The Sweet Love Story - Special 2
Zhou Xiao dan Zhao Fanzhou belum pernah benar-benar melewati Hari Valentine bersama. Jadi, Zhao Fanzhou merencanakan sebuah kencan di Hari Valentine. Tapi, kencan yang romantis dan manis itu ternyata harus menghadapi cobaan kecil.
Zhao Fanzhou sudah menunggu Zhou Xiao berdandan dan berpakaian di ruang tamu selama hampir setengah jam, tidak mudah menunggu sampai akhirnya dia keluar. Pada detik itu, dia dengan tulus percaya pada kata-kata, ‘bukan tidak membalas dendam, hanya saja waktunya belum tepat’. Lihatlah, di sinilah pembalasannya.
“Kenapa kamu memasang wajah seperti itu? Jelek ya?” Zhou Xiao menarik gaun abu-abu di tubuhnya, “Bukannya ini pakaian yang dulu kamu belikan untukku? Tidak mudah untukku menemukannya.”
(Bagi yang lupa, Zhao Fanzhou pernah beliin gaun buat Zhou Xiao kencan buta, yang asal-asalan dipilih dengan warna yang kotor itu dan ada di Chapter 53)
“Tidak, sangat cantik.” Dia tersenyum, “Kamu mau tidak menggantinya dengan yang lain, aku takut kamu kedinginan.”
“Tidak dingin kok.” Zhou Xiao tersenyum manis, menggandeng tangannya. Zhao Fanzhou ikut tersenyum, tentu saja, jalan Surga itu adil, yang pernah melakukan kesalahan tidak akan bisa lari darinya.
Zhao Fanzhou membawa Zhou Xiao ke sebuah Restoran Valentine XX yang direkomendasikan di internet, Restoran berada lantai teratas Gedung XX. Ketika melihat kebawah, bisa melihat pemandangan malam kota yang indah.
Makanan diantar satu per satu, kedua orang itu begitu mesra. Saling menyuapi, terkadang berhenti untuk saling mengecup bibir. Seandainya ini hari biasa, keduanya sangat acuh tak acuh, benar-benar tidak berani melakukan hal seintim ini di tempat umum. Tapi, aura di restoran ini terlalu ganas, pasangan yang sedang dimabuk asmara ada dimana-mana. Menimbulkan atmosfer dan suasana yang manis dan intim, membuat perasaan cinta kedua orang itu bersemi. Seakan kalau tidak ikut melakukan hal yang sama akan sangat berdosa terhadap warga sekitar.
Keluar dari restoran, kebetulan bertemu dengan Cai Yasi. Di sampingnya ada seorang gadis yang tinggi dan cantik, keempat orang itu saling bertukar beberapa kata. Cai Yasi tidak bisa menahan diri untuk menghina Zhou Xiao, “Kamu pakai baju apa, dicuci bersih dulu baru dipakai keluar.”
Begitu Cai Yasi berlalu, Zhou Xiao menatap Zhao Fanzhou dengan tajam, “Lain kali, aku tidak akan membiarkanmu memilihkan pakaian untukku lagi.” Zhao Fanzhou mengangkat tangannya dengan bijaksana, “Baik, ke depannya aku hanya akan bertanggung jawab untuk membayar, oke?”
Sekali lagi dia mendesah, jalan Surga itu adil, yang pernah melakukan kesalahan tidak akan bisa lari darinya.
Acara selanjutnya, Zhao Fanzhou mengajak Zhou Xiao untuk pergi menonton film yang sedang populer, Cape No. 7. Tiket film pada hari Valentine memang agak sulit didapatkan. Mereka telah mengantre di jendela tiket selama setengah jam baru berhasil mendapatkan tiket.
Sebelum memasuki studio film, Zhou Xiao ribut untuk membeli popcorn. Zhao Fanzhou menyuruhnya masuk terlebih dahulu dan pergi membeli makanan ringan sendirian. Ketika membeli makanan ringan, dia melihat sepasang suami istri yang sedang bertengkar. Mereka bertengkar karena meributkan jus rasa apa yang harus dibeli, ribut dengan tidak ada habisnya. Setelah ribut cukup lama, sang wanita menampar sang lelaki itu, dan langsung pergi. Lelaki itu sempat berdiri tertegun selama beberapa detik sebelum pergi mengejar wanita itu.
Zhao Fanzhou membawa popcorn dan minuman ke dalam studio bioskop. Film sudah dimulai. Zhou Xiao mengambil alih barang-barang di tangannya dan berbisik, “Kenapa begitu lama?”
“Ketika membeli ini aku bertemu dengan pasangan yang sedang bertengkar.” Dia berbisik ketika duduk.
“Oh.” Zhou Xiao memasukkan sedotan pada dua minuman itu dan bertanya kepadanya, “kamu mau minum Cola atau jus jeruk?”
“Terserah.” katanya.
“Dua-duanya aku suka, bagaimana kalau sudah minum sampai setengah kita tukaran?” tanyanya.
“Uhuk, uhuk, uhuk.” Terdengar suara batukan yang tidak mengenakkan dari belakang mereka.
Zhou Xiao menggaruk kepalanya dengan perasaan bersalah, menyerahkan salah satu minuman kepada Zhao Fanzhou dan menonton film dengan tenang.
Zhao Fanzhou sebenarnya tidak tertarik dengan film sastra semacam ini, jadi dia tidak terlalu memperhatikannya. Sesekali dia melihat ekspresi Zhou Xiao saat perubahan plot film. Kebiasaan bocah ini menggigit sedotan masih belum berubah, selalu saja menggigit sedotan sampai tak berbentuk, dan penuh dengan air liurnya.
Zhou Xiao tidak sengaja menoleh untuk melihat Zhao Fanzhou, mendapati dia sedang menatapnya. Dia tersenyum manis, menukar minuman dari tangannya, kemudian kembali menonton film.
Zhao Fanzhou menatap minuman di tangannya, sedotannya sudah digigit sampai tidak berbentuk. Apa enaknya sih menggigit sedotan? Dia meminum seteguk cola dan kembali menonton film.
Di akhir film, ketika pemeran utama pria bergegas naik ke atas panggung saat konser, pemeran utama wanita tiba-tiba menahannya dan berkata, “Malam ini setelah pertunjukkan berakhir, aku akan kembali ke Jepang dengan perusahaan rekaman dari Jepang.”
Pemeran utama pria segera berkata, “Tinggallah. Kalau tidak, aku yang akan pergi denganmu.” dan dia pun naik ke atas panggung.
Tubuh Zhao Fanzhou menegang, ‘jalan Surga itu adil, yang pernah melakukan kesalahan tidak akan bisa lari darinya’ ini bukankah terlalu kejam? Dia melirik Zhou Xiao dengan hati-hati, tentu saja, alisnya berkerut dan matanya berkaca-kaca. Dia terkejut, memegang tangannya. Ketika Zhou Xiao berbalik untuk melihatnya, Zhao Fanzhou hanya bisa tersenyum menghibur.
Ketika kerumunan orang keluar dari studio bioskop, tangan Zhao Fanzhou masih memegang erat tangan Zhou Xiao, takut terpisah karena ramainya orang. Tatapan mata Zhou Xiao sedikit kabur, mengikuti Zhao Fanzhou dengan bingung dan berjalan keluar dari studio bioskop.
Sebenarnya Zhao Fanzhou telah merencanakan untuk membawanya pergi membeli hadiah, tapi melihat ekspresi wajahnya, sepertinya tidak ada harapan lagi.
Dua orang itu berada di dalam mobil, Zhao Fanzhou memegang roda kemudi dengan satu tangan dan satu tangannya lagi memegang tangan Zhou Xiao. Tangan Zhou Xiao terasa dingin, membuat perasaannya tidak tenang.
Zhou Xiao sebenarnya memang kaget dengan dialog itu untuk waktu yang cukup lama. Rasa menyalahkannya selama ini semakin lama semakin terakumulasi, sampai rasanya ingin menggiling seseorang, mencampurnya dengan air dan meminumnya sampai habis.
Melihat penampilan Zhao Fanzhou yang menyedihkan, hatinya melembut. Tapi, hukuman mati tidak dapat dihindari. Kamu tidak akan bisa lari dari neraka kehidupan. Jiejie menikah denganmu karena ingin menyiksamu seumur hidup!
Sesampainya di rumah, Zhou Xiao segera mengunduh soundtrack film Cape No. 7 yang dinyanyikan oleh Fan Yichen berjudul ‘South of National Border’. Pertama kali mendengarnya, dia langsung menyukainya. Ada monolog di akhir lagunya, itu lagu yang diputar pada percakapan sebelum naik panggung antara pemeran utama pria dan wanita.
Dia duduk di depan layar komputer, meringkuk dan membentuk posenya seperti udang, menatap kosong pada layar komputer dan memutar lagu itu berulang-ulang.
‘South of National Border’, suara lagunya sangat keras.
Zhao Fanzhou sudah keluar masuk kamar beberapa belas kali, Zhou Xiao bahkan tidak sekalipun menatapnya, hanya melamun menatap layar komputer. Setelah tersiksa hampir sepanjang malam, Zhao Fanzhou tidak bisa menahan lagi.
Dia menggertakkan giginya, masuk ke dalam kamar, mematikan suara musik, memutar kursi Zhou Xiao dan berjongkok. Dia memegang tangannya dan berkata, “Kamu jangan begini, aku sangat sedih.”
Dia meliriknya sekilas, “Sudah membuatmu terganggu ya? Akan aku kecilkan sedikit suaranya.”
“Kamu tahu apa yang sedang aku katakan!” katanya dengan sedikit frustasi.
“Aku tidak tahu, mau tidak memberitahukannya kepadaku?” Zhou Xiao tersenyum terpaksa, “kalau tidak mengganggumu, aku akan kembali mendengarkannya. Lagu ini sangat bagus.”
“……” Zhao Fanzhou mematikan komputer, “Pergi mandi, tidur.”
Kalau hari biasanya, Zhou Xiao pasti sudah berteriak sampai menggetarkan bumi kepadanya. Tapi hari ini, dia hanya mengangkat bahu, berdiri dari kursi dan bersiap untuk mandi.
Zhao Fanzhou yang menunggu untuk dimarahi, masih berjongkok di lantai. Mendengarkan suara air dari dalam kamar mandi, hatinya terasa kosong, sekaan mati rasa.
Setelah Zhou Xiao selesai mandi, dia tidak menemukan Zhao Fanzhou di dalam kamar. Dia membuka pintu, melihat Zhao Fanzhou sedang menonton pertandingan bola dengan sebatang rokok di jarinya.
Dia sudah berhenti merokok, tapi kebiasaan lama memang sulit untuk diubah. Setiap kali ada masalah yang mengganggu, tangannya sudah terbiasa memegang rokok.
Zhou Xiao menutup pintu kamar dengan lembut dan pergi tidur. Belakangan ini dia selalu ingin tidur, tidak tahu apa yang terjadi dengannya.
Zhao Fanzhou berbalik dan membuka pintu kamar, Zhou Xiao sudah tertidur. Dia menutupi dirinya dengan selimut dari atas kepala hingga kakinya, tidak takut kehabisan napas. Zhao Fanzhou mengambil pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi, Zhao Fanzhou menarik selimut Zhou Xiao, membiarkan kepalanya muncul ke permukaan, kemudian merapikan selimut itu.
Dia duduk di tepi tempat tidur dan menatapnya sejenak, kemudian pergi dan duduk di ruang tamu. Mengeringkan rambutnya sambil memikirkan cara untuk membujuknya.
Ketika Zhao Fanzhou kembali ke dalam kamar, waktu sudah cukup larut. Dia ke atas tempat tidur, melihat istrinya sudah kembali membenamkan dirinya ke dalam selimut. Dia harus menarik selimut dari tubuh Zhou Xiao, menariknya dan masuk kedalamnya. Dihangatkan oleh selimut itu yang penuh dengan aroma tubuh istrinya.
Zhou Xiao berbalik, tanpa sadar memindahkan tangannya dan dengan lembut meletakkannya di dada Zhao Fanzhou.
Zhao Fanzhou sudah cukup lama berada di ruang tamu, seluruh badannya terasa dingin. Zhou Xiao sedikit merasa tidak nyaman dalam tidurnya, merasa tidak nyaman, dia berbalik dan menjauh. Zhao Fanzhou tidak rela, memeluk pinggangnya, membiarkan sebagian besar tubuhnya bertumpu pada tubuh Zhao Fanzhou.
Rambut Zhou Xiao menggantung di samping lehernya, terasa gatal; napasnya juga terasa hangat dan dihembuskan ke arah lehernya. Zhao Fanzhou menyentuhnya dengan tak berdaya. Tahu begini tidak usah ditarik ke dekatnya, sekarang dia sudah kembali tidur lagi. Tangan kecilnya masih berada di dadanya, begitu harum dan lembut dalam dekapannya. Ingin menjauhkannya terasa tidak rela, tidak dijauhkan rasanya benar-benar…
Zhao Fanzhou mendesah, kenapa dia bisa mengalami keadaan yang begitu menyedihkan pada Hari Valentine?
Zhao Fanzhou terbangun oleh sinar matahari, ketika dia membuka matanya, dia menyadari kalau dia ditinggalkan sendirian di atas ranjang. “Zhou Xiao.” Dia berteriak dengan panik, tidak ada yang menjawab.
Dia turun dari tempat tidur, berjalan keluar dari kamar, melihat sekelilingnya, tidak ada. Hatinya seakan mau copot, dia melihat ke atas dan melihat jam, sudah jam 9 lewat, ternyata dia sudah pergi kerja.
Ternyata dia begitu marah sampai tidak bersedia untuk membangunkannya. Sengaja membuatnya terlambat pergi kerja.
Lagipula, sudah pasti terlambat. Dia menelepon ke kantor dan kemudian pergi ke dapur untuk memasak bubur. Selama ini Zhao Fanzhou selalu membeli sarapan, jadi dia pasti tidak sarapan. Benar-benar deh, seberapa marahnya dia juga tidak boleh sampai kelaparan.
Satu jam kemudian, ZHao Fanzhou menelepon Zhou Xiao di lantai bawah perusahaannya, “Sudah sarapan?”
“Belum.”
“Turun, aku di lantai bawah kantormu, membawakan sarapan untukmu.”
“Tidak usah, sudah hampir jam makan siang. Untuk apa aku sarapan. Hari ini aku sangat sibuk, tidak bisa meninggalkan kantor.” Zhou Xiao mematikan jendela penjelajahan forum. Hari ini dia sangat senggang, benar-benar tidak ada pekerjaan.
“Dengarkan aku, turun dan ambillah. Kalau tidak, aku akan membawanya ke atas.” Zhao Fanzhou berusaha membujuknya dengan baik hati. Zhou Xiao mengerutkan bibirnya, “Baiklah, aku turun.”
Begitu turun, Zhou Xiao mengambil termos berisi bubur dan naik ke atas. Zhao Fanzhou menahannya, “Benar-benar marah kepadaku?”
“Siapa yang sedang marah padamu? Aku sudah bilang aku banyak pekerjaan.” Zhou Xiao menatapnya dengan malas, seakan-akan lelaki di hadapannya adalah seorang pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan.
“Baik, baik, baik. Kamu tidak marah, pulang kerja aku akan menjemputmu, oke?” Zhao Fanzhou membujuknya, mengelus kepalanya. Zhou Xiao menghindari tangannya, “Aku akan pulang naik taksi.” Dia terdiam sejenak, “malam ini aku lembur.”
“Aku akan menunggumu.” Dia melepaskan tangannya, “aku pergi kerja dulu, kamu pasti sengaja tidak membangunkanku.”
Pergi? Tidak memberikan ruangan untuk penolakan sama sekali? Bahkan tidak protes padanya sama sekali? Zhou Xiao menatap mobilnya berlalu dengan marah.
Setelah Zhou Xiao makan bubur, dia mulai merasa mengantuk. Dia tertidur di depan komputernya. Ketika Zhang Jie memasuki kantor, dia menepuk kepala Zhou Xiao dan berkata, “Sudah waktunya makan siang.”
Zhou Xiao mendongak dan melihat perut bulat Zhang Jie, terkejut, “Zhang Jie, jangan menunjukkan perut besarmu yang menakutkan itu.”
“Apanya perut besar? Jelek sekali, nanti setelah bayinya lahir, kamu jangan memaksanya untuk memanggilmu bibi,” kata Zhang Jie. “Tidak masalah, panggil aku Jiejie saja.” Zhou Xiao tersenyum, “Kalau tidak panggil aku Mama angkat.”
“Kamu pikir anakku murahan, lahirkan saja sendiri anakmu.” Zhang Jie mendorong kepalanya, “Kamu bergegaslah, jangan sampai nanti keburu tua dan sulit untuk melahirkan.”
Zhou Xiao tidak bisa berkata-kata, memangnya dia punya tampang seperti orang yang akan menua?
“Siapa yang menggunakan kontrasepsi di rumahmu?” Pembicaraan wanita yang sudah menikah memang berbeda, seringkali berbicara tanpa sensor. Zhou Xiao tersipu malu dan berkata dengan pelan, “Dia.”
“Lalu, apa rencana kalian?” Zhang Jie berusaha menggali lebih dalam.
“Tidak pernah membahasnya.” Zhou Xiao mana berpikir sejauh itu, Zhao Fanzhou berkata dia masih seperti anak-anak. Bagaimana mungkin memproduksi seorang anak lagi?
“Begitu ya? Aku belakangan ini melihat kamu terus mengantuk, jangan-jangan sudah isi ya?” Zhang Jie sekaan menyadari sesuatu. Pada pagi yang cerah, terdengar suara guntur. Zhou Xiao yang seakan disambar petir, begitu cemas. Dia bahkan tidak mampu memuntahkan sepatah kata pun.
Ketika Zhang Jie tidak mendapatkan respons untuk waktu yang lama, dia berjalan pergi dengan perutnya yang besar.
Zhou Xiao menghitung periode menstruasinya dengan jarinya, tapi dia tidak berhasil menghitungnya. Dia cemas, lupa kalau dia sedang marah pada Zhao Fanzhou, meraih ponsel dan meneleponnya.
“Suamiku,” serunya dengan nada suara sedih.
“Kenapa?” tangan Zhao Fanzhou yang sedang menandatangani dokumen bergetar, tanpa sadar menggambar garis-garis panjang dan samar di sana. Dia biasanya tidak memanggilnya dengan sebutan ‘suamiku’, begitu memanggil seperti itu pasti tidak ada hal yang baik, apalagi menggunakan nada menyedihkan begitu.
“Aku…. apa periode menstruasiku terlambat?” tanyanya.
Zhao Fanzhou melihat kalender di atas meja dan bertanya dengan aneh,”Tidak, masih satu minggu lagi. Kenapa?”
“Baguslah,” dia terdengar menghempaskan napas lega, “ini semua karena Zhang Jie, dia menakutiku, bilang aku terus mengantuk berarti sedang hamil.”
“Begitu ya…” Zhao Fanzhou merenung sejenak. “Untuk memastikannya, aku akan membawamu ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Minta izin saja terlebih dahulu.”
“Ah? Oh, baik.” Dia mulai merasa gugup lagi.
Setelah mematikan telepon, Zhao Fanzhou tertawa. Dia selalu memperhatikan masalah keamanan, mana mungkin terjadi hal yang tidak diinginkan? Yang bodoh itu Zhou Xiao. Dia memang suka tidur, terutama ketika musim semi datang. Kantuk karena musim seminya itu jauh lebih hebat daripada orang biasanya. Tapi, Zhao Fanzhou yang begitu pintar, tentu harus tahu bagaimana caranya menggunakan kesempatan.
Keluar dari rumah sakit, Zhou Xiao menggantungkan seluruh tubuhnya pada lengan Zhao Fanzhou. Untunglah, tidak ada bahaya yang terjadi.
“Tidak masalah kan?” Zhao Fanzhou menatapnya dengan khawatir, “Aku tahu kamu kecewa karena tidak hamil, tapi kita masih muda, masih ada waktu, jangan khawatir.”
Zhou Xiao tertegun karena kata-katanya, untuk apa berbicara seindah itu. Tentu tidak dapat mengatakan kalau dia sama sekali tidak ingin punya anak, pasti akan dibilang tidak memiliki peran sebagai seorang ibu.
Zhou Xiao telah mengambil cuti, kembali bekerja juga tidak akan bekerja penuh waktu, membiarkan Zhao Fanzhou mengantarkannya pulang ke rumah. Zhao Fanzhou menyarankan untuk pergi berbelanja, kemudian kedua orang itu benar-benar tidak melakukan apapun dan pergi berbelanja di departemen store.
Berjalan-jalan, Zhou Xiao merasa ada yang aneh. Zhao Fanzhou terus menariknya ke area anak-anak. Berbelanja juga ke area pakaian anak-anak, mengunjungi toko buku juga pergi ke rak buku dongeng, kalau tidak akan memasuki toko mainan atau semacamnya.
Zhou Xiao menatap Zhao Fanzhou yang begitu bersemangat, ragu-ragu untuk waktu yang lama, tapi tidak bisa menahan diri untuk berkata, “Suamiku.”
“Hmm?” Zhao Fanzhou yang sedang membaca buku mengasuh anak dengan penuh minat, menatapnya.
“Kita boleh tidak….” dia menelan ludah,”boleh tidak beberapa tahun lagi baru punya anak, aku belum siap untuk menjadi seorang ibu.”
Zhao Fanzhou menatapnya selama beberapa detik,menghela napas dengan acuh dan meletakkan buku di tangannya. Dia berbalik dan menggenggam tangannya, “Kalau kamu belum siap, tidak usah dipikirkan dulu. Sekarang kita berbelanja yang lain saja. Bukankah kamu bilang ingin mengganti meja makan, yuk ke area perabotan.”
Zhou Xiao membiarkan dirinya ditarik oleh Zhao Fanzhou, terkadang melihat ekspresinya yang kecewa, tapi masih berusaha tersenyum padanya, begitu lembut. Ah…. Suami yang begitu pengertian, kemarin dia masih merajuk padanya, sungguh tidak pantas. Setelah berpikir sejenak, Zhou Xiao tersenyum dengan manis kepadanya, “Kita pergi beli sayur saja, aku akan memasak untukmu.
Zhao Fanzhou tersenyum dan meraih pinggangnya, “Baik.”
Mencius mengatakan, takdir tidak sebaik waktu yang tepat, waktu yang tepat tidak sebaik kebersamaan, mencapai tiga mil dan melewati tujuh mil… Pria berakhlak mulia tidak perlu berperang fisik untuk meraih kemenangan.