak memberi hasil, dia yakin kalau dirinya lebih baik kembali saja. Semoga, Komandan Zhang sudah menemukan beberapa petunjuk baru. Yao Runeng tak mau melewatkannya.
Tetapi gara-gara kelengahan sesaat ini, si anjing tiba-tiba menyentak lepas tali kekang dari tangannya dan dengan cepat berlari ke tepi sumur bagaikan anak panah yang meluncur. Merasa agak kesal, Yao Runeng berjalan menghampiri dan berniat untuk menyeretnya pergi, tetapi begitu dia mencapainya, tiba-tiba dia menemukan bahwa sepertinya ada sesuatu di antara rahang si anjing. Mengernyit, Yao Runeng mengulurkan tangannya, mengeluarkan benda itu dan mendapati bahwa itu adalah secarik kecil kain.
Ini adalah carikan panjang tipis kain karung yang bisa dilihat di mana-mana, berwarna hitam pudar. Kain ini telah tercabik lepas dari sesuatu yang tersangkut oleh retakan pinggiran di sumur.
Yao Runeng melihat warna kain itu dan kemudian mengarahkan tatapan ke dasar sumur yang gelap pekat. Sebuah ide tiba-tiba menerpanya. Dia memanggil seorang anggota Buliang Ren terdekat, menyuruh orang itu mengikat pinggangnya dengan seutas tali yang ujung lainnya terikat pada tiang paviliun, dan kemudian mulai memanjat turun ke dalam sumur dengan menginjak celah-celah pada dinding sumur.
Hari sudah hampir gelap, dan Yao Runeng baru saja turun sejauh beberapa langkah saat keadaan menjadi hitam pekat. Yao Runeng meminta seorang anggota Buliang Ren untuk menyalakan lentera dan perlahan mengirimkannya turun dengan tali. Sementara itu, dia sendiri terus turun. Dia melewatkan pijakannya beberapa kali dan berkat talinyalah dirinya tidak sampai jatuh. Akhirnya, dia berhasil mencapai dasar. Yao Runeng mengulurkan tangannya, menarik lentera ke arahnya, mengedarkan pandangan, dan langsung tercengang.
Dasar sumur itu tertutup oleh selapis kain karung hitam pudar, dan onggokan berbentuk manusia bisa terlihat dengan jelas. Ditambahkan dengan lapisan kain karung hitam ini, kondisi di luar sudah hampir gelap. Tak heran mereka gagal menemukan apa pun yang tidak biasa di dalam sumur ini dari atas. Orang-orang Turki ini benar-benar tahu cara menyembunyikan orang!
Yao Runeng menyingkirkan kain karungnya untuk menampakkan seorang wanita yang tak sadarkan diri. Dia berjongkok, mengulurkan satu tangan pada hidung si wanita untuk memeriksa pernapasannya dan meletakkan tangan lainnya pada bahu wanita itu. Tak disangka, begitu Yao Runeng menyentuhnya, si wanita sadar dan langsung meraih sebongkah batu untuk menghantam kepalanya. Yao Runeng tidak waspada dan terkena hantaman di alisnya, menyeringai kesakitan.
Untung saja, kekuatan si wanita tak cukup besar untuk menjatuhkan orang dengan satu pukulan. Yao Runeng mencengkeram pergelangan tangannya, menjelaskan keras-keras, “Kami bekerja untuk Departemen Jing’an. Kau aman sekarang.” Kemudian dia buru-buru menunjukkan plakat pinggang yang terpasang di sabuknya.
Si wanita tertegun. Yao Runeng memaksakan seulas senyum dengan menahan rasa sakit. “Itu benar. Kami adalah pelayan masyarakat.”
Si wanita mengeluarkan suara pekikan dan meledakkan tangisnya, melontarkan lengannya pada Yao Runeng untuk memeluknya erat-erat. Bulir-bulir keringat dingin mulai terbentuk di dahi Yao Runeng. Bila seseorang dari Keluarga Wang melihat hal ini, dirinya mungkin akan dipersalahkan. Tetapi wanita ini begitu ketakutan sehingga tak mau melepaskan Yao Runeng tak peduli seberapa keras pun dia berusaha menenangkannya. Yao Runeng tak punya pilihan selain membiarkannya saja. Dia meminta orang-orang di mulut sumur agar menjatuhkan satu tali lagi untuk menarik mereka berdua keluar dari sumur.
Orang-orang di atas bekerja keras cukup lama dan akhirnya berhasil mengeluarkan kedua orang itu ke permukaan tanah. Melihat bahwa si wanita hanya menjadi kaku dan tak ada luka-luka yang kentara pada dirinya, Yao Runeng pun merasa lega.
“Nona Wang Yunxiu, silakan ikut bersama kami ke Departemen Jing’an,” ujar Yao Runeng penuh hormat.
Si wanita mengangkat kepalanya dengan ekspresi kosong di wajahnya, seakan masih kebingungan pada apa yang baru saja terjadi. Barulah hingga Yao Runeng mengulang kata-katanya, si wanita pun bereaksi, seakan terbangun dari mimpi, dan buru-buru berkata. “Ah? Pasti ada semacam kesalahan. Aku bukan Nona Wang. Namaku Wen Ran.”
Yao Runeng jelas-jelas memucat saat mendengar hal ini.
***
Zhang Xiaojing dan Tan Qi disambut oleh suara-suara yang membuat kewalahan begitu mereka berjalan keluar dari Guangde Fang.
Di sini adalah sebuah wilayah di dekat Pasar Barat dan ada banyak rumah komersil mewah di sini. Demi untuk mempublikasikan toko-toko mereka, para pemilik bisnis tak segan-segan mengeluarkan uang untuk bersaing antara satu sama lain. Toko yang ini menggantungkan panji sepanjang sepuluh meter, toko yang di sampingnya langsung mengeluarkan panji sepanjang sebelas meter. Sebuah toko mendirikan sebuah pos dengan lentera-lentera yang disusun membentuk naga melingkar di sekelilingnya. Sebuah firma di timur menggantung tirai-tirai brokat dengan sepuluh warna berbeda, firma lainnya di barat segera memasang sebuah tirai yang terbuat dari lima untai bandul emas dan perak di depan toko, membuat toko itu tampak seperti tempat tinggal seorang manusia abadi. Kompetisi lentera di area ini merupakan yang paling intens di Chang’an pada tiap tahunnya, dan di sini juga merupakan tempat di mana sebagian besar penghuni berkumpul selama festival.
Pada saat ini, di sepanjang dinding fang di sisi jalan yang lebar antara Guangde Fang dan Pasar Barat, tak terhitung banyaknya kerangka-kerangka bambu raksasa berbentuk roda, pepohonan ataupun bukit, yang semuanya dipenuhi oleh lentera serta bendera-bendera dengan nama-nama perusahaan di atasnya. Dua baris lentera menjulur sepanjang bermil-mil. Lidah-lidah api dari beberapa ratus ribu lilin gading berkeredap di tengah udara, menyinari di segala tempat, yang mana merupakan sebuah pemandangan yang menarik dan memukau.
Semua lilin ini panjangnya sekitar dua kaki dan selebar satu lengan anak-anak. Lilin-lilin itu diletakkan di dalam sangkar kertas anti angin segi delapan dan bisa bertahan sepanjang malam. Bahan lilin itu dibuat mengandung rempah-rempah, dan juga ada lapisan balsam pada bagian dasarnya, sehingga di tempat di mana sebagian besar lilin itu berada udara pun dipenuhi oleh aroma berminyak yang pekat. Dibawa oleh hembusan angin malam, aromanya menguar ke seluruh kota.
Sangat banyak penduduk yang memenuhi di bagian bawah kerangka-kerangka yang dihias dengan lentera tersebut, mendongakkan kepala mereka untuk menikmati keindahan lentera dan mencium keharumannya. Juga terdapat sebutir garam kasar di bawah lidah semua orang, yang mana merupakan kebiasaan lama di Chang’an: garam berarti perpanjangan (T/N: kedua aksara mandarin dari garam dan perpanjangan bunyinya sama), dan lilin menyimbolkan umur panjang. Orang-orang percaya bahwa bila jumlah total dari keharuman yang mereka hirup mencapai jumlah keharuman yang bisa dikeluarkan oleh sebatang lilin utuh, hidup mereka akan diperpanjang sebanyak satu tahun, yang mana akan menjadi sebuah awal yang baik untuk tahun baru. Dan tindakan ini disebut ‘menghirup kehidupan lilin’.
Karena tradisi ini, tempat-tempat pertunjukan lentera di Chang’an tak terlalu ramai pada mulanya. Sebagian besar orang tetap tinggal di bawah lentera-lentera itu untuk ‘menghirup kehidupan lilin’ selama sesaat sebelum mulai berjalan-jalan – ‘Tak perlu tergesa. Ini akan menjadi sebuah malam yang panjang dan luar biasa,’ semua orang yang hadir di pertunjukan berpikir demikian.
Zhang Xiaojing tahu tentang kebiasaan ini, jadi dia mendesak Tan Qi untuk memanfaatkan kesempatan ini dan menambah kecepatan, karena mereka bisa saja tersasar bila mereka tidak bergegas.
Kemampuan berkuda Tan Qi cukup bagus. Dia melontarkan lirikan provokatif pada Zhang Xiaojing dan berkata, “Kau tak punya wewenang terhadapku.” Dan dengan perkataan itu dia memacu kudanya yang mana kemudian melompat melayang untuk dengan gesit menyelinap melewati jalan sempit di antara dua kereta yang ditarik keledai dan mencongklang pergi.
Zhang Xiaojing tidak merasa kesal. Dia menggoyangkan kekang dan mengikuti Tan Qi dengan ketat di belakangnya, diikuti dalam jarak dekat oleh beberapa orang prajurit Lubi.
Melakukan perjalanan dari Guangde Fang menuju Yining Fang, mereka harus berpacu menuju utara melewati tiga persimpangan, kemudian berbelok ke barat dan melewati dua persimpangan lagi. Semua tempat yang dilakui perjalanan ini adalah tempat-tempat yang makmur. Jalanan dipenuhi oleh orang, kuda, dan kereta. Mereka jarang mendapatkan ruang untuk berputar. Setelah melakukan perjalanan tersendat-sendat yang menghabiskan waktu, mereka akhirnya sampai di Yining Fang.
Yining Fang berada di dekat Gerbang Kaiyuan di barat. Sebagian besar pedagang asing yang tak bisa masuk ke Pasar Barat memilih untuk tinggal di tempat ini, jadi terdapat lebih banyak orang asing di sini daripada di Pasar Barat. Di fang ini, kuil-kuil dari berbagai agama dalam gaya unik mereka masing-masing berdiri dalam jumlah besar, yang mana dianggap sebagai tempat pemandangan di Chang’an. Yang memiliki puncak berbentuk lidah api serta dinding cinnabar adalah kuil Zoroastrianisme; yang memiliki dua tiang bendera panjang di pinggiran atap adalah kuil Manicheanisme; dan di sudut barat laut dari Jalan Kesepuluh Barat, yang memiliki salib pada puncak melengkungnya yang terbuat dari bata adalah kuil Nestorianisme.
Rumah-rumah di Yining Fang juga dihias dengan lentera dan panji-panji, dan atmosfernya sangatlah meriah. Sementara terdapat arus pasang penduduk yang pergi keluar untuk menikmati pertunjukan lentera, semua kuil membuka gerbang-gerbang tengah mereka untuk membagikan makanan dan ceramah. Para pengunjung juga memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke dalam kuil-kuil tersebut demi menikmati pemandangan eksotis yang tak bisa mereka lihat pada hari-hari biasa.
Zhang Xiaojing dan yang lainnya tiba di gerbang kuil Nestorian. Belasan rahib Nestorian penuh senyum yang mengenakan jubah putih membagikan salib-salib kayu kecil serta gulungan-gulungan kitab tulisan tangan kepada orang-orang lewat.
Zhang Xiaojing diam-diam menyuruh beberapa bawahan untuk mencari tahu ada berapa banyak pintu masuk yang dimiliki oleh kuil ini, dan juga memerintahkan agar setiap pintu masuk dijaga oleh setidaknya dua orang.
Tan Qi bertanya kepadanya, “Haruskah kita mencari sang uskup agungnya dan memeriksa sertifikat-sertifikat para rahib?” Dia telah melakukan sedikit riset sebelum datang kemari dan tahu bahwa orang yang berwenang pada kuil-kuil Nestorian di Chang’an disebut uskup agung, yang mana setingkat dengan Da Sabao Zoroastrianisme (T/N: kepala dari semua kuil Zoroastrianisme di sebuah negara tertentu). Namun Zhang Xiaojing menggelengkan kepalanya, “Ini berbeda dari urusan Zoroastrianisme. Kita tak tahu identitas Yousha. Bila kita dengan gegabah pergi ke sana untuk memeriksa sertifikat-sertifikatnya, dia mungkin akan menjadi waspada. Aku punya rencana lain, tapi aku perlu kau bekerja sama denganku.”
Tan Qi baru akan bertanya apa rencana Zhang Xiaojing saat seorang rahib Nestorian berjubah putih berjalan menghampiri mereka. Rahib itu mengeluarkan dua buah salib yang tergantung pada rantai dan berkata, “Penderma, bersediakah Anda berdua mengenakan salib-salib ini dan mendengarkan khotbah?”
Rahib itu memiliki hidung yang mancung dan mata yang dalam. Sekali lihat mereka bisa menerka bahwa dia bukan penduduk asli Dataran Tengah, dan bahasa mandarinnya juga tidak terlalu fasih. Zhang Xiaojing mengambil sebuah salib, dengan santai mengalungkannya pada leher Tan Qi dan tersenyum, “Semalam, istri saya bermimpi. Seorang dewa, yang mengenakan zirah emas dengan salib di dadanya dan berdiri di atas sekuntum teratai, mengatakan kepadanya bahwa seorang rahib ternama yang ditakdirkan untuk menjadi gurunya telah tiba di Chang’an. Dewa itu juga menyuruh kami untuk melayani rahib itu dengan penuh hormat. Jadi, hari ini kami datang ke Kuil Persia untuk mencari guru kami.”
Tan Qi tercengang, ‘Kenapa hidung belang ini bicara omong kosong lagi?’ Tetapi dia tak bisa membongkar kebohongan Zhang Xiaojing di depan rahib itu, jadi dia hanya berdiri di tempat, rona wajahnya berubah-ubah antara merah dan putih. Pada saat ini, Zhang Xiaojing meraih tangannya dan mengangkatnya, berkata, “Sayang, salib selalu memberkatimu. Kali ini, kau harus dengan penuh bakti menunjukkan rasa terima kasihmu.” Tan Qi menyadari bahwa tak ada sorot menggoda di mata Zhang Xiaojing, hanya ada tatapan dingin.
Tiba-tiba Tan Qi menyadari bahwa Zhang Xiaojing tidak sedang menggoda dirinya melainkan menjalankan rencana. Dia buru-buru menarik kembali raut kesalnya dan memberikan seulas senyum manis pada si rahib Nestorian.
Si rahib Nestorian kegirangan. Orang-orang percaya di antara penduduk Tang sangatlah langka. Dia percaya bahwa pria ini pastilah dipengaruhi oleh istrinya yang memiliki darah keturunan Xi Yu, yang mana bahkan lebih langka lagi daripada orang yang mendonasikan beberapa pi (T/N: 1 pi = 13 meter) kain atau beberapa benda dari emas. Dengan gembira dia bertanya, “Apa kalian punya nama rahib terkenal itu?”
Kali ini, Tan Qi dengan cepat maju sendiri tanpa bantuan Zhang Xiaojing. “Dewa berzirah emas itu berkata bahwa rahib ternama ini bukan warga asli dari Dataran Tengah, bahwa dia tiba di Chang’an pada suatu hari dalam beberapa bulan terakhir ini.”
Mereka telah mendiskusikan hal ini dengan Li Bi dan tahu bahwa tak mungkin seorang pembesar seperti Yousha bersembunyi di Chang’an dalam waktu lama. Bila dia telah menyamarkan diri sebagai rahib Nestorian dan tinggal di kuil ini, jangka waktunya mungkin tidak lebih lama daripada tiga bulan.
Dengan kernyitan di wajahnya, si rahib Nestorian berkata bahwa murid-murid mereka datang dari banyak macam negara dan daerah, termasuk Da Qin, Kerajaan Zhan, Persia, dan bahkan Xi Yu serta padang rumput di utara, jadi petunjuk ‘bukan warga asli Dataran Tengah’ masih jauh dari cukup spesifik. Tan Qi buru-buru menambahkan, “Atau mungkin dia adalah orang Sogdiana?”
Dengan menyamarkan dirinya sendiri sebagai pedagang Sogdiana-lah Cao Poyan menyusup ke dalam Chang’an, yang mana merupakan cara yang sangat mudah. Yousha yang Terhormat tak punya alasan untuk menolak menirunya.
Si rahib Nestorian berpikir sesaat dan kemudian berkata dengan raut menyesal, “Ada terlalu banyak rahib di kuil kami. Takkan mudah menemukan dia dalam waktu singkat. Anda lebih baik mengikuti saya ke dalam kuil. Saya akan bertanya kepada rekan-rekan sesama rahib saya dan melihat apa yang bisa saya temukan.”
Telah memperkirakan hal ini, Zhang Xiaojing dan Tan Qi mengikuti si rahib Nestorian ke dalam kuil, berjalan berdampingan.
Saat mereka memasuki kuil, mereka disambut oleh Pilar Sutra batu segi delapan yang tingginya lebih dari sepuluh meter, pada setiap sisinya terukir sebuah pola salib, dan bagian tatakannya berbentuk bunga teratai. Ini mungkin adalah ‘salib dan bunga teratai’ yang telah disebutkan oleh Cao Poyan. Di belakang Pilar Sutra itu terdapat alun-alun yang tidak terlalu besar, yang dilapisi oleh batu biru dan bersih tanpa noda. Pada masing-masing dari kedua sisi alun-alun terdapat sebaris patung batu bergaya Persia, dan pada ujung alun-alun itu terdapat aula utama tua yang aneh dengan bagian depan menjorok dan puncak runcing yang di atasnya terdapat sebuah salib.
Bila dibandingkan dengan kuil-kuil di wilayah pusat, bangunan-bangunan di sini tampak agak suram dan polos. Bahkan tak ada menara-menara lonceng menara genderang di sisi-sisinya. Memimpin jalan, si rahib Nestorian telah berjalan cukup jauh di depan sebelum dia melihat seseorang berjalan lurus ke arahnya. Dia pun tak tahan untuk berseru, “Diaken Es, di sini!”
Pria itu seumuran dengan Li Bi dan memiliki wajah tipikal Persia – mata hijau, kumis keunguan dan rambut keriting, hanya saja fitur wajahnya cukup lembut dan agak feminin. Terdapat sebuah tanda pangkat panjang berbentuk ranting zaitun tersemat d bahu jubah putihnya, yang mana mengindikasikan bahwa peringkatnya mungkin lebih tinggi daripada rahib Nestorian yang ini.
Yang patut untuk diperhatikan adalah matanya – pupilnya besar, bulat dan hijau murni, seperti ada dua butir batu permata dipasang di situ.
“Ini adalah Diaken Es. Dialah yang bertugas pada urusan-urusan umum kuil kami. Anda bisa bertanya kepadanya tentang segala macam urusan, baik yang besar maupun yang kecil.” Si rahib Nestorian dengan nada hangat memperkenalkan pria itu kepada mereka. Meski Es adalah seorang asing, Bahasa Mandarinnya sangat standar. Dengan seulas senyum, dia mengekspresikan salam selamat Festival Lenteranya kepada pasangan ini dengan suara lembut dan sikap sopan, memberi mereka kesan yang menyenangkan.
Setelah Tan Qi mengulang kisah mereka tentang datang kemari demi mencari seorang rahib ternama, Es menepukkan tangannya dan tersenyum, “Bicara tentang ini, memang ada seorang tetua dari Xi Yu yang tiba belum lama ini, yang cukup sesuai dengan mimpi Nyonya.”
Bahasa Mandarinnya sangat fasih, tetapi kata-katanya agak terlalu formal. Dia mungkin telah mempelajari kata-kata itu dari beberapa kitab atau buku-buku kuno.
Zhang Xiaojing dan Tan Qi bersitatap dan bertanya bersamaan, “Kami mendambakan pengetahuan dari Nestorianisme. Bersediakah Anda berbaik hati memperkenalkan rahib terkenal ini kepada kami?”
Es membuat tanda salib pada dirinya dan tersenyum lembut, “Itu merupakan kehormatan bagi saya – tetapi tempat ini dinamai Kuil Qin Agung, bukan Kuil Persia.”
Kemudian si rahib Nestorian kembali ke gerbang dan Es sendiri membimbing pasangan ini menuju aula utama.