The Sweet Love Story - Chapter 37
Hari pertama putus, tidak merasakan apa-apa.
Zhou Xiao teringat dia pernah menonton drama TV tante-tante yang berjudul dalam apa mimpi apa itu*, di dalamnya ada sebuah kata-kata yang membuatnya merasa merinding: “Hari pertama setelah kepergiannya, merindukannya; Hari kedua setelah kepergiannya, merindukannya, merindukannya; Hari ketiga setelah kepergiannya, merindukannya, merindukannya, merindukannya….” Pada saat itu, dia tidak tahan lalu dia mengganti siarannya. Tapi, dia sudah bisa memperkirakannya, hari kesekian setelah kepergiannya, maka akan menjadi berapa kali dia merindukannya. Tante itu adalah penguasa di dunia romansa, seharusnya dia menyuarakan pendapat dari masyarakat umum, tapi kenapa begitu berbeda dengan suasana hatinya sekarang? Dia tidak merasakan apa-apa, tetap masuk ke kelas, tetap sarapan dan tetap bisa tidur. Oh, ada lagi, dia menjadi sangat ingin makan, setiap dia dalam waktu senggang tidak akan bisa menahan dirinya untuk makan camilan. Ah, kalau terus-menerus makan dengan cara seperti ini, mungkin biaya hidupnya sebulan akan habis dalam satu minggu. Tidak tahu apa patah hati bisa di-reimburse kepada papa. Anehnya, dia sama sekali tidak merindukannya.
*(T/N: Drama Kabut Cinta (Romance in the Rain, 情深深雨濛濛 (qing shen shen yu meng meng)
Hari kedua putus, jangan ajak aku ke KTV lagi.
Pada hari kedua, Zhou Xiao mengumumkan secara resmi kepada teman-temannya bahwa dia telah putus dengan Zhao Fanzhou. Teman-teman sekamarnya berbaik hati mengajaknya pergi ke KTV. Dia menyadari sepertinya semua lagu memiliki satu atau dua bait lirik yang seakan memang dibuat untuknya. Baru saja Ketua Asrama menyanyikan lagu dari Maggie Chiang yang berjudul ‘Happiness Under Tokyo Tower’: “Hanya cinta yang berakhir, kamu telah pergi ke tempat yang jauh… goodbye pohon besar di sisiku, aku rasa kamu lupa telah mengatakan untuk hanya menjagaku seorang. Aku bisa menikmati hidup sendirian, tapi tidak bisa mengakui kesepianku. Diam-diam tetap tinggal di hari kemarin, berjalan sendirian, di jalan yang pernah kita lewati berdua….”
Tao Ling menyanyikan ‘Understanding’ dari Winnie Hsin: “Ketika aku melihat pria yang sangat aku cintai, ternyata hanyalah sama seperti anak laki-laki yang tak berdaya… a, sebuah hubungan yang akhirnya berakhir…”
Xiao Lu menyanyikan ‘Alone’ dari Jolin Tsai: “Mengeluarkan foto-foto kita dari dalam tas… Hari ini berawan, hari ini adalah hari Minggu. Rencana satu-satunya hanyalah ingin bangun lebih siang. Lagi pula, aku tidak tahu bagaimana cara menghabiskan waktu. Pergi keluar atau tidak, tidak ada bedanya…..”
Zhou Xiao yang biasanya orang yang suka memonopoli mikrofon, hari ini hanya diam sambil mendengarkan mereka bernyanyi. Dia berpikir, di dalam dompetnya tidak ada foto mereka berdua, apa bisa diam-diam mengunduh fotonya dari internet? Dia berpikir lagi, seperti di dalam ponselnya ada fotonya yang sempat difoto secara diam-diam. Jadi, dia menunduk, mengeluarkan ponselnya dan mencari foto itu - Zhao Fanzhou sedang menunduk untuk membaca buku, dia memakai sweter berwarna krem, ada sedikit cahaya latar, tampak begitu tenang dan indah. Ah, sebaiknya tidak usah dihapus. Hanya memakai ponsel saja bisa terpotret dengan begitu bagus, simpan saja sebagai kenang-kenangan atas kemampuan fotografinya yang hebat.
Lagu terakhir dari Ketua Asrama adalah ‘It Turns Out That Love is So Hurt’ dari Gigi Leung, membuat Zhou Xiao curiga teman-temannya ini sengaja ingin membuatnya galau: “Mencari teman untuk berbincang, tapi kenyataannya, tidak cukup membantu. Mungkin karena telah terbiasa, terbiasa ada dirimu. Kamu yang tinggal dalam hatiku, sekarang yang tersisa hanyalah tempat yang kosong. Ternyata cinta begitu menyakitkan, jauh lebih sulit dari yang aku pikirkan….”
Pada akhirnya, mereka semua berjalan kembali ke asrama sambil menyenandungkan lagu. Xiao Lu tiba-tiba teringat tujuan awal mereka adalah untuk menghibur orang yang sedang patah hati, jadi dia bertanya pada Zhou Xiao: “Bagaimana? Suasana hatimu sudah lebih baik?” Zhou Xiao melirik mereka sekilas: “Sudah lebih baik.” Ah, kisah ini mengajarkan kalian, kalau patah hati sebaiknya jangan pergi ke KTV.
Hari ketiga putus, pertempuran antara akal sehat dan perasaan.
Ketika terbangun di pagi hari, Zhou Xiao menerima pesan teks dari Zhao Fanzhou yang dikirim olehnya tengah malam kemarin. Isinya sangat sederhana, hanya mengatakan kepadanya kalau dia telah mengganti nomor ponselnya. Kalau ada waktu luang, dapat menghubunginya melalui nomor itu. Dia terlihat sangat sopan dan asing.
Apa mereka benar-benar hanya teman? Hatinya sangat sedih sampai seluruh pori-pori dalam tubuhnya berteriak untuk meminta Zhao Fanzhou kembali padanya. Zhou Xiao menyimpan nomor barunya dan berjuang keras untuk tidak menekan tombol call.
Sepanjang hari Zhou Xiao merasa gelisah, dari waktu ke waktu dia memasukkan tangannya ke dalam kantongnya untuk menyentuh ponselnya. “Ini adalah salah satu tahap dari putusnya cinta, nantinya pasti akan lebih baik. Pasti akan lebih baik.” Setiap kali dia menyentuh ponselnya, dia akan mengatakan hal seperti ini kepada dirinya sendiri. Begitulah cara dia membohongi dirinya sendiri. Tuhan tahu, ini pertama kalinya dia patah hati. Bagaimana dia tahu tahap-tahap putus cinta!
Seminggu setelah putus, kebiasaan itu bagaikan sebuah penyakit, meresap dan menyusup sampai ke sumsum tulang.
Saat makan siang, Zhou Xiao tanpa sengaja memesan tumis daging dengan wortel. Setelah mengeluarkan wortel dari dalam piringnya, dia baru sadar kalau sudah tidak ada orang yang akan membantunya untuk makan wortel; Ketika sedang studi individu di malam hari, Zhou Xiao terbiasa untuk meletakkan sebuah buku di meja sebelahnya. Setelah dia menyelesaikan studi individunya, dia baru menyadari kalau tempat duduk di sebelahnya terus kosong sepanjang waktu. Sebenarnya dia sudah tidak perlu membantu siapapun lagi untuk mengambil tempat duduk. Pada saat itu dia baru sadar, dia sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Zhao Fanzhou; Ketika turun dari Asrama, dia sering melirik ke tempat biasa Zhao Fanzhou akan menunggunya; Ketika tidak bisa tidur di malam hari, selalu ingin menelepon Zhao Fanzhou untuk menggodanya sebentar; Setiap melewati kelas Zhao Fanzhou yang dulu, dia tidak bisa menahan diri untuk memperlambat langkah kakinya; Dia sering lupa memeriksa rute perjalanan ketika berpergian karena terbiasa mengikuti Zhao Fanzhou; Kebiasaannya menggunakan simbol ketika mengetik pesan teks, karena dia suka menggoda Zhao Fanzhou saat mengirimkan pesan teks…
Dua minggu setelah putus, tidak lagi berpura-pura.
Selama kurun waktu ini, jika ada satu hal yang dapat Zhou Xiao pelajari, tentulah menghadapi kenyataan. Dia tidak lagi memaksakan dirinya untuk mengenakan topeng dan menunjukkan ketidak peduliannya. Putus cinta ya putus cinta, pura-pura kuat tidak akan membuatnya bahagia. Oleh karena itu, dia mengakui dia sangat merindukan Zhao Fanzhou. Merindukan ekspresi tidak berdayanya; merindukan ekspresinya ketika seperti ingin memukulnya; merindukannya yang seringkali menaikkan alisnya dan seakan senyum atau tidak sambil menatapnya; merindukannya yang sering menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya dengan lembut; merindukan pesan teks darinya yang benar-benar pendek; merindukan tangannya yang melingkari pinggangnya, memeluknya dengan seluruh hangat tubuhnya…. sangat rindu, sangat rindu. Saking rindunya kadang rasanya ingin memukul dirinya sendiri sampai pingsan.
Satu bulan setelah putus, let it go, let it flow.
Waktu adalah hal yang terbaik, saking baiknya bahkan dapat menyembuhkan luka di tubuh seseorang. Zhou Xiao masih sangat merindukan Zhao Fanzhou, tapi dia sudah tidak terlalu sedih.
Zhou Xiao sudah sering menggunakan wajah memelas dan patah hatinya itu untuk menipu makanan dan minuman. Belakangan ini dia memiliki sebuah mantra yang sangat manjur: “Tapi, aku sedang patah hati.” Sebagai contoh:
“Xiao Lu, ayo temani aku pergi berbelanja.”
“Tidak ada waktu, aku harus pergi menemani pacarku.”
“Tapi, aku sedang patah hati.”
“Iya aku tahu, jadi mau belanja dimana?”
Contoh lainnya:
“Yasi, traktir aku makan.”
“Tidak punya uang.”
“Tapi, aku sedang patah hati.”
“Kamu memang kejam! Mau makan apa?”
Triknya dengan berpura-pura tersakiti untuk mendapatkan perhatian dari lawan sudah teruji oleh waktu, membuatnya merasa sangat nyaman. Mungkin ini bisa dianggap sebagai hal baik dari sebuah putus cinta. Statusnya bahkan hampir menyaingi perjanjian timbal-balik antar negara yang ditandatangani oleh Pemerintahan Qing. Tidak aneh orang biasanya berkata, ketika Tuhan menutup pintu, maka akan membukakan jendela untuknya.
Sepulangnya Zhou Xiao dan Cai Yasi dari makan malam yang besar, Cai Yasi bertanya dengan hati-hati: “Kamu baik-baik saja?”
Zhou Xiao minum sedikit bir, dia agak mabuk. Dia berkata dengan riang gembira: “Tentu saja baik, sangat baik.” Setelah mengatakannya, dia baru menyadari dia telah menghancurkan semuanya yang dia bangun atas dasar putus cinta, segera menambahkan: “Hanya saja, aku sedikit merindukannya.” Lalu memasang ekspresi seakan istri yang teraniaya, menatap kejauhan dengan pahit.
Cai Yasi mengangguk dengan ekspresi sedih: “Aku juga tidak tahu harus berkata apa, kamu jangan berpikir terlalu banyak.” Dia mengikuti Zhou Xiao menatap kejauhan dengan pahit. Membuat beberapa orang yang lewat menghentikan langkah mereka, mengikuti arah pandangan mereka. Berusaha menemukan hal yang luar biasa sehingga membuat dua orang ini begitu terpana.
“Sebaiknya aku pulang dulu, takut aku akan kehilangan kendali.” kata Zhou Xiao kepada Cai Yasi, sebenarnya dia takut dirinya tidak akan bisa menahan diri untuk tertawa.
Cai Yasi menjawab ‘hmm’, lalu berkata: “Cari aku kalau ada apa-apa, jangan berpikir terlalu banyak.” Sejujurnya kosakatanya untuk menghibur orang memang sangat sedikit. Selain ‘jangan berpikir terlalu banyak’, dia sudah tidak bisa memikirkan yang lain lagi. Tapi, Zhou Xiao masih merasa sangat terharu. Dia menjadi sedikit merasa bersalah karena penipuan yang baru saja dia lakukan, jadi dia berkata: “Tenang saja, aku tidak apa-apa. Lain kali, traktir aku makan lagi.” Dia sedang patah hati, merasa bersalah sedikit juga tidak ada salahnya.
Ketika berada di sudut tangga, dia melihat menoleh untuk melihat Cai Yasi. Dulu dia selalu harus melihat sekilas kepada Zhao Fanzhou yang mengantarnya pulang ke lantai bawah dari sudut tangga. Dia yang sedikit banyak minum alkohol, mengucek matanya dengan keras, ada beberapa detik dia mengira yang berdiri di bawah itu benar-benar Zhao Fanzhou. Dia memukul kepalanya dan naik ke atas tanpa menoleh.