The Sweet Love Story - Chapter 2
Pada minggu berikutnya, Zhao Fanzhou selalu muncul dari waktu ke waktu. Dia akan diam-diam mengikuti Zhou Xiao dari belakang, benar-benar seperti hantu penasaran yang terus menggentayangi.
Hari Minggu siang, Zhou Xiao turun ke lantai bawah untuk membeli makan siang. Dia orang yang sangat mudah tertidur, di dalam tubuhnya seperti ada sebuah saklar. Ketika dia ingin tidur, tinggal matikan saja saklarnya.
Dulu Zhao Fanzhou selalu mengejeknya dan mengatakan bahwa dia seperti Doraemon, ada saklar di ekornya, begitu dimatikan maka akan jatuh tertidur.
Kenapa lagi-lagi teringat kepadanya? Hari ini sudah sepanjang hari tidak melihatnya. Kemarin ada gelombang dingin, cuaca tiba-tiba menjadi sangat dingin, dia melihatnya berdiri di bawah asrama hanya dengan memakai sweater tipis.
Ketika dia kembali ke asrama kebetulan ponselnya berdering. Dia melirik nomor peneleponnya, bukan nomor yang dia kenal. Dia ragu sejenak untuk mengangkatnya, dulu dia pernah ditelepon oleh orang tidak waras saat dia masih mahasiswa tingkat satu, jadi dia masih agak takut. Orang itu terus menerus meneleponnya dan berkata tanpa henti, “Aku tahu aku salah, maafkan aku.”
Dijelaskan seperti apapun dia tidak mau mengerti dan terus mengatakan bahwa dia mengenal suaranya, jadi jangan bohong kepadanya dan dia sudah tahu salah.
Aneh, kalau dia memang begitu mencintai gadis itu, bagaimana mungkin suara saja bisa salah kenal? Awalnya, Zhou Xiao masih kasihan, beberapa kali berusaha menjelaskan padanya. Terakhir, dia mulai memarahinya dengan menggunakan dialek Chaoshan. Lalu, dia menyimpan nomor orang itu dan menuliskan namanya: ‘Jangan Diangkat’.
Pernah sekali dia pergi mandi dan begitu dia kembali ada 20 panggilan tak terjawab dari orang ini, bahkan ada 20 lebih pesan teks yang tidak tahu sedang membicarakan apa.
Ada sekali dia sedang bersama dengan Zhao Fanzhou, tiba-tiba telepon berbunyi dan ID penelepon adalah si ‘Jangan Diangkat’. Dia tersenyum dengan canggung dan kemudian mematikan ponselnya. Zhao Fanzhou menatapnya dengan aneh, “Kamu bukan sedang ingin keluar dari dinding* kan?”
*(T/N: idiom China yang frasa aslinya itu 红杏出墙 (hóng xìng chū qiáng) yang artinya seperti punya selingkuhan atau pacar gelap.)
“Sebenarnya aku ingin, tapi aku belum belajar memanjat dinding dengan baik.”
“Hati-hati aku akan mematahkan kakimu.”
“Kamu tidak akan tega.”
“Kamu coba saja.”
Nada dering ponsel berhenti, Zhou Xiao mengangkat bahunya. Setidaknya tidak perlu bingung harus mengangkat teleponnya atau tidak. Tapi, suara pesan teks dari ponselnya berbunyi dan Zhou Xiao membukanya, “Aku sedang flu dan demam, tolong bantu belikan obat untukku. Zhao Fanzhou.”
Ah, di dunia ini memang orang macam apapun ada. Syukurin kalau demam, aku akan membiarkanmu pura-pura keren! Abaikan dia, abaikan dia, abaikan dia…
Satu jam berlalu, Zhou Xiao yang sedari tadi berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar tidak bisa menahan keinginannya untuk bangkit berdiri. Mengambil ponsel dan menuliskan pesan balasan,
Setengah jam kemudian, dia berdiri di sebuah lingkungan yang sangat indah. Ah, orang kaya memang abnormal. Keluar dengan lift, masuk pun dengan lift. Ketika dia sudah berdiri di depan pintu, dia mulai tersadar. Kenapa aku bisa datang kemari? Hidup dan matinya apa hubungannya denganku? Benar juga, lebih baik aku pulang! Tepat saat dia sedang ingin menekan tombol turun di lift, pintu rumah terbuka. Zhao Fanzhou berdiri di depan pintu, wajahnya terlihat pucat, “Masuklah.”
Suaranya terdengar serak, kelihatannya dia benar-benar sakit. Zhou Xiao menyerahkan obat kepadanya, dia tidak mengulurkan tangan untuk menerimanya, “Bisakah kamu masuk ke dalam?”
Apa dia salah mendengar? Suaranya terdengar sangat hati-hati. Zhou Xiao melewatinya dan masuk melalui pintu, meletakkan obat di atas meja. Dia tahu bahwa mata Zhao Fanzhou terus mengikutinya, dia menghela napas dan berkata, “Minum obatnya.” Kalimat pertama yang Zhou Xiao katakan kepadanya setelah mereka bertemu kembali.
“Baik.” Suaranya terdengar seperti sangat bersemangat, apa begitu senang disuruh minum obat? Humph!
Setelah orang itu minum obat, dia menatapnya dengan bodoh. Dari dulu, Zhou Xiao belum pernah melihatnya seperti ini dan dia terlihat linglung. Sepertinya terlalu banyak mengkonsumsi obat flu bisa membuat orang menjadi bodoh. “Apa yang kamu lihat! Tidak pernah melihat gadis cantik ya? Tidur sana.”
“Tidak mau.”
Aiyo, orang ini masih bisa melawannya.
“Kalau kamu tidak tidur, aku akan pulang.”
“Kalau aku pergi tidur, kamu juga pasti akan pulang.”
“Pergilah tidur, aku tidak akan pulang.”
Zhao Fanzhou menatapnya dengan tajam, “Kalau begitu, setelah aku bangun bisakah kamu mendengarkan penjelasanku?” Orang cerdas itu memang membahayakan, memukul ular dan membuat ularnya melilit di tongkat itu bukanlah hal mudah yang bisa dilakukan dengan begitu sempurna oleh semua orang.
“Baik.”
Zhou Xiao membuka pintu kamar dengan lembut, berdiri di depan tempat tidur dan menatapnya dengan tenang — Setelah minum obat dia tidur dengan sangat nyenyak, dia sedikit lebih kurus karena sakit, wajahnya terlihat pucat, bulu matanya sangat panjang, bibirnya seperti orang yang ingin tersenyum tapi juga tidak. Ckck. Bocah ini memang tampan, teringat bahwa saat itu dia selalu terpesona akan ketampanannya.
Teringat suatu kali di Perpustakaan, Zhao Fanzhou sedang membaca dengan seksama. Zhou Xiao menatapnya dengan cermat. Matanya sangat indah, tidak besar tapi juga tidak kecil, tatapan matanya sangat jernih. Hidungnya sangat mancung, bibirnya sangat seksi, semakin Zhou Xiao menatapnya semakin ingin meneteskan air liur.
“Hei, bagaimana cara mamamu melahirkanmu? Bagaimana bisa kamu begitu mempesona?”
“Setidaknya, pasti tidak sama dengan cara Mamamu melahirkanmu.” Mungkin ini yang dinamakan memarahi orang tepat pada sasarannya tanpa menggunakan kata-kata kotor.
“Mulutmu sangat beracun.”
“Kamu sudah mencobanya berkali-kali tapi aku tidak melihatmu mati keracunan.”
“Apa kamu sedang bercanda denganku?”
“….Bisa tidak kamu tenang selama dua detik saja?”
“Siapa suruh kamu begitu tampan?”
“……..”
“Kamu harus menjaga wajahmu dengan baik ya, kalau ada sedikit saja cacat maka aku tidak akan menginginkanmu lagi.”
“……..”
Berdiri di samping tempat tidur, di dalam benak Zhou Xiao ada dua suara yang sedang berdebat.
“Apa kamu benar-benar ingin mendengarkan penjelasannya? Kamu bukannya tidak tahu seberapa meyakinkannya dia ketika berbicara.”
“Tapi kalau tidak mau mendengarkannya, apa harus terus bersembunyi seperti ini?”
“Setelah kamu mendengarkannya, apa kamu akan memaafkannya?”
“Belum tentu.”
“Kamu sebenarnya memang sudah ingin memaafkannya. Apa kamu lupa saat kamu menangis histeris di bandara dan memintanya untuk tidak pergi, dia berjalan pergi tanpa menengok ke belakang?”
“Tapi, mungkin saat itu dia juga punya kesulitannya sendiri.”
“Kesulitan? Kamu kira kamu sedang syuting film drama, apa kamu mengharapkan dia sedang terkena sakit kanker dan harus pergi ke luar negeri untuk berobat?”
“Jangan-jangan memang benar seperti itu.”
“Oke, lalu bagaimana dengan Jia Yichun yang menunggu pesawat bersamanya?”
Busur panah tertarik, anak panah terlempar dan menancap tepat di tengah-tengah hatinya.
Zhou Xiao menatap wajahnya yang tertidur, tiba-tiba merasa sangat marah. Dia membungkuk dan mencubit pipinya dengan keras, “Cepat bangun.”