The Sweet Love Story - Chapter 49
Cai Yasi mengantar Yuan Ruanruan dan Zhou Xiao sampai ke lantai bawah apartemennya. Yuan Ruanruan sudah naik terlebih dahulu, meninggalkan kedua orang yang enggan untuk berpisah itu.
Tidak tahu apa yang sedang terjadi pada teman kecil Cai Yasi ini, dia semakin mendekat dan terus mendekat. Angin yang bertiup ke arah Zhou Xiao membuat bau alkohol dari tubuh Cai Yasi tercium olehnya. Zhou Xiao mendorongnya dengan sekuat tenaga, “Aku peringatkan, kalau saja kamu berani menciumku dengan mulut bau alkohol seperti itu, siap-siap saja untuk mati.”
“Siapa yang mau menciummu, terlalu banyak berpikir.” Cai Yasi berdiri tegak, tatapannya tidak fokus, “Naiklah, aku pulang dulu.”.
Zhou Xiao melangkah naik dua langkah, menatap Cai Yasi yang masih berdiri di tempatnya. Dia sedang menghela nafas ke telapak tangannya dan mendekatkan tangan itu ke hidungnya untuk mencium. Zhou Xiao tersenyum dan berlari kembali ke hadapan Cai Yasi, “Yasi, tundukkan kepalamu.”
Cai Yasi mengikuti perintahnya dan menundukkan kepalanya, Zhou Xiao memberikan ciuman kilat di pipinya, “Lain kali kalau kamu sampai memikirkan ide yang aneh untuk membuatku kesal, coba saja kalau berani!”
Cai Yasi menyentuh pipinya, pipinya menjadi merah, tidak bisa mengatakan sepatah katapun.
“Sudah dengar belum?” Zhou Xiao berkacak pinggang dan berkata dengan galak.
“Sudah.” katanya dengan masih terpana.
“Itu baru anak baik, aku naik dulu. Bye.” Zhou Xiao mengelus kepala Cai Yasi, berbalik dan naik ke atas. Meninggalkan Cai Yasi yang terkekeh sambil menyentuh wajahnya yang sangat panas, cukup lama masih belum kembali ke kenyataan.
Di sudut jalan yang gelap, Zhao Fanzhou yang tidak bisa tidur dan berniat untuk berjalan ke apartemennya, hanya untuk melihat lampu kamarnya, juga terdiam di tempatnya. Cukup lama belum juga kembali ke kenyataan.
Zhou Xiao pergi tidur dengan hati senang, dia sama sekali tidak tahu, satu ciumannya telah membuat riak pada dua kolam.
Pada pukul tiga dini hari, Zhou Xiao masih tertidur di ranjang, terdengar bunyi bel yang keras. Mirip seperti alarm tengah malam saat masih di Universitas, dia yang masih berbaring di ranjang berusaha keras untuk menemukan ponselnya. Matanya tidak dapat terbuka, jadi dia hanya sembarangan menekan tombol jawab, “Halo?”
“Zhou Xiao, ini aku.”
“Kamu siapa?” Dia masih di alam mimpinya.
“Xie Yixing.”
“Oh, apa kabar? Selamat malam.” Dia mematikan teleponnya dan kembali tidur.
Lima menit kemudian.
Dering telepon yang menusuk telinga itu terdengar lagi, Zhou Xiao masih tertidur dengan posisi menggenggam ponsel di tangannya. Dibangunkan dua kali, dia mulai kesal. Dia berusaha membuka matanya yang seakan ada arus listrik di sana, Xie Yixing yang menelepon.
“Xie Yixing, sebaiknya kamu mengatakan hal yang mendesak!”
“Kalau mantan pacarmu keracunan alkohol itu termasuk hal mendesak atau tidak?”
“Apa?” Zhou Xiao akhirnya terbangun, menyalakan lampu kamarnya dengan terburu-buru.
“Zhao Fanzhou keracunan alkohol, sekarang telah dilarikan ke Rumah Sakit untuk tindakan dialisis peritoneal.”
*(T/N: Dialisis peritoneal adalah jenis dialisis yang menggunakan peritoneum di perut seseorang sebagai membran melalui mana cairan dan zat terlarut dipertukarkan dengan darah. Ini digunakan untuk menghilangkan kelebihan cairan, memperbaiki masalah elektrolit, dan menghilangkan racun.)
“Rumah sakit mana?” Dia sudah mulai berbicara di telepon sambil mengganti pakaiannya.
“Rumah sakit umum.”
“Aku segera ke sana.” Zhou Xiao buru-buru turun ke lantai bawah.
Tinggal di kota besar itu ada keuntungannya — tidak peduli semalam apapun itu, pasti selalu ada kendaraan yang disebut mobil. Dengan cepat dia naik ke dalam sebuah taksi, tidak tahu karena dinginnya cuaca atau apa, yang pasti tangannya terasa gemetaran. Dialisis Peritoneal? Sebenarnya separah apa dia?
Setelah memasuki rumah sakit, Zhou Xiao menemukan Xie Yixing yang sedang mengurus prosedur rumah sakit. “Yixing, bagaimana keadaannya?” Suaranya sedikit bergetar.
Xie Yixing berbalik, “Harusnya sekarang sudah tidak masalah, sedang di infus, tapi dia belum sadar.”
Saraf Zhou Xiao yang sedari tadi begitu ketat terasa mulai mengendur, kakinya sedikit lemas, dia bersandar pada dinding rumah sakit. Setelah selesai mengurus prosedur rumah sakit, Xie Yixing menghampirinya dan berkata, “Ayo, jalan.” Zhou Xiao mengikuti di belakangnya dengan tenang, memasuki sebuah ruang rawat inap.
Zhao Fanzhou sedang berbaring di ranjang rumah sakit, matanya tertutup rapat, keningnya berkerut. Tercium aroma kuat dari desinfektan rumah sakit dan wajahnya yang seputih kertas membuat jantung Zhou Xiao berdenyut. “Kenapa bisa seperti ini?” Zhou Xiao tidak berani melihat wajah Zhao Fanzhou yang pucat, dia berbalik bertanya pada Xie Yixing.
“Minum alkohol dalam jumlah banyak dengan perut kosong pada waktu yang sangat singkat.”
“Kenapa harus minum begitu banyak?”
“Mengalami tekanan.”
“Tekanan apa?”
“Tidak tahu, dia tidak mengatakannya. Dia cuma bilang dia sempat pergi ke lantai bawah apartemenmu.”
“Untuk apa ke lantai bawah apartemenku?” Zhou Xiao sedikit banyak mulai mengerti inti permasalahannya.
“Bagaimana mungkin aku bisa tahu? Mungkin tidak bisa tidur… ah, perasaan cinta itu bagaikan benda dan selalu ada benda yang mengalahkan benda lainnya. Seperti sedang bermain suit gunting batu kertas.” kata Xie Yixing datar.
Zhou Xiao menatapnya dengan tajam, “Bicaramu begitu sinis, selalu ada benda yang mengalahkan benda lain. Aku ingin lihat bagaimana adik kecil Wu Xin-mu itu akan mencampakkanmu!”
“Ah, ini serangan pribadi.”
“Dia minum begitu banyak, kenapa kamu tidak menghentikannya.” Zhou Xiao tidak sengaja melihat wajah pucat Zhao Fanzhou, tidak bisa menahan diri untuk mengeluh.
“Sedih ya? Kamu begitu baik terhadap mantan pacarmu, hati-hati pacarmu yang sekarang akan membunuhmu.”
“Sakit jiwa.” Zhou Xiao terlalu malas untuk meladeninya.
Xie Yixing melihat jam tangannya, “Sudah jam empat, tinggallah untuk menjaganya. Aku besok ada rapat yang sangat penting, aku pergi dulu.”
“Tidak bisa, aku besok masih harus kerja. Lagipula kamu juga sudah bilang, kalau pacarku tahu dia akan membunuhku.” Zhou Xiao tidak berani.
“Ambillah cuti satu hari, aku besok benar-benar ada rapat yang sangat penting. Apa kamu tidak pernah mendengar tentang kesempatan bersama selama 10 tahun telah digantikan dengan satu kesempatan ini? Anggap saja kamu sedang mengenang persahabatan kalian yang dulu. Tentang pacarmu itu, kalau kamu tidak mengatakannya juga dia tidak akan tahu kan?”
“Kamu cari saja solusinya sendiri, aku tidak bisa melakukannya.”
“Kalau begitu aku lebih tidak punya pilihan lagi, dia baru saja kembali dari luar negeri. Orang yang masih berhubungan dengannya hanya kita, siapa yang tidak punya urusan lain dan rela datang menjaganya?” Xie Yixing berkata dengan acuh tak acuh, “Ayo jalan, kita pulang dulu. Aku akan mengantarmu.”
Zhou Xiao mengikutinya berjalan beberapa langkah, tidak dapat menahan diri untuk melirik dua kali ke arah Zhao Fanzhou yang berbaring di atas ranjang. Wajah pucatnya tampak terintegrasi dengan warna putih yang dominan di rumah sakit.
“Sudahlah, kamu pulang saja. Aku akan menjaganya.” Zhou Xiao menghentakkan kakinya, begitu marah dengan kelemahan hatinya.
“Daritadi dong, untuk apa membuang-buang waktu yang tidak perlu? Kalau merasa tidak tega, tinggallah untuk menjaganya.” Xie Yixing memutar kunci di tangannya dan berkata, “Kalau begitu aku pulang dulu. Silakan lakukan apapun yang kamu inginkan terhadapnya, tidak usah sungkan.”
“Pergi.” kata Zhou Xiao kesal.
Ketika pintu kamar tertutup, di ruangan itu hanya tersisa mereka berdua. Begitu tenangnya di ruangan itu sampai Zhou Xiao bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dengan lembut dia memindahkan sebuah kursi ke sisi ranjang dan duduk di sana, tidak bisa menahan diri untuk menatapnya. Sejak mereka kembali bertemu, dia tidak pernah bisa memperhatikannya dengan baik. Sepertinya dia sudah agak berbeda dengan yang ada dalam ingatannya, tentang apa yang berbeda, dia sudah tidak mampu mengatakannya. Seperti ada perasaan asing namun juga akrab. Dia tidak bisa menahan diri untuk menyentuh alis Zhao Fanzhou, menenangkan kerutan di antara alis itu dan mendesah.
Ketika Zhao Fanzhou terbangun, dia melihat sebuah lukisan yang sangat indah. Zhou Xiao tertidur dengan bersandar pada lengannya di pinggir tempat tidur, tangannya berada di atas selimutnya, rambut hitamnya berada di atas selimutnya yang putih dan poni yang sedikit menutupi alisnya. Daging di pipinya yang tertekan oleh tangannya berbentuk lengkungan yang indah, mulutnya sedikit terbuka, berwarna merah muda. Rasanya dia sangat ingin menyentuhnya, untuk memastikan dia nyata atau tidak. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh bibirnya dengan lembut. Dia sedikit bergerak, Zhao Fanzhou segera menarik tangannya kembali dan memejamkan matanya, mengintip reaksinya. Tapi Zhou Xiao hanya menggosokkan wajahnya pada selimut dan kembali tertidur.
Zhao Fanzhou tidak tahu sudah berapa lama menatapnya, semakin menatapnya, hatinya semakin melembut. Ingin rasanya menghentikan waktu pada detik ini.
Cahaya matahari pagi perlahan-lahan menyinari kamar itu, Zhao Fanzhou rasanya ingin menurunkan matahari itu, tapi dia tidak berani bergerak untuk menarik tirai jendela. Dia takut akan membangunkan seseorang.
Yang kemudian membangunkan gadis itu malah dokter dan perawat yang idiot. Zhou Xiao mengucek matanya dan berdiri, menatap dokter dan perawat itu.
“Nona, jagalah pacarmu dengan baik tidak ada orang yang minum alkohol seperti dia.” kata dokter itu padanya sambil tersenyum.
“Oh.” Dia yang baru bangun tidur itu biasanya sangat patuh, dia bahkan tidak mendengarkan dengan jelas apa yang dokter itu katakan.
“Pacarmu sangat baik terhadapmu, kalau saja kamu itu pacarku dan minum sampai seperti itu, aku akan membiarkan dia mati saja.” kata Nona Perawat sambil bercanda kepada Zhao Fanzhou. Zhao Fanzhou tersenyum dan mengangguk.
Pada detik ini, Zhou Xiao mulai sadar. Kenapa rasanya staf medis di rumah sakit ini seperti mantan paparazzi ya. Begitu suka bergosip? Dia membuka mulutnya untuk memberikan penjelasan, tapi juga tidak tahu harus menjelaskan dari mana, dia pun mengabaikannya.
Setelah dokter dan perawat itu berlalu, Zhou Xiao merapikan rambutnya yang berantakan dengan kedua tangannya dan bertanya pada Zhao Fanzhou, “Bagaimana keadaanmu? Masih tidak nyaman?”
Zhao Fanzhou menggelengkan kepalanya, begitu menggeleng rasanya seperti ditusuk jarum. Dengan cepat dia menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang. Zhou Xiao menatapnya, tidak bisa menahan diri untuk memarahinya, “Mampus kamu, kamu gila ya? Minum begitu banyak.”
“Lain kali tidak lagi.” katanya dengan suara serak.
“Masih ada lain kali? Lain kali aku akan membiarkanmu mati.”
“Hmm.” Zhao Fanzhou cukup cerdas untuk tidak menyinggung Zhou Xiao, takut Zhou Xiao akan mengabaikannya.
Zhou Xiao berjalan menuju pintu, Zhao Fanzhou terkejut, “Kamu mau kemana?”
Zhou Xiao berbalik untuk melihatnya, wajahnya terlihat menyedihkan. Seperti anjing kecil yang ditinggal oleh majikannya. Dia menggoyangkan ponsel di tangannya, “Menelepon ke kantor untuk minta cuti dan beli sarapan, kamu bisa makan kan?”
“Bisa.” Dia mengangguk dengan kuat.
“Hmm.” Zhou Xiao mengangguk dan keluar untuk menelepon.
Pertama-tama dia menelepon ke kantor untuk minta cuti, manajernya mengatakan segudang alasan yang tidak masuk akal dengan terpaksa mengizinkannya. Dia berdiri cukup lama di depan kafetaria rumah sakit, barulah memutuskan untuk menelepon Cai Yasi, dia takut Cai Yasi akan mengetahui hal ini dari orang lain dan informasinya pasti akan menjadi berbeda.
“Halo, sudah makan pagi belum?” Suara Cai Yasi terdengar bersemangat.
“Belum.” Zhou Xiao masih memikirkan cara penyampaiannya, “Itu… aku sedang di rumah sakit.”
“Bagaimana bisa begitu? Apa yang terjadi padamu?” Suaranya terdengar cemas.
“Bukan aku, Zhao Fanzhou, dia keracunan alkohol,” katanya.
“… lalu?” Tidak terdengar Cai Yasi merasa marah atau tidak.
“Aku ingin bilang kalau aku akan menjaganya di sini sebentar. Untuk saat ini tidak ada orang lain yang bisa menjaganya….. Apa boleh?”
“Kamu sedang berada di rumah sakit mana?”
“Rumah Sakit Umum.” Zhou Xiao menjawab setiap pertanyaannya, sikapnya sangat baik.
“Memangnya kamu tidak pergi bekerja?” Suaranya mulai terdengar marah.
“Aku baru saja minta cuti.”
“Kamu bahkan sudah minta cuti, untuk apa bertanya kepadaku?” Suaranya tiba-tiba meningkat satu oktaf, kemudian dia membanting telepon. Ketika Zhou Xiao berusaha meneleponnya lagi, ponselnya sudah dimatikan.
Zhou Xiao juga sedikit merasa kesal, meskipun dia salah, tapi dia sudah cukup mengalah kan? Malas untuk mempedulikannya. Dia membeli sarapan dan kembali ke ruang rawat inap, dia bahkan sengaja antre demi membelikan bubur untuk Zhao Fanzhou.
“Lama sekali kamu pergi.” Zhao Fanzhou melihat Zhou Xiao mendorong pintu untuk masuk, sangat tak berdaya. Zhou Xiao meliriknya dengan tajam dan dia menutup mulutnya dengan patuh.
“Sarapan,” Dia menyerahkan semangkuk bubur.
“Aku hanya punya dua tangan.” Dia menerimanya dengan satu tangan dan tangan satunya lagi sedang diinfus, menatapnya tak berdaya.
Zhou Xiao mengambil kembali bubur itu, tahu begini lebih baik belikan kue saja untuknya.
Ketika Cai Yasi membuka pintu, pemandangan inilah yang dia lihat. Zhou Xiao meniup bubur itu, kemudian mengantarkannya ke depan bibir Zhao Fanzhou, Zhao Fanzhou membuka mulutnya dan memakannya. Wajah kedua orang itu terlihat merah, suasana begitu manis dan mesra.
Begitu pintu terbuka, kedua orang itu menoleh ke arah pintu. Wajah mereka terlihat bersalah.
“Zhou Xiao, keluar!” Setelah meninggalkan kata-kata itu, Cai Yasi membanting pintu dan keluar.
Zhou Xiao meletakkan mangkuk itu pada sebuah meja kecil disamping ranjang, sedikit tak berdaya. Emosi orang itu semakin hari semakin besar, “Aku keluar sebentar,” katanya pada Zhao Fanzhou, Zhao Fanzhou hanya mengangguk dengan tanpa ekspresi.
Terdengar pertengkaran sengit di luar pintu, “Tidak merasa kalau kamu sudah keterlaluan?” “Kamu ingin putus denganku lalu kembali bersama dia kan?” “Wanita macam apa kamu ini?” “Kalau saja aku tidak muncul, kalian berencana untuk bermesraan sampai tahap apa?” “Sebenarnya ingin menyakitiku sampai bagaimana baru kamu merasa puas?”…. Suara Cai Yasi sangat emosional, tapi suara Zhou Xiao sangat rendah. Sepertinya sedang menjelaskan sesuatu dengan suara yang pelan, tidak dapat terdengar dengan jelas.
“Ini rumah sakit, harap tenang sedikit!” Sepertinya itu suara perawat. Selanjutnya hanya keheningan selama beberapa menit.
Setiap menit bagaikan siksaan untuk Zhao Fanzhou, dia merasa seperti berguling-guling di gundukan pisau.
Akhirnya Zhou Xiao membuka pintu dan masuk, matanya agak merah, “Aku pulang dulu, nanti aku akan menelepon Xie Yixing. Memintanya agar menjagamu setelah selesai rapat.”
Zhao Fanzhou mengangguk, ingin berbicara namun berusaha menahannya. Akhirnya ketika Zhou Xiao membalikkan badan, dia berkata, “Dia selalu seperti itu terhadapmu?”
Punggung Zhou Xiao terlihat menegang, dia tidak menoleh. “Tidak, biasanya dia sangat baik terhadapku.”
“Apa perlakuan seperti itu kamu bilang baik?” Zhao Fanzhou berkata dengan suara serak, sedikit emosi.
“Setidaknya dia tidak pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun, betul tidak?” Zhou Xiao berkata dengan suara yang ringan, pergi dengan langkah yang ringan, tanpa membawa pergi sarapan yang belum sempat dia makan.
Zhao Fanzhou mendengarkan langkah kakinya yang semakin menjauh, semakin menjauh sampai seakan meninggalkan kehidupannya sejauh mungkin. Alkohol yang dia minum kemarin dan bubur yang barusan dia makan mulai bereaksi, perutnya mulai bergejolak, kepalanya juga mulai terasa sakit.