The Sweet Love Story - Chapter 58
Zhou Xiao pun terbang ke atas apartemennya.
Keesokan harinya adalah Hari Sabtu, Zhou Xiao pagi-apagi sekali sudah dibangunkan oleh telepon dari Zhao Fanzhou. Dia sedikit marah, menekan ponselnya dan mematikannya, kembali untuk melanjutkan tidurnya.
Ketika dia sudah tidur dengan cukup puas, matahari sudah berada begitu tinggi di tengah Sungai Sanggan.
Dengan matanya setengah terbuka dan setengah terpejam, dia berjalan keluar dari pintu kamar seperti orang mabuk. Orang yang sedang terduduk di sofa membuatnya tersadar, benar-benar sekujur tubuhnya terjaga.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Yuan Ruanruan membukakan pintu dan membiarkanku masuk.”
Zhou Xiao mulai melihat ke sekeliling, mencari wanita yang mengundang serigala ke dalam rumah ini.
“Tidak usah mencarinya, dia sudah pergi kencan.” Zhao Fanzhou berbaik hati memberitahunya.
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Tidak lama setelah kamu mematikan telepon dariku.”
“Oh.” Dia teringat dirinya belum menyikat gigi dan mencuci muka, berbalik menuju ke kamar mandi.
Dia melihat pantulan dirinya di cermin, hmm… rambut berantakan dan wajah yang kacau, benar-benar memiliki pesona layaknya istri dari adik papanya.
Dia menyisir rambutnya yang kusut dengan jari tangannya, rasa sakit terasa di kepalanya seiring rambut kusut itu tertarik. Cepat atau lambat dia harus memotong rambut sialan ini!
Setelah menyikat giginya, Zhou Xiao kembali ke kamarnya untuk mengganti piyamanya. Ketika dia keluar, Zhao Fanzhou sedang merokok di balkon.
Zhou Xiao membuka pintu kaca, bersandar ke pintu untuk melihat punggungnya.
Zhao Fanzhou mendengar suara pintu terbuka, membalikkan badannya dan membuang rokok itu. Dia berkata, “Mau pergi sarapan di luar?” Zhou Xiao menjawab dengan jawaban yang tidak relevan, “Sejak kapan kamu mulai merokok?”
“Sejak SMP.”
Ternyata dia juga pernah menjadi anak pemberontak.
“Saat kuliah aku tidak pernah melihatmu merokok,” Zhou Xiao agak bingung.
“Aku sudah berhenti saat SMA.”
“Kalau begitu….. kalau begitu mari kita sarapan di luar.” Sebenarnya dia ingin bertanya, kenapa dia mulai merokok lagi sekarang.
Di mata Zhao Fanzhou ada rasa kecewa yang sempat berlalu.
Makan mie… dengan tenang…
Zhou Xiao berusaha keras untuk mengingat kata-kata yang telah dia hafalkan tengah malam tadi, tapi dia tidak dapat mengingatnya sedikit pun.
(Cerita ini mengajarkan kita, ketika sedang mengantuk lebih baik jangan berpikir terlalu banyak. Tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi barulah hidup akan lebih lebih bermakna)
Karena dia tidak dapat mengingatnya, dia harus memikirkan pernyataan lain, “Kamu pernah mempertimbangkan untuk berhenti merokok?”
“Hmm?” Zhao Fanzhou mendongak untuk menatapnya.
“Kamu berhenti merokok dan kita akan kembali bersama.” Ekspresi rileksnya itu akan membuat orang keliru dan mengira dia sedang mengatakan cuaca hari ini sangat cerah.
Zhao Fanzhou menatapnya dengan mata lebar, otaknya seakan berhenti bekerja.
“Hei, bagaimana menurutmu?” Zhou Xiao menunggu cukup lama dan tidak mendapatkan jawaban, tidak bisa menahan diri untuk mendesaknya.
“Baik.” Zhao Fanzhou berusaha mengembalikan jiwanya, menekan perasaan gembiranya. Dia terdiam sesaat dan berkata, “Apa ada syarat tambahan?” seakan ada garis hitam di atas kepala Zhou Xiao, masih ada syarat tambahan? Memangnya dia kira sedang berbicara tentang kerjasama bisnis?
“Em… aku besok tetap harus pergi kencan buta.” Karena dia bertanya tentang syarat tambahan, jadi dia memberikan syarat tambahan agar dia meledak.
“Kamu diam dulu, biarkan aku berbicara sampai selesai.” Zhou Xiao menahan Zhao Fanzhou yang sudah akan protes, “kalau aku tidak pergi, Mamaku akan marah. Selain itu, aku benar-benar tidak berani mengatakan kepada Mamaku kalau aku sudah kembali bersamamu lagi. Oleh karena itu, kamu harus menyelesaikan sendiri urusanmu dengan orang tuaku. Sebelum kamu menyelesaikannya, aku akan tetap pergi kencan buta.”
“Aku sudah tahu.” Katanya dengan muran, “Ada lagi?”
“Sementara tidak terpikir, sementara begitu dulu saja.” Zhou Xiao menundukkan kepada dan makan mie. Ketika dia makan, tiba-tiba mengingat beberapa potongan hal-hal yang dia pikirkan tadi malam, “aku terpikir sesuatu, apa boleh memberikan syarat tambahan?”
“Boleh.”
“Tidak peduli apapun yang terjadi di masa depan, kamu harus memberi tahu aku. Bahkan jika kamu harus pergi, kamu ingin bersama dengan orang lain, aku harus tahu terlebih dahulu.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Kamu akan pergi atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting, kamu harus berjanji kepadaku tentang ini.” Pukulan semacam itu benar-benar terlalu mengerikan, seperti orang yang berjalan di jalan, tahu di depan ada sebuah kaca yang mungkin tidak dapat dihindari untuk ditabrak, setidaknya bisa meminimalisir kerusakan pada perasaannya. Tapi, jika menabraknya tanpa menyadarinya, di bawah semacam kondisi yang dinamakan tanpa pertahanan lengkap, pasti akan sangat menyakitkan.
Zhao Fanzhou berkata dengan sungguh-sungguh, “Baik, aku janji.”
“Kalau begitu…. semoga kerjasama kita menyenangkan?” Keduanya benar-benar terlihat seperti dua orang yang sedang bernegosiasi. Zhou Xiao tidak dapat menahan diri untuk mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengannya.
Zhao Fanzhou tertegun, malas untuk meladeninya, menunduk untuk kembali makan mie.
Zhou Xiao membanting tangannya dan ikut menundukkan kepala untuk makan mie.
Pada Minggu sore, Zhao Fanzhou duduk di sudut restoran, menatap pacarnya sedang melakukan kencan buta.
Zhou Xiao merasa tidak nyaman, seakan ada tatapan mata yang setajam pisau di sudut ruangan yang terus membidiknya, membuatnya merasa seperti sebuah lingkaran target yang digantung di atas dinding, bersiap untuk dilempar dengan anak panah.
“Nona Zhou, apa hobi yang biasa Anda lakukan di saat senggang?” Tuan Xu yang berada di seberangnya mengajukan pertanyaan.
“Hmm… membaca buku, mendengarkan musik.” Tentu saja dia tidak mungkin mengatakan kalau hobinya adalah menonton variety show yang membosankan di depan komputer.
“Jenis buku macam apa yang kamu baca, jenis musik apa yang biasanya kamu dengarkan?” tanyanya lagi.
“Em… buku dan lagu yang baru.” Dia sedikit canggung, tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Lelaki itu tiba-tiba tertawa, “Nona Zhou, Anda sungguh lucu.”
Zhou Xiao ikut tertawa, lucu di mananya?
Zhao Fanzhou meletakkan cangkir di tangannya dengan kuat di atas meja, menimbulkan suara ‘peng’ yang keras.
Semua orang di restoran itu memandangnya, dia terus saja memasang wajah bau (muram). Bahkan dalam jarak lima ratus mil pun bisa tercium baunya.
“Di zaman sekarang banyak orang yang egois, mengganggu orang lain pun tidak menunjukkan rasa bersalah. Nona Zhou, bagaimana menurutmu?” Tuan Xu sibuk memberikan pendapatnya, Zhou Xiao hanya tertawa, “Betul.”
Pelayan mengantarkan makanan.
“Nona Zhou, cobalah steak milikku. Daging steak di sini sangat empuk.” Tuan Xu menyodorkan piring di hadapannya kepada Zhou Xiao, Zhou Xiao terkejut, mana berani dia makan itu? Memangnya dia sudah bosan hidup.
“Tidak usah.” Zhou Xiao menggelengkan kepalanya.
“Aku belum memakannya sama sekali, jangan khawatir.”
“Bukan, aku tidak makan daging sapi.” Bohong demi kebaikan, bohong demi kebaikan.
“Begitukah, cukup disayangkan. Kamu suka makan apa, Nona Zhou?” Dia menarik kembali piring itu.
Zhou Xiao hampir gila, setiap berbicara dia selalu mengatakan Zhou Xiaojie. Berdasarkan namanya sendiri, itu terdengar seperti ‘Zhou Xiao Jie’*.
(T/N: Xiaojie adalah Nona, jadi Zhou Xiao dipanggil oleh pasangan kencan buta dengan panggilan Nona Zhou = Zhou Xiaojie, tapi karena namanya Zhou Xiao, dia berasa dipanggil Zhou Xiao Jie = Kakak Zhou Xiao)
“Panggil aku Zhou Xiao saja, kamu terus memanggilku dengan sebutan Nona, kedengarannya agak aneh.” Dia tidak bisa menahan diri lagi untuk berkomentar.
Pihak lain terdiam, lalu tertawa lagi, “Kamu benar-benar sangat lucu, Zhou Xiao.”
“Hehe.” Ikut tersenyum, ikut tersenyum.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu suka makan apa?” Tuan Xu mengingatkan.
“Em, mungkin makanan yang biasanya disukai oleh sebagian besar orang.” Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia tidak akan senang apabila makan tanpa daging kan?
“Makanan yang biasanya disukai oleh sebagian besar orang itu apa? tanyanya sambil tersenyum.
“……”
“Hanya menggodamu…” Tuan Xu tertawa lagi.
“Hehe, kamu juga sangat lucu.” Zhou Xiao menahan keinginannya untuk mengalihkan pandangannya.
Setelah makan, Tuan Xu mengusulkan untuk pergi nonton ke bioskop. Zhou Xiao mengatakan dia ada urusan dan harus buru-buru pergi.
Zhao Fanzhou menunggunya di sudut jalan, Zhou Xiao memeluk lengannya, memberikan sebuah senyuman. Sungguh melelahkan, seharian ini harus memberikan wajah penuh senyuman.
“Apa saja yang kalian obrolkan tadi?” Zhao Fanzhou bertanya dengan wajah muram.
“Tidak mengobrol apa-apa, hanya membicarakan tentang hobi dan sebagainya. Kencan buta itu pasti akan selalu bertanya tentang hal-hal seperti ini.” Zhou Xiao terkekeh.
“Tidak membicarakan apa-apa tapi kamu bisa tertawa sampai sebahagia itu?”
“Mana ada?”
“Benarkah tidak ada?”
“Sama sekali tidak.”
Belum terlambat, melainkan terlalu cepat, telepon dari Mama Zhou Xiao sudah menyusul kemari.
“Mama.”
“Putriku, barusan aku mendapatkan pesan dari pihak lain, katanya mereka cukup puas denganmu.” Zhou Mama terdengar sangat gembira.
“Oh.” Zhou Xiao hanya menjawab ala kadarnya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Lumayan. Mama, kudengar si Zhao Fanzhou itu sudah kembali.” Zhou Xiao memandang orang di sebelahnya, berbicara dengan hati-hati.
“Sudah kembali? Di mana? Lelaki sialan itu masih berani kembali, wanita tua ini akan membunuhnya!” Sang Mama tiba-tiba berteriak, Zhou Xiao berkeringat dingin. Curiga apa mungkin mamanya dulu salah satu dari sindikat kejahatan kriminal.
“Aku hanya mendengar kabar saja.” katanya dengan kehilangan kepercayaan dirinya.
“Aku beritahu kamu, jika dia berani datang mencarimu, kamu jangan mempedulikannya. Kalau saja kamu kembali dengannya, lihat bagaimana aku akan menghajarmu!”
“Hehe.” Zhou Xiao sedikit mengalami kesulitan untuk menelan air liur, jadi dia sembarangan membuat alasan untuk menutup telepon. “Mama, bus yang aku tunggu sudah datang, tutup dulu teleponnya.”
“Ingat, kalau saja kamu berani kembali dengan bocah sialan itu, aku tidak akan mengenalimu lagi sebagai putriku.”
“Aku tahu.”
Setelah menutup telepon, dia menyandarkan kepalanya pada lengan Zhao Fanzhou, berkata dengan lemah, “Mamaku bilang, kalau aku kembali bersamamu, dia tidak akan mengenaliku sebagai putrinya.”
Zhao Fanzhou mengelus kepalanya, merapikan rambutnya dan berkata, “Aku akan mencari cara, percayalah padaku.”