The Sweet Love Story - Chapter 65
[1]Tentang Cuci Piring dan Menonton TV
“Zhao Fanzhou, kamu bilang kamu akan mencuci piring.” Zhou Xiao menunjuk pada piring yang menumpuk di wastafel dapur. “Aku tahu.” Orang itu masih serius menonton pertandingan bola, menanggapinya dengan asal.
“Zhao Fanzhou, kemari sekarang dan cuci piring ini.” Dia tidak tahan, orang ini setiap hari selalu saja mengacuhkannya.
“Biarkan aku selesai menonton pertandingan bola dulu.” Ada orang yang bahkan tidak bisa merasakan amarahnya. “Baik, nontonlah perlahan-lahan,” Zhou Xiao menggertakkan giginya.
Satu jam kemudian, rumah itu terasa sunyi. Zhao Fanzhou melihat ke dapur, semua sudah bersih dan rapi. Dia baru sadar dia telah melakukan salah besar, dia menghela napas dan mengetuk pintu kamarnya yang tertutup, “Zhou Xiao, aku masuk ya?” Tidak ada jawaban, jadi dia membuka pintu.
Zhou Xiao duduk di depan layar komputer, tidak meliriknya sama sekali.
“Kamu marah ya?” Zhao Fanzhou berdiri di belakangnya dan bertanya.
“Kamu menganggap aku pengganggu kan?” Dia berkata sambil menatap pada layar komputer tanpa ekspresi.
“Mana ada?” Dia menyeringai dan memeluk lehernya sambil tersenyum, sejak kapan orang ini jadi begitu emosional, “kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh ya?”
Zhou Xiao melepaskan tangannya, “Lupakan saja, aku sekarang sedang tidak ingin berbicara denganmu, keluar.”
“Baik, baik, baik. Cuci piring kan? Aku akan mencucinya, selama satu bulan penuh aku yang cuci piring, oke?” Tangannya tidak menyerah untuk tetap berada di leher Zhou Xiao, berusaha membujuknya.
“Apa kamu kira cuma masalah cuci piring saja?” katanya datar.
“Iya, aku tahu. Lain kali aku juga akan mengepel lantai, oke?” kata Zhao Fanzhou tak berdaya.
Zhou Xiao menoleh, memiringkan kepalanya dan mencium pipi Zhao Fanzhou, “Ini masih lumayan. Baiklah, kamu sudah boleh nonton TV di luar, jangan menggangguku yang sedang online. Setelah menonton TV, jangan lupa mengepel lantai.” Zhou Xiao melambai, seperti mengusir seekor lalat.
Zhao Fanzhou tersenyum dan mengeratkan lengannya di leher Zhou Xiao, “Melukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh ya?”
“Uhuk, uhuk… aku tidak bisa bernapas,” Zhou Xiao menarik lengan Zhao Fanzhou.
Zhao Fanzhou melepaskan lehernya, tapi menariknya dari kursi dan menggendongnya di pundaknya dan berjalan ke ruang tamu.
“Turunkan aku.” perut Zhou Xiao yang berada di pundak Zhao Fanzhou, bergoyang-goyang dan rasanya dia akan segera muntah. Zhao Fanzhou membawanya ke atas sofa, “Duduk dengan baik.”
“Kenapa?” Zhou Xiao duduk dengan patih, melihat apa yang ingin dia lakukan.
Dia berbaring, meletakkan kepalanya di pangkuannya, dan menyerahkan remote kepadanya, “Bantal, ganti siaran TV-nya.”
“Hei, jangan keterlaluan ya.” Zhou Xiao memukul kepala Zhao Fanzhou dengan remote TV, “Siapa yang bantal?”
“Kamu, cepat ganti siarannya,” desaknya.
Zhou Xiao memutar bola matanya dan menekan remote TV.
“Yang terakhir tadi.” Zhao Fanzhou mengangkat kepalanya, menyenggol pahanya dengan kepalanya.
Zhou Xiao menekan kepalanya, terus memutar siaran, “Aku tidak peduli kamu mau nonton yang mana, yang pasti aku tidak mau nonton basket.” Dia menekan dan terus menekan sampai akhirnya berhenti di sebuah stasiun TV yang sedang memutar drama ‘xxxxx’.
“Apaan ini, aku tidak mau lihat. Namanya saja sudah begitu menjijikkan.” Zhao Fanzhou ingin meraih remote TV, Zhou Xiao tidak mengizinkan.
“Kamu sangat menyebalkan, kalau tidak mau nonton TV ya mengepel saja.” Dia menatap drama itu dengan penuh semangat, tapi, kenapa rasanya bibir pemeran wanita utamanya itu terlalu gelap ya?
Zhao Fanzhou tidak bergerak, siapa yang mau mengepel lantai! Apa-apaan ini, wajah lelaki itu apa tidak terlalu putih?
“Hei, percakapan mereka sangat membosankan.” protes Zhao Fanzhou, “Wanita itu juga terlalu bodoh, bagaimana mungkin dia bisa sebodoh itu?”
“Diam.” Zhou Xiao menutup mulut Zhao Fanzhou dan melarangnya berbicara.
Zhao Fanzhou terdiam beberapa detik, tiba-tiba Zhou Xiao menjerit dan memelototi tangan yang tadi memegang mulut Zhao Fanzhou, dia berteriak, “Kamu sangat menjijikkan! Tanganku penuh dengan air liurmu.” Dia mengelap tangannya pada pakaian Zhao Fanzhou, “dasar mesum.”
“Aku masih bisa lebih mesum sedikit, mau coba tidak?” Dia tersenyum genit.
“Tidak usah, terima kasih.”
“Kenapa begitu sungkan? Bagaimana kalau dicoba saja?” Zhao Fanzhou berkata dengan hangat dan mengundang.
“Kamu memang orang yang sangat baik.” kata Zhou Xiao sarkastis.
“Itu karena Anda tidak keberatan.” katanya licik.
Setengah jam kemudian, Zhou Xiao menggelengkan kepala Zhao Fanzhou yang berada di atas pahanya, “Jangan tidur, nanti kamu terkena flu, tidurlah di dalam kamar.”
“Tidak mau, aku sedang menonton TV.” Dia membuka matanya dan segera berbalik, melingkarkan tangannya di pinggang Zhou Xiao dan membenamkan wajahnya di perutnya.
“Kakak, kamu bahkan sedang membelakangi TV,” Zhou Xiao menepuk-nepuk kepalanya.
“Jangan berisik, aku sedang mendengarkan TV,” Dia mendengus dan kembali tertidur. Zhou Xiao dengan enggan membiarkannya, belakangan ini ada orang yang memiliki kecenderungan untuk kembali ke masa remajanya.
[2] Tentang Mengepel Lantai
Pada sebuah akhir pekan, Zhao Fanzhou yang sedang mengepel sampai setengah, melemparkan tongkal pel ke lantai dan pergi ke kamar seseorang untuk mencari orang yang akan tertimpa musibah.
“Aku sudah mengepel lantai selama dua bulan, aku tidak mau melakukannya lagi.” katanya pada Zhou Xiao yang sedang berbaring di ranjang untuk membaca komik. “Kan kamu sendiri yang bilang mau.” Zhou Xiao bangkit berdiri dan berdiri di atas ranjang, menatapnya dengan berkacak pinggang. “Aku tidak berjanji untuk mengepel setiap hari.” Dia juga melompat ke atas tempat tidur Zhou Xiao dan berdebat dengannya.
“Kamu butuh olahraga.” katanya serius.
“Kamu meremehkan kekuatan fisikku? Perlu tidak aku membuktikannya kepadamu?” Zhao Fanzhou mendekatinya.
“Oke.” Zhou Xiao tidak sungkan-sungkan, melompat ke atas punggungnya, “Ayo, coba lihat apa kamu bisa mengepel sambil menggendongku.”
“Turun, siapa yang bilang aku akan membuktikan kekuatan fisik dengan cara seperti ini?” Zhao Fanzhou berusaha mengguncangkan tubuhnya.
“Aku yang bilang. Cepat, ayo mengepel lantai.” Zhou Xiao mengencangkan pelukannya di lehernya dan tidak bersedia untuk turun. “Pel yang bersih, yang di sana belum dipel.” Zhou Xiao memberikan instruksi dari belakang punggung Zhao Fanzhou.
Zhao Fanzhou yang malang, harus memegang seseorang dengan satu tangannya dan tangan satunya lagi memegang tongkat pel.
“Kalau tidak bersih, kamu turun dan pel sendiri.” Begitu Zhao Fanzhou melepaskan tangannya yang memegang Zhou Xiao, Zhou Xiao hampir saja merosot turun, dia kembali mengencangkan pelukan di leher Zhao Fanzhou dan berteriak, “Tidak mau, tidak mau.”
“Aku memang buta, dulu kamu terlihat begitu hangat dan lembut, ternyata itu cuma pura-pura untuk menipuku saja,” Zhao Fanzhou mengulurkan tangannya dan kembali menahan tubuhnya. Zhou Xiao menggaruk kepalanya. Kapan dia hangat dan lembut? Apa dia mengingat orang yang salah?
[3] Tentang Sabun Mandi dan Shampoo
Suatu hari, sekretaris Xie Yixing membawa dokumen untuk ditandatangani oleh Zhao Fanzhou. Setelah selesai ditandatangani, tiba-tiba dia tersenyum dan berkata, “Direktur Zhao, gel mandi di rumahmu beraroma persik?”
Zhao Fanzhou tertegun beberapa detik, tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Ketika sekretaris Xie Yixing membawa pergi dokumen itu, Zhao Fanzhou menarik kerahnya dan menciumnya, samar-samar tercium aroma buah persik. Tidak mengherankan dua hari ini dia selalu merasa Zhou Xiao berada di dekatnya, ternyata aroma di tubuhnya bahkan sudah sama dengannya.
Sepulangnya dari kantor, dia berkeliling di rumahnya, gel mandi beraroma persik, shampoo beraroma lemon, bahkan deterjen pencuci baju pun beraroma persik. Dia melemparkan semua barang itu di atas meja kopi ruang tamu, menunggu wanita yang pulang kerja namun tidak langsung pulang dan bersikeras untuk pergi berbelanja terlebih dahulu.
Zhou Xiao kembali ke rumah dan melihat ada seseorang yang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tidak senang. Di depannya ada gel mandi, shampoo, dan deterjen pencuci pakaian.
“Kamu kenapa?” Dia terduduk dengan perasaan aneh, mengambil barang rampasan perang itu yang begitu penuh di atas sofa yang besar.
“Lihatlah sendiri.”
“Lihat apa?” Dia kebingungan, “Kamu bukan ingin aku memilihkan cara bunuh diri mana yang jauh lebih baik kan?”
“Sepertinya kamu benar-benar ingin melihatku mati ya?” Zhao Fanzhou meliriknya.
“Bukan begitu. Tapi kalau kamu sungguh ingin minum salah satu dari ini, aku rasa deterjen jauh lebih baik. Sepertinya lebih cepat mati dengan itu, selain itu masih beraroma persik.” Zhou Xiao mendorong deterjen itu kepada Zhao Fanzhou.
“Bagus kalau kamu tahu itu aroma persik, aku tidak suka aroma buah.” Zhao Fanzhou mengetuk kepala Zhou Xiao. “Yang benar saja, kamu bunuh diri juga harus memilih rasa deterjen terlebih dahulu?” katanya sambil mengelus kepalanya.
“Ayo ke supermarket,” Malas untuk berdebat dengannya, dia berkata sambil menariknya berdiri.
“Tidak mau, aku hari ini sangat telah berbelanja. Pergilah sendiri.” Zhou Xiao enggan untuk bergerak, “Lagipula aku menyukai aroma buah.”
“Jangan paksa aku menggendongmu.” ancamnya.
“Kamu sungguh menyebalkan.” Zhou Xiao diseret untuk berjalan, merasa sangat enggan.
Di Supermarket.
“Aroma yang kamu pilih itu sangat bau. Lain kali kamu pakai punyamu, aku pakai punyaku.” Zhou Xiao mengoceh dan mengikuti di belakangnya, “Dasar orang yang tidak punya selera.”
Zhao Fanzhou malas untuk menjawabnya, wanita ini kalau sudah mulai cerewet pasti tidak ada habisnya.
“Aku mau beli makanan ringan.” Zhou Xiao berhenti di area makanan ringan, menghentikan troli belanja yang didorong oleh Zhao Fanzhou dan tidak membiarkannya lewat.
“Tidak boleh.” Zhao Fanzhou mengembalikan keripik kentang yang dilemparkan oleh Zhou Xiao ke rak, “Nanti kamu bertambah gemuk dan muncul jerawat di wajahmu, pasti kamu akan sangat berisik.”
“Kamu keberatan kalau aku gemuk, iya kan?” Zhou Xiao kembali memasukkan keripik kentang ke dalam troli. “Terserah kamu, asalkan pada saatnya nanti jangan ribut padaku.”
Keesokan harinya, muncul sebuah jerat di wajah Zhou Xiao dan dia berteriak sejadi-jadinya di depan cermin.
[4] Tentang Kepulangan yang Terlambat
Pada sebuah sabtu malam, Zhou Xiao pergi ke tempat dia tinggal dulu untuk mengobrol dengan Yuan Ruanruan. Mereka mengobrol dengan sangat bersemangat. Zhao Fanzhou menelepon beberapa kali untuk mendesaknya pulang, dia hanya berkata dengan asal kalau dia akan segera pulang.
Ketika dia kembali ke rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Zhou Xiao kaget saat membuka pintu, Zhao Fanzhou sedang duduk di ruang tamu untuk menunggunya, akhirnya dia pun dimarahi olehnya. Pada saat itu dia juga salah, jadi dia tidak melawannya dan Zhao Fanzhou bisa memarahinya sepuasnya. Lagipula, Zhou Xiao juga sudah terbiasa. Keterampilan mendengarkan melalui telinga kiri dan keluar melalui telinga kanannya itu sudah dilatih sampai tingkat tertinggi.
Dua hari kemudian, Zhao Fanzhou pergi ke acara perjamuan makan malam. Sudah jam 12 malam, dia belum pulang. Zhou Xiao yang berada di rumah, ragu-ragu dia harus meneleponnya atau tidak. Tapi, dia teringat kata mamanya, harus membiarkan lelaki punya harga diri di komunitasnya. Jadi, dia tidak menelepon, menggosok gigi dan pergi tidur.
Pada pukul 2 dini hari, Zhou Xiao yang sedang tertidur pulas tiba-tiba terbangun karena guncangan di badannya. Di ujung tempat tidurnya terlihat Zhao Fanzhou dengan ekspresi marah. “Kamu sudah pulang.” Zhou Xiao membalikkan badannya, bergumam dan ingin kembali tidur.
Zhao Fanzhou menarik sudut selimutnya, berbaring di sana dan menariknya ke dalam pelukannya. “Ternyata selain kamu tidak meneleponku, kamu bahkan tidak menungguku.” Zhao Fanzhou membisikkan protes di telinganya. Sayangnya, Zhou Xiao sudah kembali tertidur.
Keesokan paginya, Zhou Xiao dikejutkan oleh orang yang berbaring di sampingnya, sangat merasa tidak puas, “Bangun, kemarin kamu pulang jam berapa?”
“Jam 2.” jawabnya tanpa sadar.
“Jam 2? Gila ya kamu!” Zhou Xiao menjewer telinganya dengan kuat, “Kamu bahkan bersenang-senang sampai jam 2 baru pulang!”
“Siapa suruh kamu tidak meneleponku.” Orang yang dijewer sampai terbangun itu mendengus, membuka selimut dan turun dari ranjang.
Zhou Xiao menatap punggungnya yang berjalan keluar dari kamar, sangat frustasi. Di usia seperti ini, membiarkan terlihat punya muka saja dia malah keberatan. Di dunia ini, orang macam apapun ada. Terus, kenapa dia bisa berada di atas ranjangnya?