The Sweet Love Story - Chapter 3
“Hmm…” Zhao Fanzhou bangkit dan duduk di tempat tidur, sedikit mengerutkan alisnya, setengah menyipit dan rambutnya berantakan. Kalau saja emosi Zhou Xiao belum sampai ke ubun-ubun, dia benar-benar ingin membelai kepala Zhao Fanzhou dan mengatakan bahwa dia sangat imut.
“Bukankah kamu bilang ingin menjelaskan semuanya? Katakan saja sekarang, begitu kamu selesai bicara aku akan pulang.”
Zhao Fanzhou yang masih bingung tiba-tiba terbangun, “Kita tidak putus.”
“Tuan Muda, kamu benar-benar sangat suka bercanda. Kita sudah putus selama delapan bulan tiga belas hari.”
“Dari mana kamu mendapatkan angka itu?”
“Hah? Em… cuma asal bicara.” Wajahnya memerah, harusnya sejak awal dia tidak usah berbicara omong kosong. Masih berpikir kalau menyebutkan angka-angka spesifik akan terdengar lebih meyakinkan.
“Aku tidak pernah berkata kalau aku ingin putus.” Sebuah senyum terukir di wajah Zhao Fanzhou.
Begitu Zhou Xiao melihat senyumannya, emosinya naik kembali, “Kamu memang tidak mengatakannya, kamu hanya pergi tiba-tiba dengan seorang gadis selama setengah tahun tanpa mengatakan apa pun.”
Zhao Fanzhou menstabilkan tubuhnya dan duduk di atas ranjang, mengulurkan tangan untuk menarik Zhou Xiao mendekat tapi gadis itu menghindar.
“Yichun itu tetanggaku, kamu tahu itu.”
“Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu kamu pergi ke negara mana, tidak tahu kamu kesana untuk apa, tidak tahu kenapa kamu pergi bersamanya, tidak tahu kapan kamu pulang, tidak tahu kamu akan pulang atau tidak, tidak tahu kenapa kamu bahkan tidak mengatakan apa-apa padaku…” Zhou Xiao mengira dirinya tidak akan menangis, mengira air matanya telah mengalir sampai habis di hari itu.
“Maafkan aku.” Zhao Fanzhou turun dari tempat tidur dan memeluknya dengan erat, “Maafkan aku.”
Zhou Xiao berusaha melepaskan diri dari pelukannya, tapi dia tidak bisa bergerak. Sepertinya dia hanya bisa memukulnya! Kalau saja dia tahu akan ada hari ini, seharusnya waktu itu dia bergabung dengan Klub Wushu. Jadi ketika ada kejadian seperti ini, dia bisa memukul orang untuk melindungi dirinya sendiri.
“Jelaskan padaku, coba yakinkan aku.” Zhou Xiao mulai merasa lelah setelah menangis, kepalanya terkubur dalam pelukan Zhao Fanzhou dan berkata dengan suara rendah.
“Aku pergi ke Kanada untuk melihat keadaan nenekku. Dia tiba-tiba terkena stroke. Aku ingin menemaninya melewati masa-masa terakhir dalam hidupnya.”
“Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya kepadaku?”
“Karena aku pergi ke Kanada untuk bertunangan.”
“Apa???” Dia mengangkat kepalanya.
“Dengarkan aku sampai selesai,” Dia menekan kepala Zhou Xiao kembali ke dadanya, “kamu tahu kan kalau Yichun dan aku tumbuh dewasa bersama, nenek selalu sangat menyukainya. Dia selalu mengatakan kalau dia ingin Yichun menjadi istriku. Setelah mengidap penyakit ini, kesadaran nenek semakin lama semakin menurun. Tapi, dia terus memaksa kami untuk menikah. Jadi, papaku menyuruhku dan Yichun untuk pergi kesana, berpura-pura tunangan dan agar membuat nenek merasa tenang. Ini juga salah satu cara untuk membuat nenek merasa bahagia dan bersemangat, siapa tahu bisa sedikit membantu dalam proses penyembuhannya. Kami menemani nenek selama kurang lebih dua bulan. Begitu nenek meninggal, aku memutuskan pertunangan dengan Yichun. Selesai melakukan upacara pemakaman, aku langsung pulang.”
Suasana yang terlalu tenang membuat Zhao Fanzhou merasa cemas, “Apa kamu percaya padaku?”
Kepala yang berada di dadanya, sedikit mengangguk tanda mengiyakan.
“Kalau begitu kamu…..” Zhao Fanzhou menundukkan kepala dan melepaskan pelukannya, ingin melihat ekspresi Zhou Xiao.
“Kamu pasti sangat sedih, kamu pernah cerita kalau kamu dibesarkan oleh nenekmu.” Zhou Xiao mendongak, suaranya agak serak, sepertinya tadi dia menangis terlalu lama.
Zhao Fanzhou bisa merasakan bahwa tangan Zhou Xiao memeluk pinggangnya.
“Hmm.” Zhao Fanzhou meletakkan kepalanya di pundak Zhou Xiao, wangi yang sudah sangat dia kenal, rasanya begitu hangat.
Sepuluh menit kemudian.
“Baiklah, sudah saatnya untuk hitung-hitungan.” Zhou Xiao melepaskan diri dari pelukannya dan menyilangkan kedua tangannya di dada. “kenapa tidak mengatakan yang sejujurnya padaku?”
“Aku takut kalau kamu tahu, kamu akan berpikiran yang tidak-tidak terhadapku. Lagipula, saat itu aku tidak tahu harus bertunangan berapa lama dengan Yichun.”
“Kamu kira kalau kamu pergi dengannya begitu saja, aku tidak akan berpikiran yang tidak-tidak?” Ah, Tuan Muda Zhao, otakmu memang rusak.
“Nenek mendadak terkena stroke, aku tidak punya terlalu banyak waktu untuk mempertimbangkannya. Maafkan aku.”
“Lalu kenapa kamu tidak menghubungiku?”
“Kamu mengganti nomor ponselmu, selain itu kamu juga pindah asrama.” Benar juga, hari itu ketika pulang dari Bandara, di sepanjang jalan Zhou Xiao seakan kehilangan jiwanya dan meninggalkan ponselnya di dalam taksi.
“Kamu kan bisa menghubungiku melalui orang lain.”
“Aku sudah mencobanya, kamu menolak siapa pun yang mencoba menyebutkan namaku di hadapanmu. Selain itu, aku sibuk menjaga nenek dan sibuk dengan pertunangan itu, kepalaku hampir pecah. Aku juga tidak ingin orang lain tahu tentang pertunanganku dengan Yichun.”
Benar kan, dia memang sangat pintar menyakinkan orang.
“Tapi aku masih sangat marah*.” Lupakan saja, anggap saja tidak pernah terjadi.
“Aku juga sangat marah*.” katanya sambil tersenyum.
“Apa hakmu untuk marah*?”
“Seluruh badanku terasa panas*.” Bagus — setengah tahun tidak bertemu, ada orang yang sudah semakin pintar bermain kata-kata mesum.
“Bagaimana kalau kita sama-sama memadamkan api?*” Ingin bermain kan? Kalau ingin bermain, aku akan melayanimu.
Dia tersenyum dan mendekat, benar-benar ada kilatan api* di matanya. Detak jantung Zhou Xiao bertambah cepat, “Ah! Itu… langit sudah hampir gelap, aku harus segera pulang.”
Ingin melarikan diri ya? Zhao Fanzhou menahannya, dan semakin mendekatkan tubuhnya. Zhou Xiao memelototinya, “Itu…. aku sangat lapar, bagaimana kalau kita pergi makan bersama?”
“Oke.” dia pun semakin mendekat…..”Aaaa……….” Zhou Xiao berteriak.
*(T/N: Dalam bahasa China, api (火) itu pengertiannya bisa banyak. Bisa marah, bisa demam, bisa bergairah/nafsu, bisa panas, bisa juga hal yang sangat penting. Mereka di atas itu sedang bermain kata-kata, jadi kayak Zhou Xiao bilang dia sedang marah, terus si Zhao Fanzhou bilang dia badannya juga panas, pas dia liat di matanya ada api (nafsu gitu). Tapi, di dalam Novelnya cuma menggunakan kata ‘api’ (火) saja)
Zhao Fanzhou berhenti, terlihat tak berdaya, “Kenapa kamu teriak?”
“Sudah lama tidak bertemu denganmu, rasanya tidak akrab, kamu jangan terlalu dekat.” Kemudian orang itu memelintir pakaiannya dan wajahnya seakan teraniaya.
“Tidak akrab?”
Pria ini… kenapa meliriknya seperti itu?
Zhao Fanzhou menggandeng tangannya dan berjalan ke arah pintu, “Mau ke mana?”
“Hah?”
“Mau makan di mana?”
“Oh, ayo makan ayam suwir.” sejak tahun kedua Zhou Xiao berkuliah, dia sangat suka makan ayam suwir di depan gerbang kampus. Sejak saat itu, dia selalu makan di restoran itu dan memesan menu itu.
Zhao Fanzhou diam-diam menghela napas, untunglah dia masih suka makan ayam suwir. Dia sudah berada di luar negeri selama enam bulan dan tidak menghubunginya sama sekali. Kemurahan hati Zhou Xiao-lah yang menjadi taruhannya.
Dia memandangi Zhou Xiao yang sedang makan dengan tenang, dia selalu sangat berkonsentrasi ketika makan, tidak pernah melihat ke sekelilingnya. Sangat berbeda dengan sikapnya yang biasa. Kenapa selalu bisa membuatnya merasa bahwa makanan Zhou Xiao pesan jauh lebih enak daripada pesanannya sendiri? Sungguh tidak bisa dimengerti, badan yang sekecil ini tapi makannya begitu banyak. Masih selalu berkata kalau mau diet.
Kalau dilihat dari sudut pandang orang biasa, dia memang agak sedikit gemuk. Wajahnya bulat, matanya bulat, hidungnya juga bulat. Orang ini seperti digambar dengan menggunakan jangka. Setelah meninggalkannya selama setengah tahun, dia sepertinya agak kurusan. Sedikit kurus membuatnya kelihatan lebih cantik. Ketika masuk ke dalam restoran, ada seorang anak laki-laki di meja sebelah yang terus melirik ke arah gadis ini.
“Kamu kenapa?” Zhou Xiao menatapnya dengan aneh ketika dia memindahkan seporsi besar ayam suwir dari piringnya ke piring Zhou Xiao.
“Aku tidak nafsu makan, kamu harus makan lebih banyak.” Harus segera menaikkan berat badannya.
“Bukankah kamu sedang sakit? Kamu yang harusnya makan lebih banyak.” Zhou Xiao mengetuk mangkuk Zhao Fanzhou dengan sumpitnya, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak setuju.
Mata Zhao Fanzhou kembali menatap anak laki-laki di duduk di belakang Zhou Xiao, ternyata dia masih saja melirik ke arah Zhou Xiao.
“Kalau begitu, suapi aku.”
“Yang benar saja?” Dia tidak salah dengar, kan? Ini benar Zhao Fanzhou yang dingin dan datar itu, kan? Ternyata virus flu itu benar-benar mematikan, bisa mempengaruhi otak seseorang.
“Bukankah kamu bilang kamu merasa tidak akrab? Jadi sekarang kita harus sering-sering mengakrabkan diri.” Zhao Fanzhou meletakkan sumpitnya.
Yang dia katakan ada benarnya juga sih, Zhou Xiao ragu-ragu dan menyendok sesuap nasi ke dalam mulut Zhao Fanzhou. Zhao Fanzhou membuka mulut dan memakannya. Dia kembali menatap anak laki-laki di belakang Zhou Xiao, bagus, akhirnya dia mundur dengan teratur.
Zhou Xiao mengikuti arah matanya dan melihat ke belakangnya, “Apa yang sedang kamu lihat?”
“Tidak ada, ayo makan.” Dia kembali mengangkat sumpitnya. Zhou Xiao menjadi bingung, apa-apaan sih ini! Sekarang sudah bisa makan sendiri, terus yang tadi itu tangannya patah?