The Sweet Love Story - Chapter 36
Setelah keluar dari kedai kopi, Zhou Xiao duduk di taman berumput depan perpustakaan sambil memeluk lututnya. Ada kurang lebih sepuluh orang yang sedang berbaring di atas padang rumput itu. Di sebelah kirinya ada sepasang kekasih, yang lelaki sedang berbaring di paha sang perempuan, yang perempuan sedang memutar rambut lelaki itu dengan lembut. Di benak Zhou Xiao terbersit bayangan ketika induk orang utan sedang membantu anaknya untuk mencari kutu.
Ah, dia juga ingin seperti sepasang kekasih yang sedang mencari kutu ini. Bagaimanapun dia hanyalah seorang gadis sederhana, ingin menjalani hubungan percintaan yang sederhana. Tidak bertengkar karena hal-hal yang sepele, kalau beruntung bisa bersama sampai tua. Tapi, kenapa dia harus menjalani kisah percintaan yang begitu rumit? Memiliki seorang pacar yang bisa hilang sewaktu-waktu, bahkan dia masih punya dua orang mama. Mama yang satunya punya gangguan mental. Ditambah lagi dengan saingan cinta yang layaknya seekor singa betina. Kisah macam apa yang sedang dia jalani ini, sudah hampir sebanding dengan Drama Korea.
Permasalahan sudah sampai di titik ini, perpisahan memang tidak bisa dihindari. Zhou Xiao tidak mungkin berada di sampingnya, Zhao Fanzhou juga tidak mungkin kembali ke sampingnya. Untuk menjalani hubungan jarak jauh, dia tidak cukup percaya padanya. Dia juga takut Zhao Fanzhou akan terus-menerus mengulangi hal seperti ini. Lagipula, masih ada orang yang sangat penting dalam hidupnya, si “Adik Kecil Anggur Palsu” yang akan terbang ke sampingnya untuk menemaninya.
Begini juga baik, biarkan saja orang yang begitu penting dalamnya menjadi tambah penting. Menghadapi hal-hal untuk menuju pendewasaan diri ini, dengan mengatupkan giginya dia masih dapat melakukannya. Tapi, mengutuk mereka tidak akan bisa bahagia juga ada perlunya. Mereka telah membuatnya begitu sedih, untuk apa harus membiarkan mereka bahagia? Untuk apa mendoakan mereka? Zhou Xiao berharap mereka akan saling menyiksa, setiap hari akan saling menampar di rumah bagaikan sedang berolahraga.
Terkadang, setelah membuat sebuah keputusan, orang akan merasa jauh lebih tenang. Zhou Xiao menggambar dan mengutuk orang-orang yang membuatnya merasa sedih di atas rumput. Sayangnya dia tidak bisa menggambar karakter orang jahat. Kalau bisa menggambar karakter orang jahat yang sedang dipukul pasti akan jauh lebih baik.
Benar saja, satu jam kemudian Zhao Fanzhou kembali menelepon. Zhou Xiao sebenarnya sudah mempertimbangkannya dengan cukup matang, bertemu dengan baik-baik maka berpisah pun dengan baik pula. Dia berdiri dan menjawab telepon, tangannya sedikit bergetar ketika dia menekan tombol jawab. Meskipun hatinya sudah terbuka, tapi dia tetap saja masih merasa sedih.
“Halo.”
“Ini aku.” Tiba-tiba mendengar suaranya, Zhou Xiao masih memiliki keinginan untuk menangis.
“Hmm.” Zhou Xiao mencoba menahan air matanya dan berusaha mengeluarkan suku kata tanpa isak tangis.
“…” Jadi kedua orang gila itu melakukan panggilan internasional dan hanya terdiam.
“Aku telah memikirkan sebuah cara, aku… akan membantumu mencari sekolah. Apakah kamu mau sekolah di Amerika?” Pada akhirnya, Zhao Fanzhou yang pertama membuka pembicaraan.
“Apakah aku harus pergi ke luar negeri untuk belajar Bahasa Mandarin?” Idiot!
“Bukankah selama ini kamu selalu ingin belajar tentang periklanan? Aku sudah mendapatkan informasi tentang sebuah sekolah yang bagus.”
“Tidak usah, aku tidak punya uang.” Pergi ke luar negeri bukanlah menjadi seorang biarawan. Tinggal mencukur rambut dan membaca kitab suci saja sudah selesai.
“Aku ada.”
“Itu uangmu, bukan uangku.”
“Aku bisa meminjamkannya kepadamu terlebih dahulu.”
“Lalu, apakah kamu pernah berpikir tentang orang tuaku? Kamu harus ke luar negeri untuk menjaga mamamu, jadi aku pun harus menemanimu ke luar negeri? Bagaimana dengan keluargaku?” Berbicara sampai sini, Zhou Xiao sangat marah. Orang ini sebelum berangkat ke luar negeri masih datang ke rumahnya untuk memprovokasi orang rumahnya. Entah harus bagaimana menjelaskan kepada orang tuanya kalau Zhao Fanzhou tiba-tiba menghilang? Menyebalkan.
“Maaf, tapi aku bisa membantumu untuk menjelaskannya kepada keluargamu.”
“Tidak usah, aku tidak akan pergi.”
“Kalau begitu aku yang akan kembali ke Tiongkok.”
“Jika kamu berencana kembali untukku, lebih baik tidak usah. Saat kamu pergi, saat aku minta beberapa menit waktumu di Bandara saja kamu tidak bersedia. Jadi, tidak perlu kamu kembali untukku.”
“Bisa tidak kamu jangan seperti ini?”
Ketika dia mendengar Zhao Fanzhou berbicara dengan suara yang rendah, hidungnya terasa sakit, lalu dia menangis: “Kita putus saja ya?”
“Tidak, aku tidak ingin putus.” Suaranya terdengar sedikit terisak disertai dengan ketidakberdayaan seperti seorang anak kecil. “Aku pasti akan memikirkan jalan keluarnya, bisakah kita tidak putus?”
Zhou Xiao berjongkok, menutupi mulutnya. Berbicara terputus-putus sambil menangis: “Kamu…. jangan begini.” Di sisi benua yang lain, Zhao Fanzhou sedang bersandar pada pintu kaca di bilik telepon. Perlahan-lahan tubuhnya mulai merosot dan sampai dia berjongkok di lantai dengan mata yang semakin lama semakin memerah. Kenapa harus seperti ini? Apakah satu kesalahan membuat langkah kedepannya semakin salah?
“Aku sudah tidak tahan, aku tidak tahu harus menunggumu sampai kapan. Sekalipun aku berhasil menunggumu, aku juga tidak tahu kapan kamu akan pergi lagi… Aku tidak ingin melewati hari-hari seperti ini, kita putus saja.” Zhou Xiao berbicara sambil menangis membuat Zhao Fanzhou merasa sakit hati, lagi-lagi dia membuat Zhou Xiao merasa sedih.
“Aku pasti akan segera kembali. Tunggu sampai keadaannya sudah lebih membaik, aku pasti akan segera kembali. Setelah itu kita tidak akan terpisahkan lagi. Bisakah kamu menungguku?” Zhao Fanzhou tidak pernah menyangka dia akan memohon seperti ini kepada Zhou Xiao. Terkadang di hadapan cinta, bahkan harga diri pun bisa dikesampingkan.
“Aku tidak akan menunggu lagi. Yang aku takutkan bukan menghadapi penantian, yang aku takutkan adalah ketidakpercayaanmu padaku. Ketika kamu memutuskan untuk pergi tanpa kabar dan tanpa menoleh kepadaku, aku terus berpikir, sebenarnya kesalahan apa yang telah aku perbuat sampai aku pantas diperlakukan seperti ini? Aku sangat lelah…..”
“Maaf… Maafkan aku. Tunggu aku, bisakah kamu menungguku?” Zhao Fanzhou hanya mampu mengucapkan beberapa kata ini secara berulang-ulang.
Zhou Xiao menangis sampai orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikannya. Bahkan pria yang sedang berbaring di paha pacarnya juga sudah terduduk dan berpura-pura sedang mengobrol dengan pacarnya sambil diam-diam meliriknya. Zhou Xiao balas meliriknya dengan wajah berurai air mata, mau lihat apa? Tidak pernah melihat orang putus cinta? Cepat atau lambat kalian juga pasti akan putus!
Zhao Fanzhou berulang kali meminta Zhou Xiao untuk menunggunya dari seberang sana. Zhou Xiao merasa marah, tapi dia juga sangat sedih. Dia memang berhenti menangis, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sangatlah tidak enak didengar: “Zhao Fanzhou, kenapa tidak dari awal kamu minta aku untuk menunggumu? Seandainya dari sebelum kamu pergi, kamu memintaku untuk menunggumu. Walaupun sampai samudera mengering pun aku pasti akan tetap menunggu kepulanganmu. Seandainya aku tidak menunggumu, aku pastilah seorang wanita yang kejam, tidak bermoral dan tidak menjaga komitmen… Tapi kamu harus menunggu aku sampai sedih dulu, baru jujur padaku, lalu memintaku untuk menunggumu? Di dalam hatimu, seberapa bodoh diriku ini? Begitu bodohnya sampai kamu kira aku akan terus-menerus menunggu kepulanganmu? Asal kau tahu, tidak ada orang yang mempermainkan seseorang sampai tahap yang kamu lakukan ini. Aku sudah tidak ingin ikut dalam permainan ini lagi.” Setelah selesai mengatakannya, Zhou Xiao merasa sangat nyaman. Awalnya berniat untuk berpisah secara baik-baik, tapi kelihatannya sekarang semuanya sudah tidak mungkin.
Dari seberang sana hanya hening selama beberapa menit. Ah, ini sambungan telepon internasional, setiap menit yang berlalu sama dengan membakar uang.
“Apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkanku? Bisa tolong katakan kepadaku?” Nada suaranya terdengar melakukan perjuangan terakhir sebelum menghadapi kematian.
“Kamu tidak bisa terus membuatku berada dalam lingkaran setan seperti ini. Menyakitiku kemudian memintaku untuk memaafkanmu. Aku benar-benar tidak sanggup.” Zhou Xiao menghela nafas dan melanjutkan, “Aku tahu kamu memiliki kesulitanmu sendiri, aku sama sekali tidak membencimu. Kalau boleh, kita masih bisa berteman kan?”
“…Maafkan aku. Jika dengan begini, kamu bisa lebih merasa bahagia, kita putus saja. Kalau kita menjadi teman, kita masih bisa tetap saling berhubungan kan?” Zhao Fanzhou di seberang sana juga kelihatannya sudah lebih tenang.
“Hmm. Kalau begitu… Bye bye?” Benar-benar sudah sampai ke tahap ini, kenapa masih ada keraguan dalam hatinya?
“Jaga dirimu baik-baik… Bye.” Zhao Fanzhou benar-benar memutus sambungan telepon. Mereka benar-benar telah putus,end of the story? Dari telepon terdengar suara ‘tut… tut…’, Zhou Xiao tidak bisa menahan dirinya untuk kembali menangis.
Ketika Zhou Xiao melihat ke sekelilingnya, dia melihat semua orang sedang sibuk melakukan aktivitasnya sendiri. Tapi, telinga mereka sama panjangnya dengan terompet, menunggu reaksi Zhou Xiao yang sedang begitu rapuh. Zhou Xiao benar-benar rapuh sampai menangis lagi, kedua tangannya memeluk lututnya dan menguburkan kepalanya di antara kedua lututnya. Dia menangis terus-menerus, siapa yang ingin lihat ya silakan saja melihatnya. Apakah dia yang sedang patah hati juga dilarang untuk menangis?
Di sisi benua yang lain.
Zhao Fanzhou berjalan keluar dari bilik telepon, langkahnya begitu tenang ketika berjalan kembali ke Rumah Sakit. Dia yang sekarang masih belum cukup dewasa dan masih kurang bertanggung jawab. Tapi dia akan berusaha dengan keras untuk menjadi orang yang memenuhi syarat untuk menjaganya di masa depan. Seandainya kembali menjadi teman baiknya adalah satu-satunya cara untuk tetap memiliki tempat di hatinya, dia hanya bisa menerimanya. Satu hal yang dipastikan oleh Zhao Fanzhou, dia dan Zhou Xiao, tidak akan selamanya hanya menjadi teman.